Woro-Woro Batal Haji Habis 21 M: Mengapa Sistem Demokrasi Boros Anggaran?

TintaSiyasi.com -- Edan, tak masuk akal dan tak punya empati sama sekali. Di saat rakyat banyak yang lapar karena pandemi Covid-19, Kemenag justru menghabiskan anggaran puluhan milyar hanya untuk woro-woro (pengumuman) batalnya ibadah haji tahun ini.

Anggaran Kementerian Agama (Kemenag) yang dinilai janggal itu nilainya tak tanggung-tanggung mencapai Rp21 miliar lebih. Anggaran tersebut digunakan untuk kegiatan informasi pembatalan haji 2021. Padahal, seluruh masyarakat sudah tahu, pelaksanaan ibadah haji 2021 untuk jamaah asal Indonesia batal digelar.

"Kegiatan terkait pembatalan keberangkatan jamaah haji 2021 Rp21 Miliar. Ini kan Menteri Agama sudah mengumumkan pembatalannya. Termasuk sebab dan musababnya. Saya kira seluruh calon jamaah haji, bahkan masyarakat Indonesia tahu pembatalan tersebut," kata anggota Komisi VIII DPR Fraksi Partai Demokrat (PD), Achmad saat rapat bersama rapat bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/9).

Yaqut Cholil Qoumas beralasan anggaran Rp21 miliar itu sudah merupakan kesepakatan. "Terkait anggaran Rp21 miliar itu adalah hasil kesepakatan kita. Jadi namanya kesepakatan kita tidak akan berani melanggar. Insya Allah," ujar Yaqut. (RadarTegal.com, 2 September 2021).

Oleh sebab itu, wajar jika banyak kalangan meminta penjelasan kepada Yaqut terkait biaya penyampaian pembatalan haji tersebut. Kemenag diminta buka-bukaan untuk apa saja dana sebesar itu karena menilai hal tersebut sebagai pemborosan anggaran.

Dalam sistem demokrasi, pemborosan anggaran lazim terjadi. Bukan hanya terjadi pada Kemenag, tetapi juga kementrian yang lain. Kasus penyampaian batalnya haji yang menghabiskan 21 M hanya satu dari sekian banyak pemborosan anggaran yang tidak terungkap oleh publik.

Berbeda dalam sistem Islam, negara menerapkan sistem  ekonomi Islam. Melalui Baitul Mal, negara akan mengatur semua pemasukan dan pengeluaran sesuai dengan posnya. Sehingga diharapkan dapat menutup celah kemungkinan terjadinya pemborosan anggaran yang lazim terjadi dalam sistem demokrasi saat ini.

Pemborosan Anggaran Lazim Terjadi dalam Sistem Demokrasi

Istilah boros barangkali menjadi kata familiar bagi banyak orang. Hampir setiap orang dapat terjebak dengan tingkat keborosan tinggi. Sebenarnya apa makna dari pemborosan itu sendiri? Pemborosan berarti tidak dapat dalam mengelola keuangan. Pemborosan bisa terjadi pada setiap orang dengan faktor yang menyertainya. Bukan hanya pada tingkat individu, pemborosan juga kerap terjadi baik di tingkat daerah bahkan negara. Baik APBD maupun APBN seringkali terjadi pemborosan anggaran.

Pemborosan anggaran juga ditemukan dalam pembelanjaan kementerian. Pola-pola lama berupa pengulangan penganggaran proyek, acara mubazir, hingga dinas luar kota tak bermanfaat muncul saat penganggaran. 

Pada APBN 2015, Kementerian Keuangan melalui evaluasi belanja mendapati inefisiensi Rp 8,92 triliun atau sekitar 1 persen dari seluruh belanja pemerintah. Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di Jakarta, Senin (8/2/2016), menyatakan, masih banyak pemborosan anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga negara. Pemborosan itu berupa anggaran yang melebihi standar, duplikasi satu program di beberapa kementerian dan lembaga, dan ketidaksesuaian antara tugas pokok dan fungsi kementerian serta program yang didesain. Anggaran yang melebihi standar ditemukan misalnya pada perjalanan dinas dan biaya operasional. Duplikasi program dan ketidaksesuaian fungsi kementerian dan lembaga banyak terjadi pada program bantuan sosial, program usaha kecil dan menengah, program bedah rumah, dan program pengentasan rakyat miskin.

Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) menyatakan masih banyak pemborosan atau inefisiensi Anggaran pada program-program di kementerian atau lembaga, pemerintah pusat dan daerah. Deputi Bidang Reformasi Birokrasi Akuntabilitas Aparatur dan Pengawasan Kemenpan RB M Yusuf Ateh mengatakan hasil evaluasi akuntabilitas kinerja lembaga-lembaga tersebut tahun 2015-2016 menunjukkan angka inefisiensi anggaran Rp 392,87 triliun. Menurutnya, penyebab utama inefisiensi karena banyak program yang tidak sesuai dengan sasaran. "Kebanyakan buat saja kegiatan tapi outcome-nya gak tahu," katanya di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, Senin, 19 Maret 2018.

Meski pemerintah berusaha melakukan perbaikan terkait penyusunan anggaran, namun dari tahun ke tahun pemborosan anggaran masih terus terjadi. Pada tahun ini, Menteri Sosial Tri Rismaharini menyebut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menemukan potensi inefisiensi anggaran sebesar Rp581 miliar di kementeriannya. Inefisiensi ini ditemukan pada anggaran yang digunakan untuk program pemutakhiran Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). KPK menyebutkan, terjadinya potensi pemborosan anggaran karena ketidaksinkronan regulasi dalam mendata, memverifikasi, dan validasi DTKS. Pasalnya, bukannya memutakhirkan data DTKS satu kali saja, yang dilakukan adalah memutakhirkan data masing-masing program DTKS, PKH, PBI, hingga BPNT. "Di lapangan keluarga yang sama bisa dimutakhirkan sampai 3, 4 kali, DTKS, PKH, PBI, BPNT. Padahal yang paling penting dan utama adalah memastikan pemutakhiran DTKS dan menentukan penerima program berdasarkan DTKS," jelasnya.

Selain itu, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga menemukan pemborosan anggaran satelit di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Hal ini terungkap dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2020. Mengutip dokumen BPK, Rabu (14/7/21), pemborosan terjadi karena Kominfo belum menggunakan satelit yang telah disewa dengan nilai Rp98,2 miliar. Selain itu, pemesanan layanan cloud dengan spesifikasi dan kapasitas yang melebihi kebutuhan sebesar Rp5,39 miliar. “Serta permasalahan pemborosan lainnya Rp2,26 miliar," tulis BPK dalam laporan tersebut, Rabu (14/7/21).

Bukan hanya itu, BPK juga menemukan masalah terkait pengerjaan proyek Palapa Ring Timur. Menurut BPK, pengerjaan proyek tersebut mengalami keterlambatan dan justifikasi amandemen perpanjangan tanggal wajib operasional komersial yang tidak sesuai dengan klausul kontrak.

Dan yang teranyar adalah pemborosan anggaran Kementerian Agama (Kemenag) yang mencapai Rp21 miliar untuk kegiatan informasi pembatalan haji 2021. Padahal, seluruh masyarakat sudah tahu, pelaksanaan ibadah haji 2021 untuk jamaah asal Indonesia batal digelar.

Anggaran tersebut dianggap sia-sia karena dana tersebut seharusnya dialihkan untuk kegiatan lain yang lebih bermanfaat. "Anggaran Rp21 miliar untuk menyampaikan informasi ke masyarakat. Kenapa dana ini tidak diefektifkan untuk bantu masyarakat, pondok, penyuluh agama. Ada baiknya anggaran itu digugukan saja," ujar anggota Komisi VIII DPR Fraksi Partai Demokrat (PD), Achmad saat rapat bersama rapat bersama Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas di gedung parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (1/9).

Selain itu, anggaran Rp76 miliar untuk kegiatan prioritas Kemenag juga disorot. Ada anggaran untuk kegiatan prioritas kemenag Rp76 Miliar. “Ini barangnya apa? Berikan gambaran yang jelas. Kemudian dikalkulasi kembali anggaran yang jumlahnya sangat tidak urgen. Sehingga kita bisa arahkan untuk efektifitas terhadap pendidikan keagamaan," tandasnya.

Merespons sorotan itu, Menag Yaqut Cholil Qoumas mengatakan anggaran Rp21 miliar sudah merupakan kesepakatan. "Terkait anggaran Rp21 miliar itu adalah hasil kesepakatan kita. Jadi namanya kesepakatan kita tidak akan berani melanggar. Insya Allah," ujar Yaqut.

Sementara terkait anggaran Rp76 miliar, Yaqut menyebut angka itu justru terbilang kecil. Dia menyebut beberapa program prioritas Kemenag yang dimaksud. "Sebenarnya itu masih kurang. Itu masih kecil. Karena kami memiliki beberapa prioritas program, satu penguatan sistem informasi halal. Kemudian moderasi beragama. Lalu, kaum toleransi. Ada juga program revitalisasi KUA. Selanjutnya pemulihan pesantren dan religius indeks," ujarnya.

Itulah beberapa pemborosan anggaran dalam sistem demokrasi yang terungkap oleh media. Yang tidak terungkap bisa jadi lebih banyak? Faktor penyebabnya pun beraneka warna selain pola-pola lama seperti pengulangan penganggaran proyek, acara mubazir, hingga dinas luar kota tak bermanfaat yang muncul saat penganggaran, pemborosan anggaran juga disebabkan oleh lemahnya perencanaan anggaran, hingga lamanya proses pembahasan anggaran. Terjadinya keterlambatan dalam proses pembahasan anggaran, karena di satu sisi, anggaran yang diajukan pemerintah sering banyak yang tidak tepat sasaran, sementara dari sisi DPR sendiri tak jarang banyak konflik berkepentingan.

Dampak Pemborosan Anggaran Bagi Rakyat

Pemborosan anggaran terjadi karena penetapan pagu yang berlebihan (over-budgeting) selama perencanaan anggaran. Meskipun perbaikan kualitas perencanaan anggaran setiap tahun dilakukan, namun pemborosan anggaran masih saja terlihat. Hal ini menunjukkan negara ini dikelola secara amburadul. Dari perencanaan anggaran hingga pertanggungjawaban semua dilakukan asal-asalan. Andai perencanaan tepat sesuai sasaran, tentu pemerintah tidak menetapkan defisit anggaran yang terlalu besar sehingga tidak menambah beban APBN. Padahal sumber APBN berasal dari utang dan pajak. Penarikan utang pun bisa dikurangi. Demikian juga dengan pajak. 

Namun, karena terjadi pemborosan anggaran, beban APBN pun menjadi tinggi, akibatnya, utang pemerintah pun terus meroket dan pajak yang dibebankan kepada rakyat pun semakin berat. Berikut dampak yang ditimbulkan karena pemborosan anggaran bagi rakyat antara lain: 

Pertama, Rakyat Semakin Tercekik dengan Pajak
Pemerintah mulai mengotak-atik aturan pajak dalam RUU tentang Perubahan Kelima atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Beleid itu sudah dibawa ke DPR dan masuk dalam Prolegnas 2021 yang diprioritaskan selesai untuk dapat diimplementasikan.

Teranyar, pemerintah berniat memungut pajak pertambahan nilai (PPN) bagi barang kebutuhan pokok alias sembako, seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, hingga gula konsumsi.

Penarikan PPN juga akan menyasar hasil pertambangan dan pengeboran, misalnya emas, batu bara, minyak dan gas bumi, dan hasil mineral bumi lainnya. Kemudian, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, dan jasa pengiriman surat dengan perangko.

Tak ketinggalan, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa angkutan umum di darat di air serta angkutan udara dalam negeri dan angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam, serta jasa pengiriman uang dengan wesel pos bakal jadi objek pajak.

Selain PPN, pemerintah juga berencana mengeluarkan ketentuan pajak baru, yaitu pajak karbon bagi orang atau korporasi yang membeli barang dengan kandungan karbon atau melakukan aktivitas yang menghasilkan karbon. Ide pajak ini muncul untuk mengisi kantong penerimaan negara sekaligus mengurangi emisi karbon.

Ironisnya, orang kaya justru diservis dengan adanya tax amnesty  yang mengampuni wajib pajak kelas kakap. Padahal, jelas-jelas tax amnesty gagal meningkatkan rasio pajak. Sementara kelompok terbawah mengalami tekanan kehilangan pendapatan bahkan jadi pengangguran baru. Ini ditambah kebijakan pajak baru sampai bahan pangan dikenakan PPN.

Kedua, Rakyat Makin Sengsara 
Pemborosan anggaran di Kemenag tentu sangat melukai hati rakyat. Uang APBN yang semestinya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat justru diduga kuat disalahgunakan oleh pejabat. Padahal pemerintah melalui Kemenag sebelumnya (3/6/21) telah menerbitkan Keputusan Menteri Agama Nomor 660 Tahun 2021 tentang Pembatalan Keberangkatan Jemaah Haji pada Pemberangkatan Ibadah Haji 1442 H/2021 M.

Dengan pertimbangan pandemi Covid-19, Kemenag membatalkan keberangkatan haji tahun ini. Namun siapa sangka, penyampaian pembatalan haji tersebut menghabiskan dana sebesar 21,7 M. Sungguh angka yang sangat fantastis. Di saat banyak rakyat kelaparan dan menganggur karena PHK akibat pandemi, pejabat di lingkungan Kemenag justru berpesta di atas derita rakyat. Entah untuk apa dana sebesar itu. Kalau hanya untuk mengumumkan pembatalan haji, tentu ini tidak bisa dinalar oleh akal?

Itulah dampak buruk akibat pemborosan anggaran. Rakyat makin sengsara akibat pajak beraneka warna ditambah kelakuan pejabat yang menggunakan APBN sesuka hatinya. Sistem demokrasi buatan manusia yang berpihak pada kaum kapitalis, memang meniscayakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sistem ini senantiasa berpihak pada orang kaya, sementara orang miskin akan semakin sengsara. Oleh sebab itu perlu sistem alternatif untuk mengatasinya.

Strategi Islam untuk Mengatasi Pemborosan Anggaran

Dalam kitab karya Taqiyuddin an-Nabhani yang menghimpun kebanyakan pemikiran ekonomi Islam beliau, yakni Nizam Iqtisadi fil Islam, disebutkan bahwa Baitul Mal merupakan insitusi negara yang digunakan sebagai pos yang dikhususkan untuk segala pemasukan dan pengeluaran harta yang menjadi hak kaum Muslim. 

Dari pengertian tersebut, terdapat dua bagian pokok yang mendasari Baitul Mal, yakni pemasukan dan pengeluaran. Bagian pemasukan merupakan bagian yang barkaitan dengan harta yang masuk ke dalam Baitul Mal dan segala jenis harta yang menjadi sumber pemasukannya. Sedangkan bagian pengeluaran merupakan bagian yang berkaitan dengan harta yang dibelanjakan dan segala jenis harta yang wajib dibelanjakan. Masing-masing dari tiap bagian tesebut mewakili pendapatan negara dan belanja negara.

Pendapatan Baitul Mal mencerminkan pemasukan yang didapat dari harta kaum Muslim yang diakui syara’ sebagai haknya (dikuasai atasnya) dan harta yang tidak memiliki pemilik yang jelas, merupakan hak Baitul Mal. Sedangkan pengeluaran Baitul Mal mewakili pembelanjaan negara yang wajib diberikan haknya untuk kepentingan kaum Muslim.

Dari penjabaran di atas, dapat dikatakan bahwa Baitul Mal merupakan institusi keuangan publik negara yang mengelola harta kekayaan kaum Muslim karena beroperasi dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan hak-hak publik. Selain sebagai lembaga keuangan publik, Baitul Mal menjadi instrumen kebijakan fiskal dalam negara khilafah yang pembuatan anggarannya diserahkan pada syara’ dan ijtihad khalifah tanpa perlu disetujui majelis umat (seperti parlemen dalam negara demokrasi) dan tanpa perlu menunggu pergantian tahun. Yang berarti bahwa anggaran dapat dibentuk sesuai kewenangan khalifah tanpa memperhatikan waktu-waktu tertentu berdasarkan pandangannya. Sehingga ketika anggaran Baitul Mal telah dibuat oleh khalifah, maka perintah tersebut wajib untuk ditunaikan, baik secara lahir maupun batin.

Manajemen harta dalam Baitul Mal terdiri dari 2 segmen, yakni pemasukan dan pembelanjaan. Pemasukan Baitul Mal memiliki sumber pemasukan, yakni dari hak milik individu, umum, dan negara. Pemasukan dari kepemilikan individu berupa zakat dan Shadaqah. Dari sisi kepemilikan umum berasal dari sumber daya alam, barang tambang besar, dan barang kebutuhan umum. Sedangkan dari kepemilikan negara berasal dari ghanimah, khumus, rikaz, usyr, fai’, kharaj dan jizyah.

Dalam mengalokasikan harta yang terkumpul dalam Baitul Mal, negara haruslah memperhatikan 6 kaidah berikut:

Pertama, harta yang memiliki bagian yang tidak tercampur dengan harta lain. 

Yang dimaksud harta yang memiliki kas khusus tersendiri ialah harta zakat. Harta zakat merupakan hak dari 8 ashnaf dan tidak akan diberikan selain pada 8 ashnaf. Adapun pengalokasian dalam 8 ashnaf itu sendiri Imam dapat memberikan pandangan dan ijtihadnya. Pengalokasian harta zakat dilihat berdasarkan ada-tidaknya harta zakat tersebut di dalam kas khusus Baitul Mal. Hal ini mengindikasikan bahwa 8 ashnaf penerima zakat akan mendapatkan haknya apabila harta zakat dalam Baitul Mal ada. Begitu pula sebaliknya, jikalau tidak ditemukan harta zakat pada kas khusus maka hak 8 ashnaf sebagai penerima zakat gugur dan negara tidak akan mencarikan pinjaman untuk membayar harta zakat yang tidak ada.

Kedua, harta Baitul Mal yang digunakan untuk menanggulangi terjadinya defisit harta dan melakukan jihad.

Negara memiliki pos-pos pengeluaran yang bersifat mutlak, yakni kewajiban negara seperti nafkah untuk para fakir dan ibnu sabil serta kewajiban nafkah untuk melaksanakan jihad fi sabilillah, dll. Adapun pembelanjaan untuk keperluan pemenuhan kewajiban negara pada pos ini tidak berdasarkan ada-tidaknya harta pada Baitul Mal. Pembelanjaan pada konteks ini bersifat paten sehingga negara wajib mencarikan harta guna pengeluaran tersebut dengan cara meminjam pada kaum Muslim, berapapun jumlah yang terkumpul, dan disegerakan pengembaliannya jika ditakutkan akan terjadi kerusakan bila ditangguhkan. Adapun bila tidak berpotensi terjadi kerusakan maka negara dapat menggunakan kaidah “fa nazhirah ila maysarah” atau “maka tunggulah hingga ada kelapangan”, kelapangan yang dimaksud di sini adalah keterkumpulan dan kecukupan harta yang akan dibelanjakan. Adapun jika harta untuk pengeluaran tersebut ada maka saat itu juga negara wajib membelanjakannya.

Ketiga, harta Baitul Mal yang digunakan untuk kompensasi atas jasa.

Harta lain yang negara wajib keluarkan dan bersifat mutlak adalah pembayaran kompensasi atas jasa. Berbeda dengan kaidah sebelumnya, kaidah ini menekankan pada kemanfaatan jasa yang diberikan oleh orang, seperti gaji pendidik, pegawai negeri, qadhi, tentara, dll. Pembelanjaan pada konteks ini bersifat paten, tidak didasarkan atas ada tidaknya suatu harta dalam Baitul Mal. Jika harta untuk pengeluaran tersebut ada, maka Baitul Mal wajib dibelanjakan. Sedangkan jikalau tidak ada dan ditakutkan terjadi kerusakan bila ditangguhkan, maka negara dapat mencarikan harta untuk pembelanjaan tersebut dengan meminjam pada kaum Muslim, berapa pun jumlah harta yang terkumpul, dan disegerakan pengembaliannya sesudah itu. Atau negara dapat memberlakukan dharibah atas kaum Muslim. Namun jika tidak berpotensi terjadi kerusakan jika ditangguhkan, maka berlaku kaidah “fa nazhirah ila maysarah” atau “maka tunggulah hingga ada kelapangan” dan menunggu hingga harta terkumpul kemudian dibelanjakan kepada pihak yang berhak.

Keempat, harta Baitul Mal yang dialokasikan bukan sebagai kompensasi atas jasa, melainkan demi kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum atas barang yang dianggap vital dan akan mendatangkan penderitaan umat jika tidak terpenuhi.

Kemaslahatan dan kemanfaatan umum atas barang yang dianggap sebagai objek vital dan akan memdatangkan mudharat bil tidak terpenuhi contohnya adalah air, jalan, jembatan, masjid, bangunan untuk kegiatan pendidikan, rumah sakit, dll. Pembelanjaan pada konteks ini tidak berdasarkan ada-tidaknya harta dalam Baitul Māl. Jika di dalam Baitul Māl ditemukan harta untuk pengeluaran ini maka wajib dikeluarkan. Tetapi bila tidak ditemukan, maka kewajibannya berpindah pada umat secukupnya untuk memenuhi pembelanjaan ini dengan pemberlakuan dharibah.

Kelima, harta Baitul Mal yang dialokasikan bukan sebagai kompensasi atas jasa, melainkan demi kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum. Namun tidak sampai mendatangkan penderitaan umat jikalau tidak terpenuhi.

Berbeda dengan kaidah sebelumnya, pada konteks ini umat tidak sampai tertimpa mudharat karena tidak adanya pengeluaran untuk hal ini. Pengeluaran ini meliputi pembuatan rumah sakit baru dimana sudah ada rumah sakit yang cukup untuk melayani umat di daerah itu, pembangunan jalan baru, dll. Tanpa ada objek-objek tersebut umat tidak akan tertimpa kerusakan karena kebutuhan pokoknya telah terpenuhi dan cukup. Pengeluaran ini didasarkan atas adanya harta. Jika di dalam Baitul Mal terdapat harta untuk pengeluaran ini, maka wajib dibelanjakan. Tetapi jika tidak ada, maka kewajiban tersebut gugur dari Baitul Mal dan kaum Muslim pun tidak dikenakan dharibah.

Keenam, harta Baitul Mal yang dikeluarkan karena adanya unsur darurat.

Unsur darurat ini ada karena adanya keterpaksaan dan tidak dapat dihindari maupun ditolak. Hal-hal semacam ini meliputi peristiwa- peristiwa yang menimpa kaum muslim, seperti bencana alam dan serangan musuh. Pembelanjaannya tidak berdasarkan ada-tidaknya harta melainkan bersifat mutlak. Jika harta tersebut ada maka seketika itu Baitul Mal wajib mengeluarkannya dan memberinya kepada yang berhak. Namun jikalau Baitul Mal tidak memiliki harta untuk memenuhi pengeluaran mutlak ini, maka negara dapat meminjam harta yang dikumpulkan kaum Muslim. Perlu ditekankan bahwa pengeluaran ini tidak dapat ditunda mengingat pengeluaran ini bersifat darurat.

Demikianlah gambaran yang menunjukkan bagaimana  Islam melalui Baitul Mal mengatur pemasukan dan pengeluaran negara sesuai dengan posnya masing-masing. Diharapkan tidak ada celah sedikitpun terhadap pemborosan anggaran sebagaimana yang terjadi pada APBN pada sistem demokrasi saat ini. Jika sistem ini diterapkan,  tentu akan membawa keberkahan dan kesejahteraan hidup bagi seluruh rakyat. Bukan hanya bagi umat Muslim, tetapi juga bagi umat non-Muslim yang hidup di bawah naungan Islam.

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, pemborosan anggaran lazim terjadi dalam sistem demokrasi. Faktor penyebabnya pun beraneka warna selain pola-pola lama seperti pengulangan penganggaran proyek, acara mubazir, hingga dinas luar kota tak bermanfaat yang muncul saat penganggaran, pemborosan anggaran juga disebabkan oleh lemahnya perencanaan anggaran, hingga lamanya proses pembahasan anggaran. Terjadinya keterlambatan dalam proses pembahasan anggaran, karena di satu sisi, anggaran yang diajukan pemerintah sering banyak yang tidak tepat sasaran, sementara dari sisi DPR sendiri tak jarang banyak konflik berkepentingan.

Kedua, dampak pemborosan anggaran bagi rakyat antara lain rakyat makin sengsara akibat pajak beraneka warna ditambah kelakuan pejabat yang menggunakan APBN sesuka hatinya. Sistem demokrasi buatan manusia yang berpihak pada kaum kapitalis, memang meniscayakan kesenjangan antara yang kaya dan miskin. Sistem ini senantiasa berpihak pada orang kaya, sementara orang miskin akan semakin sengsara. 

Ketiga, adapun strategi Islam untuk mengatasi pemborosan anggaran dengan menerapkan sistem ekonomi Islam. Melalui manajemen Baitul Mal, negara Islam harus memperhatikan 6 kaidah dalam mengalokasikan harta yang terkumpul antara lain: 

Pertama, harta yang memiliki bagian yang tidak tercampur dengan harta lain yakni harta zakat tidak akan diberikan selain pada 8 ashnaf. Kedua, harta Baitul Mal yang digunakan untuk menanggulangi terjadinya defisit harta dan melakukan jihad. Negara memiliki pos-pos pengeluaran yang bersifat mutlak, yakni kewajiban negara seperti nafkah untuk para fakir dan ibnu sabil serta kewajiban nafkah untuk melaksanakan jihad fi sabilillah, dll.

Ketiga, Harta Baitul Mal yang digunakan untuk kompensasi atas jasa. Negara wajib mengeluarkan dan bersifat mutlak membayar kompensasi atas jasa. 

Keempat, harta Baitul Mal yang dialokasikan bukan sebagai kompensasi atas jasa, melainkan demi kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum atas barang yang dianggap vital dan akan mendatangkan penderitaan umat jika tidak terpenuhi. 

Kelima, harta Baitul Mal yang dialokasikan bukan sebagai kompensasi atas jasa, melainkan demi kemaslahatan dan kemanfaatan secara umum. Namun tidak sampai mendatangkan penderitaan umat jikalau tidak terpenuhi.

Keenam, harta Baitul Mal yang dikeluarkan karena adanya unsur darurat, seperti bencana alam dan serangan musuh. Pembelanjaannya tidak berdasarkan ada-tidaknya harta melainkan bersifat mutlak. Jika harta tersebut ada maka seketika itu Baitul Mal wajib mengeluarkannya dan memberinya kepada yang berhak.

Dengan manajemen Baitul Mal yang mengatur pemasukan dan pengeluaran negara sesuai dengan posnya masing-masing. Diharapkan tidak ada celah sedikitpun terhadap pemborosan anggaran sebagaimana yang terjadi pada APBN pada sistem demokrasi saat ini. 

Pustaka

https://radartegal.com/informasi-pembatalan-ibadah-haji-dianggarkan-rp21-miliar-demokrat-kan-semua-masyarakat-sudah-tahu.20777.html
Harian Kompas edisi 9 Februari 2016, halaman 1 "Pemborosan Anggaran Masih Terjadi".
M Yusuf Manurung, “Kemenpan RB Catat Pemborosan Anggaran Rp 392,87 Triliun”, 2018.
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210524141149-532-646239/kpk-temukan-potensi-pemborosan-rp581-m-di-kemensos/amp
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20210714132226-532-667564/bpk-pemborosan-anggaran-satelit-rp982-m-di-kominfo/amp
An-Nabhani, Taqiyuddin, Sistem Ekonomi Islam, terj. Hafidz Abd. Rahman, (Jakarta: HTI Press, 2015), hal. 317.

Oleh: Achmad Muit
Analis Politik Islam dan Dosol 4.0 Uniol Diponorogo

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar