Potret Sengkarut Pertambangan Andesit di Wadas dalam Perspektif Hukum dan HAM: Masihkah Wadas Memanas?


TintaSiyasi.com -- Trauma dan rasa takut masih menghantui kehidupan warga Wadas. Tersebab penangkapan warga yang diangkut paksa tanpa alasan jelas oleh aparat kepolisian pada Selasa (8/2/2022). Dua hari lalu (Kamis, 10/2/2022) pun Wadas terkesan masih memanas. 

Sebanyak sepuluh truk polisi dikabarkan kembali mendatangi Desa Wadas. Aparat mendatangi rumah-rumah warga kontra tambang dan memaksa mereka menandatangani persetujuan tambang. Hal itu disampaikan oleh Gerakan Masyarakat Peduli Alam Desa Wadas (Gempa Wadas) melalui akun media sosial resminya (pikiranrakyat.com, 10/2/2022).

Kabar terakhir, kepolisian Jawa Tengah telah menarik 250 personel polisi dari Desa Wadas yang  sebelumnya ditugaskan untuk pengamanan pengukuran lahan. Namun saat ini masih ada polisi yang berjaga  di wilayah itu (sindonews.com, 11/2/2022). 

Meski demikian, tragedi  Wadas terlanjur menjadi sorotan banyak pihak. Mereka menilai tindakan intimidatif nan represif yang dilakukan aparat merupakan bentuk pelanggaran hukum dan hak asasi manusia (HAM). Amnesty International Indonesia (AII) menyebut pengerahan pasukan ke Wadas berlebihan dan melanggar HAM. 

Direktur Eksekutif AII, Usman Hamid mengatakan, pemerintah harus bertanggung jawab atas insiden Wadas, terutama Presiden Jokowi dan Gubernur Ganjar Pranowo (detik.com, 10/2/2022).    
    
Institute for Criminal Justice Reforme (ICJR) pun menilai tindakan kesewenangan aparat kepolisian dilakukan tanpa dasar hukum serta tanpa ada bukti tindak pidana yang cukup (jawapos.com, 10/2/2022). Seirama, Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia menyatakan, aparat yang bertindak brutal dan biadab di Wadas melanggar hukum dan HAM (pikiranrakyat.com, 10/2/2022).

Meskipun Menkopolhukam Mahfud MD mengatakan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan proyek penambangan batu andesit dan pembangunan bendungan Bener, namun tragedi Wadas (8 dan 10/2/2022), juga aksi kekerasan aparat pada warga Wadas (23/4/2021) menjadi bukti adanya karakter intimidatif represif dari kekuasaan yang cenderung menghadapkan rakyat dengan aparat penegak hukum (APH). Terkesan warga penolak akan dianggap musuh aparat lantaran aparat berada di balik pengamanan proyek nasional strategis.

Perlindungan HAM terkait Pemenuhan Hak untuk Memperoleh dan Mempertahankan Kelestarian Lingkungan Hidup Warga Masyarakat

Indonesia, negara yang memiliki kekayaan alam luar biasa. Potensi besar ini semestinya mampu dikelola optimal bagi kemakmuran rakyat dengan cara yang lestari serta dilindungi dari kerusakan lingkungan yang menyebabkan penurunan potensinya. Bila bencana ekologis masih terjadi, hal itu karena pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang tidak berwawasan lingkungan hidup. 

Maka, perlu dilakukan koreksi mendalam agar pengelolaan dan pemanfaatannya dapat menyejahterakan masyarakat dan tidak menimbulkan bencana. Konsep pembangunan berkelanjutan yang merupakan keseimbangan antara pembangunan ekonomi, sosial, dan lingkungan hidup merupakan satu-satunya pilihan yang wajib kita wujudkan.

Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) menilainya salah satu akar persoalan lingkungan hidup adalah praktik korupsi dalam pengelolaan sumber daya, penggunaan kekerasan, dan pelanggaran HAM yang semuanya ditujukan untuk melanggengkan penguasaan SDA, baik secara ekonomi maupun politik. 

Sebagaimana diungkap oleh Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, bahwa proses perusakan lingkungan di Indonesia bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Melainkan karena proses sistematis dan dilakukan oleh korporasi, serta didukung pemerintah melalui kebijakan maupun perizinan yang dibuat. 

Oleh karena itu, WALHI meminta pemerintahan Jokowi agar lebih memerhatikan pemenuhan hak atas lingkungan hidup bagi masyarakat di tanah air. Terlebih Indonesia  sebenarnya sudah cukup progresif karena statement tentang hak atas lingkungan hidup sebagai HAM itu sudah ada dalam konstitusi, yaitu pasal 28 H UUD 1945. 

Jaminan atas lingkungan hidup itu juga diperkuat dengan lahirnya Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, tepatnya pasal 9, yang menyebutkan masyarakat berhak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Ketika bicara tentang hak warga negara, maka sebenarnya negara terikat dengan kewajiban dalam melindungi. menghormati dan memenuhi HAM. 

Hal itu merupakan sesuatu yang mendasar sebab hak atas lingkungan hidup terkait pada pemenuhan kebutuhan manusia untuk hidup. Karena manusia memerlukan hal yang esensial atau mendasar, di antaranya kebutuhan air, udara, dan lingkungan yang bersih dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. 

Secara umum, dalam perkembangannya, WALHI menilai lingkungan hidup yang baik dan sehat terus mengalami penurunan. Yang paling mengkhawatirkan adalah praktik buruk korporasi dalam bisnis mereka khususnya di industri ekstraktif yang mengakibatkan bencana ekologis, dialihkan tanggungjawabnya kepada negara melalui dana APBN, yang artinya kembali harus ditanggung oleh rakyat. 

Maka, negara harus dapat memberikan jaminan perlindungan, penghormatan, dan pemenuhan terhadap hak atas lingkungan hidup. Artinya, negara justru harus berada di garda terdepan untuk mendesak tanggung jawab korporasi atas kejahatan lingkungan dan kemanusiaan yang telah dilakukan. Ini mensyaratkan negara tidak boleh tunduk dengan kekuatan korporasi.

Usaha melestarikan lingkungan dari pengaruh dampak pembangunan adalah salah satu usaha yang perlu dijalankan. Pengelolaan lingkungan yang baik dapat mencegah kerusakan lingkungan akibat suatu proyek pembangunan. 

Pengelolaan yang baik menjaga ekosistem dengan mencegah berlangsungnya pembangunan yang buruk, sebab pembangunan itu perlu untuk meningkatkan kualitas hidup manusia. 

Jadi yang penting disini adalah membangun wawasan lingkungan bukan membangun yang berwawasan ekonomi semata. Tepat kiranya jika pemerintah mencanangkan strategi kebijakan pro job, pro poor, pro growth, dan pro environment karena pertumbuhan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek pelestarian fungsi lingkungan dan manusia di dalamnya telah mengakibatkan kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. 

Selain komitmen pemerintah, keterlibatan pemangku kepentingan adalah kunci keberhasilannya. Perwujudan kerja sama yang harmonis dan proposional antara pemerintah, swasta, dan masyarakat merupakan pilar penting dalam pembangunan lingkungan hidup. Pemerintah dituntut menyusun program pro rakyat serta memfasilitasi kebutuhan rakyat, dan di lain pihak masyarakat dibutuhkan keterlibatannya dalam upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.

Dengan demikian, atas dasar apa proyek pertambangan andesit di Desa Wadas akan dilanjutkan jika justru menyimpang dari hukum yang berlaku, tidak pro rakyat, dan justru akan merusak lingkungan hidup itu sendiri? Jangan hanya karena proyek kejar tayang, terlebih jika itu desakan korporat, lantas mengorbankan hak rakyat untuk menikmati lingkungan yang baik dan sehat.

Dugaan Pelanggaran Hukum dan HAM terhadap Warga Wadas terkait Rencana Penambangan Batu Andesit untuk pembangunan Bendungan Bener di Purworejo

Desa Wadas memiliiki kekayaan alam melimpah. Berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), desa ini ditetapkan sebagai kawasan yang diperuntukkan untuk perkebunan. 

WALHI mencatat, komoditas pertahun dari hasil perkebunan di desa ini mencapai 8,5 miliar dan komoditas kayu keras mencapai 5,1 miliar per lima tahun, sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup dan kesejahteraan masyarakat Desa Wadas. 

Namun, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/41 Tahun 2018, Ganjar Pranowo menetapkan desa tersebut sebagai lokasi penambangan batuan (quarry) untuk pembangunan Bendungan Bener. Artinya, penetapan lokasi penambangan telah mengingkari Perda sebelumnya dan berpotensi merampas sumber penghidupan masyarakat serta merusak ekosistem alam di sana. 

Penerbitan SK Gubernur tersebut menjadi awal mula Wadas bergejolak. SK Gubernur itu tentang Pembaruan Atas Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah bagi Pembangunan Bendungan Bener di Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Wonosobo Provinsi Jawa Tengah tertanggal 7 Juni 2021. SK pembaruan itu menjadi masalah lantaran Desa Wadas tetap dicantumkan sebagai lokasi bakal penambangan batu andesit untuk material pembangunan Bendungan Bener. Padahal warga Wadas sudah tegas menolak. 

Ada penilaian proyek ini sebagai bentuk perampasan dan penghancuran ruang hidup yang merupakan bagian dari hak hidup. Perampasan hak hidup itu melanggar Pasal 6 Konvensi Hak Sipil dan Politik pada penjelasan umum PBB Nomor 36 Tahun 2018. Perampasan itu menyangkut segala tindakan negara baik langsung maupun tidak langsung yang mengancam kehidupan seseorang maupun kolektif. 

Pun adanya dugaan pelanggaran HAM, atau setidaknya tidak dihormati (respect), dipenuhi (fulfill), dilindungi (protect)-HAM itu lebih disebabkan oleh penyelenggaraan proyek dan pengadaan tanah  lebih mengedepankan penggunaan pendekatan kekuasaan berdalih legalitas formal (hukum). Sementara hukum yang digunakan diduga not good law, dari sisi proses maupun norma. 

Ada beberapa pelanggaran hukum dan HAM terhadap warga Wadas dalam rencana proyek ini. Hal itu nampak dari setidaknya tujuh poin yang tercantum dalam gugatan warga Wadas ke PTUN Semarang setahun lalu, yaitu:

Pertama, Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah tidak memahami akibat hukum dari berakhirnya izin penetapan lokasi, izin perpanjangan penetapan lokasi serta proses ulang sebelum diterbitkannya izin penetapan lokasi yang baru. 

Izin penetapan lokasi bendungan Bener telah berlaku selama dua tahun dan perpanjangan selama setahun. Sehingga penerbitan Izin Penetapan Lokasi tanpa proses ulang melanggar Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Demi Kepentingan Umum, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan demi Kepentingan Umum. 

Kedua, pertambangan batuan andesit tidak termasuk pembangunan untuk kepentingan umum. Hal ini tercantum sebagaimana Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 Pengadaan Tanah bagi Pembangunan demi Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dalam Pasal 123 Angka 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan demi Kepentingan Umum. 

Ketiga, izin penetapan lokasi cacat substansi karena tidak sesuai rencana tata ruang wilayah daerah Purworejo. Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo tidak mengandung batuan andesit sebagaimana Pasal 61 Peraturan Daerah Nomor Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo. 

Kecamatan Bener juga merupakan wilayah yang dikategorikan sebagai rawan bencana longsor sebagaimana Pasal 42 Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo Tahun 2011-2031. 

Keempat, pertambangan andesit yang Lebih dari 500 ribu meter kubik harus memiliki analisis dampak lingkungan (AMDAL) tersendiri. Berdasarkan AMDAL untuk rencana kegiatan pembangunan bendungan Bener disebutkan bahwa sekitar 12.000.000 m3 batuan andesit akan dieksploitasi dengan kapasitas produksi 400.000 m3/bulan. 

Penetapan lokasi bertentangan dengan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Amdal, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 38 Tahun 2019 tentang Jenis Usaha dan/atau Kegiatan yang Wajib Memiliki Amdal sebagai pengganti Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. 

Kelima, tidak memperhatikan prinsip-prinsip HAM. Ganjar Pranowo selaku Gubernur Jawa Tengah tidak memperhatikan hak-hak yang dimiliki oleh warga Wadas sehingga bertentangan dengan Undang-Undang Dasar RI 1945, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, Undang–Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2005 Ratifikasi Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. 

Keenam, tidak memperhatikan perlindungan terhadap sumber mata air. Kegiatan rencana pertambangan batuan andesit akan menghancurkan sumber mata air yang ada. Terdapat 28 sumber mata air yang tersebar di Desa Wadas. Sehingga izin penetapan lokasi melanggar Undang-Undang Nomor26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2014 tentang Konservasi Tanah dan Air, serta Peraturan Daerah Kabupaten Purworejo Nomor 27 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Purworejo. 

Ketujuh, bagi warga Wadas makna tanah bukan sekadar rupiah, melainkan menjaga agama dan keutuhan desa. Surat Al Baqarah: 11-12 menyebutkan yang artinya (11) Dan bila dikatakan kepada mereka: “Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”. Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan.” (12) Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak sadar. Warga Wadas memandang tanah atau alam secara lebih luas sebagai manifestasi dari wujud Tuhan di muka bumi. Tanah memberi warga kehidupan, sebagai sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tempat beribadah kepada Allah SWT, dan lain sebagainya. 

Ketujuh alasan penolakan yang menampakkan pelanggaran hukum dan HAM itulah yang kemudian mendorong warga Desa Wadas menggugat SK Gubernur Ganjar Pranowo ke PTUN Jawa Tengah di Semarang. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat dihindari. Upaya hukum ke PTTUN Surabaya hingga kasasi di MA, gugatan warga Desa Wadas ditolak. 

Strategi Penyelesaian Konflik di Desa Wadas yang Mencerminkan Penegakan Hukum dan Perlindungan HAM yang Adil

Bendungan Bener merupakan proyek strategis nasional di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Penanggung jawab proyek ini adalah Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Proyek mulai konstruksi 2018 dan rencananya mulai beroperasi 2023. 

Diduga dikejar target inilah yang membuat pemangku kepentingan termasuk gubernur merasa "terdesak", terburu-buru akibat tekanan dari berbagai pihak, bisa penguasa pusat atau pengusaha terkait, padahal hampir separuh warga Wadas masih menolak penambangan. Akhirnya, hukum rimba "tangan besi" represifitas penguasa dijalankan. 

Konflik agraria sejenis ini di Indonesia seolah terus terjadi sepanjang masa. Ribuan jumlah kasusnya, kecil hingga besar dan penyelesaiannya butuh waktu panjang serta ongkos tak murah hingga nyawa taruhannya. Sebut saja kasus Kedung Ombo tahun 1980-an yang masih menyisakan kepiluan. 

Bisa dipahami mengapa sebagian warga Desa Wadas bersikeras menolak penambangan batu andesit di tanah kelahiran mereka. Sebab penambangan itu akan mengancam keberadaan 27 mata air sebagai sumber kehidupan, menghilangkan mata pencaharian mereka, merusak lingkungan, sekaligus tentu menguatkan posisi kaum oligark. 

Tak mau ekosistem dan sumber kehidupannya hilang, mereka rela berhadapan dengan ribuan aparat bersenjata lengkap usai berbagai protes tak digubris dan pengajuan gugatan ditolak pengadilan. 

Dalam sengkarut proyek pertambangan andesit di Desa Wadas ini, patut diperhatikan strategi penyelesaian konflik yang mencerminkan penegakan hukum dan perlindungan HAM yang adil. Strategi tersebut antara lain:

Pertama, pemerintah melakukan evaluasi diri, sejauh mana kebijakan dan program mereka khususnya di Desa Wadas telah merepresentasikan tanggung jawab sebagai pelindung, pengayom, serta pengurus kepentingan rakyat Ataukah justru mencerminkan sebaliknya, tindakannya jauh dari rasa keadilan, bahkan menjadi “musuh” masyarakat.

Kedua, memberikan ruang partisipasi rakyat dan suara mereka didengarkan. Penyelesaian masalah yang dilakukan pemerintah dengan pengerahan aparat keamanan telah mengabaikan partisipasi sebagai salah satu prinsip penting pembangunan.

Tampaknya pihak Kepolisian perlu diingatkan bahwa setiap warga negara berhak dan sah untuk menyampaikan aspirasi dan mengonsolidasikan gerakannya terkait penyelamatan kelestarian dan masa depan lingkungan hidup sebagaimana telah diamanatkan dalam Pasal 28H UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 

Ketiga, kepolisian harus segera menghentikan penangkapan warga, tim kuasa hukum, dan aktivis di Desa Wadas, serta melepaskan orang-orang yang ditangkap karena alasan yang kurang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. Tindakan kepolisian yang terindikasi bersifat intimidatif, refresif, dan konfrontatif, jelas melanggar hukum dan HAM, sehingga layak mendapat kecaman publik.

Keempat, tetap memberikan perlindungan kepada warga wadas yang menolak, baik oleh hukum maupun oleh HAM. Upaya untuk mengadukan adanya ancaman, kekerasan, teror, dan lain-lain, bisa terus dilakukan baik kepada Komnas HAM, Ombudsman (pertambangan tak berizin), KPK (jika ada indikasi KKN), Kapolri, Presiden, atau DPR dan DPD. 

Warga juga tetap bisa meminta supaya proyek penambangan yang berdampak strategis ini ditunda hingga setidaknya perbaikan UU Cipta Kerja selama dua tahun selesai, sembari mencari jalan terbaik win-win solution. 

Kelima, memberikan jaminan penggantian tempat tinggal yang lebih baik jika proyek terus berlangsung. Yaitu merelokasi warga Wadas ke tempat yang lebih kondusif, di mana lingkungan dan ketersediaan lapangan kerjanya terjamin. Jadi tidak sesederhana ganti lahan tapi juga memperhatikan faktor ekonomi, sosial, budaya. Ini merupakan salah satu tindakan prioritas pemerintah untuk mengambil kebijakan menguntungkan warga Wadas. 

Keenam, mengharapkan lembaga seperti Komnas HAM dan sejenisnya untuk terus mengawal dan berupaya mencarikan solusi terbaik. Dengan melakukan mediasi dan mengundang para pihak untuk berdialog. 

Kalau nanti tetap buntu, maka keputusan ada di masing-masing pihak. Artinya Komnas tidak bisa mengintervensi keputusan para pihak, dalam arti memaksakan. Komnas HAM hadir karena ada pihak yang menolak dan mendukung, dan yang penting memfasilitasi ruang dialog agar tercapai solusi untuk semuanya.

Ketujuh, menjadi alternatif juga dengan menelisik kondisi alam Wadas serta penolakan warganya terhadap proyek tambang andesit, pemerintah disarankan membatalkan penambangan tersebut. Sebagai gantinya, dapat mencari wilayah pertambangan lain yang tidak menganggu ekosistem dan perekonomian masyarakat. Hal ini diharapkan menjadi jalan tengah sehingga tak merugikan warga Wadas dan pembangunan bendungan Bener tetap berjalan.

Demikian beberapa strategi yang mungkin dilakukan agar konflik Wadas selesai dengan tetap memperhatikan penegakan hukum dan HAM. Intinya, jangan ada kekerasan dalam proses pengadaan (pembebasan) tanah meskipun demi kepentingan umum. Mengutip pernyataan Mbah Sujiwo Tejo di akun Twitternya: "Mengukur tanah bawa meteran, bukan bawa polisi.” 

Kami kira pemerintah dan masyarakat juga bisa belajar dari kisah teladan Khalifah Umar bin Khaththab dalam menangani penguasa yang sewenang-wenang saat menggusur rumah “wong cilik”. Saat itu Umar didatangi seorang Yahudi tua yang mengeluh soal rumahnya yang digusur berdalih demi kepentingan umum. Ia memprotes kesewenang-wenangan Gubernur Mesir, Amru bin Ash, yang memaksa menjual tanahnya hingga akhirnya membongkar gubuk reyotnya dan mendirikan masjid besar di atas tanah tersebut. Maka Umar memberikan hukuman pada Amru bin Ash karena menzalimi warganya. 

Melihat penerapan keadilan ala Islam, membuat orang Yahudi tersebut terketuk hatinya untuk masuk Islam dan merelakan tanahnya dibangun masjid. Tak heran jika pada masa pemerintahan Khalifah Umar, rakyat berada dalam kesejahteraan, keamanan, dan keadilan. Tak inginkah kita merasakan indahnya buah penerapan hukum Allah SWT ini?


Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar