101 Tahun Keruntuhan Khilafah: Nestapa Tanpa Mahkota Kewajiban nan Mulia


TintaSiyasi.com -- Sudah jatuh tertimpa tangga. Sudahlah khilafah runtuh, setelahnya umat Islam berada dalam nestapa. Bak anak ayam kehilangan induknya. Kini umat Islam hidup tanpa satu kepemimpinan. Tiada pengurus. Tak ada penjaga. Hilang pelindungnya. 

Akibatnya, kehidupan umat Islam dalam gegana. Gelisah. Galau. Merana. Bagaimana tidak? Ketiadaan khilafah telah membuat kaum Muslimin kehilangan fitrahnya. Ibarat ikan yang dipaksa tinggal di padang pasir, kini umat Islam berada dalam sistem non-Islam. Sebuah habitat yang tak hanya menjauhkan kaum Muslimin dari ajaran agamanya, memupus jati diri keislamannya, bahkan memusuhi Muslim siapa saja yang berkehendak menerapkan seluruh hukum Allah secara nyata. 

Ya, inilah puncak nestapa umat tanpa khilafah. Saat sang mahkota kewajiban (taajul furudh) ini tiada, begitu banyak kewajiban lain yang tak bisa terselenggara. Anda masih bisa shalat lima waktu di mana pun dan kapan pun jua. Anda masih mampu berpuasa Ramadan. Haji masih difasilitasi. Zakat justru dinanti. 

Namun, saat Anda ingin bebas dari riba, sulitnya luar biasa. Anda ingin bergaul islami dari cara berpakaian, interaksi, dan seterusnya, kadang dicap sok suci. Menyampaikan dakwah alias amar makruf nahi mungkar, risikonya masuk bui. Ingin berpolitik islami tanpa demokrasi? Pasti berhadapan dengan para pengusung sistem non-Islam harga mati. 

Lantas, apakah umat Islam akan berdiam diri dari berbagai bentuk kemungkaran ini? Sampai kapan hidup "tak menjadi diri sendiri?" Tak inginkah sang mahkota kewajiban kembali hadir memancarkan keindahan sekaligus membawa kebahagiaan?

Hidup Nestapa Tanpa Sang Mahkota 

Mahkota. Siapa yang tak mengenal keindahannya. Pun tak sekadar sebagai perhiasan, benda ini sering dinisbatkan sebagai simbol kekuasaan. Lantas bagaimana jika seorang raja tak lagi bermahkota? 

Mahkota kewajiban. Istilah ini dikenal dalam pembahasan fikih pemerintahan. Imam Ghazali berkata, ”Khilafah adalah mahkota kewajiban.” Disebut mahkota, karena tempatnya di atas. Ia adalah fardhu kifayah tertinggi umat Islam. 

Ada beberapa alasan mengapa khilafah layak disebut mahkota kewajiban. Pertama, khilafah adalah pelaksana seluruh hukum Islam. Islam adalah agama sempurna dan menyeluruh. Dari bangun tidur, bangun keluarga, hingga bangun negara, ada tuntunannya. 

Islam mengatur hubungan hamba dengan Sang Khaliq yang terwujud dalam akidah dan ibadah. Pun mengatur hubungan individu dengan dirinya sendiri, yang tercakup dalam pengaturan makanan, minuman, pakaian dan akhlak. 

Lebih dari itu, hubungan antarmanusia juga telah diatur oleh Islam, meliputi masalah muamalah (interaksi) dan uqubat (sanksi). Dan pengaturan kehidupan bermasyarakat seperti sistem ekonomi, pendidikan, pergaulan, sanksi, dan politik hanya dapat dilaksanakan oleh pemerintahan Islam yaitu khilafah. Hari ini, ketiadaan khilafah menyebabkan hukum-hukum Islam hilang dari realitas kehidupan kita. 

Tak ada lagi sistem ekonomi Islam, sehingga sistem ekonomi kita menganut kapitalisme sekuler berbasis riba. Padahal jelas Allah SWT mengharamkan riba (Al-Qur’an surat Al Baqarah: 275). Tidak ada pelaksanaan sistem sanksi Islam yang tercakup dalam hudud, jinayat, ta’zir, dan mukhalafat. Akibatnya, kini kriminalitas merajalela. Pembunuhan, pemerkosaan, perampokan dan kejahatan lainnya mengancam sekitar kita.

Kini, tidak ada sistem pendidikan Islam yang mampu mendidik anak-anak umat menjadi pribadi taat kepada Allah SWT. Tidak ada sistem politik Islam untuk mencegah masuknya hegemoni Barat ke negeri kita. Sehingga meski Indonesia berpenduduk mayoritas Muslim, namun kehidupannya serba kebarat-baratan. 

Betapa pentingnya keberadaan khilafah. Karena tidak mungkin berharap sistem demokrasi bersedia menerapkan Islam secara sempurna. Antara keduanya terdapat perbedaan sangat mendasar. Bagai air dan minyak, tidak dapat disatukan. Islam berasas akidah Islam, sedangkan demokrasi berasas sekularisme. Jadi, khilafah ada demi pelaksanaan Islam secara kaffah.

Kedua, khilafah merupakan penjamin kesejahteraan umat manusia. Islam diturunkan sebagai rahmat bagi sekalian alam. Maknanya, syariat Islam mengandung maslahat bagi manusia dan alam semesta ketika dilaksanakan keseluruhan. Sebagaimana kaidah ushul fikih menyebutkan: “Di mana ada Islam, di situ ada maslahat.” 

Kaidah ini benar adanya. Saat sistem ekonomi Islam diterapkan akan mendatangkan kesejahteraan. Sebagaimana fragmen sejarah yang mengisahkan sejahteranya rakyat di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Hingga tidak ada rakyat yang bersedia menerima zakat karena tidak tergolong fakir miskin. 

Ketiga, khilafah adalah wadah pemersatu umat Islam seluruh dunia. Dengan khilafah, persaudaraan umat Islam menjadi nyata. Karena mereka berada dalam naungan satu negara. Tidak terpecah-belah ke dalam negara-negara bangsa seperti saat ini. 

Pun khilafah akan menyatukan segala potensi umat. Sehingga umat Islam menjadi kuat dan disegani. Tidak seperti saat ini, umat Islam di belahan bumi Palestina disakiti oleh Israel dan sekutunya. Di Rohingnya tidak mendapat tempat di negeri kelahirannya. 

Sementara di negeri ini, umat Islam dijajah pemikirannya, dirampok kekayaannya oleh asing dan antek-anteknya. Meski umat Islam jumlahnya banyak, namun mereka lemah. Tak berdaya oleh hantaman fisik maupun pemikiran dari para penjajah. 

Demikianlah derita umat Islam tanpa adanya khilafah, Sang Mahkota Kewajiban. Banyaknya kaum Muslimin tidak berkorelasi dengan besarnya kekuatan. Laksana buih dalam lautan. 

Mengembalikan Mahkota Kewajiban 

Agar terbebas dari nestapa berkepanjangan, tak ada pilihan bagi umat Islam selain menghadirkan khilafah kembali dalam kehidupan. Terlebih, menegakkan khilafah, sang mahkota kewajiban, adalah wajib hukumnya.  

Kewajiban ini bukanlah pendapat kelompok tertentu. Namun merupakan pendapat ijmak ulama. Sejak zaman dulu hingga sekarang, semua ulama bersepakat hukum menegakkan khilafah dan mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslimin. 

Kewajiban ini telah disepakati oleh imam mazhab yang empat, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad. Bahkan oleh ulama di luar kalangan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Pun para ulama telah menjelaskan dalil-dalil kewajiban khilafah, baik dari Al-Qur'an, Al-Hadits, ijmak sahabat maupun qaidah syar'iyyah.

Dalil Al-Qur'an antara lain ayat-ayat yang mewajibkan penguasa untuk berhukum dengan apa saja yang telah Allah turunkan (QS. Al Maidah: 48-49). Juga ayat-ayat hukum yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah sebagai kepala negara khilafah, seperti qishash bagi pembunuh (QS. Al-Baqarah: 178), hukum potong tangan bagi pencuri (QS. Al-Maidah: 38), hukum cambuk bagi pezina bukan muhshan (QS. An-Nuur: 2), dan sebagainya.

Jadi, seluruh ayat yang mewajibkan penguasa berhukum dengan hukum Islam, juga seluruh ayat yang pelaksanaannya dibebankan kepada khalifah, adalah dalil kewajiban menegakkan khilafah. Sebab, tak mungkin ayat-ayat itu terlaksana sempurna, kecuali dengan adanya khilafah. Kaidah syar'iyyah menegaskan,

ما لا يتم الواجب إلأ به فهو واجب

"Selama sebuah kewajiban tidak sempurna pelaksanaannya kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu wajib hukumnya."

Artinya, jika kewajiban menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan tidak terlaksana sempurna kecuali dengan tegaknya khilafah, berarti khilafah itu wajib hukumnya secara syar'i.

Dalil hadits antara lain sabda Rasululullah SAW,

 من مات وليس في عنقه بيعة
 مات ميتة جاهلية

"Siapa saja yang mati dan di lehernya tidak ada bai'at (kepada khalifah/ imam), matinya adalah mati jahiliyah." (HR. Muslim)

Dalil ijmak sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi SAW) adalah kesepakatan para sahabat untuk mengangkat Abu Bakar ash Shiddiq r.a. sebagai khalifah setelah wafatnya Rasulullah SAW, yang lebih mereka utamakan daripada menguburkan jenazah Rasulullah SAW.

Kewajiban menegakkan khilafah asalnya adalah fardhu kifayah, bukan fardhu 'ain. Namun, karena fardhu kifayah ini kenyataannya belum terwujud, yakni berupa tegaknya khilafah, maka hukum menegakkan khilafah saat ini, telah menjadi fardhu 'ain, yaitu menjadi kewajiban setiap Muslim sesuai kemampuan masing-masing.

Terkait masalah kemampuan, bukankah Allah SWT tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai kesanggupannya? Allah tidak membebani satu jiwa kecuali ada dalam kemampuannya. Saat Allah SWT mewajibkan kita menegakkan khilafah, pasti kita mampu melakukannya. Pasalnya, mustahil Allah SWT mewajibkan sesuatu yang tidak mampu kita laksanakan.

Mungkin saat ini kita belum mampu, maka berusahalah terus hingga berkemampuan. Mulai melangkah, mengajak lebih banyak orang ikut melakukannya, dan terus mendakwahkannya secara luas sampai dukungan umat kian membesar. Tersebab nashrullah bukan untuk ditunggu. Tapi dijemput dan diperjuangkan. Di situlah nilai seorang hamba dipertaruhkan.

Marilah kita luruskan niat, teguhkan tekad, dan kokohkan semangat dalam perjuangan penuh berkah ini. Insya Allah, selama kita teguh berjuang menolong agama Allah, tak ada satu kekuatan pun yang akan sanggup menghancurkannya. Tidak usah takut dan gentar menghadapi segala godaan, tentangan, dan ancaman dari musuh-musuh Islam. Laa tahzan, Innallaaha ma'anaa!

Oleh: Puspita Satyawati (Dosen Online Uniol 4.0 Diponorogo) dan Syam Purwaningsih (Sekretaris Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar