Benarkah Konsep Ushul Hukum Asal Benda Mubah Itu Tidak Tepat?


TintaSiyasi.com -- Qultu: Terlalu gegabah mudah menyalahkan para ulama yang menelurkan pembagian tersebut, husn al-zhann nya karena kegagalannya memahami qashd di balik pembedaan hukum asal tersebut dan kurang jeli memahami isyarat para fuqaha' yang membagi hukum benda secara 'aini dan hukmi, kalau sedikit lebih sabar dalam mengkaji dan meneliti, dia akan mendapati:

Pertama, pembagian dua jenis hukum ini kan akarnya ada dalam pembahasan ushul fiqh (jangan digugurkan begitu saja dengan logika aplikasi fiqhiyah), menunjukkan kejelian para ulama mujtahid yang membagi waqi' yang berkaitan dengan manusia kepada: benda dan perbuatan, sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalam bahasa hukum nas-nas syara' itu sendiri. 

Ketika dikatakan hukum benda antara mubah dan haram, maka teori ini sesuai petunjuk nas-nas syara', buktinya tidak ada benda yang dikatakan, wajib, mandub atau makruh, simpel tapi asasi ini. Lain halnya dengan hukum perbuatan, yang sudah ma'lum dibagi kepada pembagian hukum yang lima (fardhu-mandub-mubah-makruh-mahzhur/haram).

Terlebih perhatikan bahasa fuqaha' ketika membagi hukum benda secara 'aini dan hukmi, bahwa hukum benda secara 'aini (li dzatihi) ada yang mubah ada yang haram, itu menunjukkan apa? Jelas menunjukkan hukum benda itu sendiri secara khusus. Pembagian 'aini dan hukmi ini mau dikatakan tidak tepat juga? Terlalu.

Silahkan bisa luaskan literasinya, lihat penjelasannya dalam kitab-kitab para ulama, salah satunya Dirasat fi al-Fikr al-Islami, karya al-'Alim al-Syaikh Muhammad Husain 'Abdullah.

Kedua, Adapun soal implementasi dua kaidah yang jeli ini:

الأصل في الأشياء الإباحة
الأصل في الأفعال التقيد بالحكم الشرعي

Maka dikembalikan kepada konteks pembahasan kasus per kasus yang disorotinya, dimana para ulama yang membagi dua kaidah tersebut pun kenyataannya memahamkan kita bahwa hukum al-asyya' (benda-benda) seringkali tidak bisa dilepaskan dari hukum af'al al-'ibad (perbuatan-perbuatan hamba), namun pembagian di atas penting untuk mendudukkan paradigma asasi secara ushuli, dimana implementasinya adakalanya dibutuhkan untuk membagi hukum benda secara 'aini dan hukmi.

Ketiga, Penggunaan diksi "الأفعال - الأشياء" itu sah-sah saja digunakan, istilah "الأشياء" dengan konotasi benda-benda, dalam ilmu ushul termasuk penggunaan "al-haqiqah al-'urfiyyah al-khashshah".

Tepat juga karena konteksnya dalam ilmu badi' (balaghah) digunakan sebagai seni kata berkebalikan (al-thibaq) antara dua kata yang berbeda pembahasannya; benda dan perbuatan, terlebih istilah الأشياء mencakup konotasi benda dan ini yang kemudian diambil maknanya secara khas dalam penggunaannya.

Ini menjadi pelajaran bagi thullab al-'ilm (muqallid) seperti kita, agar tidak tergesa-gesa menyalahkan para ulama ushul/mujtahid dengan teori-teori mapan mereka. []


Oleh: Ajengan Irfan Abu Naveed
(Peneliti Fiqih dan Balaghah)

Posting Komentar

0 Komentar