Radikal Radikul Kembali Muncul: Inikah Politik Kambing Hitam di Tengah Hiruk-pikuk Pemindahan IKN?


TintaSiyasi.com -- Radikalisme, terorisme, dan ekstremisme seolah menjadi trilogi isu seksih yang terus-menerus didengungkan rezim. Menjadikan antiradikalisme sebagai core of the core program kerja Kabinet Indonesia Maju 2019-2024 dalam bidang politik dan agama, diduga membuat rezim gencar melancarkan berbagai narasi dan strategi. Seperti tak kenal bosan dan lelah, pelaku dan pendukung program antiradikalisme senantiasa melontarkan narasi absurd ini di banyak kesempatan. 

Di tengah hiruk-pikuk polemik pemindahan ibu kota negara (IKN), narasi radikalisme pun kembali mencuat. Saat memimpin Apel Gelar Pasukan TNI AD di lapangan Monas, Jakarta Pusat, Selasa (25/1/2022), Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Dudung Abdurachman menekankan ancaman radikalisme. Menurutnya, berdasar hasil Rapim Kemhan, kelompok radikal telah masuk di beberapa elemen masyarakat baik mahasiswa maupun elemen lainnya. Ia meminta jajarannya untuk peka terhadap kelompok radikal yang perkembangannya hanya dalam hitungan menit (kompas.com, 26/2/2022). 

Adapun Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar di Komisi III DPR, Selasa (25/1/2022), menyatakan masih menemukan ponpes yang diduga terafiliasi jaringan teroris, 11 ponpes berafiliasi dengan Jamaah Anshorut Khalifah, 68 ponpes afiliasi Jamaah Islamiyah, dan 119 ponpes afiliasi Anshorut Daulah atau simpatisan ISIS (TEMPO.CO, 25/1/2022). Pun ia sampaikan adanya temuan ancaman kelompok teroris menyusup ke BUMN agar mendapat dukungan sumber daya negara (liputan6.com, 25/1/2022).

Seirama, Direktur Keamanan Negara Badan Intelijen Keamanan Mabes Polri Brigjen Umar Effendi pada agenda Halaqah Kebangsaan Optimaisasi Islam Wasathiyah dalam Mencegah Ekstremisme dan Terorisme yang digelar MUI, Rabu (26/1/2022), mengaku bakal memetakan masjid-masjid untuk mencegah penyebaran paham terorisme. Ia menyebut, ada beberapa masjid dianggap menjadi tempat penyebaran paham radikal (democrazynews, 26/1/2022). 

Saat narasi radikal radikul berhembus kencang di tengah rencana pemindahan IKN yang menuai penolakan publik, sebagian kalangan mempertanyakan apakah isu ini dimunculkan demi menutupi kegaduhan polemik IKN. Atau menjadi semacam pengalihan isu agar publik tak lagi fokus meributkan IKN sebagai proyek oligarki.

Terlepas jawabannya, menggulirkan narasi radikalisme dalam suasana pandemi Covid-19, menunjukkan rezim kurang memiliki prioritas aktivitas. Bukannya fokus menyelesaikan pandemi atau bersegera mengantisipasi prediksi serangan Omicron, rezim justru sibuk bermain radikal radikul yang definisinya tak jelas, faktanya diragukan, dan bukan masalah mendasar negeri ini.      


Radikalisme di Tengah Polemik IKN dan Dugaan Politik Kambing Hitam

Pada dasarnya, tidak ada yang baru dari isu radikalisme di Indonesia. Bersifat daur ulang dari isu-isu radikalisme sebelumnya. Bak gorengan basi yang terus direproduksi, diberi pengawet, pewarna dan perasa untuk menambah cita rasa, lantas dikemas ulang agar menarik. 

Bergulirnya isu ini kian masif pada periode kedua Presiden Jokowi. Dari sini menarik dicermati, berkolaborasinya pemerintah dengan para bandar kapitalisme yang menjadikan isu radikalisme sebagai komoditi unggulan negara dalam transaksi perdagangan dunia yang serba manipulatif. Kolaborasi ini nampak vulgar melalui pernyataan Presiden Jokowi tentang bahaya radikalisme yang diikuti menteri kabinetnya. 

Mereka mengirim pesan jelas pada bandar-bandar politik global (kapitalisme sekuler) tentang keseriusan rezim melakukan agenda antiradikalisme di Indonesia. Pada sisi konten, pesan tentang bahaya radikalisme penting untuk didukung sebagai kebijakan demi eksistensi bangsa. 

Namun di sisi lain, pesan dari isu radikalisme ala rezim Jokowi ini disinyalir cenderung menuduh tanpa disertai kejelasan definisi radikalisme. Jika definisinya lentur dan obscure, maka isu ini berpotensi pemberangusan yang salah sasaran. Kini, isu radikalisme tersebut justru kontraproduktif dengan target pengelolaan isunya sebagai sesuatu yang membahayakan bangsa. 

Hal ini mengundang keraguan sekaligus rentetan pertanyaan yaitu saat isu radikalisme diarahkan pada sebagian umat Islam dengan membuat kategori radikalisme yang tidak jelas, tendensius, dan dipaksakan sebagai indikatornya. Mencermati isu radikalisme ala rezim Jokowi, nampak lebih dominan sebagai diksi stigma (tuduhan). Kita dapati tuduhan radikal sering kali ditujukan terhadap simbol-simbol Islam seperti bendera liwa’ dan rayah, celana cingkrang, berjenggot, dan seterusnya. Kegaduhan yang tercipta melalui narasi bahaya radikalisme justru melahirkan teror baru negara atas warga negara (umat Islam). 

Diduga isu ini merupakan bagian proyek global yang memaksa semua negara menerima ideologi sekularisme kapitalistik dan tunduk pada hegemoninya. Apalagi bangsa ini telah masuk dalam pusaran agenda global War on Radicalism (perang melawan radikalisme). Menelisik keberadaannya, War on Radicalism tidak bisa dilepaskan dari agenda War on Terorism. Proyek ini digulirkan setelah kegagalan Barat menghadang kebangkitan Islam politik dengan isu terorisme. Sasarannya masih sama yaitu Islam dan umatnya. Pasalnya, simbol Islamlah yang muncul dari berbagai isu yang terjadi. 

Isu ini dipropagandakan oleh Barat untuk menggerus nilai-nilai fundamental yang bertentangan dengan keyakinan sekularisme ala Barat. Isu radikalisme sama sekali tidak ditujukan kepada selain Islam dan umatnya. Sebagaimana isu terorisme sebelumnya. Dalam tataran implementatif, screening terhadap pegawai negeri yang dianggap terlalu ‘islami’ terjadi. Kriminalisasi terhadap pengguna cadar dan kalimat tauhid, pertanyaan yang membenturkan Pancasila dengan khilafah, negara Islam, dan yang semisal, terjadi.

Oleh karena itu, tak salah jika isu radikalisme juga disebut sebagai bagian politik kambing hitam. Dengan narasi ini, ajaran Islam dan para pejuangnya menjadi pihak tertuduh, dipersalahkan, dan diposisikan sebagai biang kerusakan. Mereka mendapatkan stempel: intoleran, pemecah-belah bangsa, anti-NKRI, anti-Pancasila, hingga tak layak tinggal di Indonesia.

Fadli Zon pernah menyebut isu radikalisme yang dihembuskan pemerintah justru berpotensi menimbulkan pemecahbelahan di dalam masyarakat dan memperkeruh perdamaian. Ia juga menilai radikalisme hanyalah alasan ketidakmampuan pemerintah mengurus negara, dalih termudah menutupi ketidakberesan. Sehingga harus ada kambing hitam dan itu adalah radikalisme (kumparan.com, 27/12/2019).

Adapun merespons pernyataan Jenderal Dudung tentang kelompok radikal memasuki elemen masyarakat, Direktur Eksekutif Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menilainya bisa jadi sebagai pengalihan isu yang saat ini sedang berkembang luas di masyarakat. Menurut Harits, anggapan pengalihan isu itu muncul sebagai efek samping dari pernyataan BNPT sedang rapat dengar pendapat di Komisi III DPR RI. Dalam RDP itu, substansi pembahasannya diekspos oleh media. 

Dia menambahkan, apa yang diceritakan KSAD berkaitan dengan pernyataan Kepala BNPT soal terorisme. Dengan demikian menjadi bahan untuk orang tertentu dalam memainkan kasus radikalisme yang sebetulnya sudah tidak ada di Indonesia. Seharusnya, baik BNPT maupun KSAD fokus pada pencegahan terorisme yang saat ini mengancam Papua. 
Harits tidak sepakat kalau Dudung malah memunculkan isu radikalisme yang sebetulnya baik paham kiri maupun kanan tidak ada di Indonesia. Ia pun mempertanyakan mana lagi yang menyusup di masyarakat, sedangkan FPI dan HTI yang disebut sebagai kelompok radikal telah resmi dinyatakan sebagai organisasi terlarang (rmol.id, 26/1/2022).  

Oleh karena itu, gencarnya isu radikalisme yang dihembuskan oleh KSAD dan BNPT akhir-akhir ini patut diduga sebagai bentuk pengalihan isu atas hiruk-pikuk polemik pemindahan IKN yang ditengarai akan jalan terus meski ditolak berbagai elemen masyarakat dan tak berpihak pada kesejahteraan rakyat. Terlebih, ada pihak-pihak yang mengaitkan para penolak IKN berasal dari kelompok radikal. Sebagaimana dalam kasus ujaran kebencian Edy Mulyadi. Keberadaannya mulai dikaitkan dengan beberapa sosok yang berafiliasi dengan kelompok/organisasi yang selama ini dituduh radikal seperti HTI, eF-Pe-I, dan PA 212.    

Lantas, benarkah radikalisme sebagai momok di negeri ini? Menyebut radikalisme sebagai sumber utama masalah bangsa merupakan kedustaan. Tak ada korelasi antara kerusakan di berbagai bidang kehidupan dengan radikalisme. Justru menurut Peneliti LIPI Siti Zuhro, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com, 29/12/2019). Peneliti Belanda bernama Beren Schot menyatakan hal senada. Ia tak setuju pemerintah menggunakan narasi radikalisme distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id, 22/12/2019).

Sejatinya, ketimpangan sosial yang terjadi disebabkan oleh penerapan sistem kapitalisme liberalistik. Lalu, pantaskah menuding radikalisme (yang sering diarahkan pada Islam dan pejuangnya) sebagai biang kerok kebobrokan di berbagai bidang? Mengapa seluruh kebobrokan ini ditudingkan kepada syariat Islam? Jika bicara ancaman bangsa, benarkah radikalisme lebih membahayakan dari terorisme ala OPM Papua yang terang-terangan memakan korban jiwa? 

Dampak Pengarusutamaan Isu Radikalisme terhadap Situasi Hukum dan Politik, Khususnya Terkait Umat Islam

Hari ini, Barat sangat membenci Islam, sebab mereka berupaya menghegemoni dunia dengan ideologinya. Puncak permusuhan Barat kepada Islam adalah dengan menyebarkan virus islamofobia sembari menuduh Islam sebagai ajaran radikal, ideologinya sebagai ideologi terorisme, dan stigma buruk lainnya. Maka, berbagai propaganda berbalut islamofobia berikut narasi terorisme, radikalisme, dan ekstremisme bukanlah isu yang bergulir alami. Isu ini direkayasa dan mengarah pada satu sasaran yaitu Islam.  

Ironisnya, virus islamofobia zaman now justru diidap oleh kaum intelektual termasuk penguasa Muslim. Penguasa antek Barat diduga khawatir singgasananya terkoyak dengan tegaknya sistem Islam. Jika kaum kafir membenci ajaran Islam itu wajar. Namun jika kaum Muslim membenci, takut, dan memusuhi Islam, ini adalah gejala abnormal bahkan psikoabnormal stadium empat. 

Oleh karena itu, jika pengarusutamaan radikalisme terus terjadi, maka dampaknya terhadap situasi hukum dan politik, khususnya umat Islam antara lain:

1 .Polarisasi di tubuh umat Islam.

Propaganda radikalisme atau ekstrem kanan yang terus didengungkan dan dibasmi akan membuat polarisasi di tubuh umat Islam: radikalis dan nonradikalis. Istilah-istilah ‘asing” seperti Islam garis keras, radikal, teroris, ekstrem, yang diversuskan dengan Islam moderat, liberal, dan seterusnya, sejatinya adalah bagian dari proyek imperialisme epistemologis penjajah Barat di dunia Islam. Tujuannya adalah agar kaum Muslimin terpecah-belah dengan saling melontarkan tuduhan satu sama lain.  

2. Menyulut konflik vertikal dan horizontal. 

Umat Islam yang telah terbelah akan mudah menyulut terjadinya konflik. Baik sesama anak bangsa, maupun antara penguasa kaki tangan Barat dengan rakyat Muslim yang enggan tunduk aturan Barat.

3. Monsterisasi ajaran Islam. 

Mengarahkan propaganda radikalisme pada Islam, khususnya ajaran jihad dan khilafah, berakibat umat Islam sendiri takut pada ajarannya. Pun saat diksi radikal disematkan pada pejuang syariah dan khilafah, ini adalah monsterisasi. Khilafah berikut pejuangnya menjadi hal menakutkan. 

4. Umat Islam kian jauh dari syariah Islam.

Saat sebagian umat Islam mempercayai bahwa orang/kelompok yang berpegang teguh pada ajaran Islam, yang ingin mengubah tatanan kekuasaan dari sekuler menjadi pemerintahan Islam dikategorikan radikal atau teroris, atau syariah kaffah dikatakan radikalisme, maka ia akan enggan berdekatan dengan Islam dan pejuangnya. Padahal merugilah seseorang jika ia menjauhkan diri dari syariah kaffah. 

5. Terjadi penyesatan hakikat permasalahan. 

Jika didalami, sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial sebagai akibat penerapan sistem kapitalisme liberalistik. Lalu, pantaskah menuding radikalisme (yang sering diarahkan pada Islam dan pejuangnya) sebagai biang kerok kebobrokan di berbagai bidang? 

6. Hegemoni Barat berikut sistem kehidupannya kian eksis.

Jika di poin 1-5 telah terjadi, maka akan kian mengeksiskan hegemoni Barat di negeri ini. Sistem hidup berikut pemikiran-pemikirannya pun kian kuat diikuti masyarakat. Hal ini akan menjadi batu sandungan dalam perjuangan menegakkan syariat Islam.
 
Demikianlah, jika pengarusutamaan radikalisme digencarkan, maka ditengarai akan terjadi peningkatan eskalasi islamofobia. Masyarakat dikhawatirkan akan merespons dalam bentuk ketakutan terhadap Islam. Maka, umat Islam mesti mewaspadai dan berupaya meminimalisasi dampak yang ditimbulkannya.

Strategi Negara Menjamin Keamanan dan Keteriban Masyarakat Tanpa Isu Radikalisme

Pada pertengahan 2019 lalu, muncul wacana pembentukan Dewan Keamanan Nasional (DKN) yang ditujukan untuk menjaga Pancasila dari ancaman perluasan pengaruh paham radikalisme. Kala itu, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan masih berkoordinasi dengan sejumlah ormas seperti Muhammadiyah dan NU. 

Sementara itu, pembahasan RUU tentang Keamanan Nasional (RUU Kamnas) sebagai payung hukum pembentukan DKN terakhir mandeg pada tahun 2012. Pada tahun 2015, RUU Kamnas kembali menjadi perbincangan publik dan meski pembahasannya telah berlangsung hampir satu dekade, namun belum terlihat adanya indikasi bahwa RUU tersebut dapat direalisasikan.

Belum terbangunnya akseptabilitas di berbagai kalangan untuk bisa memahami pentingnya UU Kamnas dan konsep yang diajukan oleh pemerintah (Kementerian Pertahanan/Kemhan) terlihat masih belum tajam dan jauh dari sempurna, disebut menjadi penyebab gagalnya proses legislasi RUU Kamnas. 

Resistensi terhadap keberadaan UU Kamnas akan sulit dihilangkan sepanjang masih ada stigma bahwa peraturan itu nantinya untuk memperbesar dan memperluas kewenangan TNI. Apalagi sampai dianggap mereduksi kewenangan Polri dalam penanganan berbagai tugasnya terkait penyelenggaraan keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). 

Terlebih, munculnya dorongan pembahasan RUU itu ditengarai sarat dengan kepentingan sejumlah pemilik modal dan kepentingan, seperti adanya bisnis sekuriti. Dugaan kuat, wacana pembahasan RUU ini muncul karena menguatnya apa yang disebut dengan kelompok radikalis dan ekstremis. Hal ini terbaca dari seringnya pemerintah menyatakan NKRI dan Pancasila sedang terancam. 

Pada sisi yang lain, isu kamnas ini juga dinilai akan menutupi sejumlah isu ekonomi dan kegagalan pemerintah dalam menyelenggarakan pemerintahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Isu pertumbuhan ekonomi yang stagnan, kemiskinan, pengangguran, stunting, pendidikan, utang, pelemahan rupiah terhadap dolar, melesetnya target pendapatan nasional, dan sebagainya.

Pada saat yang sama, pemerintah juga sedang melakukan proses indoktrinasi kepada publik atas apa yang mereka sebut sebagai bahaya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Ini murni kepentingan kekuasaan, yakni agar penguasa mengokohkan kekuasaan dan sekaligus menutup celah kritik publik atas gagalnya menyelenggarakan tujuan pemerintahan.

Oleh karena itu, kajian tentang kamnas ini penting untuk didalami mengingat: 

1. Masalah keamanan nasional perlu disikapi secara pruden, tidak gegabah, dan harus melalui serangkaian kajian yang mendalam. Rencana Pemberlakuan UU Kamnas dan pembentukan DKN misalnya, harus didesain atas kebutuhan negara, untuk jangka panjang, dan tak boleh atas pertimbangan politik dan kepentingan sesaat.

2. Munculnya narasi radikalisme, ekstremisme, ancaman terhadap Pancasila dan NKRI justru mengkonfirmasi rencana pembentukan DKN ini lebih bersifat politis, ketimbang mempertimbangkan kepentingan bangsa dan negara. Faktanya, radikalisme dan ekstremisme selama ini sering hadir sebagai isu politik, bukan isu hukum apalagi isu pertahanan dan keamanan nasional.

3. Radikalisme sering dijadikan sebagai sarana membungkam kritisme publik, menutupi kegagalan pemerintah sekaligus menutup borok para penyelenggara negara dan politisi yang korupsi, yang sejatinya justru menjadi ancaman keamanan nasional dalam perspektif luas. 

Gelagat rencana pembentukan DKN ini justru menjadi penjaga mandulnya fungsi kontrol di parlemen untuk mengkritisi kebijakan politik dibidang kamnas, terutama potensi pembahasan RUU Kamnas yang akan berlangsung mulus.

Dengan demikian, beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mewujudkan keamanan negeri tanpa isu radikalisme adalah:

1. Melakukan serangkaian kajian tentang realitas penerapan kamnas melalu kementerian dan lembaga terkait, termasuk kemungkinan mengadopsi nilai-nilai baru di bidang kamnas. Redefinisi dan reorientasi kamnas wajib dilakukan agar eksekusi kebijakan kamnas tidak keliru di lapangan. 

Alih-alih pembentukan DKN akan berdampak pada penjagaan situasi keamanan nasional, bisa saja kemunculannya justru menimbulkan kegaduhan nasional karena orientasinya lebih kepada menjalankan kebijakan politik penguasa, bukan kebijakan negara.

2. Menimbang aspirasi publik. Juga tak bisa disimplikasi dengan hanya melibatkan lembaga dan ormas yang resmi dan pro rezim, karena banyak kepentingan stakeholder yang terimbas dari dibentuknya DKN ini. Meminjam legalitas dukungan formil tanpa memperhatikan aspirasi materiil di tengah masyarakat, akan menyebabkan kebijakan hanya berakhir di atas kertas dan hanya akan berorientasi pada proyek, bukan substansi kepentingan negara.

3. Dilihat urgensinya, pembentukan DKN tidak perlu dan tidak urgen. Selain fungsi kamnas bisa dijalankan oleh lembaga yang sudah ada, redefinisi dan reorientasi nilai kamnas juga bisa diadopsi dan dieksekusi oleh lembaga yang sudah ada. Pembentukan DKN hanya akan menambah beban anggaran, memperpanjang alur birokrasi untuk membuat kebijakan bidang kamnas, sekaligus berpotensi disalahgunakan sebagai alat bungkam nalar kritis masyarakat berdalih ancaman radikalisme dan ekstremisme. 

Demikianlah strategi mewujudkan ketertiban dan keamanan negeri tanpa isu radikalisme, serta menghindarkannya dari sekadar kepentingan/kehendak penguasa. Bagaimana pun kemaslahatan rakyat mesti didahulukan.

Penguasa tidak boleh berlindung di balik jargon “negara tidak boleh kalah,” sementara sejatinya ia tengah melanggengkan tahta kekuasaannya. Ingatlah, bahwa penguasa adalah pemimpin rakyat dan setiap pemimpin kelak dimintai pertanggungjawaban di hadapan Sang Penguasa Alam Semesta yang Maha Teliti dalam menghisab perilaku hamba-Nya.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H. M.Hum. (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar