Proyek IKN Nusantara: Inikah Megaproyek Ilutif dan Oligarkis?


TintaSiyasi.com -- “Rakyat enggak butuh ibu kota negara (IKN) baru. Rakyat butuh pekerjaan karena banyak yang di-PHK. Rakyat hanya ingin makan.” Demikian salah satu pernyataan menolak pengesahan Rancangan Undang-undang (RUU) IKN menjadi Undang-Undang (UU) pada Rapat Paripurna DPR, Selasa (18/1/2022). Mayoritas fraksi menyetujui payung hukum pembangunan IKN baru di Kalimantan Timur itu.

Terkesan terburu-buru seperti saat pengesahan UU Cipta Kerja Omnibus Law, pengesahan UU IKN pun terbilang superkilat. Pansus RUU IKN baru ditetapkan pada 7 Desember 2021. Dengan begitu, dari Pansus terbentuk hingga pengesahan, pembahasan RUU IKN hanya memakan waktu satu bulan (cnnindonesia.com, 19/1/2022).

Sejumlah pihak dari ekonom, pengamat kebijakan publik, hingga anggota DPR RI mengkritik pembahasan rancangan aturan ini. Dari diabaikannya partisipasi publik, tidak ada urgensi pemindahan IKN, sampai potensi dampak buruk akibat pembangunan IKN baru. 

Juru Bicara PKS, Pipin Sopian menganggap pembahasan RUU IKN dilakukan ugal-ugalan karena mengabaikan partisipasi masyarakat. PKS menjadi satu-satunya fraksi yang menolak RUU menjadi UU. Sedangkan Fraksi Demokrat mendukung dengan sejumlah catatan kritis.

Senada dengan PKS, Koalisi Masyarakat Kaltim menolak UU IKN tersebab minim partisipasi publik. Padahal di dalam UU No. 12 Tahun 2011 dikatakan setiap undang-undang wajib ada partisipasi dari publik. 

Mereka menilai ada cacat prosedural dalam penyusunan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) pada pembuatan RUU IKN. Di mana dilakukan secara tertutup, terbatas, dan tidak melibatkan masyarakat yang terdampak langsung dari pemindahan IKN (TEMPO.CO, 19/1/2022).

Pengesahan UU IKN yang terkesan ugal-ugalan: sangat kilat dan tertutup, serta sejumlah kritik terhadap rencana pemindahan IKN ini  menyisakan sebuah pertanyaan, sejatinya IKN baru ini untuk siapa? Beberapa pihak menduga, “proyek” ini menjadi indikasi kuatnya cengkeraman oligarki, baik di parlemen maupun pemerintahan Jokowi. 

Pemindahan IKN: Konyol dan Minim Urgensi

Pada tahun 2019, Presiden Jokowi menyampaikan sejumlah alasan pemindahan IKN dari DKI Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Kala itu, beberapa alasan yang disampaikannya antara lain, jumlah penduduk yang kian padat, pencemaran lingkungan, kemacetan, hingga banjir. 

Setidaknya ada lima alasan yang membuat pemerintah memilih Penajam sebagai lokasi baru: risiko bencana yang minimal, berada di tengah Indonesia, lokasi berdekatan dengan wilayah berkembang. memiliki infrastruktur relatif lengkap, dan lahan milik pemerintah.

Namun, banyak pihak mempertanyakan urgensi pemindahan IKN. Mereka tak melihat ada kepentingan rakyat yang tengah diperjuangkan melalui rencana ini. Jika beralasan Jakarta banjir, ini adalah masalah klasik. 

Dahulu saat kampanye Pilpres 2014, Jokowi pernah menyatakan salah satu alasan mencalonkan diri adalah agar bisa menangani persoalan Jakarta tersebut. Tapi ternyata hingga hampir dua kali periode belum ada upaya khusus menanganinya. 

Perbaikan-perbaikan di DKI lebih banyak diupayakan oleh Pemda DKI, bukan pemerintah pusat. Meskipun tetap berperan tapi belum signifikan. Alasan banjir juga tidak layak karena di lokasi baru tak lepas dari banjir.

Pun jika urgensi pemindahan adalah kemacetan, semestinya itu adalah tugas pemerintah untuk menguraikan. Kalau itu yang jadi masalah, solusinya bukan pindah, namun kemacetan dan hambatan mobilitas diselesaikan. 

Kalau alasan pemindahan adalah untuk pemerataan Indonesia bagian tengah dan timur, solusinya tak harus pindah, namun bisa diperkuat dari aspek pelayanan. 

Berikut beberapa hal yang menunjukkan bahwa pemindahan IKN tidak memiliki urgensi: 

Pertama, pemerintah tengah berjibaku mengatasi pandemi Covid-19 yang belum usai. Bahkan pemerintah sudah ancang-ancang menghadapi puncak pandemi Covid-19 varian Omicron pada pertengahan Februari. Terlebih konon pembayaran tagihan rumah sakit dalam penanganan pandemi oleh pemerintah belum beres.

Kedua, negara sedang krisis keuangan. Terjadi beban utang negara akibat pandemi Covid-19, di mana pemerintah harus menambal APBN lewat pinjaman lantaran penerimaan negara babak belur. Pembangunan IKN tentu menjadi beban baru, bukan solusi. Sebaiknya menunda atau tidak membangun proyek-proyek megah, seperti istana presiden, proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, Bandara Kertajati yang mangkrak. Pemaksaan kebijakan ini mengesankan main tembak dan tidak mempunyai sense teknokratis yang benar. 

Ketiga, jika tujuan membangun IKN baru untuk menghidupkan sektor konstruksi dan memulihkan ekonomi, hal ini sulit diraih. Pasalnya, letak geografis Kaltim jauh dari daerah-daerah lain, sehingga efeknya kemungkinan hanya terasa di Kaltim. Padahal di sana kegiatan ekonominya kecil sekali dibandingkan daerah lain seperti Jawa. 

Keempat, megaproyek IKN baru justru akan berdampak buruk bagi ruang hidup sekitar. Banyak permasalahan yang terkuak pasca-ide pemindahan IKN. Mulai perampasan ruang hidup masyarakat adat, banjir, krisis air bersih, ancaman terusirnya nelayan tradisional dan satwa dilindungi di kawasan Teluk Balikpapan, hingga pemutihan dosa sejumlah taipan industri ekstraktif dari kewajiban pemulihan lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) awal masuknya investasi. 

Oleh karena itu, kami kira benar jika ada yang menyatakan bahwa pemindahan IKN ini adalah langkah konyol dan jauh dari sense of crisis atas penderitaan masyarakat saat ini. Berdasar data GDP perkapita, Indonesia bisa dikatakan sebagai negara miskin. Pada tahun 2020 , GDP Malaysia 10.400 USD, Thailand sekitar 7.000 USD, sedang Indonesia di angka 3.800 US dollar perkapita pertahun.

Sudah miskin, utang kita banyak. Sudah banyak utang, banyak gaya pula. Bikin ibu kota baru, buat apa? Bayangkan, ada orang miskin di suatu gang, banyak utang, tapi dia malah membangun rumah baru di lain tempat berlantai tiga. Mau bunuh diri dan keluarganya? Maka, apa yang bisa diharapkan dari IKN baru terkait kesejahteraan rakyat? Salahkah jika ada yang berpendapat bahwa proyek IKN tak lebih sebagai upaya pencitraan, proyek ilusi, dan berbau oligarkis? 

Hegemoni Oligarki dalam Pembangunan IKN Baru

Pemindahan IKN membutuhkan biaya sangat besar, yakni Rp466,98 triliun. Dana ini diambil dari APBN sebesar Rp91,29 triliun, Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU) Rp252,46 triliun, dan Badan Usaha ditargetkan Rp123,23 triliun. Sungguh disayangkan, duit rakyat sebanyak ini dihamburkan tidak untuk memenuhi kemaslahatan rakyat itu sendiri. 

Presiden dan DPR terkesan kuat tidak peduli dengan kesulitan ekonomi negara di tengah pandemi Covid-19. Termasuk abai dengan suara penolakan warga yang berpotensi tergusur akibat pembangunan IKN. Bahkan, potensi ancaman terhadap perluasan kerusakan sosial-ekologis di Kaltim tidak menjadi pertimbangan dalam proses pengambilan keputusan pemindahan IKN. 

Pemindahan IKN berikut pengesahan RUU IKN oleh DPR, mempertegas watak pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dan politisi Senayan yang cenderung bekerja melayani kepentingan oligarki, ketimbang keselamatan rakyat dan lingkungan. Pengesahan UU IKN dalam sidang paripurna yang berlangsung relatif lancar ditengarai merupakan indikasi betapa dalamnya tancapan kekuasaan para cukong alias oligarki bisnis. Hanya PKS yang menolak.

Selebihnya, tak ada partai mengkritik rencana hingga anggaran yang akan digunakan untuk pembangunan IKN. Sementara sejumlah pos anggaran lain dipotong untuk penanganan Covid-19. Partai-partai di DPR mungkin takut mengeluarkan pernyataan keras lantaran proyek IKN merupakan ambisi Jokowi. Padahal mereka dibayar uang rakyat untuk bersuara nyaring.

Anggaran jumbo untuk IKN baru juga bertolak belakang dengan citra merakyat Jokowi yang selama ini dipamerkan atau citra partai penguasa dan pengusungnya, yang mengaku partai wong cilik. Paradoks kebijakan tengah dipertontonkan. Ironis!  

Menurut Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), pemindahan IKN memang menguntungkan para pemegang konsesi tambang, sawit, hutan, dan kayu yang telah lama menguasai lahan-lahan di IKN, di mana mayoritasnya terhubung ke lingkaran istana dan Senayan. Beberapa di antaranya Hashim Djojohadikusumo, Sukanto Tanoto dan Luhut Binsar Pandjaitan (inilah.com, 19/1/2022).

Adapun Koalisi Masyarakat Kaltim menyampaikan, lahan IKN yang akan dibangun merupakan lahan-lahan perusahaan sawit, Hutan Tanaman Industri (HTI), serta tambang yang merupakan milik dari para oligarki-oligarki yang dengan sengaja merusak hutan dan lahan. 

Di samping itu, pemindahan IKN juga merupakan agenda terselubung pemerintah guna menghapuskan dosa-dosa yang telah dilakukan oleh beberapa korporasi yang wilayah konsesinya masuk dalam wilayah IKN.

JATAM Kaltim menyebut terdapat 94 lubang tambang yang berada di kawasan IKN. Di mana tanggung jawab untuk melakukan reklamasi dan pasca tambang seharusnya dilakukan oleh korporasi, diambil alih dan menjadi tanggung jawab negara (TEMPO.CO, 19/1/2022). 

Lebih lanjut, UU IKN yang baru disahkan itu disinyalir oleh beberapa pihak sangat berbahaya. Mengapa berbahaya? Jurnalis Senior, Asyari Usman menduga, memindahkan ibu kota jauh ke Kalimantan, sama dengan memindahkan kekuasaan penuh negara ini ke tangan para cukong itu. Semasih di Jakarta pun mereka, oligarki bisnis tersebut, sudah sangat berkuasa. Pindah ke Penajam Paser, maka penguasaan mereka atas Indonesia menjadi sempurna.

Disinyalir pusat kekuasaan legislatif, eksekutif, yudikatif, dan kekuasaan lainnya akan bulat seratus persen berada dalam kendali cukong. DPR akan lebih mudah digiring. Begitu juga lembaga-lembaga lain. Baik yang sangat terhormat, terhormat, mau pun yang tidak terlalu terhormat, semuanya berada di dalam “tembok kekuasaan oligarki”.

Nampaknya, inilah tujuan pemindahan ibu kota. Semua pemegang kekuasaan akan berada dalam jangkauan CCTV cukong. Di lokasi baru ini, cukong-cukong lebih mudah mengabsen para ketum partai, para menteri, dan para pejabat tinggi lainnya. Semua mereka berada di satu komplek dan satu atap.

Mereka akan sangat jauh dari kebisingan para demonstran. Bisa jadi tidak akan pernah ada lagi aksi-aksi unjuk rasa. Sebab, IKN baru itu nanti pastilah akan dijadikan kawasan ekslusif. Tidak bisa dimasuki para pendemo yang mengganggu penguasa.
 
Dengan demikian, selain tidak urgen, pemindahan IKN diduga hanya menguntungkan korporasi dan akan menguatkan hegemoni oligarki menguasai negeri ini. Tak dipungkiri, kini penerapan demokrasi tengah bergeser ke oligarki, di mana pihak yang berkuasa hanyalah segelintir orang. Tak ada kekuasaan rakyat, yang ada adalah kedaulatan korporat. 

Para korporat melakukan pendekatan kekuasaan, sehingga negara lebih banyak diatur oleh kekuatan bisnis  yang mengalami krisis etika bisnis. Lantas terjadi perselingkuhan, yaitu terjadinya simbiosis kekuatan bisnis dengan kekuatan politik transaksional, hingga menjelma menjadi oligarki bisnis dengan politik.

Realitasnya, kini negeri ini dalam dekapan segitiga oligark, yaitu kaum legislatif yang berselingkuh dengan kaum peng-peng (penguasa-pengusaha). Legislatif dan penguasa bisa bermuasa atas modal pengusaha, sebagian pengusaha menjadi penguasa itu sendiri. Dan agar bisnisnya kian eksis, pengusaha butuh legalitas dari kebijakan legislatif/penguasa. Bak lingkaran setan, kemelut oligarki ini terus terjadi.   

Strategi Pembangunan IKN yang Telah Ada demi Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat

Pemindahan IKN merupakan perkara mubah, boleh-boleh saja dilakukan. Namun tentunya dengan pertimbangan matang dan tetap berporos pada kemaslahatan rakyat. Kesejahteraan rakyat menjadi prioritas. Bukan demi segolongan manusia yang dekat dengan penguasa atau yang menjadi kroninya.

Sebagaimana misi pemerintahan di mana pun adalah untuk mewujudkan kesejahteraan manusia. Dalam konstitusi negeri ini disebutkan, “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum ...” Sejalan dengan ini, Thomas Hobbes berpendapat bahwa tujuan utama terbentuknya suatu pemerintahan adalah memberi rasa aman dan menjamin keamanan bagi warganya.  

Namun, jika situasi negara sedang tidak memungkinkan seperti saat ini, alangkah bijaknya jika pemerintah tidak memaksakan pemindahan IKN. Karena jika dilakukan, justru akan menimbulkan dampak negatif, dan jauh dari pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat. Sehingga yang dilakukan adalah optimalisasi pembangunan IKN yang telah ada untuk mewujudkan kesejahteraan tersebut.

Islam, sebuah ajaran hidup yang dipeluk oleh mayoritas penduduk negeri ini telah menyediakan berbagai strategi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat. 

Kesejahteraan merupakan konsekuensi logis dari adanya keadilan ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara Islam yaitu ketika terpenuhi semua kebutuhan pokok (primer) setiap individu masyarakat, disertai jaminan yang memungkinkan setiap individu untuk memenuhi kebutuhan pelengkap (sekunder dan tersier) sesuai dengan kemampuan mereka. 

Sebagai ajaran yang muncul dari Sang Pencipta Alam Semesta, tentu sayang jika tidak dijalankan oleh pemeluknya. Berikut ini strategi Islam mewujudkan kesejahteraan: 

Pertama, penguasa memahami bahwa yang terpenting bagi rakyat adalah pelaksanaan pemerintahan, bukan pemindahan ibu kotanya. Rakyat butuh pemerintahan yang mengurus kepentingan mereka dengan baik, memenuhi kebutuhannya,  dan menjamin kesejahteraan mereka. 

Yang menjadi perhatian bukan kemegahan istana, tapi terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat baik secara individual: sandang, papan, pangan, dan secara komunal: pendidikan, kesehatan, dan keamanan.

Kedua, penguasa menyadari sebagai khadimatul umat (pelayan umat). Kesadaran ini akan menumbuhkan keseriusan mengelola kepentingan rakyat. Bukan hanya membanggakan banyaknya proyek. Pun ia memahami bahwa kelak kepemimpinannya atas rakyat akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT. 

Ketiga, mengoptimalkan semua potensi sumber-sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran negara. Islam memandang sumber ekonomi sangat luas, seperti sektor perdagangan, pertanian, kepemilikan umum, dan seterusnya. Berbeda dengan kapitalisme yang hanya berpatokan secara rigid pada pajak.         

Keempat, mewujudkan kedaulatan ekonomi.  Dalam konteks Islam, ledaulatan ekonomi adalah mewujudkan perekonomian yang mandiri dan jauh dari intervensi dan ketergantungan terhadap asing. Penguasa Muslim akan memaksimalkan potensi yang dimiliki demi mewujudkannya. 

Sementara dalam kapitalisme, yang berdaulat adalah pemilik modal. Inilah yang menghancurkan keadilan distribusi ekonomi, terjadi ketimpangan sehingga kesejahteraan tak merata. 

Kelima, membangun ekonomi sehat yang disandarkan pada sektor riil. Indikasinya, junlah uang dan produksi barang/jasa mengalir secara sehat. Berbeda dengan kapitalisme yang cenderung berbasis pada nonriil, sehingga rentan terjadi fluktuasi dan krisis ekonomi. 

Keenam, negara membuka lapangan kerja sebagai solusi mengatasi pengangguran. Jika kesejahteraan masyarakat tinggi, artinya angka kemiskinan berkurang, angka pengangguran kecil, dan setiap kebutuhan rakyat terpenuhi.  

Ketujuh, memahami pertumbuhan ekonomi tak sekadar terkait peningkatan barang dan jasa, namun juga terkait aspek kualitas hidup masyarakat. Pun perlu adanya keseimbangan antara tujuan duniawi dan ukhrawi. 

Maka ukuran keberhasilan pertumbuhan ekonomi tidak semata-mata dari sisi pencapaian materi atau hasil kuantitas, tapi juga ditinjau dari sisi perbaikan kehidupan agama, sosial, kemasyarakatan. Jika pertumbuhan ekonomi justru memicu ketimpangan, kekacauan, dan jauh dari nilai Islam, dipastikan pertumbuhan tersebut tak sesuai dengan ekonomi Islam. 

Kedelapan, menjamin kesejahteraan bagi yang tidak mampu, dengan memberlakukan sistem penanggungan. Jika ada yang tidak mampu, maka keluarga yang mampulah yang akan menanggung. Dan jika keluarga sama-sama tidak mampu, maka negara yang akan menanggung, memberikan bantuan hingga orang tersebut berkemampuan memenuhi kebutuhan hidup diri dan keluarganya.

Demikian beberapa strategi Islam agar penguasa mampu  mewujudkan kesejahteraan rakyat. Namun strategi di atas hanya akan terlaksana optimal manakala berada dalam penerapan sistem Islam. Berdasarkan catatan sejarah, hanya institusi khilafah islamiyah yang mampu menerapkan sistem ekonomi Islam secara kaffah. Pun yang berhasil membawa umat Islam pada kesejahteraan hakiki.



Oleh: Pierre Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)

Posting Komentar

0 Komentar