Khilafah: Mampukah Bangkit Kembali pada Milenium Ketiga di Tengah Benturan Peradaban?


TintaSiyasi.com -- Bila peradaban Islam kembali berjaya, siapa yang tak menghendakinya? Sebuah tatanan kehidupan berdasar hukum Allah SWT yang menerapkan Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Peradaban yang pernah mengantarkan umat Islam pada masa kejayaannya. Tak hanya dominasi aspek ukhrawi, bidang-bidang kehidupan “duniawi” seperti ilmu dan teknologi pun mengalami kegemilangan sangat berarti. 

Sebagai bagian umat Islam, Presiden Keenam RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pun berharap peradaban Islam kembali berjaya di milenium ketiga. Pada pidato kunci dalam konferensi internasional UIN Ar-Raniry Aceh secara virtual beberapa waktu lalu, SBY menyimpulkan bahwa peradaban Islam memperoleh kejayaan pada milenium pertama, lalu peradaban Barat mengejar di milenium kedua. SBY menaruh asa agar peradaban Islam dapat membalikkan keadaan seperti di milenium pertama sehingga berjaya lagi di dunia (law-justice.co, 6/10/2021).  

Sayangnya, harapan SBY ini seakan berbanding terbalik dengan pandangan beberapa pihak, salah satunya Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Direktur Pencegahan BNPT Brigjen Pol. R. Ahmad Nurwakhid menyampaikan agar mereduksi dan melawan propaganda kelompok khilafah. Selain itu, umat beragama di Indonesia wajib menaati perjanjian yang sudah menjadi kesepakatan para pendiri bangsa, tokoh bangsa, alim ulama, dan tokoh agama. Dia menyebut, dalam indeks potensi radikalisme di Indonesia, masih ada sekitar 12,2 persen yang masuk dalam kategori orang tanpa gejala (OTG) yang terpapar radikalisme. Indikatornya mereka ini anti-Pancasila dan pro khilafah (beritasatu.com,15/10/2021). Bukankah ini pernyataan gegabah dan berpotensi memecah belah bangsa?

Padahal apa yang disampaikan SBY bukanlah omong kosong. Peradaban Islam pernah menjadi lokomotif kemajuan di segala bidang kehidupan. Adalah kekhilafahan Islam yang pernah menjadi pusat peradaban dunia selama kurang lebih 13 abad. Usia yang sangat panjang untuk ukuran sebuah negara ideologis dan peradaban global yang sangat besar. Keagungan peradaban Islam di bawah naungan khilafah telah banyak diakui oleh para ilmuwan dan intelektual dunia, termasuk dari Barat. 

Menelisik keberhasilan umat Islam membangun peradaban nan mulia, kita akan menemukan bahwa bersatunya umat Islam dengan ajarannya merupakan kuncinya. Maka, jika umat Islam ingin kembali meraih kejayaan peradabannya, caranya adalah sebagaimana penjelasan SBY agar para pengikutnya menjalankan ajaran Islam sepenuhnya, salah satunya menerapkan Islam sebagai rahmat bagi semesta dan menjadikan Islam bagian dari solusi di dunia ini (republika.co.id, 4/10/2021). 

Dengan demikian, menjadi keniscayaan bagi umat Islam untuk berjuang melakukan perubahan berbasis Islam di tengah berbagai tantangan dan tentangan, termasuk dari penguasa hari ini. Berjuang menghadirkan lagi khilafah islamiyah sebagai representasi peradaban Islam yang terbukti menyejahterakan, memberikan keamanan, menyebarluaskan pendidikan, hingga berbagai ilmu, seni, dan teknologi mengalami kemajuan luar biasa, seperti pengakuan Will Durant, seorang intelektual Barat dalam buku “The Story of Civilization.” Berdasar keyakinan akan janji Allah dan kabar gembira Rasulullah, serta catatan emas sejarah, hanya khilafahlah yang mampu mewujudkan harapan kembalinya kejayaan peradaban Islam. Kami percaya. Anda? 

Harapan SBY Islam bangkit kembali di milenium ketiga di Tengah Kriminalisasi Ajaran Islam

Tak hanya dalam konferensi internasional UIN Ar-Raniry tahun ini. SBY juga menyampaikan harapannya agar pada milenium ketiga umat Islam bangkit dan kembali berkontribusi kepada peradaban dunia, saat memberikan ceramah di depan Pimpinan Pondok Pesantren Alumni Gontor di Pesantren Daar El-Qolam, Tangerang, Banten, pada 20 Januari 2018 (detik.com, 20/1/2018).

Terkaitnya, Kepala Biro Perhubungan DPP Partai Demokrat, Abdullah Rasyid turut mengapresiasi keinginan SBY soal peradaban Islam. Baginya, keinginan SBY tersebut seiring sejalan dengan keinginan dan doa seluruh penduduk Muslim di Indonesia (galamedianews.com, 5/10/2021).

Harapan SBY ini jika tulus berasal dari lubuk hati seorang Muslim, tentu sebuah sinyalemen bagus atas kesadaran kaum elit politik menjalankan aturan agamanya. Namun, jika pernyataannya tak lebih sebagai komoditas politik dalam rangka meraih simpati umat Islam sebagai kantong massa terbesar, maka hal ini hanyalah lip service dan pencitraan demi menjaga kepentingan dinasti politiknya. 

Terlepas dari analisis di atas, pernyataannya menarik untuk dicermati di tengah upaya kriminalisasi terhadap ajaran Islam berikut simbol-simbolnya. Di mana hal ini diduga sebagai upaya membendung kebangkitan umat Islam dalam menegakkan khilafah Islam sebagai representasi peradaban Islam. 

Menurut kami, sungguh tidak fair bila kita mengharamkan sistem khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Mengapa? Karena dalam sejarah, selama 1300 tahun umat Islam hidup dalam kepemimpinan sistem kekhilafahan, apapun bentuk dan variasinya. Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Utsmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah kita juga pernah dibantu khilafah ketika kita melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu ahistoris! 

Jejak Khilafah di Nusantara dapat diungkap melalui banyak data dokumen, arsip sejarah, dan penemuan-penemuan bukti bendawi terkait hubungan kekhilafahan Islam di Turki dan Nusantara. Bahkan lebih jauh lagi, ada bukti historis yang menunjukkan bahwa Aceh sebagai bagian dari Nusantara sudah menjalin hubungan dengan kekhilafahan Islam sejak masa Daulah Abbasiyah.  

Kehebatan Kesultanan Islam di Aceh juga ditunjukkan dengan sejarah pasukan elit dengan 400 Ahli Militer dari Turki Ustmani dan 15,000 Ghazi Aceh menggunakan armada raksasa bersatu membebaskan Semenanjung Malaka dari pendudukan Portugis, langsung di bawah komando Sultan Aceh Alaudin Riayat Syah al-Qohhar. Sejarah tersebut banyak dinarasikan dalam Film Jejak Khilafah di Nusantara 1 yg dikenal dengan JKDN#1, yang heboh di tahun 2020 akhir. Anda sempat menontonkah? 

Mengapa umat Islam terombang-ambing dalam keraguan? Orang ragu itu karena prinsipnya kurang atau bahkan tidak berilmu. Mungkin kita akan debatable terkait masalah ini, mengingat situasi politik sekarang yang sangat absurd dan begitu banyak distorsi penalaran sebagai insan berpikir. Sebagai sebuah ilmu pemerintahan, khilafah tentu bukanlah sesuatu yang menjijikkan, atau berbahaya bagi eksistensi suatu rezim mana pun selama kita tidak menggunakan cara kekerasan dan pemaksaan, apalagi penggunaan perilaku ekstrem untuk memberlakukan suatu sistem pemerintahan tertentu. 

Selain penguasaan ilmu, dibutuhkan kedewasaan berpikir untuk memahami semua sistem apa pun di dunia ini sehingga kita tidak antipati bahkan prejudice terhadapnya, sementara pengetahuan kita sangat minim dan terbatas. Mari tingkatkan literasi agar tidak mudah terprovokasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab dan suka melempar tanggung jawabnya. Kita buktikan bahwa Islam itu rahmatan lil 'alamiin, rahmat bagi seluruh alam. 

Banyak hal memang yang mesti kita perjuangkan agar Islam dapat memimpin dunia di milenium ketiga sebagaimana harapan SBY dan tentunya juga umat Islam. Dan yang paling utama adalah meyakinkan umat Islam terhadap syariat Islam itu sendiri. Keraguan hanya akan mengikis perjuangan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil'alamin dengan menegakkan hukum-hukumnya secara kaffah di muka bumi, termasuk Indonesia. 

Dampak Barat Menguasai Peradaban di Milenium Kedua terhadap Upaya Kebangkitan Islam di Milenium ketiga

Para ahli sejarah sepakat, zaman Khalifah Sulaiman al-Qanuni (926-974 H/1520-1566 M) merupakan era kejayaan Khilafah Utsmaniyah. Pada masa ini, ia telah jauh meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Namun setelah Sulaiman al-Qanuni meninggal dunia, khilafah mengalami kemerosotan terus-menerus.

Secara internal, ada dua faktor utama penyebab kemunduran Khilafah Utsmaniyah. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, kesalahan dalam menerapkan Islam. Pada masa ini terjadi banyak penyimpangan pengangkatan khalifah yang tak tersentuh undang-undang. Akibatnya, yang diangkat khalifah justru orang-orang yang layak atau lemah.

Sementara itu, di luar negeri, sejak penaklukan Konstantinopel oleh khilafah pada abad ke-15, Eropa-Kristen telah melihat penaklukan ini sebagai awal Masalah Ketimuran. Inilah yang mendorong Paus Paulus V (1566-1572 M) menyatukan negeri-negeri Eropa yang sebelumnya terlibat dalam konflik antaragama: Protestan dan Katolik. Konflik ini baru bisa diakhiri setelah Konferensi Westavalia tahun 1667 M. 

Pada saat yang sama, penaklukan Khilafah Utsmaniyah pada tahun-tahun tersebut terhenti. Kelemahan khilafah pada abad ke-17 M itu dimanfaatkan oleh Austria dan Venesia untuk memukulnya. Bahkan Khilafah Utsmaniyah terpaksa kehilangan wilayahnya di Eropa, setelah kekalahannya dari Rusia dalam Perang Crimea pada abad ke-18 M. Nasib Khilafah Utsmaniyah kian tragis pasca Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887 M).

Di sisi lain, karena lemahnya pemahaman Islam, para penguasa mulai membuka diri terhadap demokrasi yang didukung oleh fatwa-fatwa syekh al-Islam nan kontroversial. Hingga sedikit demi sedikit terjadi sekularisasi terhadap khilafah Islam. Kondisi ini dimanfaatkan oleh kaum misionaris untuk bergerak intensif di dunia Islam sejak abad ke-16 M.

Di tengah kemunduran intelektual dunia Islam, mereka mendirikan berbagai pusat kajian sebagai kedok gerakan. Gerakan inilah yang digunakan Barat menyerang pemikiran Islam. Serangan ini memang sejak lama dipersiapkan oleh para Orientalis Barat, yang sejak abad ke-14 M mendirikan Center of the Oriental Studies (Pusat Kajian Ketimuran). Gerakan misionaris dan orientalis jelas bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di dunia Islam.

Untuk menguasai dunia Islam, Islam sebagai asas harus dihancurkan, khilafah Islam sebagai penjaganya mesti diruntuhkan. Untuk itu, mereka menyerang pemikiran Islam, menyebarkan paham nasionalisme di dunia Islam, dan menciptakan stigma terhadap Khilafah Utsmaniyah sebagai The Sick Man (Orang Sakit). Agar kekuatannya lumpuh sehingga bisa dijatuhkan dengan mudah. 

Secara intensif, mereka terus memprovokasi gerakan-gerakan patriotisme dan nasionalisme di dunia Islam agar memisahkan diri dari kesatuan khilafah Islam. Bahkan gerakan-gerakan keagamaan juga mereka eksploitasi seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 M, Wahabi dimanfaatkan Inggris melalui agennya, Ibn Saud, untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah khilafah, yakni Hijaz dan sekitarnya.

Pada saat yang sama, di Eropa, wilayah-wilayah yang dikuasai oleh khilafah terus diprovokasi agar memberontak sejak abad ke-19 M hingga abad ke-20M. Khilafah Utsmaniyah akhirnya kehilangan banyak wilayahnya hingga keruntuhannya pada tahun 1924 M.

Pasca Barat menguasai wilayah Islam dan menguasai peradaban dunia hingga kini, tantangan utama yang dihadapi umat Islam ialah dominasi sistem sekularisme beserta turunannya yaitu demokrasi di bidang pemerintahan, kapitalisme di bidang ekonomi, dan liberalisme di bidang sosial budaya. Juga pemikiran lainnya yang lahir dari rahim sekularisme.  

Adapun dampak penguasaan Barat terhadap upaya kebangkitan Islam di milenium ketiga ialah:

1. Dominasi sistem politik, ekonomi dan perundang-undangan Barat di dunia Islam.

Hampir seluruh dunia Islam, sistem pemerintahannya berdiri atas dasar demokrasi. Berjargon kedaulatan rakyat, manusia berwenang membuat hukum. Hakikatnya, pemikiran ini berkehendak menjauhkan umat Islam dari keterikatan pada hukum Allah. Agar diterima kaum Muslimin, Barat membuat kamuflase demokrasi seolah hanyalah sarana memilih pemimpin. Andai umat Islam mengetahui hakikat demokrasi, maka tak akan mau menerima dan meyakininya sebagai sistem politik terbaik. 

2. Hegemoni pemikiran Barat khususnya nasionalisme terhadap politik dunia Islam.

Keberadaan nasionalisme telah mengkotak-kotakkan umat Islam ke dalam sekat-sekat negara. Hal ini menjadi penghalang persatuan dan kesatuan umat di seluruh dunia. 

3. Adanya kurikulum pendidikan warisan penjajah.

Kurikulum pendidikan yang diajarkan di sekolah umum berdasar sekularisme. Agama “disingkirkan” dari pembelajaran materi umum. Pendidikan agama diberikan porsi waktu yang minimalis. 

4. Berbagai pemikiran destruktif menyerbu dunia Islam. 

Di tengah kedangkalan berpikir kaum Muslimin, masuklah berbagai pemikiran Barat yang merusak seperti: hak asasi manusia, feminisme, hedonisme, dan seterusnya. 

5. Upaya membelokkan persepsi kaum Muslimin kepada kehidupan selain Islam. 

Saat ini terjadi kesenjangan antara kaum Muslimin dengan sistem pemerintahan Islam (khilafah). Akibat dari upaya pendistorsian khilafah sebagai sesuatu yang buruk, kelam, bahkan jahat. 

6. Serangan pemikiran berupa stigmatisasi/labelling dan upaya pecah-belah kaum Muslimin. 

RAND Corporation, sebuah lembaga think tank Amerika Serikat telah merilis rekomendasi dalam rangka menghadang kebangkitan Islam dengan cara mengkotak-kotakkan umat Islam menjadi empat golongan: Islam radikal, Islam tradisionalis, Islam moderat, dan Islam liberal beserta strategi memecah-belah di antara mereka. 

Demikianlah dampak hegemoni Barat terhadap dunia Islam. Hal ini kian mempersulit upaya kebangkitan Islam di milenium ketiga. Namun, kaum Muslimin tak boleh gentar dan harus terus berjuang meraih asa kembalinya peradaban Islam melalui tegaknya khilafah islamiyah ala minhajin nubuwah yang kedua.

Upaya Umat Islam Meraih Kebangkitan Peradaban Islam di Milenium Ketiga

Perubahan adalah keniscayaan, terlebih jika Allah SWT menghendakinya. Dari sejarah kita belajar bagaimana Dia mempergilirkan kepemimpinan sebuah peradaban atas dunia. Perubahan tatanan dunia baru sangat mungkin terjadi. Sebagaimana pendapat Ibnu Khaldun dalam kitab Mukaddimah tentang lima sebab runtuhnya peradaban, yaitu: 

1. Ketika terjadi ketidakadilan (kesenjangan antara kaya dan miskin). 

2. Merajalelanya penindasan kelompok kuat terhadap kelompok lemah (negara kuat menindas negara lemah dan negara lemah harus mengikutinya). 

3. Runtuhnya moralitas pemimpin negara (korupsi, pidana, dan lain-lain).  

4. Pemimpin tertutup yang tidak mau dikritik, dan yang mengkritik akan dihukum.  

5. Terjadinya bencana besar (peperangan). Meski tak berwujud peperangan fisik, perlawanan terhadap Covid -19 bisa terkategori ini. 

Kelima sebab di atas sudah terjadi di dunia saat ini. Apalagi dikaitkan dengan laporan National Intelligence Council’s (NIC) pada Desember 2014 lalu yang berjudul “Mapping the Global Future.” Dalam laporan ini, diprediksi empat skenario dunia tahun 2020-an: 

1. Davod World. China dan India akan menjadi pemain penting ekonomi dan politik dunia.

2. Pax Americana. Dunia masih dipimpin oleh Amerika Serikat dengan Pax Americana-nya. 

3. A New Chaliphate. Berdirinya kembali khilafah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada nilai-nilai global Barat.

4. Cycle of Fear (munculnya lingkaran ketakutan).

Salah satu skenario kontroversial adalah munculnya kembali khilafah Islam. Skenario seperti ini sangat jarang diungkap dalam berbagai analisis dunia internasional. Bahkan banyak kaum Muslim mengatakan tegaknya khilafah Islam adalah utopis. Namun dunia hari ini sudah berbeda. Pandemi Covid-19 telah mengguncang tatanan dunia. Apakah prediksi NIC ini kian nyata? 

Hanya saja, untuk melakukan perubahan besar menuju tata dunia baru dibutuhkan kesadaran terhadap realitas rusak yang akan diubah dan fakta baru pengganti fakta rusak tersebut. Syekh Ahmad ‘Athiyat dalam bukunya Jalan Baru Islam (at Thariq) mengatakan, ada dua syarat perubahan ialah kesadaran mengenai fakta kehidupan rusak yang melingkupi kehidupan umat yaitu sistem sekularisme kapitalisme dan kesadaran tentang fakta alternatif pengganti fakta rusak tersebut, yakni syariah kaffah dan khilafah.  

Jika kesadaran terhadap fakta rusak dan fakta pengganti sudah dimiliki umat Islam melalui proses berpikir mendalam, selanjutnya yang dibutuhkan adalah pemahaman tentang metode mewujudkan perubahan menuju fakta baru tersebut. Metode tersebut ialah metode perjuangan Rasulullah SAW dengan tiga tahapan: pembinaan, berinteraksi dengan masyarakat, dan penerimaan kekuasaan. Serta karakter perjuangan beliau yaitu fikriyah (jalan pemikiran), laa madiyah (tanpa kekerasan), dan siyasiyah (politis).  

Berikut ini upaya umat Islam meraih kebangkitan peradaban Islam di milenium ketiga:

1. Yang pertama dan utama adalah perubahan pemikiran. 

Dalam teori perubahan sosial apa pun, yang pertama harus terjadi adalah perubahan bahkan revolusi pemikiran masyarakat.  Perubahan pemikiran ini bertujuan menanamkan umat akan ajaran Islam. Dan menjelaskan pada umat, sama saja memanggil fitrah berupa kecenderungan kepada kebaikan menurut pandangan Islam (hanifan musliman).

2. Pembersihan debu-debu pemahaman yang tidak islami, khususnya sekularisme dan turunannya.

Selama pemahaman sesat masih ada, maka kesadaran islami tidak akan sepenuhnya terwujud. Langkah ini ditambah dengan memaparkan fakta rusak akibat sistem yang buruk. Menurut Syaikh Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab At Takattul Hizbiy, salah satu tolok ukur keberhasilan kelompok dakwah adalah bila dakwahnya berhasil menimbulkan ‘amarah’  masyarakat akan kerusakan yang terjadi dan keinginan untuk kembali kepada Islam.

3. Menumbuhkan kesadaran politik Islam.

Dakwah mewujudkan Islam kaffah sebagai karakter peradaban Islam dilakukan kepada seluruh kalangan, dari rakyat hingga pejabat. Agar memahami dan termotivasi mewujudkan kehidupan Islam termasuk sistem politik Islam.

4. Mempersiapkan pemikiran, mental, tsaqofah, dan lain-lain dalam perang pemikiran.

Bila kita bekerja memahamkan Islam sementara sistem yang melingkupi justru bertentangan bahkan memusuhi, tentu perang pemikiran terjadi. Menjadi tantangan untuk memiliki kualitas “peluru” yang lebih baik guna memenangkan pertempuran ini. 

5. Pengembangan kiat dakwah jitu dengan cara (uslub) dan sarana (wasilah) yang tepat di tengah masyarakat milenial saat ini. 

Patut diperhatikan pemanfaatan teknologi komunikasi demi kepentingan perjuangan Islam. 

6. Perlu dikembangkan sentra-sentra dakwah baru di berbagai tempat.  

Melengkapi basis dakwah yang ada selama ini seperti masjid, majelis taklim, pesantren dan sebagainya, perlu dibuka sentra dakwah baru seperti di kantor, mal, pabrik, serta tempat-tempat konsentrasi masyarakat baru. Dakwah harus mengantisipasi pertumbuhan lingkungan semacam kompleks perumahan baru, dan seterusnya. 

7. Pembinaan di kalangan pemuda/pemudi Muslim di luar sekolah dan perguruan tinggi.

Pembinaan dilakukan secara tertata dan terpola baik melalui pembinaan umum maupun khusus dengan menanamkan pemikiran Islam dan hukum syara’. Diharapkan mampu mengatasi berbagai masalah akibat kekacauan sistem pendidikan. 

8. Melakukan sinergi dengan berbagai komponen umat Islam. 

Bekerja sama dengan komponen umat yaitu tokoh Islam, aktivis gerakan Islam, ulama, ustaz, penggerak majelis taklim, intelektual muslim, dan lain-lain untuk mempererat ukhuwah islamiyah dan kerjasama kegiatan.

Demikianlah beberapa upaya yang bisa dilakukan menuju kebangkitan pemikiran sebagai pondasi bangkitnya peradaban Islam. Jangan hanya menanti apa yang akan terjadi. Teruslah berjuang dan melayakkan diri agar khilafah islamiyah sebagai representasi peradaban Islam bisa tegak tak lama lagi. 


Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati


Iskandar, Arief B., Di Balik Keruntuhan Khilafah 3 Maret 1924 (Dari Kemunduran Berpikir Umat hingga Konspirasi Politik Barat), muslimahnews.com, 8 Maret 2021

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar