Diduga Rasis! Pecat Arteria atau Sunda Tanpa PDI-P


TintaSiyasi.com -- Tagar #SundaTanpaPDIP bergema di Twittter. Tagar tersebut muncul imbas dari ucapan Arteria Dahlan yang meminta Kajati berbahasa Sunda dicopot. Lantas akan berdampak signifikan kah ucapan Arteria itu ke suara PDIP di Jabar? 

Tanda pagar (Tagar) #SundaTanpaPDIP masih bercokol di trending topic Indonesia hingga Jumat (21/1/2022) pagi ini. Sebagaimana dilihat pukul 07.12 WIB, 13.800 tweet berkaitan dengan tagar tersebut. 

Beberapa Tweet menunjukkan kecaman atas pernyataan Arteria yang meminta Kajati berbahasa Sunda dicopot. Mereka kecewa atas ucapan Arteria tersebut. Ucapan arteria ini masuk delik UU AntiDiskriminasi Ras dan Etnis. 

Untuk kasus AD ini kayaknya tepat kita pakai peribahasa: "sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu akan terjatuh juga". Politikus PDIP Arteria Dahlan ini saya sebut  "kesleo lidah" soal permintaannya kepada Kejagung agar Kajati yang pakai bahasa Sunda dicopot dan ternyata berbuntut panjang meskipun sudah tersiar permintaan maaf kepada masyarakat Sunda, Jawa Barat. 

Ada dugaan deliknya yang diatur dlm Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Menurut Pasal 4 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis di atur mengenai tindakan yang dimaksud diskriminatif yakni : 

Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa : 

A. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya; atau 

B. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan: 

Pertama, membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca oleh orang lain; 

Kedua, berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain; 

Ketiga, mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain; atau 

Keempat, melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.

Pernyataan kontroversial Arteria Dahlan, bukan saja teerjadi pada kasus ini di mana ia meminta kajati yang memakai bahasa sunda di ganti. Sebelumnya Arteria Dahlan Pernah Protes Tak Dipanggil KPK 'Yang Terhormat’, beliau juga pernah membentak hingga menyebut Prof Emil Salim sesat.  

Jika ditinjau dari kode etik anggota dewan, patut diduga ada pelanggaran. Kode Etik DPR, selanjutnya disebut Kode Etik adalah norma yang wajib dipatuhi oleh setiap Anggota selama menjalankan tugasnya untuk menjaga martabat, kehormatan, citra, dan kredibilitas DPR. 

Kalau diperhatikan ucapan AD yang kasar, dan "gila kehormatan" dan terakhir ini terkait dengan "koreksi kasar sekaligus permintaan pencopotan atas dasar penggunaan bahasa daerah oleh Kajati" maka bisa dikatakan AD telah melanggar  kode etik, khususnya pada: 

Bagian Kedelapan
Hubungan dengan Konstituen atau Masyarakat 

Pasal 9 

(1) Anggota harus memahami dan menjaga kemajemukan yang terdapat dalam masyarakat, baik berdasarkan suku, agama, ras, jenis kelamin, golongan, kondisi fisik, umur, status sosial, status ekonomi, maupun pilihan politik. 

(2) Anggota dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya, tidak diperkenankan berprasangka buruk atau bias terhadap seseorang atau suatu kelompok atas dasar alasan yang tidak relevan, baik 
dengan perkataan maupun tindakannya. 

(3) Anggota harus mendengar dengan penuh perhatian atas keterangan para pihak dan masyarakat yang diundang dalam rapat atau acara DPR. 

(4) Anggota harus menerima dan menjawab dengan sikap penuh pengertian terhadap pengaduan dan keluhan yang disampaikan oleh masyarakat. 

Selain diterpa isu rasis, publik juga dihebohkan dengan soal Plat Palsu Mobil Arteria Dahlan, kini diganti ke Nomor Asli. Sementara itu tindakan memalsukan plat kendaraan juga bisa dipidana aturan mengenai Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) telah diatur dalam undang-undang, yakni pada Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Registrasi Dan Identifikasi Kendaraan Bermotor (Perkapolri 5/2012). 

Dalam pasal 39 ayat (5) Perkapolri 5/2012 disebutkan bahwa TNKB yang tidak dikeluarkan oleh Korlantas Polri, maka dinyatakan tidak sah dan tidak berlaku secara resmi (palsu). 

Pemalsuan pelat nomor kendaraan ini juga bersinggungan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. 

Jika ada indikasi pemalsuan (STNK dan/atau pelat nomor kendaraan), akan dilakukan penilangan serta diproses pidana pemalsuan sesuai ketentuan yang berlaku. Sanksi pidana itu sebagaimana diatur dalam UU Pasal 280, melanggar tidak dipasangi tanda nomor kendaraan bermotor yang ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan atau denda paling banyak Rp 500.000.

Terkait merembetnya kasus hingga ke PDIP, dan viralnya video pencabutan bendera PDIP, dapat diprediksikan berpengaruh ke elektabilitas partai merah ini. Saya yakin akan sangat memengaruhi elektabilitas PDIP bahkan tidak cuma itu. 

Jika Arteria Dahlan tidak diberikan sanksi, akan merembet pada tuntutan agar PDPI dibubarkan mengingat delik yang dilakukan oleh AD ini terjadi dalam rapat yang jelas dia mewakili organisasi politik bernama PDIP. Jadi, ini bisa dimintakan pertanggung jawaban bukan saja pribadi tetapi sudah kelembagaan, organisasi yang dapat disepadankan dengan korporasi sebagaimana diatur dalam: 

Pada Pasal 19 

(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan Pasal 17 dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut balk sendiri maupun bersama-sama. 

(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu korporasi, maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya. 

Berikut ini, adalah hukuman yang bisa menjerat pelaku rasisme seperti yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis diatur dalam Pasal 15 smp dengan Pasal 21. 

(1) Untuk pelaku perorangan diancam pidana denda hingga 500 juta dan penjara hingga 5 tahun plus pemberatan 1/3 pidananya. 

(2) Untuk pelaku korporasi (organisasi) sanksi bisa berupa: penjara bagi pengurus, plus denda 3 kali lipat dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan hukum. 

Jika secara formal yuridis AD tidak tersentuh oleh hukum (untouchable), maka secara sosiologis empiris PDIP akan menanggung dosa AD. Tersiar kabar baik di dunia maya maupun nyata sudah nampak resistensi masya sunda terhadap PDIP bahkan seruan Sunda Tanpa PDIP hingga Indonesia Tanpa PDIP telah dilambungkan di mana-mana. Natizen juga ada yang membandingkan dengan Sumatera Barat. 

"Bergema #SundaTanpaPDIP di jagat Twitter oleh Netizen. Akankah Jawa Barat menyususl Sumatera Barat yang "menenggelamkan" PDIP???" kicau akun @Lelaki_5unyi. 

"Kalau bersatu pasti bisa seperti sumbar. #SundaTanpaPDIP," timpal @lobaKaheureui. 

"Saya Fikir & Pertimbangkan bukan hanya #SundaTanpaPDIP, tapi Indonesia tanpa @PDI_Perjuangan In Sha Allah itu akan lebih baik," ujar akun @Mr_Kadroen. 

Mengingat sanksi dan akibat sikap yang tidak toleran, maka toleransi merupakan hal yang paling indah dan hidup saling berdampingan dapat menciptakan kedamaian antar satu sama lain. 

Toleransi secara nyata dapat kita lihat didalam semboyan negara Indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika yang artinya berbeda-beda tetapi satu jua yang berasal dari buku atau kitab sutasoma karangan Mpu Tantular / Empu Tantular. 

Jadi jika kita ingin Indonesia dgn pluralitas ini damai sentausa, kita harus pertahankan semboyan kita, sehingga tercipta persatuan tanpa ada intoleransi atas perbedaan ras dan etnis. Tabik!
Sabtu,  22 Januari 2022

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Link video ada di sini: 

Posting Komentar

0 Komentar