Presidential Threshold 20 Persen: Inikah Permainan Oligarki demi Kuasai Negeri?


TintaSiyasi.com -- Presidential threshold (PT) ramai-ramai digugat. Meski Pilpres masih dua tahunan lagi, namun hiruk-pikuk seputar pencalonan presiden telah terasa. Sejumlah nama menggugat aturan yang tertuang dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 itu ke Mahkamah Konstitusi (MK) agar menjadi 0 persen. 

Harapannya agar setiap parpol bisa mengusung capres tanpa terpasung persentase suara di parlemen sehingga rakyat mendapat banyak pilihan. Berdasarkan Pasal 222 UU Pemilu tersebut, tiket capres hanya bisa diberikan kepada parpol/gabungan parpol yang memiliki 20 persen kursi di DPR, atau parpol/gabungan parpol yang memperoleh 25 persen suara nasional (detik.com, 15/12/2021).

Sebelumnya, MK sudah 13 kali mengadili materi serupa dan semuanya kandas alias ditolak MK. MK beralasan bahwa dalam fungsinya sebagai pengawal konstitusi tidak mungkin untuk membatalkan UU atau sebagian isinya jika norma tersebut merupakan delegasi kewenangan terbuka yang dapat ditentukan sebagai legal policy oleh pembentuk UU. 

Meskipun seandainya isi suatu UU dinilai buruk, seperti halnya ketentuan PT dan pemisahan jadwal Pemilu dalam perkara quo, MK tetap tidak dapat membatalkannya. Sebab, bagi MK, yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk legal policy tersebut jelas-jelas melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable (detik.com, 17/12/2021). 

Wajar jika banyak kalangan berharap kali ini MK mau mengubah diri. Tidak menjadi ‘hamba’ para cukong, tidak menyembah kekuasaan, dan tetap menjadi pengawal konstitusi yang berpihak pada kebenaran dan keadilan. Selain itu, ada kekhawatiran bahwa PT 20 persen akan membuka lahirnya calon presiden boneka yang melakukan kompromi-kompromi politik dengan parpol dan pihak pengusungnya. Sehingga disinyalir negeri ini ke depannya masih tak lepas dari dekapan oligark alias kaum peng-peng (penguasa-pengusaha).  

Polarisasi Sikap Masyarakat terhadap Tuntutan Presidential Threshold 0 persen

Presidential threshold adalah ambang batas perolehan suara yang harus diperoleh partai politik dalam suatu Pemilu untuk dapat mengajukan calon presiden. Misalnya dalam Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2019, pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki sekurang-kurangnya 25 persen kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau 20 persen suara sah nasional dalam Pemilu Legislatif. 

Saat ini, ketentuan presidential threshold diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di mana ambang batas yang digunakan adalah perolehan jumlah kursi DPR dan suara sah nasional pada pemilu anggota DPR sebelumnya (pemilu diadakan serentak). 

Tuntutan beberapa elemen masyarakat agar PT diturunkan dari 20 persen menjadi 0 persen, tak ayal menimbulkan polarisasi sikap masyarakat, pun menjadi perdebatan alot di kalangan politisi. Ada yang menolak, demikian pula tak sedikit yang mendukung tuntutan tersebut. Setelah gugatan PT 0 persen 13 kali ditolak MK, kini aturan tersebut digugat lagi jelang Pemilu 2024.

Adalah Waketum Partai Gerindra, Ferry Joko Yuliantono, yang menggugat UU Pemilu tersebut ke MK. Sebab aturan itu dinilainya menguntungkan dan menyuburkan oligarki. Ini merupakan gugatan ke-14 dengan isu yang sama. Selain Ferry, ada juga mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo dan dua anggota DPD Fachrul Razi asal Aceh dan Bustami Zainudun asal Lampung.

Sebagai kuasa hukum keempat nama di atas, Refly Harun memasukkan unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam uji materi PT UU Pemilu. Refly mengatakan, PT membatasi hak warga negara untuk dipilih dan memilih, sehingga ia mencantumkan Pasal 28 J UUD 1945 sebagai batu uji terhadap Pasal 222 UU Pemilu. Menurutnya, PT tidak reasonable, tidak dimaksudkan demi menjaga ketertiban masyarakat dan sebagainya yang tercantum dalam Pasal 28J. Pun menimbulkan ketidakadilan, khususnya bagi parpol baru (cnnindonesia.com, 15/12/2021).

Dukungan terhadap tuntutan di atas datang antara lain dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Ketua Departemen Politik DPP PKS, Ahmad Fauzi mengatakan, partainya tegas dan konsisten agar angka PT diturunkan, karena konstelasi pilpres sangat ditentukan oleh figur dan angka PT serta dukungan partai. PKS menilai, angka rasional bagi PT adalah 10 persen yang akan membuka lebih banyak proses kepemimpinan nasional dan lebih potensial membentuk minimal tiga koalisi besar.

Berbeda dari sikapnya beberapa tahun lalu, kini Partai Demokrat (PD) tampak mendukung PT 0 persen. Direktur Rumah Politik Indonesia, Fernando Emas, menyoroti sikap PD. Menurutnya, sikap PD ini aneh dan tidak bertanggung jawab karena saat SBY akan kembali maju sebagai capres tahun 2008 menaikkan PT menjadi 20 persen.  

Adapun penolakan terhadap revisi UU Pemilu guna menurunkan PT menjadi 0 persen hadir dari Ketua DPR RI, Puan Maharani. Puan menyampaikan bahwa di DPR revisi UU sudah final, tidak akan dibahas lagi. Sehingga kontestasi Pilpres 2024 mendatang akan tetap merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ia berharap semua pihak menghormati kesepakatan antara pemerintah dan DPR tersebut. 

Senada dengan Puan, politikus senior PDIP, Hendrawan Supratikno juga tidak sepakat dengan usulan tersebut. Menurutnya, PT penting untuk diterapkan agar sistem presidensial tetap kuat. Bahkan kata dia, PDI ingin PT dinaikkan menjadi 30 persen. Partai Golkar melalui Waketum Nurul Arifin pun berpandangan, soal PT dalam UU Pemilu perlu dipertahankan dan sudah cukup memenuhi pertimbangan rasio politik.

Sementara itu, Pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, M. Jamiludin Ritonga menilai, untuk mencari titik temu dari wacana tersebut perlu diambil jalan tengah terkait penetapan persentase PT. Demikian polarisasi sikap masyarakat khususnya di kalangan politisi menyikapi tuntutan agar presidential threshold diturunkan dari 20 persen menjadi 0 persen. Jika polemik ini tak kunjung usai, diduga akan mengancam keutuhan dan persatuan anak bangsa.

Oligarki Politik di Balik Presidential Threshold 20 persen

Banyak pihak menilai, PT 20 persen berkaitan dengan upaya mengonsentrasikan kekuasaan pada pihak-pihak tertentu, bagian dari permainan oligarki. Ketua Fraksi Demokrat MPR RI, Benny K. Harman menyebut, terbentuknya aturan PT 20 persen di UU pemilu 2017 karena adanya paksaan dari kekuatan politik oligarkis untuk menutup munculnya kompetitor Jokowi selain Prabowo Subianto sebagai Capres 2019. 

Diduga, inilah yang menjadi salah satu penyebab tuntutan sebagian rakyat agar PT diturunkan dari 20 persen menjadi 0 persen. Ya, masyarakat mulai muak terhadap praktik oligarkis. Kekuasaan tak lagi untuk melayani jelata, tapi demi menguatkan dan meluaskan kedudukan kaum oligark. Merekalah yang selama ini menguasai pemerintahan, pun sumber-sumber ekonomi serta sumber daya alam di negeri ini.

Di sinilah inkonsistensi sistem demokrasi yang mengagung-agungkan HAM. Begitu sudah menyangkut vested interest, strategi oligarki dimasukkan di dalamnya yang sebenarnya akan merusak sistem demokrasi karena berpotensi menjadi sistem otoriter dengan hegemoni partai besar. 

Ada beberapa faktor yang mendorong munculnya oligarki, yaitu: 

Pertama, keberadaan figur utama atau elit partai menjadi penentu dalam banyak hal, karena pada sebagian partai hingga kini tidak pula mendapatkan pengganti. "Orang-orang kuat" ini muncul sebagai representasi ideologis atau historis. Dalam konteks Indonesia saat ini, karena pada umumnya partai tidak bersifat ideologis, maka figuritas di kebanyakan partai disebabkan karena faktor kesejarahan terbentuknya partai atau sebuah "momen historis" yang menyebabkan seorang figur menjadi mencuat ke permukaan dan mendapat dukungan luas. Partai yang sejak awal diinisiasi, dibentuk, dan dijalankan oleh tokoh penentu, yang biasanya sebagai pimpinan partai, berpotensi mengalami situasi oligarkis. 

Kedua, dalam perjalanannya, selain aspek historis ataupun ideologis, kehadiran figur penentu yang melahirkan oligarki juga disebabkan ketergantungan finansial partai pada sumber-sumber keuangan atau jaringan yang dimiliki figur itu. Colin Crouch (2004) menggunakan istilah "firma politik" untuk menggambarkan ketergantungan finansial dan merembet pada struktur pembentukan partai yang partai dikelola. Partai-partai tersebut pada akhirnya cenderung bersifat "ultra-sentralistis" dan berperan terutama sebagai pelayan kepentingan elit. Situasi ini diperkuat oleh kondisi pragmatisme semakin kental karena money talks yang menyebabkan figur-figur kuat secara finansial akan bisa berperan amat besar. 

Ketiga, hal lain turut berkontribusi untuk menciptakan oligarki karena pelembagaan partai yang belum sempurna. Pelembagaan partai adalah sebuah kondisi ketika sistem yang dibangun partai dan segenap aturan main dihargai serta dijalankan secara konsisten selain terbangunnya pola sikap dan budaya dalam partai (Randall dan Svansand 2002). Namun, yang terjadi saat ini pelembagaan masih berjalan stagnan bahkan mengalami regresi. Sistem dan aturan kerap ditafsirkan untuk kemudian disesuaikan demi kepentingan elite dan jaringan oligarkinya. 

Keempat, di sisi lain, tidak dapat dimungkiri bahwa AD/ART partai juga memberikan landasan bagi penguatan peran elite. Studi mengenai kandidasi partai, misalnya, menunjukkan dalam banyak hal, termasuk kandidasi, figur pimpinan partai menjadi demikian berkuasa, dan pada beberapa partai menjadi demikian absolut, karena aturan main internal memberi celah untuk itu. Kondisi ini akhirnya mendorong perluasan rekayasa penciptaan kepatuhan buta yang mengorbankan semangat untuk kritis dan objektif. 

Kelima, faktor eksternal turut memengaruhi aturan main terkait kepartaian dan kepemiluan yang secara umum masih memberikan celah bagi partai-partai untuk membangun oligarki dalam dirinya. Setidaknya hingga kini keharusan kaderisasi, pengelolaan keuangan partai yang mampu menetralisasi peran oligarki belum diatur secara tegas dan komprehensif. Selain itu, syarat ambang batas presiden maupun pencalonan kepala daerah yang memberikan peluang elit partai untuk saling bermanuver membangun koalisi juga turut berkontribusi secara tidak langsung bagi pengokohan kekuasaan elit. 

Faktor eksternal lain yang turut memberikan kenyamanan para oligarki adalah sikap kurang kritis masyarakat atau civil society pada kondisi internal partai-partai. Akibatnya, partai tidak merasa terusik apalagi terpicu memperbaiki diri agar bisa benar-benar menjadi lembaga demokrasi yang mampu bersikap dan berperilaku demokratis. Mengingat kompleksitas penyebab oligarki di atas, tentu saja diperlukan pendekatan komprehensif mulai dari pembenahan internal partai, pengaderan aktor partai yang reformer, dukungan aturan main, hingga dukungan elemen-elemen civil society. 

Jika melihat realitas yang menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit akut. Nyaris semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki---dalam istilah Pierre Bourdie---modal kapital dan sosial yang kuat. 

Selain itu, tuntutan penurunan PT itu karena mereka menginginkan kontestasi yang lebih luas agar tidak mengulang peristiwa Pemilu 2019. Polarisasi yang terjadi saat itu sangat intens karena hanya ada dua pilihan. Dengan komposisi parlemen seperti sekarang, bila ambang batas tetap di angka 20 persen, bukan tidak mungkin hal serupa akan terjadi lagi. 

Perolehan suara nasional partai pada 2019 sebagai berikut: PDIP 19,33 persen; Gerindra 12,57 persen, Partai Golkar 12,31 persen; PKB 9,69 persen; Nasdem 9,01 persen; PKS 8,21 persen; Demokrat 7,77 persen; PAN 6,84 persen; dan PPP 4,52 persen. 

Jika tetap 20 persen, belum tentu hanya dua kubu yang berkontestasi. PDIP, misalnya, bisa berkoalisi dengan PPP yang suaranya paling rendah sekali pun. Golkar bisa berkoalisi dengan Nasdem. Gerindra bisa berkoalisi dengan PKS kemudian ditambah salah satu dari PAN, Demokrat, atau PKB. Kalau hanya mempertimbangkan suara nasional, bisa saja ada empat calon, tapi mempertimbangkan perolehan kursi di DPR, tiga calon sudah maksimal. 

Peluang ini pun kecil, meski kemungkinan munculnya poros ketiga bisa saja ada. Namun tidak semua partai mau mengambil risiko mengeluarkan dana besar untuk sekadar memecah suara tanpa ada kemungkinan menang. 

Sebagai catatan, judicial review (JR) PT 0 persen ini diduga tidak akan berhasil. Bercermin pada JR UU Omnibuslaw Ciptaker, MK berada di pihak penguasa. Dan hal ini akan dipertaruhkan MK karena DPR dan Presiden telah meng-entartaint MK dengan hadiah masa jabatan 15 tahun dan akhir jabatan 70 tahun. Kecuali, tekanan ekonomi mampu menyungkurkan pemerintah. 

Jeffrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.
 
Akibatnya, ketika partai seakan menganut sistem oligarki maka terjadinya pembungkaman suara rakyat. “Bagi elit oligarki, suara rakyat dianggap tidak jelas atau tidak diakui. Tetapi mereka mengakui suara rakyat hanya lima tahun sekali saat pemilu saja.” Dampak lebih luas kata dia saat adanya pembungkaman suara rakyat adalah timbulnya rasa apatis di sebagian besar kalangan masyarakat terhadap politik itu sendiri. 

Pada akhirnya, oligarki kekuasaan sesungguhnya dapat menyebabkan collaps-nya negara hukum dan dengan sendirinya prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Ketika oligarki kekuasaan telah muncul maka mesin demokrasi pun telah mengalami senjakala. Pertanyaan tentang “How Democracies Die” dengan demikian sudah terjawab.

Potensi Dampak Buruk Jika Presidential Threshold Tetap Digunakan dalam Pilpres 2024

Efek samping dari PT 20 persen adalah ketergantungan pada partai dengan suara besar. Partai dengan suara minim justru akan berebut untuk bisa bergabung dengan partai seperti PDIP dan Gerindra. Partai dengan suara kecil tidak punya kesempatan mengusung calon presiden dan wakil presiden atau kemunculan tokoh alternatif lainnya. 

Kemungkinan besar, ini menjadi lingkaran setan di mana partai besar akan terus berkuasa. Berkaca dari sejarah politik kontemporer Indonesia, keadaan ini bisa berhenti bila partai petahana melakukan blunder seperti zaman SBY di mana banyak pelaku korupsi dari PD. PDIP yang sekarang memegang suara tertinggi tentu memilih bertahan dengan PT 20 persen ini. Dan tidak mungkin PDIP tidak mengirim capres-cawapres, meski diketahui banyak kadernya terjerat korupsi. Prinsip pemilih awamnya: pejah gesang nderek Megawati atau PDIP. Meski gepeng tetap banteng. 

Lebih lanjut potensi dampak buruk yang bakal terjadi jika PT 20 persen tetap digunakan dalam Pilpres 2024 ialah:

Pertama, lahirnya presiden boneka. Presiden terpilih terbelenggu kepentingan partai. PT membuat presiden berposisi lemah sejak pencalonan, karena dipaksa bertransaksi jangka pendek dengan partai untuk memenuhi syarat suara atau kursi. Yang mereka lakukan sekadar transaksi pragmatik, bukan transaksi programatik. Bertransaksi sekadar untuk memenuhi syarat pencalonan.

Kedua, minimnya pasangan calon yang berujung pada polarisasi pemilih ke hanya dua kubu. Fenomena cebong dan kampret begitu populer pada Pilpres 2019 karena hanya ada dua pasang capres-cawapres. Terbelahnya pemilih ke hanya dua kubu dinilai berdampak besar bahkan hingga Pilpres telah berakhir. Polarisasi pemilih dalam dua kubu ini memprihatinkan karena konflik yang timbul lebih runcing daripada ada banyak calon dalam Pilpres.

Ketiga, mengerdilkan potensi bangsa. Calon-calon pemimpin yang kompeten tidak bisa muncul karena digembosi aturan main. Padahal negeri ini masih menyimpan potensi calon pemimpin yang baik dan berkompeten. PT juga mengurangi pilihan rakyat untuk menentukan calon terbaik. 

Keempat, melemahkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Sedikitnya calon pemimpin yang dipilih, terlebih dengan kompetensi pas-pasan memicu terjadinya golput. Mungkin juga akan memunculkan sikap apatis rakyat terhadap pelaksanaan Pemilu karena kontestasi tak lebih sebagai sarana meraih kekuasaan, bukan merupakan cara mendapatkan pemimpin yang rela mengabdikan dirinya sebagai pelayan rakyat.  

Kelima, DPR/Legislatif menjadi legitimator kebijakan pemerintah. PT mengakibatkan partai pendukung dominan di DPR. Mekanisme pengawasan menjadi lemah karena yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan. 

Keenam, mengeksiskan sistem oligarki hingga kian mencengkeram negeri ini. Akibatnya, sistem politik uang dan kriminal (menghalalkan segala cara) juga kian kuat. Padahal keberadaannya akan merusak kehidupan bernegara dan merugikan kepentingan rakyat.

Begitulah beberapa dampak buruk yang mungkin terjadi ketika PT tetap dijalankan dalam Pilpres 2024. Siapa pun nantinya presiden yang terpilih, sejatinya yang berkuasa tetaplah segelintir manusia, para oligark. Dengan kuasa harta dan tahtanya, mereka mampu menggerakkan segala piranti bahkan proses hukum demi hasil kontestasi yang berpihak pada kepentingannya, yaitu melanggengkan kekuasaan dan memperluas kekayaannya. 

Transformasi demokrasi menuju oligarki menjadi hal “wajar” dan tak perlu diherankan. Pelan tapi pasti, demokrasi tengah menggali lubang kuburnya sendiri. Kebebasan tanpa batas yang menjadi ruh ajarannya telah memerangkap pelakunya pada perilaku otoriter. Pun tak lagi berkuasa atas nama rakyat, tapi minoritas manusia. Demokrasi rasa oligarki. Oligarki berkelindan dengan korporatokrasi, bahkan sering kali bermuka kleptokrasi.

Solusi Alternatif Menghilangkan Oligarki Politik sehingga Mampu Menghasilkan Pemimpin Negeri Terbaik

Dominasi oligarki tak hanya tak dikehendaki dalam alam demokrasi. Sistem pemerintahan ini pun tidak sesuai dengan sistem Islam yang begitu peduli dan memperhatikan urusan rakyat (kaum Muslimin). Namun bukan berarti, sistem Islam sepakat dengan demokrasi. 

Titik kritis perbedaan keduanya terletak pada siapakah pemilik kedaulatan alias pemegang hak pembuatan aturan (UU). Demokrasi mengakui kedaulatan di tangan rakyat. Adapun Islam sepenuhnya menyerahkan kedaulatan di tangan syara’. Meski fenomena semacam oligarki memungkinkan terjadi dalam sistem Islam, tetapi praktiknya tetap dibatasi oleh hukum syariat dan ketersediaan sanksi tegas jika terjadi pengabaian terhadap hak umat  maupun kezaliman lainnya. 

Dalam rentang sejarah selama 1300 tahun, penerapan khilafah islamiyah telah menorehkan tinta emas. Meski di beberapa periode kepemimpinan terdapat penyimpangan, namun secara umum, umat Islam merasakan jaminan perlindungan, keamanan, dan capaian kesejahteraan yang signifikan. Hal yang sekarang sulit dirasakan oleh sebagian besar rakyat yang katanya tinggal di negara paling demokratis ini.

Bagi umat Islam, tentu yang terbaik ya sistem pemerintahan Islam. Karena yang bersumber dari Allah pasti terbaik. Sayangnya umat Islam sendiri ragu terhadap ajarannya bahkan memusuhinya. Lantas, mungkinkah perubahan sistem hal ini terjadi? Perubahan adalah keniscayaan. Apalagi jika Allah SWT telah menghendakinya. 

Sejarah telah mengajari kita bagaimana Allah SWT mempergilirkan kepemimpinan sebuah peradaban atas dunia. Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang membuka aib kegagalan negara demokrasi kapitalistik dalam menangani pandemi. Bahkan jauh sebelum pandemi, bukti kebobrokan sistem ini telah merata di hampir semua bidang kehidupan. 

Menjadi tugas umat Islam untuk mengenyahkan tatanan pemerintahan buatan manusia dan mewujudkan sistem alternatif yaitu sistem pemerintahan Islam (khilafah). Dari sistem terbaik ini, akan lahir para pemimpin terbaik. 

Untuk mewujudkan sistem pelindung, pengatur urusan dan penjamin kebutuhan rakyat ini, dibutuhkan beberapa strategi antara lain:

Pertama, tokoh umat bersama segenap penggerak umat dari kalangan da’i, muballigh, aktivis Islam, dll. melakukan konsolidasi pemikiran dan gerak. Juga tak lelah memberikan pencerdasan dan membuka wawasan keislaman serta kondisi kekinian kepada umat Islam.

Kedua, memahamkan umat tentang realitas buruk akibat penerapan sistem demokrasi kapitalistik yang praktiknya justru berpihak pada kaum oligark. Selanjutnya, pahamkan tentang Islam sebagai sistem hidup yang akan memanusiakan manusia dan hanya mampu diterapkan secara total dalam sistem pemerintahan khilafah islamiyah.

Ketiga, memotivasi umat agar turut serta memperjuangkan tegaknya Islam kaffah dalam bingkai khilafah’ala minhajinnubuwwah.

Keempat, khususnya di masa pandemi ini, keterbatasan pertemuan tatap muka justru menjadi peluang untuk mengibarkan opini publik tentang urgensi penegakan khilafah lewat media daring.

Demikian beberapa strategi perjuangan yang bisa dilakukan. Semoga kita tercatat di hadapan-Nya sebagai salah satu pelaku transformasi masyarakat, dari pengaturan sistem demokrasi jahiliyah menuju sistem khilafah islamiyah nan berkah. 

Dari uraian di atas, penulis mengajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Terjadi polarisasi sikap masyarakat terhadap tuntutan presidential threshold 0 persen, pun menjadi perdebatan alot di kalangan politisi. Ada yang menolak, demikian pula tak sedikit yang mendukung tuntutan tersebut. Para penggugat yaitu: Waketum Partai Gerindra, Ferry Joko Yuliantono, mantan Panglima TNI Gatot Nurmantyo, serta dua anggota DPD Fachrul Razi dan Bustami Zainudun. 

Dukungan terhadap tuntutan tersebut datang antara lain dari: PAN, PKS, dan PD. Adapun pihak yang kontra dalam hal ini ialah: PDI, Golkar. Jika polemik ini tak kunjung usai, diduga akan mengancam keutuhan dan persatuan anak bangsa.

2. Salah satu penyebab tuntutan sebagian rakyat agar PT diturunkan dari 20 persen menjadi 0 persen ialah mereka mulai muak terhadap praktik oligarkis. Kekuasaan tak lagi melayani jelata, tapi demi menguatkan dan meluaskan kedudukan kaum oligark. Selain itu, karena mereka menginginkan kontestasi yang lebih luas. Meski peluang ini kecil, namun bisa jadi muncul poros ketiga. Tapi tidak semua partai mau mengambil risiko mengeluarkan dana besar untuk sekadar memecah suara tanpa ada kemungkinan menang. 

Di sinilah inkonsistensi sistem demokrasi yang mengagung-agungkan HAM. Begitu menyangkut vested interest, strategi oligarki dimasukkan di dalamnya yang sebenarnya merusak sistem demokrasi karena berpotensi menjadi sistem otoriter dengan hegemoni partai besar. Akhirnya, oligarki kekuasaan menyebabkan collaps-nya negara hukum dan dengan sendirinya prinsip-prinsip demokrasi akan mati. Ketika oligarki kekuasaan telah muncul maka mesin demokrasi pun mengalami senjakala. Pertanyaan tentang “How Democracies Die” dengan demikian terjawab.

3. Dampak buruk yang bakal terjadi jika PT 20 persen tetap digunakan dalam Pilpres 2024 ialah: lahirnya presiden boneka, minimnya pasangan calon yang berujung pada polarisasi pemilih ke hanya dua kubu, mengerdilkan potensi bangsa, melemahkan kesadaran dan partisipasi politik rakyat, DPR/Legislatif menjadi legitimator kebijakan pemerintah, serta mengeksiskan sistem oligarki hingga kian mencengkeram negeri ini

Siapa pun presiden yang terpilih, sejatinya yang berkuasa tetaplah segelintir manusia, para oligark. Dengan kuasa harta dan tahtanya, mereka mampu menggerakkan segala piranti bahkan proses hukum demi hasil kontestasi yang berpihak pada kepentingannya. Transformasi demokrasi menuju oligarki menjadi hal “wajar.” Kebebasan tanpa batas yang menjadi ruh ajarannya telah memerangkap pelakunya pada perilaku otoriter. Pun tak lagi berkuasa atas nama rakyat, tapi minoritas manusia. Demokrasi rasa oligarki. Oligarki berkelindan dengan korporatokrasi, bahkan sering kali bermuka kleptokrasi.

4. Bagi umat Islam, solusi alternatif menghilangkan oligarki politik tentu dengan menghadirkan sistem pemerintahan Islam (khilafah islamiyah). Karena yang bersumber dari Allah pasti terbaik. Menjadi tugas umat Islam untuk mengenyahkan tatanan pemerintahan buatan manusia dan mewujudkan sistem alternatif tersebut. 

Strateginya antara lain: tokoh umat bersama segenap penggerak umat melakukan konsolidasi pemikiran dan gerak, memahamkan umat tentang realitas buruk akibat penerapan sistem demokrasi kapitalistik yang  justru berpihak pada kaum oligark, memotivasi umat turut memperjuangkan tegaknya Islam kaffah dalam bingkai khilafah ’ala minhajinnubuwwah, dan khususnya di masa pandemi ini, keterbatasan pertemuan tatap muka justru menjadi peluang untuk mengibarkan opini publik tentang urgensi penegakan khilafah lewat media daring.


Oleh: Prof. Suteki (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Puspita Satyawati (Analis Politik dan Media)


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar