Pengaruh Filsafat Yunani dan Filosof India atas Peradaban Islam

TintaSiyasi.com -- Islam adalah Islam, tetap tinggi dan tidak ada perubahan. Namun saat Islam itu difahami dan menjadi pemikiran seorang Muslim, ia mengalami pasang surut atau perubahan.  

Sehingga akhirnya ada fase tajdid dalam kurun perkembangan peradaban Islam. Dan maksud tajdid di sini adalah mengembalikan agama Islam ini pada posisi sejatinya (إعادة الدين إلى ما هو عليه).  

Adalah keterpengaruhan filsafat Yunani dan filosof India, menjadikan adanya dan perlunya proses tajdid dalam sejarah pemikiran dan peradaban Islam. 

Keterpengaruhan dua aspek di atas pula yang menjadikan bekas yang cukup berpengaruh pada pola pemikiran dan amal kaum Muslim saat ini. 

Kondisi keterpengaruhan atas pemikiran Islam tersebut di satu sisi memang lumrah, karena penyebaran pemikiran Islam yang meniscayakan adanya benturan pemikiran, diskusi, dan terjadi tanpa kekerasan. 

Saat Islam menyebar di Irak, Iran (Persia) dan Syam misalnya, penyebaran pemikiran Islam itu meniscayakan adanya dialog. Penduduk lokal yang menganut Kristen Nestorian sedari awal telah memiliki pemikiran dengan karakter metodenya yang sangat kental dengan pemikiran Filsuf Aristoteles, sebagai bentuk pemikiran filsafat Yunani.

Kaum Muslim kemudian mencoba mempelajari metode berfikir mereka dengan tujuan awal untuk membantah. Dari sinilah sejarah munculnya ilmu kalam di kalangan kaum Muslim. Dan makna ilmu kalam sendiri berasal dari kata “kulum atau jarah”, yang maknanya menikam atau melukai.

Tujuan awal dari realitas mempelajari metode berpikir itu untuk dimanfaatkan dan dipakai kaum Muslim untuk menyerang balik metode pemikiran filsafat Yunani ini. 

Namun saat itu definisi dan hakikat akal belum ditemukan.  Sehingga terjadi kerancuan dalam menerapkan metode filsafat Yunani ini. Metode berpikir filsafat Yunani yang “ngalur ngidul” dalam membahas persoalan yang ternyata di luar jangkauan akal. Artinya, metode berpikir filsafat Yunani tidak membatasi objek berpikir, mana yang bisa dijangkau oleh akal dan mana di luar jangkauan akal. 

Metode berpikir seperti ini mempengaruhi sebagian kaum Muslim dalam berpikir mereka. Mereka mencoba membahas persoalan yang di luar jangkauan akal dengan metode ini. Persoalan berawal dari titik ini. 
 
Persoalan khabar Al-Qur’an yang di luar jangkauan akal, yang seharusnya berhenti membahas dengan akal, dicoba di-”nalar” dengan metode berpikir filsafat Yunani ini. 

Kondisinya pada akhirnya menimbulkan berbagai implikasi yang menimbulkan persoalan dan perdebatan berkepanjangan di kalangan kaum Muslim.

Sebut saja persoalan qadha dan qadar, persoalan "perbuatan" Allah, dan lain sebagainya. Semuanya adalah persoalan yang di luar akal, namun coba dinalar dengan akal. 

Sehingga ada debu kemudian yang sedikit banyak mengotori akidah umat. Adanya ilmu kalam ini menjadikan perdebatan yang cukup menguras energi pemikiran kaum Muslim. Berpengaruh pada persoalan pembahasan rezeki, ajal, tawakal, qadha dan qadar dan lain sebagainya. Kaum Muslim terpecah dalam firqah akidah semisal jabariyah, mu’tazilah, dan qadariah. 

Ini adalah keterpengaruhan filsafat Yunani atas kaum Muslim, yang pada akhirnya memunculkan ilmu kalam dalam khazanah tsaqafah Islam. 

Kita saksikan kemudian jasa para mujadid untuk membersihkan akidah umat Islam yang “berdebu” ini. Jasa mereka-mereka seperti Ath Thahawi, Al Maturidi, dan Al ‘Asy’ary memberikan kontribusi positif yang luar biasa untuk membersihkan debu akidah umat itu. Walau masih terpengaruh atas polemik yang dipengaruhi oleh filsafat Yunani tersebut. 

Alhamdulillah, sampailah kita pada zaman pembahasan yang sangat jernih, yang mampu mengeluarkan umat dari keterpengaruhan cara berpikir filsafat Yunani dalam pembahasan pro kontra itu, semisal pembahasan Al Qadha dan Al Qadar; yang dikemukakan oleh Al 'allamah Syekh Taqiyuddin An Nabhaniy ra. 

Pembahasan Al Qadha dan Al Qadah oleh Al ‘Allamah ra yang mendalam namun sederhana, dikemukakan  dalam Kitab Nizham al Islam Bab Al Qadha wal Qadar. Pembahasan yang dikemukakan menempatkan persoalan dengan akal atas apa yang bisa dijangkau dengan akal, dan menjauhkan akal membahas hal-hal yang memang di luar jangkauan oleh akal. 

Rahasia semua itu adalah, karena metode berpikir filsafat Yunani mencambur-baurkan persoalan yang bisa dijangkau dengan akal, dan yang tidak bisa dijangkau dengan akal.   

Filosof India juga mempengaruhi kaum Muslim dalam persoalan tsaqafah Islam pada bidang tashawuf. India, kehidupan Hindu, memiliki pemahaman dan sikap penyiksaan diri atau ta’dzib al jasad, saat ingin mendekatkan dengan al Khaliq.

Sehingga ada di antara kaum Muslim yang kemudian menjalani hidup untuk tidak peduli pada persoalan politik kaum Muslim, persoalan ri’ayah umat Islam, dengan maksud untuk meninggikan dan mendekatkan diri kepada Allah. 

Mereka menganggap persoalan politik adalah kotor, yang wajib dijauhi tatkala ingin begitu dekat dengan Allah SWT. 

Secara tidak disadari pada akhirnya menjadikan umat abai akan urusan dan pemeliharaan kaum Muslim. Ini adalah sikap yang keliru. 

Seolah pada akhirnya Islam itu hanya mengurusi masalah shalat dan ibadah madhah lainnya. Sampai parahnya, seolah Islam dianggap tidak menyoal masalah negara, ekonomi, masalah politik, dan masalah sosial kemasyarakatan. 

Kondisi demikian juga diperparah dengan kemunduran berpikir yang luar biasa atas kaum Muslim. Persoalan pemerintahan, ekonomi dan sosial seolah menjadi urusan para politikus yang jauh dari pemahaman Islam.  

Runtuhnya institusi Khilafah kian memperburuk pemikiran dan sikap demikian. 
Terjadilah pemisahan yang kian jelas antara seorang ulama dengan seorang politisi. 

Urusan umat pada akhirnya diurusi oleh para politikus yang nihil akan pemahaman hukum syara’, sementara para ulama hanya sibuk mengurusi persoalan ibadah, fokus pada tashawuf yang abai pada urusan umat.  

Padahal sejatinya antara seorang faqih fiddin dan persolan politik adalah hal yang kembar, yang tidak bisa dipisahkan. Persoalan politik adalah persoalan mengurus dan mengatur umat. Siyasah (politik) adalah ri’ayah su-uunil umat. Dan me-ri’ayah umat tidak mungkin bisa berjalan baik kecuali dengan aturan yang baik yang difahami oleh fuqaha. 

Seorang politisi sejatinya harus faham Islam, seorang politisi harusnya seorang ulama. Ini syarat mutlak jika umat ini ingin kembali berjaya. 

Buktinya bisa kita saksikan saat umat ini menjadi generasi terbaik, umat terbaik, saat mereka dipimpin oleh Khulafau Rasyidin hingga Kekhilafahan Utsmani berakhir di Turki Utsmani. Mereka tidak pernah memisahkan antara ulama dengan politikus. []


Oleh: Guru Luthfi Hidayat
Pengasuh Majelis Baitul Qur'an Tapin

Posting Komentar

0 Komentar