Suami Istri Masuk Islam, Haruskah Mengulangi Akad Nikah?


TintaSiyasi.com -- Soal:

Apakah mualaf suami isteri yang baru masuk Islam, akad nikahnya harus diulang secara Islam? Saya baru saja menuntun mereka bersyahadat. (Ahmad Wahyudi, Sleman)


Jawab:

Jika suami isteri kafir masuk Islam secara berbarengan, maka akad nikah sebelum keduanya masuk Islam, adalah sah dalam pandangan syariat Islam. Demikianlah pandangan seluruh mazhab tanpa ada perbedaan pendapat lagi (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz II/39; Abu Ishaq Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, Juz II/52; As-Sayyid Al-Bakri, I’anatuth Thalibin, Juz III/296; Syaikh Al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syariat Islam (Ahkam Nikah Al-Kuffar ‘Ala Al-Madzahib Al-Arba’ah), hal. 39 & 42).

Jadi, akad nikah suami isteri sebelum masuk Islam adalah sah menurut syarak, meskipun keduanya dahulu menikah tanpa wali atau tanpa saksi. Sebab pada masa Nabi SAW telah banyak suami isteri yang masuk Islam dan Nabi SAW telah mengesahkan pernikahan mereka sebelum masuk Islam dengan taqrir-nya (persetujuannya), tanpa menanyakan lagi syarat-syarat nikah menurut Islam kepada mereka, seperti syarat wali dan dua saksi yang adil (Asy-Syirazi, Al-Muhadzdzab, Juz II/52).

Di antara taqrir Nabi SAW yang mengesahkan pernikahan suami isteri yang masuk Islam bersamaan, adalah hadis dari Salim RA, dari bapaknya, bahwa Ghaylan bin Salamah telah masuk Islam dan dia mempunyai sepuluh istri, lalu mereka masuk Islam bersama Ghaylan. Maka Nabi SAW memerintahkan Ghaylan untuk memilih empat orang di antara mereka (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan dipandang sahih oleh Ibnu Hibban dan Al-Hakim; lihat Ash-Shan’ani, Subulus Salam, Juz III/132). Hadis ini menunjukkan, bahwa pernikahan Ghaylan dengan 10 istrinya adalah sah, sebab kalau tidak sah pasti Nabi SAW akan memerintahkan Ghaylan untuk membubarkan (mem-fasakh) pernikahannya dengan kesepuluh istrinya itu. Faktanya, Nabi tidak memerintahkan hal itu dan hanya memerintahkan untuk memilih empat orang di antara mereka. Selain itu, jika Nabi SAW memerintahkan memilih empat orang di antaranya, berarti enam orang lainnya adalah diceraikan (di-thalaq). Padahal, tidak ada cerai (thalaq), kecuali telah ada akad nikah yang sah. Dari segi ini, hadis tersebut juga menunjukkan sahnya pernikahan sebelum suami isteri masuk Islam.

Dalam kitab I’anatuth Thalibin, Juz III/296, As-Sayyid Al-Bakri menyebutkan dalil yang seperti itu, yaitu sebuah hadis sahih yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, bahwa ada seorang laki-laki yang datang [kepada Nabi SAW] dalam keadaan Muslim, kemudian datang pula isterinya dalam keadaan Muslim. Laki-laki itu lalu berkata, ”Wahai Rasulullah istriku itu dulu masuk Islam bersamaku.” Maka Rasulullah lalu menyerahkan perempuan itu kepada lelaki tersebut. (As-Sayyid Al-Bakri, I’anatuth Thalibin, Juz III/296). Ini menunjukkan bahwa jika suami istri berbarengan masuk Islam, maka akad nikahnya tetap sah.

Namun yang dianggap sah adalah pernikahan yang memang dibolehkan oleh syariah Islam di antara laki-laki dan perempuan (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz II/39). Maksudnya, jika di antara suami istri mualaf ada hubungan mahram, misalnya istri adalah ibu atau saudara perempuan atau saudara sepersusuan bagi suami, maka pernikahan itu dibatalkan oleh syarak dan mereka berdua wajib dipisahkan (fasakh) dan tidak boleh meneruskan pernikahannya (Syekh Al-Humaidy, Kawin Campur dalam Syariat Islam, hal. 42).

Kesimpulannya, jika suami isteri masuk Islam secara bersamaan, maka akad nikahnya yang terjadi sebelum masuk Islam adalah tetap sah dalam pandangan Islam. Jadi, tidak perlu diadakan akad nikah ulang secara Islam. []


Oleh: K.H. M. Shiddiq Al Jawi
Ahli Fikih Islam

Posting Komentar

0 Komentar