Diintai Gelombang Ketiga Pandemi Covid-19: Siapkah Pemerintah Indonesia Meriayah Rakyat?


TintaSiyasi.com-- Ketenangan hidup di tengah pandemi Covid-19 pasca PSBB berjilid-jilid tampaknya kembali terusik. Sejak pertengahan bulan Oktober 2021 merebak berita adanya serangan pandemi Covid-19 gelombang ketiga. Ketua Satgas Penanganan Covid-19 Ganip Warsito menyebut, Indonesia berpotensi 'dihantam' gelombang tiga Covid-19 yang diprediksi terjadi akhir tahun 2021 (CNNIndonesia, 11/10/2021). Tiga gelombang pandemi Covid-19 dunia masing-masing terjadi pada Januari 2021 sebagai puncak pertama, April 2021 puncak kedua, dan Agustus-September 2021 sebagai puncak ketiga. Sementara, RI baru mengalami dua gelombang pandemi Covid-19. Maka RI potensial terhantam gelombang tiga Covid-19. 

Realitas dunia termasuk Indonesia belum terlepas sepenuhnya dari Covid-19 sebenarnya nyata. Hanya saja masyarakat bias informasi dan lelah berjuang sendiri untuk hidup sekaligus menghadapi Covid-19. Budaya 5M juga mulai ditinggalkan. Bahkan channel youtube MMC tanggal 30 Oktober 2021 menyebutkan ketika Inggris saat ini dihantam gelombang tiga Covid-19 budaya masker sudah banyak ditinggalkan. Disebutkan kawasan Asia seperti China dan Singapura, lalu Inggris juga saat ini sedang menghadapi gelombang tiga Covid-19 (Kontan.co.id, 20/9/2021). Akankah sampai di Indonesia lebih cepat? Sudah siapkah Indonesia menghadapinya? Mengingat dari kasus Covid-19 sebelumnya penanganannya tidak paripurna dan serius.

Pendapat para ahli ada yang menitikberatkan pada prosentase warga yang divaksinasi untuk membentuk imunitas melawan virus Covid-19 yang belum merata. Dokter Siti Nadia Tarmizi, dalam diskusi daring, Kamis (21/10/2021) mengungkapkan "Gelombang ketiga itu sebuah keniscayaan karena kita melihat salah satu publikasi ilmiah sudah mengatakan pola penyakit Covid-19 akan menimbulkan beberapa gelombang," terang juru bicara vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan, (detikhealth, 21/10/2021). Ketika para ahli sudah melakukan prediksi keilmuan akankah riayah Pemerintah kepada rakyat pada gelombang ketiga Covid-19 akan sama saja? 

 
Analisa dan Gambaran Umum  Rezim Penguasa Menghadapi Gelombang Ketiga Covid-19 dalam Meriayah Rakyat

Membahas Covid-19 masih selalu menjadi berita panas yang sarat kepentingan rakyat, ekonomi, politik dan kesehatan. Meski pandemi sudah berjalan hampir 2 tahun, sempat melandai namun ternyata menyimpan bara yang siap menyala kapanpun. Melihat kondisi ini sesungguhnya kita bisa menganalisa beberapa hal yang sudah terjadi, dan jika diperbaiki maka akan mendapatkan hasil yang signifikan: 

Pertama. Memperbaiki mindset penanganan pandemi untuk menyelesaikan masalah. 

Indonesia dari awal pandemi tergolong negara yang lamban menangani masalah Covid-19 kalau tidak mau disebut meremehkan bahkan mengabaikan. Sedari awal memang ketidakseriusan penguasa mengatasi pandemi nampak. Bahkan untuk mengakui Covid-19 sudah masuk ke Indonesia butuh tekanan dan kabar dari negara lain. Pun demikian dengan penanganan-penanganan setelahnya. Indonesia seolah menunggu diboikot terlebih dahulu, masuk red list tujuan penerbangan LN ada dari negara lain bahkan pelarangan jamaah umroh dan haji baru penguasanya agak serius. Penerapan PSBB berlapis dan berjilid seolah memperlihatkan bahwa pemerintah serius menangani Covid-19. Padahal sedari bulan Juni 2020 mindset penanganan Covid-19 semata-mata karena Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) semata. 

New normal sebagai jalan yang digagas penguasa hidup berdampingan dengan Covid-19 diterapkan tanpa mengindahkan teriakan nakes dan para ahli. Semua demi memutar ekonomi mikro dan makro yang ujung-ujungnya adalah menghidupkan ekonomi kapitalisme yang ribawi (baca: pasar modal/bursa saham). Kebijakan ini akhirnya membuat Indonesia menjadi episentrum dunia karena banyaknya korban Covid-19. Inilah mindset salah kaprah yang diterapkan penguasa. Selama terus berulang maka penanganan Covid-19 tidak akan kunjung selesai. 

Kedua. Pelaksana program penanggulangan pandemi Covid-19 yang tidak kompeten dan tidak punya sense of crisis

Dampak pandemi sesungguhnya banyak kemalangan yang diterima oleh negara dan warganegara. Beban rakyat semakin bertambah karena efek ikutan Covid-19 bermunculan dan membutuhkan solusi tersendiri. Misalnya kemiskinan karena banyaknya PHK saat pandemi, melonjaknya harga obat (misal: invermectin) yang diduga obat Covid-19, banyaknya permintaan herbal atau ramuan untuk Covid-19 ternyata menimbulkan efek samping yang tidak menyenangkan, dan seterusnya. Masalah ini seharusnya juga diselesaikan alih-alih dibiarkan. Yang terjadi malah negara ikut memanfaatkan situasi yang ada dengan "jual dagangan" kepada rakyatnya misal dengan kartu pra pekerja. Bahkan sampai hati korupsi dana bansos Covid-19. Sungguh pelaksana yg tidak kompeten, tidak pro rakyat dan tidak punya sense of crisis menambah beban rakyat semata. 

Ketiga. Sistem negara yang fokus pada kemashlahatan rakyat. 

Dana khusus penanganan Covid-19 dikabarkan jadi Rp 185,98 triliun dari yang sebelumnya Rp 172,84 triliun (Cncb, 2/7/2021). Dan penanganan Covid-19 dipastikan penuh biaya, terutama biaya kesehatan. Untuk menangani dan mengatasi hingga tuntas membutuhkan totalitas baik pikiran, upaya dan dana. Tentu saja bukan berarti rakyat tidak berkorban, karena realitasnya tanpa ada tracking dan testing memadai seperti sekarang kurva pandemi seolah melandai. Rakyat sudah benar-benar abai. Penguasa juga bertindak hanya jika ada tekanan luar negri. Kondisi seperti ini sungguh meresahkan. Pada dasarnya jika sistem yang dijalankan untuk kemashlahatan rakyatnya negara tidak akan perhitungan bahkan selalu terdepan terjun menangani masalah Covid-19 ini. Juga mengurusi kebutuhan rakyatnya dengan supplai yg memadai. 

Gambaran penanganan Covid-19 hingga saat ini adalah menggencarkan vaksinasi, dengan alasan penguatan imunitas. Sejatinya tidak hanya vaksinasi yang harus terjaga, tapi juga kecukupan gizi dan pangan. Karena vaksinasi sebagai harapan terbesar penguasa ini sebetulnya baru salah satu upaya. Juru bicara Kementrian Kesehatan bidang vaksinasi Siti Nadia Tarmizi mengungkapkan mengingatkan, negara-negara yang sudah memiliki cakupan vaksinasi Covid-19 relatif tinggi seperti Inggris, Amerika Serikat, Israel, dan negara-negara di Eropa pun kini berhadapan kembali dengan Covid-19 akibat varian Delta. Namun memang berkat vaksinasi, kasus kematian dan derajat kesakitan relatif lebih rendah (Detikhealth, 21/10/2021). 

Hingga 19 September 2021, jumlah penerima vaksin Covid-19 dosis pertama di Indonesia mencapai 79.515.356 orang. Sedangkan penerima vaksin Covid-19 dosis kedua sebanyak 45.134.194 jiwa. Target penerima vaksin Covid-19 di Indonesia adalah sebanyak 208.265.720 orang. Artinya, saat ini jumlah pemilik imunitas dari vaksin Covid-19 hanya sekitar 38%. Epidemiolog Universitas Grifftith Australia Dicky Budiman, menyatakan untuk mencegah varian baru harus ditingkatkan pengawasan terhadap genom-genom virus. Hal ini sangat penting untuk mendeteksi keberadaan varian baru dan potensi, tren, atau progres penyebaran dari jenis virus baru. Adapun kasus-kasus orang yang telah divaksinasi tapi terpapar virus juga harus menjadi perhatian, dengan dilakukan pemeriksaan genom (Kontan.co.id, 20/9/2021). 

Maka upaya yang masih harus ditempuh sejatinya masih banyak. Dan pengawalan serta pendampingan masyarakat perlu ditingkatkan selalu. Sosialisasi keberadaan personal yang tidak taat prokes akan membahayakan orang disekitarnya ini perlu dipahami bersama. Karena sisi edukasi dan pendampingan ini yang harus dinamis dilakukan. Agar masyarakat tidak miss informasi. Juga mampu bersinergi dengan kebijakan penguasa. Membatasi aktivitas berkumpul juga harus diberlakukan di semua lini. Bukan hanya dibebankan pada rakyat sebagaimana PSBB berlapis-lapis tapi aliran kedatangan LN juga harus diperhatikan protapnya. Orang dari bepergian juga harus testing lalu isoman secukupnya terlebih dahulu sebelum langsung sosialisasi ditengah masyarakat. 


Dampak Ketidakseriusan Riayah Penanganan Covid-19 dan Persiapan Menjelang Gelombang Ketiga terhadap Perpolitikan dan Rakyat

Gelombang 1&2 covid-19 yang telah berlangsung di Indonesia membawa dampak mendalam ditubuh masyarakat. Dampak yang mungkin ditimbulkan dari kondisi tersebut adalah: 

Pertama. Labilnya mentalitas warganegara. 

Ketidakseriusan dan labilnya kebijakan penguasa dalam menangani Covid-19 menjadikan kondisi yang tidak kondusif untuk pengananan secara masif dan berkesinambungan. Belum lagi menyorot lempar melempar antara pusat dan daerah dari sisi tanggungjawab.  Kesan bahwa masyarakat harus berjuang sendiri mengatasi beratnya kehidupan sembari menyesuaikan diri dengan kondisi Covid-19. Perasaan terombang ambing dan dipersalahkan juga terjadi. Secara konsep kesehatan psikis sangat dipengaruhi dengan pikiran positif, selalu bahagia dan adanya rasa aman. Bahkan beberapa saat adanya pembahasan urgensi kesehatan mental yang sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi ini juga membutuhkan kekuatan mental yang memadai sehingga tidak labil. 

Kedua. Terganggunya pertumbuhan dan pembentukan kejiwaan anak. 

Kejiwaan yang berbeda terbentuk terjadi juga pada anak-anak. Di masa mereka seharusnya bebas bermain dan bersosialisasi dengan teman-temannya baik di sekolah maupun di lingkungan masyarakat, karena alasan kewaspadaan dan kehati-hatian orang tua memilih untuk merumahkannya. Meski ada juga yang tetap bermain dengan banyak batasan. Sungguh menyesakkan ketika akhirnya gadget mendekap anak-anak dalam dunia nyata daripada aktivitas di luar yang seharusnya dilakukan. Padahal dunia gadget banyak kemudharatan untuk usia anak-anak daripada manfaat. Tapi kondisi akhirnya membuat orang tua harus menerima dan memanage anaknya masing-masing. Kenapa lagi-lagi kembali ke keluarga? Negara tidak mampu menolak tekanan para provider dan kapitalis sampai-sampai mendukung anak-anak untuk jadi gamer. Sungguh miris 

Ketiga. Beban berlipat yang harus ditanggung rakyat. 

Salah satu yang diupayakan rakyat selain gizi dan life style sehat adalah alat-alat dan segala supplemen kesehatan. Karena covid-19 adalah virus maka supplemen vitamin terutama vitamin C menjadi primadona. Bahkan adanya beberapa tempat yang menyatakan beberapa merek yang biasa dijangkau rakyat menghilang dari pasaran. Rakyat pun harus merogoh kocek lebih dalam untuk itu dan konsumsi buah-buahan. Komersialisasi alat deteksi kesehatan seperti genose, Rapid Antigen, PCR yang dibebankan untuk mobilitas dan kegiatan rakyat tertentu. Penguasa seolah tiada bersalah ketika beban penumpang penerbangan menjadi sangat berlipat. Juga untuk anak-anak masuk pondok dan orang yang bepergian ke luar kota. Tes kesehatan menjadi beban yang harus ditanggung individu sebagai konsekwensi perbuatan dan aktivitas yang dilakukan. Toh bukankah pergerakan aktivitas tersebut katanya akan menggerakkan roda ekonomi dan mendukung Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN)?  Tapi untuk fasilitas tersebut tampak sekali negara tidak mau dirugikan. 

Keempat. Munculnya public distrust dan perlawanan politik atas kesewenang-wenangan penguasa. 

Situasi yang sedemikian tentu saja dirasakan hampir semua warganegara. Adanya public distrust akhirnya muncul, bahkan semakin lama situasi dalam negeri tidak dijalankan sesuai kemashlahatan rakyat. Pembangunan IKN, kereta cepat Jakarta Bogor, kriminalisasi ulama, penistaan agama, kekerasan seksual, defisitnya Pertamina dan masalah yang lain memperlihatkan kecendrungan penguasa rezim ini bukan pada rakyat. Tentu saja hal ini memicu kebangkitan rakyat dan intelektual aktivis untuk menyuarakan ketidakadilan penguasa. Aksi turun jalan pun banyak dilakukan seiring dengan kunjungan para penguasa ke daerah. Meski sering dibumbui aksi anarki. Tidak kurang akal muhasabah dan koreksi penguasa juga mengalir lewat media sosial. Trending twitter saat ini menjadi primadona bagi rakyat untuk menyuarakan suara hati mereka. Tagar twitter terbukti beberapa kali merajai media sosial seperti perlakuan Kace, pelecehan seksual pegawai KPI dan anak-anak Luwu, tindakan anarki polisi dst. Aksi ini tidak terbendung meski penguasa mengerahkan buzzer dan opini dari ahli luar negeri yang mengatakan sosok presiden yang hebat bahkan genius dalam mengatasi masalah dalam negeri. Tentu saja kebohongan publik ini justru menjadi minyak dalam kobaran api. Kondisi akhir-akhir ini menjadi bukti jelas memuncaknya public distrust menuntut presiden mundur. 

Andaikata kebijakan ini diteruskan dan ke depannya tidak ada perbaikan dalam riayah rakyat terutama di masa pandemi covid-19 ini pastilah menjadi api yang lebih besar lagi. Gelombang ketiga covid-19 seharusnya mengikuti kata para ahli, disiapkan dengan baik agar kematian dan korban karena covid-19 dapat ditekan seminimalis mungkin. Penyediaan sarana kesehatan dan pendampingan masyarakat agar taat protab harus lebih digencarkan. Dan yang paling penting adalah keseriusan penguasa untuk menyelesaikan masalah.


C. Persiapan Negara di bidang Kesehatan dan Ekonomi Menyongsong Gelombang Tiga Covid-19. 

Mengapa yang difokuskan 2 bidang, yakni kesehatan dan ekonomi? Jawabannya, agar fokus dan bisa terealisir. Setidaknya untuk rakyat hantaman gelombang ketiga Covid-19 akan membawa dampak jenuh dan abai apalagi untuk yang sudah vaksin. Adanya anggapan di masyarakat kalau sudah vaksin berarti bebas Covid-19 sehingga tidak perlu langkah-langkah preventif tampaknya harus digalakkan lagi. Entah karena jenuh, abai dengan kondisi, atau salah kaprah pemahaman di atas saat ini banyak orang yang sudah tidak pakai masker lagi. Bahkan ketika dalam kerumunan. Persiapan negara yang dimaksudkan adalah: 

Pertama. Mempersiapkan secara nasional sistemik langkah preventif dan kuratif dengan mendengarkan berbagai ahli yang kompeten. 

Negara harus membangun budaya diskusi keilmuwan dan kemandirian keputusan dalam negeri. Toh negeri ini tidak kekurangan ahli kesehatan, pangan dan keilmuan terkait untuk membangun kekuatan dalam negeri secara fisik. Untuk bidang yang lain seperti politik, hukum, tatanegara dst maka peran serta sebagai praktisi dan ilmuwan tetap diperlukan untuk memperkuat negara. Khususnya di bidang kesehatan dan pangan yang berhubungan dengan langkah preventif bisa dimulai dengan mendengar pendapat para ahli misalnya berbagai kebijakan yang harus dilakukan dan reagen atau alat-alat kesehatan yang bisa diupayakan sendiri dibandingkan import. 

Peningkatan gizi masyarakat yang merata seharusnya tidak menjadikan rakyat harus mengkonsumsi berbagai zat terkait seperti vitamin c, zink, zat besi dst kecuali terjadi defisiensi zat terkait. Euphoria yang ada saat ini untuk kalangan aghniya dengan akses luas mampu mengkonsumsi berbagai hal sedangkan kalangan minimalis cukup dengan tawakal. Maka negara perlu tampil juga sebagai filter dan memilih ahli tertentu sebagai corong pemerintah yang terpercaya. 

Kedua. Menciptakan kesadaran publik yang dibangun dari pemahaman yang benar. 

Negara perlu meratakan beban. Apa ranah strategis yang harus digagas negara dan dikawal pelaksanaannya. Dan apa yang bisa diupayakan dilevel masyarakat dan individu. Meski organ pelaksana berada tangan rakyat tapi kontroling dan kesamaan visi misi tetaplah dari negara (penguasa). Nah langkah inilah yang membutuhkan sosialisasi bertingkat. Langkah seperti ini sebetulnya wujud gerak dan penyehatan bertingkat. Orang yang diajak bergerak pasti akan menyehatkan diri dan komitmen terlebih dahulu. Karena akan membantu dan mendampingi orang lain maka menuntut kondisi diri yang prima. 

Ketiga. Menyiapkan supplai dan logistik yang cukup dan disupport oleh usaha-usaha dalam negeri seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan lainnya. 

Langkah strategis dari dalam adalah penyiapan amunisi fisik sehingga kesehatan dan kekuatan paripurna yang hakiki. Karena manusia membutuhkan konsumsi makanan, minuman serta penunjang-penunjangnya. Sejatinya covid-19 memanglah virus yang menyerang ketika kondisi stamina seseorang turun dan tidak diindahkan. Sehingga kondisi tubuh lebih lemah dan rentan pada serangan virus dari luar. Ibarat kata asupan yang bergizi adalah energi terbaik untuk menopang kesehatan dan keselamatan selama pandemi covid-19. Dan saat ini ketersediaannya hanya dijadikan komoditas tanpa arahan. Sehingga banyak terlantar ketika harga murah padahal bergizi. 

Keempat. Menjaga situasi dan kondisi tetap semangat, bahagia dan positive thinking. 

Melebihi obat dan supplemen, paradigma sehat sebenarnya ditopang oleh pemikiran yg sehat. Ini bukanlah kebalikan dari pemikiran rusak atau gila, tapi pada suasana yang melingkupi negara. Sebagaimana poin 1-2 diatas jika diterapkan dalam masyarakat tentunya tidak akan menjadikan masyarakat menjadi sosok euphoria yang asal tabrak sana sini ikut trend. Masyarakat akan bisa diajak berpikir dan beraktivitas sesuai porsinya. Dan negara melalui aparat pemerintahan tentusaja dituntut lebih dalam pelaksana institusi negara yang baik dan benar. Sehingga negara tidak penuh rumor dan opini yang salah sebagaimana saat ini orang banyak yang menolak vaksinasi karena rumor dan opini buruk yang sebelumnya tersebar dan mereka percayai sebagai kebenaran. 

Tentu saja jika poin 1-4 dijalankan dengan penuh kesadaran dan kebersamaan pandemi pun akan sirna. Terlebih lagi jika negara ini memilih penerapan Islam secara kaffah dalam bingkai Khilafah Islamiyyah. Pengaturan yang mereka terapkan insyaAlloh akan barakah dan membawa kepada kebaikan dunia dan akhirat sebagaimana saat Khilafah Islamiyyah ada dalam kepemimpinan Khalifah-khalifahnya. Bahkan saat pandemi pun Amirul mukminin Umar ra turut hidup sederhana dan prihatin sembari memikirkan solusi masalah hingga selesai. 


Penutup

Kondisi riayah  yang tidak sempurna dan cenderung carut marut yang terjadi di negeri ini disebabkan oleh berbagai faktor yang melandasi kecacatan pelaksanaan riayah tersebut, misalnya soal mindset, kompetensi dan fokus penanganan Covid-19. Dampak utama dan ikutan pada masa pandemi Covid-19 bukanlah akibat tanpa sebab berarti. Penguasa mengabaikan bahkan membuat rakyat terbeban sedemikian berat sehingga efek yang terjadi adalah public distrust yang meluas. Langkah penanganan gelombang ketiga Covid-19 hendaknya berbeda dengan sebelumnya sehingga penguasa perlu melakukan resolusi pemikiran dan thinking out of the box. Penguasa harus bersinergi dengan seluruh elemen dalam mengatasi masalah pandemi ini. []


Oleh: Retno Asri Titisari
(DosOl Uniol 4.0 Diponorogo)

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Referensi:
- https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5761612/gelombang-3-corona-ri-diprediksi-tembus-30-ribu-kasus-varian-delta-berevolusi/amp 
- https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5761612/gelombang-3-corona-ri-diprediksi-tembus-30-ribu-kasus-varian-delta-berevolusi/amp 
- https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-5776884/awas-kemenkes-yakin-gelombang-3-covid-19-bakal-hantam-ri-ini-alasannya/amp 
- https://www.cnbcindonesia.com/news/20211022214534-4-285969/waspada-gelombang-3-covid-di-ri-rusia-inggris-sudah-meledak/amp 
- https://newssetup.kontan.co.id/news/indonesia-diperkirakan-terkena-covid-19-gelombang-3-pada-desember-ini-penyebabnya 
- https://www.cnnindonesia.com/nasional/20211018145736-20-709229/kemenkes-klaim-siap-hadapi-gelombang-tiga-covid/amp 
- https://amp.kompas.com/tren/read/2021/09/27/113800165/rumah-sakit-bersiap-hadapi-potensi-gelombang-ketiga-covid-19-apa-yang

Posting Komentar

0 Komentar