Syarat Politisi dalam Shalat Jumat

TintaSiyasi.com-- Pada tulisan ini alfaqir akan menyampaikan data terkait adanya syarat-syarat politis dalam shalat dan khotbah Jum'at sebagai berikut:

Pertama:
Aqwal Syaikh Abdul Wahhab Sya`roni rh 
"Termasuk perkara khilafiyah adalah qaul tiga Imam (Abu Hanifah, Malik dan Ahmad) bahwasanya tidak sah imamahnya (menjadi imamnya) shobiy (anak kecil yang belum baligh) dalam shalat jum'at, karena mereka melarang menjadi imamnya shobiy dalam shalat fardhu, maka di dalam shalat jum'at lebih dilarang. Dan Imam Syafi'i mengatakan sah imamahnya shobiy di dalam shalat jum'at ketika bilangan jamaahnya sudah sempurna tanpa shobiy...

ووجه الأول أن الإمامة في الجمعة من منصب الإمام الأعظم وهو لا يكون إلا بالغا

"Alasan qaul pertama, karena imamah dalam shalat Jum'at pada asalnya merupakan kedudukannya Imam A'zhom, di mana ia tidak ada kecuali orang yang telah baligh". (Almizan, 1/205).

Kedua:
Aqwal Syaikh Abdul Wahhab Sya`roni rh :
ومن ذلك قول الأئمة الأبعة إنه لا يجوز تعدد الجمعة في بلد إلا إذا كثروا وعسر اجتماعهم في مكان واحد... 
ووجه الأول أن إمامة الجمعة من منصب الإمام الأعظم فكان الصحابة لا يصلون الجمعة إلا خلفه وتبعهم الخلفاء الراشدين على ذلك... 

"Dan termasuk masalah khilafiyah adalah qaul empat Imam bahwasanya tidak boleh berbilangan / banyak shalat jum'at di satu negeri, kecuali ketika banyak penduduknya dan sulit berkumpul di satu tempat... 
Alasan qaul pertama (qaul empat Imam) ialah bahwa Imam shalat jum'at itu derajat / kedudukannya Imam A'dzom (khalifah). Maka para sahabat tidak shalat jum'at kecuali di belakang Imam a`zhom. Dan hal itu diikuti oleh Alkhulafa' Arrosyidiin...".

فكان كل من جمع بقوم في مسجد آخر خلاف المسجد الذي فيه الإمام الأعظم يلوث الناس به ويقولون إن فلانا ينازع في الإمامة فكان يتولد من ذالك فتن كثيرة فسد الأئمة هذا الباب إلا لعذر يرضى به الإمام الأعظم كضيق مسجده عن جميع أهل البلد. فهذا سبب قول الأئمة إنه لا يجوز تعدد الجمعة في البلد الواحد إلا إذا عسر اجتماعهم في مكان واحد فبطلان الجمعة الثانية ليس لذات الصلاة وإنما ذالك لخوف الفتنة. وقد كتب الإمام عمر بن الخطاب إلى بعض عماله : أقيموا الجماعة في مساجدكم فإذا كان يوم الجمعة فاجتمعوا كلكم خلف إمام واحد اه. 

"Maka setiap orang yang shalat jum'at di masjid lain, tidak di masjid yang ada Imam a`zhomnya, ia dicela oleh manusia dan mereka sama berkata bahwa si fulan menyaingi Imam a`zhom. Lalu hal itu melahirkan banyak fitnah. Karenanya, para Imam mujtahid menutup pintu fitnah, kecuali karena uzur yang mendapat restu imam a`zhom, seperti masjid yang sempit, sehingga tidak dapat menampung semua penduduk negeri. Inilah alasan qaul para Imam mujtahid, bahwasanya tidak boleh ada banyak shalat jum'at di satu negeri kecuali ketika penduduknya sulit berkumpul di satu tempat. Maka batalnya shalat jum'at yang kedua itu bukan karena dzatnya shalat, tapi hanya karena takut fitnah. Imam Umar bin Alkhoththob benar-benar telah menulis surat kepada salah satu amilnya : "Tegakkanlah shalat jamaah di masjid-masjid kalian. Lalu apabila datang hari Jum'at, maka berkumpullah kalian semua di belakang satu Imam". Selesai."

فلما ذهب هذا المعنى الذي هو خوف الفتنة من تعدد الجمعة جاز التعدد على الأصل في إقامة الجماعة ولعل ذالك مراد داود بقوله إن الجمعة كسائر الصلوات ويؤيده عمل الناس بالتعدد في سائر الأمصار من غير مبالغة في التفتيش عن سبب ذالك. 

"Kemudian ketika takut fitnah dari banyaknya shalat jum'at itu telah hilang, maka banyaknya shalat jum'at itu dibolehkan sesuai hukum asal dalam menegakkan shalat jamaah (yang boleh dilakukan di banyak tempat). Barangkali itulah yang dikehendaki Imam Daud, bahwa shalat jum'at itu seperti shalat-shalat yang lainnya. Dan dikuatkan oleh praktek manusia terhadap banyaknya shalat jum'at di seluruh kota, dengan tanpa berlebihan meneliti sebabnya (karena ada hajat atau tidak ada hajat)." (Almizan Alkubro, 1/209).

Ketiga:
Aqwal Syaikh Abdul Wahhab Sya`roni rh :
وقال بعض العارفين إن هذه الشروط إنما جعلها الأئمة تخفيفا على الناس وليست بشرط في الصحة فلو صلى المسلمون في غير أبنية ومن غير حاكم جاز لهم لأن الله تعالى قد فرض عليهم الجمعة وسكت عن اشتراط ما ذكره الأئمة. 

"Ba`dul Arifiin (para waliyullah) berkata; Bahwa syarat-syarat tersebut telah dijadikan oleh para Imam mujtahid hanya untuk meringankan manusia, bukan syarat sahnya shalat jum'at. Maka ketika kaum muslimin menegakkan shalat jum'at di selain bangunan-bangunan dan tanpa penguasa (yang menjadi khotib dan imamnya), maka shalat Jum'at itu dibolehkan bagi mereka. Karena Allah ta'ala telah mewajibkan shalat Jum'at atas mereka dan Allah diam dari persyaratan syarat-syarat yang telah disebutkan oleh para Imam mujtahid". (Al Mizan Al Kubro, bab Shalat Jum'at, 1/204).

Keempat:
Adanya tarqiyah (pengantar khotib naik mimbar) oleh bilal Shalat Jum'at dengan memakai redaksi berikut :

مَعَاشِرَالْمُسْلِمِينَ، وَزُمْرَةَ الْمُؤْمِنِينَ رَحِمَكُمُ اللهِ، رُوِيَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِذَا قُلْتَ لِصَاحِبِكَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَنْصِتْ، وَاْلإِمَامُ يَخْطُبُ فَقَدْ لَغَوْتَ (أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا رَحِمَكُمُ اللهِ ٢×) أَنْصِتُوا وَاسْمَعُوا وَأَطِيعُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ ١×

"Wahai golongan kaum Muslimin dan golongan kaum Mukminin semoga Allah menyayangi kalian. Telah diriwayatkan dari Abu Hurairah ra, bahwa ia berkata : Rasulullah saw telah bersabda : "Apabila kamu berkata kepada temanmu, "perhatikanlah", dan Al-Imam sedang berkhutbah, maka kamu telah sia-sia". "Perhatikanlah, dengarkanlah dan taatlah, semoga Allah menyayangi kalian" 3×. "Perhatikanlah, dengarkanlah dan taatlah, supaya kalian mendapat kasih sayang Allah".

Al-Imam yang khotbah (dan akan menjadi Imam shalat) pada tarqiyah di atas adalah Imam A`zhom yaitu khalifah, bukan khotib dan Imam shalat Jum'at selain Imam A`zhom, karena; 

Pertama. Lafadz Al-Imam dikaitkan dengan khotbah, sebelum menjadi imam shalat. Padahal shalat Jum'at dilakukan setelah khotbah. Maka dapat dipastikan bahwa Al-Imam itu adalah Imam A`zhom. 

Kedua. Anjuran dari bilal kepada hadirin dengan redaksi; 
"Perhatikanlah, dengarkanlah dan taatlah, semoga Allah menyayangi kalian" 3×. "Perhatikanlah, dengarkanlah dan taatlah, supaya kalian mendapat kasih sayang Allah 1×".

Ini menunjukkan dengan sangat jelas, bahwa Al-Imam yang akan khotbah adalah Imam A`zhom. Karena adanya banyak hadits yang menunjukkan bahwa term "mendengar dan taat" itu diwajibkan kepada Imam A'zhom, diantaranya adalah hadits; 

  أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ تَأَمَّرَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ، فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ فَسَيَرَى إِخْتِلَافًا كَثِيْرًا، فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ عَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ، وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فىِ النَّارِ. رواه أحمد وأبو داود والترميذي وابن ماجه. 

"Aku wasiatkan kepada kalian dengan bertaqwa kepada Allah azza wajalla, mendengar dan taat (kepada khalifah / amir), meskipun kalian dipimpin oleh seorang hamba sahaya, karena sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang masih diberi hidup, maka ia akan melihat banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh (meyakini, mempraktekkan dan memperjuangkan) terhadap sunnahku dan sunnah para khalifah yang cerdas dan mendapat petunjuk, gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham, dan jauhilah segala perkara yang baru, karena setiap perkara yang baru adalah bid'ah, setiap bid'ah adalah sesat dan setiap sesat adalah di neraka". HR Imam Ahmad, Abu Daud, Turmudzi dan Ibnu Majah.

 عَنْ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلَا سَمْعَ وَلَا طَاعَةَ

Dari Abdullah ra, dari Nabi saw bersabda: "Mendengar dan taat (kepada Imam / khalifah / amir) adalah wajib bagi setiap muslim, baik yang ia sukai maupun yang tidak ia sukai, selama ia tidak diperintahkan melakukan kemaksiatan, adapun jika ia diperintahkan melakukan maksiat, maka tidak ada hak mendengar dan menaati." (HR Bukhori dan Muslim).

 وعَن أنَسٍ رضي الله عنه قال: قال رسُولُ اللَّهِ ﷺ: اسْمَعُوا وأطِيعُوا وإنِ اسْتُعْمِلَ علَيْكُمْ عَبْدٌ حبشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيبَةٌ 

Dari Anas ra berkata, Rasulullah saw bersabda : "Mendengar dan taatlah, meskipun kalian dipimpin oleh seorang amil (penguasa setingkat bupati) budak negro yang rambutnya laksana anggur ". (HR Bukhori). 
Dan hadits-hadits lainnya. 

Terakhir:
Dari pemaparan diatas dapat ditarik kesimpulan; 

Pertama. Bahwa ketika dunia sudah tidak memiliki Imam A'zhom (khalifah, amirul mukminin) seperti saat ini, maka shalat Jum'at boleh ditegakkan di tempat mana saja yang dibolehkan oleh syara'; dengan jumlah jamaah jum'at berapa saja meskipun dalam satu negeri, kota, desa atau kampung besar ada lebih dari satu jamaah jum'at; dan dengan jumlah hadirin berapa saja minimal tiga orang, satu khotib plus imam dan dua makmum, sebagaimana alfaqir jelaskan pada tulisan lain, Shalat Jum'at di masa pandemi; 
https://abulwafaromli.blogspot.com/2021/07/shalat-jumat-dimasa-pandemi.html?m=1

Kedua. Bilal sudah tidak layak menyampaikan tarqiyah yang ada anjuran mendengar dan taatnya seperti diatas. Karena khotib dan imam shalat jum'at nya bukan Imam A'zhom atau yang mendapat izin dari Imam A'zhom. Apalagi ketika khotib dan imam jum'at nya orang yang sesat dan menyesatkan, dhollun mudhillun, dari kaum liberal dan aliran sesat lainnya. 

Ketiga. Ketika Imam A'zhom sudah tiada, maka yang lebih layak menjadi khotib dan imam jum'at adalah ulama, ustadz atau kiai yang sedang istiqomah berdakwah kepada wujudnya Imam A'zhom, lalu mereka yang setuju, lalu mereka yang diam tidak memitnah dan menghalangi dakwah. Sedang ulama, ustadz dan kiai yang menjadi penghalang dakwah, maka mereka sangat tidak layak menjadi khotib dan imam jum'at. Dan sangat baik mengadakan Jum'at sendiri meskipun di musholla kecil. Wallahu a'lam. []


Oleh: Ustaz Abulwafa Romli

Posting Komentar

0 Komentar