Di Balik Pertemuan Joe Biden dan Xi Jinping: Adakah Bahaya Laten bagi Umat Islam secara Global?


TintaSiyasi.com -- Tidak ada kawan dan lawan abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Sepatutnya ini cocok disematkan untuk mengandaikan antara mercusuar ideologi kapitalisme global, yakni, Amerika Serikat (AS) dan mercusuar ideologi sosialisme komunisme, yaitu, China yang baru saja bertemu. Mereka berdua telah menyelesaikan pertemuan puncak virtual pertama mereka Selasa 16 November 2021 pagi waktu setempat. Dalam pertemuan tersebut, Biden dan Xi juga membahas masalah kontroversial seperti praktik China di Xinjiang dan Hong Kong.

Sebelumya, China sempat meradang ketika tersiar kabar AS akan membela Taiwan. Karena pada faktanya, Taiwan sedang bergejolak ingin memerdekakan diri. Tapi, dalam pertemuan virtual itu China sudah mengatakan, jika benar AS mendukung Taiwan, sama saja AS sedang bermain api. Ini bukti bahwa China tidak ingin AS turut campur dalam konflik yang terjadi antara Taiwan dan China. 

Memang konflik itu telah lama terjadi, terkadang meletup sewaktu-waktu. Taiwan yang ingin merdeka dan berhaluan sebagaimana kapitalisme sekuler seperti AS, tetapi China tetap ingin Taiwan berada dalam kekuasaannya dan tetap sejalan dengan ideologi yang diemban China. Memang rumit, tapi perlu didedah dan ditelisik lebih dalam di balik pertemuan kedua negara besar tersebut. Adakah dampak untuk umat Islam secara global? Ataukah pertemuan tersebut murni membahas kepentingan dua negara tersebut?

Mengungkap di Balik Pertemuan Joe Biden dan Xi Jinping

Dikutip dari liputan6.com (17/11/2021), ada empat agenda penting yang dibahas di kala Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden dan Pemimpin China Xi Jinping resmi mengadakan pertemuan virtual, Senin malam (15/11/2021) waktu Washington atau sekitar Selasa (16/11/2021) pagi waktu Beijing. Sejumlah isu mereka angkat dalam momen tersebut, mulai dari perdagangan, teknologi, situasi Taiwan, dan hak asasi manusia. Terkait pembahasan hak asasi manusia (HAM) dan masalah keamanan di kawasan Indo-Pasifik. Biden mengatakan bahwa kedua pemimpin harus memastikan hubungan mereka tidak mengarah ke konflik terbuka. Dia pun berjanji untuk menangani bidang-bidang yang menjadi perhatian Washington, termasuk hak asasi manusia dan isu-isu lain di kawasan Indo-Pasifik.

Setelah sambutan pembukaan, Biden dan Xi memulai pembicaraan pribadi tentang berbagai masalah pelik yang telah meningkatkan ketegangan antara kedua belah pihak. AS dan China, ekonomi terbesar di dunia, kerap berseberangan terhadap sejumlah masalah, termasuk penanganan pandemi Covid-19, perdagangan, teknologi dan persyaratan kompetisi, sikap Beijing di Laut China Selatan dan terhadap Taiwan, serta pelanggaran hak asasi manusia di Hong Kong dan Xinjiang.

Kedua pemimpin ini pernah melakukan perjalanan bersama ketika keduanya masih menjabat sebagai wakil presiden dan saling mengenal dengan baik. Bahkan, sempat menyebut Xi Jinping sebagai teman lama. "Saya sangat senang bertemu teman lama saya,” kata Xi kepada Biden. Dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Kementerian Luar Negeri China atas pertemuan ini, Xi menekankan bahwa hubungan China-AS yang "sehat dan stabil" diperlukan untuk "memajukan perkembangan kedua negara dan untuk menjaga lingkungan internasional yang damai dan stabil". "China dan AS harus saling menghormati, hidup berdampingan dalam damai, dan mengupayakan kerja sama yang saling menguntungkan," kata Xi Jinping.

Membaca pertemuan kedua negara besar tersebut ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan. Pertama, ketika AS cuap-cuap soal pelanggaran HAM, itu sebenarnya hanya cuapan retoris untuk menyerang China sebagai rivalnya. Secara ideologi dua negara ini memang memiliki haluan yang berbeda, satu AS dengan kapitalismenya dan China dengan sosialisme komunisme. Seolah AS berlagak menjadi pahlawan HAM di hadapan China, padahal dia adalah pelanggar HAM di Timur Tengah. Hegemoni yang ditancapkan AS di Timur Tengah telah memakan jutaan korban umat Islam. Dilansir dari Tempo.co (22/8/2021), penelitian The Watson Institute for International and Public Affairs, seperti dikutip dari laman watson.brown.edu, menunjukkan jumlah korban tewas sejak Oktober 2001 hingga April 2021 antara 238-241 ribu jiwa. 

Kedua, kedua negara ini sedang beradu hegemoni di Taiwan. Jelas, China marah sekali, jika AS membantu kemerdekaan Taiwan yang sekarang sedang bergejolak. China tidak ingin AS ikut campur dalam masalah itu dan ingin AS tidak mengganggu One China yang ingin diwujudkan oleh China. Taiwan memang menjadi kartu truf AS ketika ingin memukul kesombongan China. Hanya saja, China pun memiliki kartu truf untuk membalas AS. Pertemuan kedua negara ini sejatinya ingin mencari jalan tengah atau win win solution terkait perang dingin antara kedua negara ini. Mereka berdua sama-sama tidak ingin saling diganggu di wilayah kekuasaannya.

Kebijakan 'One China' adalah landasan utama hubungan China-AS. Di bawah kebijakan ini, AS mengakui dan memiliki hubungan formal dengan China, bukannya dengan Taiwan yang dianggap China sebagai provinsi yang memisahkan diri untuk dipersatukan kembali dengan China suatu hari nanti. Namun, AS juga masih menganut aturan-aturan seperti, Taiwan Relations Act (Undang-Undang Hubungan Taiwan), tiga Joint Communiques (Komunike Bersama), dan Six Assurance (Enam Jaminan), berdasarkan pernyataan dari Gedung Putih tersebut.

Ketiga, terkait ekonomi dan perdagangan,  kedua negara ini berusaha menjalin kerjasama yang saling menguntungkan satu sama lain. Hanya saja, karena dua ideologi yang mereka anut sama-sama mendahulukan asas manfaat, maka wajar jika terkadang sering terjadi perselisihan. Karena mereka sama-sama ingin mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Sebagaimana yang dikutip Bisnis.com (26 Oktober 2021), pada awal bulan Oktober 2021 Menteri Perdagangan AS Katherine Tai mengatakan akan menekan China untuk memenuhi komitmennya pada perjanjian perdagangan 2020. Tai juga telah menyampaikan kepada Liu melalui pertemuan virtual pada 8 Oktober, terkait dengan kebijakan dan praktik non pasar China yang merugikan pekerja Amerika, petani, dan bisnisnya.

Bahaya Laten Pertemuan Joe Biden dan Xi Jinping bagi Umat Islam

Pertemuan dua negara besar tentunya sedang membahas kepentingan mereka. Tidak lain tidak bukan, mereka sedang mengokohkan hegemoninya. Memang pertemuan AS-China tidak berdampak langsung kepada umat Islam. Tapi, bahaya laten yang dapat dibaca dari hal tersebut adalah pertemuan negara neoimperialisme kapitalisme dan neokolonialisme sosialisme komunis. Diketahui dua negara ini sama-sama memusuhi Islam dan umatnya. 

Dua negara ini memiliki satu suara dalam melakukan stigmatisasi kepada Islam. China pun larut dalam proyek war on terrorism yang dipimpin AS untuk menghadang kebangkitan Islam di segala lini. Hal itu terlihat bagaimana sikap China kepada Muslim Uighur dan Xinjiang. China tak segan-segan melakukan tindakan represif, penyiksaan, hingga pembantaian kepada umat Islam di sana. Di kala yang sama tidak ada yang mampu menahan sikap zalim rezim China. Walau tindakan yang dilakukan China ini tidak manusiawi, tetapi tidak ada yang membela Uighur. HAM hanya sekadar pepesan kosong yang tak memiliki taring ketika umat Islam yang terzalimi.

Begitu pun AS, darah umat Islam yang ditumpahkan olehnya sangat banyak luar biasa. Apalagi umat Islam di Timur Tengah, baik Palestina, Afghanistan, Suriah, dan sebagainya sangatlah banyak. AS teriak lawan terorisme, tapi sejatinya dialah teroris sejati. Menteror dunia dengan ideologi kapitalisme sekuler yang dia emban. Bukannya kesejahteraan, tetap tatanan sosial hancur akibat ideologi ini. 

Kapitalisme sekuler telah berhasil memajukan teknologi dan memundurkan peradaban menjadi peradaban jahiliah. Islam membawa manusia beradab yang semula memiliki budaya telanjang menjadi menutup aurat dan menjaga kehormatannya. Tetapi, kapitalisme sekuler telah mencabik-cabik peradaban agung yang dibangun Islam. Dunia mundur ke belakang dan semakin jahiliah. Budaya-budaya kufur yang telah dikubur justru dihidupkan kembali dari eksploitasi aurat, pergaulan bebas, hingga budaya kaum sodom pun dikampanyekan dan dilindungi haknya di ideologi kufur ini.

Walhasil, jika hal ini dibiarkan, peradaban mereka pasti akan hancur sendiri, sudah bebas tidak mau diatur dan tidak mampu melestarikan jenis karena rusaknya pergaulan mereka. Tapi, bahayanya adalah jika peradaban mereka diikuti oleh umat Islam. Inilah yang menjadi PR umat Islam untuk melawan ancaman ideologi kapitalisme sekuler atau pun sosialisme komunis yang dibawa China.

Oleh karena itu, bahaya laten pertemuan kedua negara itu adalah bahaya perkawinan kedua ideologi rusak tersebut. Tapi, sekali lagi, persatuan dua kebatilan tidak akan pernah mampu mengalahkan Al-Haq (kebenaran). Umat Islam harus menghadapinya dengan terus berdakwah, berdakwah, dan berdakwah mewujudkan kehidupan Islam dalam naungan khilafah Islam. Karena hanya dengan institusi Islam, yakni, khilafah. Umat Islam jadi apple to apple menghadapi dua negara penganut ideologi rusak dan sesat tersebut.

Strategi Islam dalam Menyikapi Pertemuan Dua Negara Besar AS dan China

AS dan China bertemu atau tidak keberadaan mereka harus senantiasa disikapi dan diwaspadai oleh umat Islam. Karena sejatinya, dua negara besar tersebut adalah negara kafir harbi fiklan. Yakni, negara yang telah jelas kekufurannya dan memusuhi dan zalim kepada umat Islam. Jadi, ketika dua negara ini bertemu, tidak lain tidak bukan adalah sarana untuk menancapkan kekufurannya dan kejahiliahannya secara global. Sebenarnya itu yang bisa dibaca dari pertemuan dua negara tersebut. 

AS dan China hanya perang dingin, tak mungkin akan berani perang sesungguhnya, karena mereka tidak mau rugi bandar saling menghancurkan dirinya sendiri. Tetapi, lain hal ketika mereka menghadapi umat Islam, dalam melakukan penghadangan kebangkitan umat Islam dan mencegah tegaknya daulah khilafah Islam, mereka lakukan segala cara dengan menggelontorkan dana fantastis. Hal inilah yang harus jadi trigger umat Islam untuk terus berdakwah dan tidak berhenti berdakwah melawan kekufuran dan kejahiliahan yang diciptakan dua ideologi sesat yang diemban AS dan China.

Umat Islam tidak boleh diam dan harus berdakwah secara solid dan sistematis mengikuti tuntunan nabi Muhammad SAW. Pun demikian, umat Islam tidak boleh tercerai berai karena diadu domba oleh negara kafir penjajah. Karena persatuan umat Islam dalam melawan propaganda dan agenda busuk mereka adalah awal dari kemenangan yang harus terus ditingkatkan, sehingga umat Islam akan kuat bersatu dalam naungan khilafah Islam.

Satu-satunya cara melawan propaganda jahat AS maupun China adalah dengan dakwah. Umat Islam harus terus berdakwah dan berdakwah. Strategi dakwah untuk melawan propaganda dan agenda mereka adalah sebagai berikut. Pertama, dakwah secara individu. Dakwah hukumnya wajib bagi setiap Muslim. Oleh karena itu, umat Islam harus terus mendakwahkan Islam secara jujur dan keseluruhan kepada umat. Jangan mendakwahkan satu, menyembunyikan yang lain. 

Kedua, dakwah berjamaah. Ingat, pepatah ini, kejahatan yang tersistem bisa mengalahkan kebaikan yang tidak tersistem. Nah, dari situ perlu dipahami, dakwah harus berjamaah dan bareng-bareng. Tidak jalan seenaknya sendiri. Harus terkontrol dan tersistem dengan baik. Sehingga, kejahatan AS ataupun China yang dakukan bisa digagalkan.

Ketiga, dakwah negara. Menghadapi AS-China dan sekutunya harus apple to apple. Yaitu, dakwah Islam dalam satu komando negara. Oleh karena itu, umat Islam harus berupaya mengembalikan peradaban Islam dengan menegakkan Khilafah Islamiah. Karena hanya dengan khilafah, umat Islam bisa sejajar dan menghentikan kebiadaban AS-China dan sekutunya.

Umat Islam harus ingat, selemah apa pun umat Islam. Umat Islam memiliki Allah SWT. Selain itu, umat Islam sudah mengantongi bisyaroh kemenangan Islam. Maka, apa yang membuat ragu? Bagaimana pun buruknya kenyataan tetaplah memegang bara Islam dan berjuang untuk meraih keberhasilan dakwah. 

"Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya meskipun orang-orang kafir membencinya." (TQS. As-Saff Ayat 8)

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Selain faktor ekonomi, teknologi, dan HAM, pertemuan AS dan China dipicu sikap AS yang akan membela Taiwan. Kebijakan 'One China' adalah landasan utama hubungan China-AS. Di bawah kebijakan ini, AS mengakui dan memiliki hubungan formal dengan China, bukannya dengan Taiwan yang dianggap China sebagai provinsi yang memisahkan diri untuk dipersatukan kembali dengan China suatu hari nanti. Namun, AS juga masih menganut aturan-aturan seperti, Taiwan Relations Act (Undang-Undang Hubungan Taiwan), tiga Joint Communiques (Komunike Bersama), dan Six Assurance (Enam Jaminan), berdasarkan pernyataan dari Gedung Putih tersebut.

Kedua. Bahaya laten pertemuan kedua negara itu adalah bahaya perkawinan kedua ideologi rusak tersebut. Tapi, sekali lagi, persatuan dua kebatilan tidak akan pernah mampu mengalahkan Al-Haq (kebenaran). Umat Islam harus menghadapinya dengan terus berdakwah, berdakwah, dan berdakwah mewujudkan kehidupan Islam dalam naungan khilafah Islam. Karena hanya dengan institusi Islam, yakni, khilafah. Umat Islam jadi apple to apple menghadapi dua negara penganut ideologi rusak dan sesat tersebut.

Ketiga. AS dan China bertemu atau tidak keberadaan mereka harus senantiasa disikapi dan diwaspadai oleh umat Islam. Karena sejatinya, dua negara besar tersebut adalah negara kafir harbi fiklan. Yakni, negara yang telah jelas kekufurannya dan memusuhi dan zalim kepada umat Islam. Jadi, ketika dua negara ini bertemu, tidak lain tidak bukan adalah sarana untuk menancapkan kekufurannya dan kejahiliahannya secara global. Mewaspadainya dengan dakwah hingga kehidupan Islam terwujud dalam bingkai khilafah Islam.


Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice san Dosol Uniol 4.0 Diponorogo


#Lamrad
#LiveOpperessedOeRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar