Conflict of Interest Tinggi di Balik Pernikahan ala Politik Dinasti


TintaSiyasi.com -- Heboh. Publik terperanjat mengetahui Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman hendak menikahi adik kandung Presiden Jokowi, Idayati. Lamaran berlangsung saat Presiden Jokowi pulang ke Kota Solo menjadi saksi pernikahan keponakannya, Sabtu (12/3/2022). 

Fenomena ini seolah menggenapi dan sekaligus membuktikan dugaan telah berlangsung politik dinasti dalam praktik penyelenggaraan negara di negeri ini. Secara kasat mata kita telah melihat anak dan menantunya jadi walikota, dan sekarang Ketua MK akan menikah dengan adiknya. 

Tampaknya, baik secara sengaja atau kebetulan, politik dinasti tengah terjadi di rezim ini. Bahkan diduga praktik ini melebihi keadaan sewaktu Orde Baru dipimpin oleh Presiden Soeharto yang sering dijuluki sebagai rezim diktator dan KKN. Pun dua kali periode masa jabatan Pak SBY di Era Reformasi.

Pakar politik Universitas Al-Azhar Indonesia Ujang Komarudin menilai ketiadaan aturan yang melarangnya bukan berarti praktik politik dinasti benar. Terpilihnya anak dan menantunya menjadi walikota dinilai sebagian kalangan telah menabrak etika. Pasalnya, mereka terkesan karbitan atau dipaksakan jadi mumpung ayahnya menjabat.

Adapun peneliti Indonesian Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai, politik dinasti bisa mengarah kepada oligarki, korupsi, dan rusaknya demokrasi. Senada, Michels, seorang pemikir terkemuka dalam bukunya, The Iron Law of Oligarchy berpendapat, saat seseorang berkuasa akan cenderung membentuk kubu, termasuk bila itu bertentangan dengan prinsip demokrasi, sementara oligarki dekat dengan korupsi (katadata.co.id, 12/12/2020). 

Ya, eksistensi politik dinasti kini seolah menjadi fenomena mengkhawatirkan. Politik dinasti, oligarki, korupsi, dan demokrasi yang tergerogoti, menjadi wajah buram politik di negeri ini.

Conflict of Interest dan Cederanya Penegakan Hukum

Dikutip dari laman Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia (mkri.id, 10/7/2015), politik dinasti atau dinasti politik diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik yang dijalankan sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih identik dengan kerajaan, sebab kekuasaan akan diwariskan secara turun-temurun dari ayah kepada anak agar kekuasaan tetap berada di lingkaran keluarga.

Di Indonesia, tak ada pelarangan membangun dinasti politik. Bahkan MK membatalkan Pasal 7 UU No. 8 Tahun 2015 huruf r mengenai larangan calon kepala daerah yang masih memiliki hubungan keluarga dengan petahana. Menurut MK, pasal tersebut merupakan aturan diskriminatif karena membatasi hak berpolitik bagi orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan petahana.

Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM Ari Dwipayana, tren politik kekerabatan (dinasti politik) itu sebagai gejala neopatrimonialistik. Benihnya sudah lama berakar secara tradisional. Yakni berupa sistem patrimonial, yang mengutamakan regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis, ketimbang merit sistem dalam menimbang prestasi.

Disebut neopatrimonial karena ada unsur patrimonial lama, tapi dengan strategi baru. Jika dulu pewarisan ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Misalnya anak atau keluarga para elit masuk institusi yang disiapkan seperti partai politik.

Politik dinasti sering disorot karena cenderung menjadi "trigger" terjadinya nepotisme dalam penyelenggaraan negara. Jika sudah terjadi nepotisme maka ikutannya adalah kolusi dan korupsi. 

Di Indonesia, nepotisme diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bebas dan Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Dalam undang-undang tersebut tersirat makna penindakan pada kolusi dan nepotisme terlebih dahulu sebagai upaya mencegah tindak pidana korupsi. 

Pasal 1 angka 5 menyatakan, “Nepotisme adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.” Hukum bagi warga negara Indonesia yang terbukti melakukan nepotisme adalah dijerat pidana sesuai Pasal 22. Dijelaskan setiap Penyelenggara Negara atau Anggota Komisi Pemeriksa yang melakukan nepotisme adalah sesuai Pasal 5 angka 4 dipidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. 

Selain itu, politik dinasti juga berpotensi melahirkan conflict of interest. Sementara larangan adanya conflict of interest dalam pemeriksaan suatu perkara bisa disoroti melalui dua instrumen hukum, yakni UU Kekuasaan Kehakiman serta Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (PPH). 

Dalam UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan pada Pasal 17 ayat (4), bahwa: "Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat." 

Kemudian dalam Kode Etik dan PPH juga terdapat ketentuan yang pada pokoknya melarang seorang hakim mempunyai conflict of interest dalam memeriksa suatu perkara. Bahkan Pasal 5 (3) UU 48 2009 menegaskan agar hakim dan hakim konstitusi wajib menaati Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. 

Kode Etik dan PPH ditetapkan dengan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI 047/KMA/ SKB/IV/2009 02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Dalam hal terkait berintegritas tinggi, ditetapkan bahwa: "Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan, atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan." 

Lebih khusus lagi terhadap konflik kepentingan yang terkait dengan hubungan pribadi dan kekeluargaan, ditetapkan bahwa: 

"(1) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga dengan ketua majelis, hakim anggota lainnya, penuntut, advokat, dan panitera yang menangani perkara tersebut. 

(2) Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, penuntut, advokat, yang menangani perkara tersebut." 

Perlu disayangkan, hal di muka tidak ditemukan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 02/PMK/2003 Tentang Kode Etik dan Pedoman Tingkah Laku Hakim Konstitusi. Ketentuan Kode Etik terkait dengan conflict of interest hanya kita dapati dalam Pasal 3 huruf (d) yang berbunyi: 

"Menjaga jarak untuk tidak berhubungan langsung ataupun tidak langsung, baik dengan pihak yang berperkara maupun dengan pihak lain dan tidak mengadakan kolusi dengan siapa pun yang berkaitan atau dapat diduga berkaitan dengan perkara yang akan atau sedang ditangani, sehingga dapat mempengaruhi obyektivitas atau citra mengenai obyektivitas putusan yang akan dijatuhkan."

Demikianlah berbagai aturan ditetapkan agar tidak terjadi conflict of interest khususnya dalam penegakan hukum di negeri ini. Namun implementasinya justru berpotensi terancam oleh perilaku pejabat pemerintahan dan atau para penegak hukum itu sendiri. Sebagaimana rencana pernikahan Ketua MK dengan adik Presiden Jokowi. 

Potensi Penyalahgunaan Wewenang dalam Conflict of Interest Hubungan Keluarga bagi Hakim MK pada Pemeriksaan Perkara yang Melibatkan Presiden

Pernikahan Ketua MK dengan adik Presiden Jokowi akan berdampak terhadap adanya conflict of interest yang akan dihadapi MK ke depan. Potensi conflict of interestnya sangat tinggi. Hal ini disebabkan presiden merupakan pihak termohon dalam berbagai perkara di MK, terutama dalam uji undang-undang. 

Sebagai Ketua MK tentu ada masalah besar jika menikahi seorang adik presiden. Hal ini mengingat karakter manusia Indonesia itu seperti dikatakan oleh Koentjaraningrat sejak tahun 1974. Dalam bukunya “Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan”, Prof. Koentjaraningrat menyebut sifat-sifat manusia Indonesia yang menghambat pembangunan, yakni: mentalitas yang meremehkan mutu, mentalitas suka menerabas, sifat tidak percaya kepada diri sendiri, sifat tidak berdisiplin murni, dan sifat tidak bertanggung jawab. 

Itu karakter manusia Indonesia pada umumnya. Jika Ketua MK memiliki mentalitas sebaliknya, tentu kita tidak khawatir jika terjadi KKN. Namun, ada realitas MK pernah memutus perkara sengketa Pilpres tahun 2019 yang ditengarai tidak dilakukan secara fair trial sehingga terkesan terjadi trial without truth. Sementara pada setiap putusan MK selalu ada irah-irahan: "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa." 

Waktu itu Ketua MK juga mengatakan bahwa: Ketua MK Anwar Usman, hanya takut kepada Allah. Benarkah begitu? Dengan putusan MK yang memenangkan pasangan Jokowi dan Ma'ruf Amin dalam Pilpres yang ditengarai banyak kecurangan, juga kematian sekitar 700 petugas pemungutan suara, maka banyak yang berpendapat putusan MK tidak berkeadilan substantif dan cenderung mengabaikan moralitas (etika) dalam penegakan hukum sebagaimana pedoman dalam Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. 

Belum lagi soal putusan MK terkait Judicial Review atas UU Cipta Kerja (inkonstitusional bersyarat) dan UU Pemilu terkait Presidential Threshold yang digugat rakyat dari berbagai golongan. Kita saksikan putusan MK mengambang, ambigu, serta cenderung menguntungkan pemerintah sebagai pihak tergugat atau termohon. Patut diduga hal itu disebabkan karena tiga hakim MK dari unsur pemerintah. 

Bayangkan, jika hal ini ditambah dengan hubungan keluarga antara Ketua MK atau Hakim MK dengan presiden. Itulah masalah besarnya. Mungkin bagi penganut politik dinasti dan penjilat kekuasaan akan bilang: "Apa masalahnya jika Ketua MK menikahi adik Presiden? Salahnya di mana?" Jelas, politik dinasti berpotensi melahirkan conflict of interest dan penyalahgunaan wewenang. 

Strategi Mengatasi Confict of Interest dalam Penyelesaian Perkara Judicial Review oleh Hakim MK yang Melibatkan Presiden sebagai Pihak Termohon

Untuk menjaga independensi MK ke depan, setidaknya ada tiga strategi mengatasi conflict interest dalam penyelesaian perkara judicial review oleh hakim MK yang melibatkan presiden sebagai pihak termohon. Khususnya terkait rencana pernikahan Ketua MK dengan adik Presiden Jokowi. Berikut strateginya: 

Pertama, Ketua MK, Anwar Usman yang berencana menikahi Idayati, adik kandung dari Presiden Joko Widodo sebaiknya mengundurkan diri dari jabatannya jika sudah resmi menjadi suami dari Idayati. Tujuannya agar menghindari konflik kepentingan dengan Presiden Jokowi terkait berbagai perkara di MK dalam uji undang-undang. 

Hal ini pun tidak bisa menjamin independensi MK dalam memutus perkara karena Hakim Usman tetap menjadi hakim yang akan memeriksa perkara uji JR UU, mengingat majelis hakim MK harus terdiri dari sembilan orang. Adapun yang ideal Anwar Usman bukan saja mundur dari jabatan Ketua MK tetapi juga mundur dari hakim MK sepanjang ia mempunyai hubungan kekerabatan dengan presiden. 

Kedua, jika masih ingin bertahan menjadi Hakim MK, maka demi kepentingan bangsa dan negara yang seharusnya seorang Ketua MK menempatkannya di atas kepentingan pribadi, keluarga dan atau golongan, lamaran Ketua MK ke adik Jokowi sebaiknya dibatalkan atau pernikahannya yang ditunda dulu. Menunggu hingga Presiden Jokowi "lengser keprabon". 

Ketiga, Hakim MK harus ditambah menjadi dua kali lipat untuk mengatasi ketika terjadi kemungkinan conflict of interest majelis hakim. Ini juga bisa dipakai jika putusan sembilan hakim sebelumnya dinilai tidak adil sehingga nanti juga akan mengubah sifat final and binding-nya Putusan MK. Atau setidaknya ada tambahan hakim MK sebagai pengganti ketika ada salah satu dari sembilan hakim MK menghadapi conflict interest dalam memeriksa suatu perkara. 

Demikian strategi agar conflict interest bisa dihindari, khususnya yang berhubungan dengan rencana pernikahan Ketua MK dan adik kandung Presiden Jokowi. Semestinya para pemimpin mampu memberikan teladan bagi rakyat, salah satunya dengan tidak sewenang-wenang mempergunakan hukum sebagai alat kekuasaan.


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar