Pekerja Perempuan Mulia: Mampukah Paradigma Sistem Kapitalistik Mewujudkannya?


TintaSiyasi.com-- Hari ini, keterlibatan peran perempuan dalam kehidupan terutama sebagai pekerja bukan dipandang sebagaimana fitrahnya, sebagai ummun wa rabbatu bait, ibu pencetak generasi dan sekaligus pengatur rumah tangganya sebagaimana Islam memandang. Namun dalam sistem kapitalistik, yang menjadikan materi sebagai tolak ukur sebuah keberhasilan, pekerja perempuan dipandang memiliki potensi besar penyokong pilar ekonomi. Pada akhirnya dengan melawan fitrahnya, perempuan dipaksa berdaya untuk menggenjot laju peningkatan perekonomian.

Peran perempuan sebagai pekerja terus didorong dari waktu ke waktu, atas nama kesetaraan gender, pemberdayaan perempuan, emansipasi wanita, dan mantra-mantra lainnya yang diusung kaum feminis demi memperoleh kehidupan yang mulia sebagai perempuan. Inilah wujud paradigma kapitalistik yang dijadikan dasar bagi kaum feminis mewujudkan tujuannya. Bahkan bertolak belakang dengan paradigma Islam dalam mewujudkan kemuliaan bagi perempuan.

Inilah perbedaan paradigma kapitalistik yang berbeda jauh dengan paradigma Islam dalam menempatkan pekerja perempuan berdasarkan akidah masing-masing sistem. Dari perbedaan yang mendasar inilah, memunculkan berbagai macam permasalahan cabang lainnya yang menimpa nasib perempuan. Harapan hidup mulia dapat terwujud, hanya menjadi ilusi saat diatur oleh sistem yang salah. Mampukah sistem kehidupan hari ini, yaitu sistem kapitalistik menjadikan pekerja perempuan mulia?


Pekerja Perempuan Mulia Diukur Secara Materi dalam Paradigma Sistem Kapitalistik

Dalam paradigma sistem kapitalistik yang digunakan hari ini dalam mengatur pemerintahan termasuk yang mempengaruhi tata kehidupan sosial, menganggap perempuan bekerja seakan ‘wajib’ bagi sebagian besar masyarakat. Pekerjaan yang ditawarkan bagi perempuan memiliki banyak ragamnya. Perempuan leluasa memilih ingin bekerja di mana, asal dapat memenuhi kriteria yang ditetapkan.

Bahkan, pemerintah tengah berupaya mencapai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) khususnya terkait arah kebijakan peningkatan kualitas anak, perempuan, dan pemuda yang salah satunya yaitu peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan. Adapun sasaran, indikator, dan target yang ditetapkan salah satunya melalui peningkatan Indeks Pembangunan Gender (IPG) dan Indeks Pemberdayaan Gender (IDG) serta peningkatan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) (kemenkopmk.go.id, 20/11/2020).

Program ini, dimasukkan di semua program kerja kementerian-kementerian, mereka bersinergi demi mewujudkan peningkatan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dengan cara memperluas peluang menjadi pekerja perempuan di semua bidang. Ini mengonfirmasi bahwa dalam sistem kapitalistik ini untuk meningkatkan perempuan semakin berdaya adalah yang dapat menghasilkan materi, selaras dengan paradigma yang dibangun oleh sistem ini.

Kesempatan menjadi pekerja perempuan di semua bidang ini bukan sekadar diatur di tingkat nasional. Program pemberdayaan perempuan, sudah menjadi program global yg selalu dikampanyekan setiap tahunnya. Tuntutan kesetaraan gender adalah tuntutan global yang diusung oleh perempuan-perempuan dunia dalam setiap perayaan International Women Day (IWD) dan diamini oleh lembaga dunia PBB sehingga masuk dalam agenda global.

Deklarasi dan Kerangka Aksi Beijing (BPfA) merupakan hasil dari konferensi dunia keempat PBB terkait Perempuan pada September 1995 di Beijing, Tiongkok. Program ini memiliki tujuan untuk meningkatkan hak-hak kaum perempuan dan kehidupan mereka secara global melalui penegakkan ‘Kesetaraan Gender’ di dalam seluruh bidang kehidupan: politik, ekonomi, dan sosial, serta untuk menggabungkan perspektif gender ke dalam seluruh kebijakan, undang-undang, dan program di dalam negara-negara dunia, pada seluruh tingkat masyarakat. ‘Pemberdayaan Perempuan melalui Partisipasi Kerja’ adalah tema dominan dalam BPfA. PBB menganggap dokumen ini sebagai agenda yang paling visioner untuk pemberdayaan perempuan dan anak perempuan secara internasional, serta sebagai “kerangka kebijakan global dan cetak biru aksi yang paling komprehensif” dalam merealisasikan kesetaraan gender dan hak-hak asasi manusia bagi kaum perempuan dan anak perempuan di seluruh dunia.

Agenda global yang diadopsi 189 negara telah menjadi dasar pembentukan undang-undang dan hukum nasional yang berkaitan dengan hak-hak kaum perempuan. Kampanye internasional yang telah diadopsi negara-negara dunia terus berusaha meraih tujuannya untuk membangkitkan sebuah generasi baru yang menyerukan kesetaraan gender, dan untuk mencapai kesetaraan gender dalam bidang ekonomi, politik, dan kehidupan keluarga sebelum tahun 2030.

Itulah mengapa, sangat wajar program pemberdayaan perempuan dengan membuka lebar-lebar kesempatan bagi pekerja perempuan terus diusung dan digalakkan serta bersinergi dengan semua program kementerian. Ini adalah hasil adopsi program global yang sepakat untuk mengimplementasikan berbagai ketentuan dan komitmen-komitmen di dalam deklarasi BPFA tersebut di negara mereka, dan untuk menghapus segala hambatan sistemik, budaya, dan keagamaan terhadap kesetaraan antara laki-laki dan perempuan di tengah masyarakat, baik di kehidupan umum maupun pribadi.

Peningkatan peluang bagi pekerja perempuan yang terus ditingkatkan dan bersinergi dengan seluruh program di semua kementerian telah menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Berdasarkan laporan Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 50,70 juta penduduk usia 15 tahun ke atas yang bekerja adalah perempuan pada 2020. Jumlah tersebut meningkat 2,63% dibandingkan pada tahun 2019 yang sebanyak 49,40 juta orang. Pekerja perempuan ada sebanyak 27,55% pada tahun 2020 merupakan tenaga usaha penjualan. Persentasenya naik 1,07 poin jika dibandingkan pada 2019 yang sebesar 26,48%. Pekerja perempuan yang merupakan tenaga usaha tani, kebun, ternak, ikan, hutan, dan perburuan mencapai 26,65%. Pekerja perempuan yang menjadi tenaga produksi, operator alat angkutan dan pekerja kasar sebesar 19,65%. Sebanyak 9,8% pekerja perempuan merupakan tenaga profesional, teknisi dan tenaga lainnya. Pekerja perempuan yang ada di posisi tenaga usaha jasa sebesar 9,22%. Pekerja perempuan yang menjadi pejabat pelaksana, tenaga tata usaha dan sejenisnya sebesar 6,37%. Pekerja perempuan sebanyak 0,65% merupakan tenaga kepemimpinan dan ketatalaksanaan. Sedangkan, 0,11% pekerja perempuan ada di jenis pekerjaan lainnya (databoks.katadata.co.id, 7/10/2021).

Inilah paradigma kapitalistik dalam memandang suatu kebahagian, kesejahteraan dan kemuliaan diukur dengan banyaknya materi yang diperoleh. Alhasil, sistem ini berupaya penuh menjadikan perempuan-perempuan berdaya dengan menjadikan mereka pekerja. Pekerja perempuan diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk memilih bidang pekerjaan yang disukainya. Bahkan meskipun itu termasuk bentu pekerjaan yang mengeksploitasi unsur keperempuanannya, seakan tidak menjadi masalah jika berbanding dengan ditawarkannya gaji mahal secara instan. Karena, pekerja perempuan mulia diukur secara materi dalam paradigma sistem kapitalistik. Apakah benar paradigma sistem kapitalistik ini dapat mewujudkan pekerja perempuan mulia secara nyata? 


Pekerja Perempuan Mulia Hanya Ilusi dalam Paradigma Sistem Kapitalistik

Dalam paradigma kapitalistik sering dikatakan bahwa untuk meningkatkan partisipasi kerja kaum perempuan dan menyetarakan kehadiran mereka di dunia kerja dengan kaum laki-laki akan membantu mengangkat perempuan dan suatu bangsa keluar dari jerat kemiskinan, mampu mendorong pertumbuhan ekonomi, serta memungkinkan perempuan untuk berpartisipasi penuh dalam masyarakat dengan akses makin besar pada banyak kesempatan. Pekerja perempuan juga dianggap akan semakin berkontribusi besar pada pembangunan berkelanjutan di negerinya.

Padahal sejatinya, bekerja adalah mubah bagi seorang perempuan dalam paradigma sistem Islam. Namun seakan menjadi 'wajib' ketika terkungkung dalam kubangan sistem kapitalistik. Bahkan, solusi untuk memberdayakan perempuan dalam kapitalistik pun hanya berkutat tentang perolehan materi sebanyak-banyaknya. Sehingga solusi sistem kapitalistik hanyalah menjadikan mereka berdaya sebagai pekerja perempuan.

Dan saat perempuan tenggelam terlalu dalam, bukannya kesejahteraan hakiki dan memperoleh kehidupan mulia, malah peran fitrahnya sebagai perempuan terpinggirkan. Dampak negatif lah yang ditimbulkan bagi dirinya sendiri maupun sekitarnya, di antaranya:

Pertama. Dampak bagi keluarga.

Dalam keluarga, angka perceraian setiap tahunnya mengalami peningkatan, melalui kumparan.com diberitakan pada bulan April dan Mei 2020, perceraian di Indonesia di bawah 20.000 kasus, namun pada bulan Juni dan Juli 2020, jumlah perceraian meningkat menjadi 57.000 kasus. Jumlah kasus gugatan cerai melonjak hingga 80 persen yang diajukan ke Pengadilan Agama mayoritas diajukan oleh pihak istri. Salah satu alasannya adalah ketidak harmonisan karena faktor pendapatan. Seperti pendapatan atau gaji istri yang lebih tinggi dari suami.

Peran fitrahnya sebagai pengatur rumah tangga pun berpotensi terbengkalai, akibat beban kerja yang dipikulnya, mengharuskannya menjadi perempuan super power, selain menyelesaikan pekerjaannya di tempat kerja, perempuan juga harus bisa menyeleaaikan pekerjaan di rumah.

Kedua. Dampak bagi perkembangan anak.

Dorongan bekerja bagi perempuan berarti beban perempuan makin berat. Karena perempuan tak mungkin melepas jatidiri sebagai istri dan ibu. Alhasil, pendidikan orang tua kepada anak pun terlalaikan. Tak jarang pendidikan anak lebih banyak diserahkan kepada guru, pembantu, atau keluarga lainnya.

Menyelesaikan masalah kaum perempuan dan memuliakannya di masyarakat dengan mendorongnya ke dunia kerja atas nama pemberdayaan ekonomi. Ini justru merupakan eksploitasi dan pengabaian terhadap peran strategis perempuan sebagai pendidik generasi.

Ketiga. Dampak bagi perempuan sendiri.

Perempuan saat ini mungkin bisa menjadi petani, pekerja pabrik, CEO perusahaan, ilmuwan, insinyur, dokter, dan memegang banyak pekerjaan lain yang mungkin tidak terpikirkan sebelumnya. Namun terbukanya akses ke dunia pekerjaan pada kaum perempuan melalui slogan employment for empowerment ternyata tidak mengubah nasib perempuan justru mengakibatkan eksploitasi perempuan makin meluas. Justru kampanye kebebasan bekerja dan finansial bagi perempuan oleh kalangan feminis, ditambah kesenjangan ekonomi dan kemiskinan membuat arus eksploitasi tenaga kerja perempuan semakin kuat. 

Di sisi lain pekerjaan bagi kaum perempuan yang saat ini meskipun banyak ragam yang ditawarkan dan terbuka lebar di banyak bidang, mirisnya banyak sekali pekerjaan yang menawarkan gaji mahal secara instan namun sebenarnya tidak lebih merupakan bentuk eksploitasi sisi keperempuanannya. 

Belum lagi, kondisi sekarang ini, telah berbalik, keberadaan perempuan bekerja tak sedikit berubah menjadi peran penanggung jawab kebutuhan keluarga, menjadi tulang punggung keluarga. Sehingga, perempuan banyak dipekerjakan dengan upah yang sangat rendah dan tidak layak karena tidak punya pilihan yang lain akibat beban kebutuhan yang menghimpit.

Paradigma kapitalistik telah melihat kaum perempuan sebagai aset ekonomi. Ilusi paradigma sistem kapitalistik tentang 'pemberdayaan perempuan melalui pekerjaan', telah menjadikan perempuan korban dari kebijakan kapitalisme buruh yang eksploitatif, serta tidak adanya peran negara dalam melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja dan warga negara. Pekerja perempuan mulia hanya ilusi dalam paradigma sistem kapitalistik. Lalu, bagaimanakah paradigma yang benar, yang akan dapat mengantarkan pekerja perempuan mulia?


Pekerja Perempuan Mulia Terwujud dalam Paradigma Sistem Islam

Hal ini sungguh berbeda dalam paradigma Islam yang sangat memuliakan perempuan. Bekerja bagi seorang perempuan adalah benar-benar hanya sekadar sebuah pilihan bukan tuntutan keadaan. Perempuan dapat memilih secara leluasa.

Islam berbeda dari kapitalisme, dan memiliki paradigma dan pendekatan unik terhadap pemberdayaan perempuan, di antaranya:

Pertama. Dalam Islam, pemberdayaan didefinisikan oleh takwa dan bukan materi.

Dalam paradigma Islam, pemberdayaan perempuan, seperti halnya setiap individu, ditentukan oleh tingkat takwa, bukan dari kekayaan atau materi, status sosial atau profesi. Allah SWT berfirman, “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu.” [Al-Hujurat: 13].

Oleh karena itu, perempuan tidak dinilai berdasarkan apakah mereka bekerja atau tidak, atau berapa jumlah pendapatan,tetapi melainkan berdasarkan karakter dan kepatuhan terhadap syariat Islam dan pemenuhan tugas-tugas yang telah ditentukan atas mereka, termasuk tanggung jawab yang berat dan vital sebagai seorang istri dan ibu. Lebih jauh lagi, kebahagiaan sejati dan kesuksesan dalam Islam tidak didefinisikan oleh perolehan materi tetapi dengan mencari ridha Allah SWT, "...keridhaan Allah adalah lebih besar; itu adalah keberuntungan yang besar..” [At-Taubah: 72].

Kedua. Islam mengatur tata nilai yang harmonis dalam masyarakat.

Paradigma Islam tidak pernah menempatkan keuntungan materi di atas segalanya. Berbeda dengan paradigma kapitalistik yang berfokus pada masalah-masalah material yang sering merugikan orang lain. Sehingga, paradigma Islam ini meminimalkan perilaku eksploitatif dan tidak adil terhadap orang lain. Paradigma Islam juga menolak menempatkan kepentingan keuangan di atas integritas bangunan keluarga, yang tercermin dalam tekanan yang diberikan pada perempuan untuk memasuki pekerjaan yang telah mengeliminir peran ibu, melemahkan perkawinan, mengabaikan hak-hak anak dan menempatkan beban besar pada perempuan untuk menjadi pencari nafkah keluarga mereka, semuanya atas nama menjadikan mereka penggerak mesin ekonomi. 

Dalam Islam, jenis pekerjaannya pun adalah jenis pekerjaan yang tetap menjaga kemuliaan dan kehormatan perempuan, Negara Islam menutup semua akses jenis pekerjaan yang mengeksploitasi dan mengekspos tubuh perempuan. Islam melarang pria dan wanita untuk melakukan segala bentuk perbuatan yang mengandung bahaya terhadap akhlak atau yang dapat merusak masyarakat. Dilarang mempekerjakan perempuan dengan tujuan memanfaatkan aspek keperempuanannya.

Rafi ibn Rifah menuturkan Nabi SAW telah melarang kami dari pekerjaan seorang pelayan wanita kecuali yang dikerjakan dengan kedua tangannya beliau bersabda, "Begini (dia kerjakan dengan jari jemarinya) seperti membuat roti, memintal atau menenun." (HR Ahmad).

Kaum perempuan dijaga kehormatan mereka dengan larangan mempekerjakan mereka di tempat-tempat penjualan untuk menarik pengunjung, di kantor diplomat dan konsulat dalam rangka mencapai tujuan politik, sebagai pramugari di pesawat-pesawat terbang, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang mengeksploitasi unsur kewanitaan mereka.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam tidak memandang perempuan sebagai aset ekonomi, pekerja perempuan dilindungi dari eksploitasi dalam bentuk apa pun, di mana kehormatan dan kesejahteraan mereka selalu dilestarikan, dan di mana mereka didukung untuk memenuhi peran vital mereka sebagai ibu.

Namun demikian, perempuan dalam Islam boleh menjadi pegawai-pegawai dalam kantor pemerintahan, pekerja industri, pedagang maupun guru-guru, bekerja di lapangan pertanian. Seperti Rusyaidah Islamiyah pernah menjadi dokter di kota Madinah. Rufaidah ditunjuk Nabi Muhammad SAW untuk mengelola sebuah rumah sakit lapangan di sekitar Masjid An Nabawi di Madinah, Rumah Sakit lapangan melayani mereka yang membutuhkan perawatan medis serta tempat penampungan sementara bagi mereka yang baru saja tiba di kota. Syifa binti Abdullah ditunjuk oleh Khalifah Umar bin Khattab sebagai qadhi hisbah yang menyelesaikan perkara harta dan perdagangan di antara manusia. Aisyah sebagai ahli politik. Fatimah Al Hijriyah sebagai insinyur, dan masih banyak lagi yang lain.

Dalam Islam perempuan dijaga kehormatannya dengan penerapan aturan pakaian yang menutup aurat dan larangan tabarruj, aturan pergaulan yang jauh dari khalwat dan kewajiban disertai mahram bagi perempuan yang bepergian menempuh jarak safar. Semua itu bertujuan agar kehormatan para perempuan senantiasa terjaga dan terpelihara.

Ketiga. Islam memiliki sistem politik ekonomi yang benar dan mampu mengangkat kaum perempuan dari jurang kemiskinan.

Sistem politik Islam, khilafah, adalah sistem yang diturunkan Allah SWT, Sang Pencipta. Khilafah mengorganisir masyarakat untuk kepentingan semua orang, bukan hanya orang kaya dan berkuasa, dan memberikan penekanan besar pada nilai-nilai, kebijakan dan hukumnya, dalam menjaga kebutuhan orang miskin, lemah dan rentan. 

Islam menjamin kebutuhan pokok perempuan dengan mekanisme kewajiban nafkah ada pada suami atau ayah, kerabat laki-laki bila tidak ada suami atau ayah, atau mereka ada tapi tidak mampu serta jaminan negara Khilafah secara langsung bagi para perempuan yang tidak mampu dan tidak memiliki siapapun yang akan menafkahinya, seperti para janda miskin.

Abu Hurairah ra berkata Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa saja yang meninggalkan kalla maka dia menjadi kewajiban kami." (HR Muslim). Kalla adalah orang-orang yang lemah dan tidak mempunyai anak maupun orang tua.

Demikianlah gambaran kehebatan bagaimana peradaban Islam dalam memuliakan pekerjaan perempuan. Pekerja perempuan mulia terwujud dalam paradigma sistem Islam. Maka hari ini kenapa pekerja perempuan tidak bisa sejahtera dan tidak terpenuhi hak-haknya, kesalahan ini tidak lain dan tidak bukan karena sistem yang diterapkan adalah paradigma sistem kapitalistik sekuler yang menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi. Sudah saatnya kita campakkan sistem rusak ini dengan Islam agar perempuan dan seluruh elemen masyarakat terjamin hak-haknya.


Penutup

Pekerja perempuan mulia diukur secara materi dalam paradigma sistem kapitalistik. Paradigma inilah yang mendasari upaya penuh pemenuhan hak-hak perempuan dengan memberdayakan perempuan secara ekonomi. Berbagai jenis pekerjaan dan peluang dibuka lebar. Bahkan gaji mahal dapat pekerja perempuan raih, meskipun dengan mengeksploitasi unsur keperempuanan mereka. Paradigma sistem kapitalistik tidak memberi batasan, asal tujuan materi dapat teraih.

Pekerja perempuan mulia hanya ilusi dalam paradigma sistem kapitalistik. Faktanya, telah banyak dampak negatif yang diakibatkan dari paradigma ini. Baik dampak bagi keluarga, bagi perkembangan anak, maupun bagi dirinya sendiri sebagai perempuan. Dalam keluarga, ditemui semakin meningkatnya angka perceraian, peran fitrahnya sebagai pengatur rumah tangganya terbengkalai dan terabaikan, karena mau tidak mau memaksanya berperan ganda, harus menyelesaikan tugas pekerjaannya pun harus mengurus rumah tangganya. Dalam perkembangan anak, peran fitrahnya tergerus oleh beban pekerjaan, berujung pada pengabaian terhadap peran strategis perempuan sebagai pendidik generasi. Sedangkan bagi dirinya sendiri, tidak mengubah nasibnya justru mengakibatkan eksploitasi perempuan makin meluas, dunia kerja yang ditawarkan pun banyak yang mengeksploitasi sisi keperempuanannya. Bahkan, semakin banyak merubah perannya sebagai tulang punggung keluarga.

Pekerja perempuan mulia terwujud dalam paradigma sistem Islam. Islam tidak menempatkan materi sebagai kebagian utama, melainkan ketakwaan serta ridha Allah sebagai sumber kebahagiaan. Islam memiliki tata nilai dalam masyarakat yang tidak membenarkan adanya ekspoitasi terhadap perempuan baik dari segi keperempuanannya maupun memandangnya sebagai aset ekonomi. Islam melindungi, menjaga dan memuliakan perempuan serta tetap menjaga peran vital perempuan sebagi ummun wa rabatul bait. Islam juga memenuhi kebutuhan perempuan, sehingga bekerja bukan menjadi tuntutan demi memenuhi kebutuhan hidup, namun sekadar sebagai pilihan. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analisis Mutiara Umat dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar