Ketika Dana Pendidikan Berbasis Profit Oriented: Inikah Watak Asli Sistem Kapitalisme?

TintaSiyasi.com-- Wajah buruk pengelolaan pendidikan oleh pemerintah dalam sistem kapitalisme kembali terpampang nyata. Meskipun kebijakan ini pada akhirnya dibatalkan pemberlakuannya di tahun 2022 karena menuai banyak protes (detiknews, 8/9/2021), namun tidak menutup kemungkinan di masa mendatang akan ditinjau ulang. Bagaimana tidak menuai protes, ketika kebijakan pengucuran dana pendidikan berbasis profit oriented

Sebelum dibatalkan, pemerintah telah mengeluarkan aturan baru bagi penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) Reguler. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) RI Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler. Yaitu mengenai ketentuan soal minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir, termaktub dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d .

Sudah dipastikan aturan ini mendapat penolakan dan menuai protes dari banyak pihak. Menanggapi hal tersebut, Plt Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek, Anang Ristanto mengatakan, "Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan di atas untuk tahun 2022 dan senantiasa selalu menerima masukan dari berbagai pihak" (Republika, 5/9/2021).

Sebenarnya bukan lagi hal baru, dalam sistem kapitalisme, pemerintah selalu membuat kebijakan didasarkan pada untung rugi, berbasis profit oriented. Ini sudah menjadi watak asli dari pemerintah dalam sistem kapitalisme, segalanya ditumpukan pada memperoleh manfaat yang sebanyak-banyaknya, tak lagi mengindahkan tanggung jawab melayani urusan rakyat.


Dana Pendidikan Berbasis Profit Oriented Wujud dari Watak Asli Sistem Kapitalisme

Peraturan baru pemerintah tentang syarat penyaluran dana pendidikan Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang akan mulai ditetapkan di tahun 2022 tersebut telah dibatalkan, karena mendapat penolakan dari berbagai pihak. Ini perihal syarat minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir, tentu saja memberatkan banyak sekolah. Tentu diketahui, banyak sejumlah sekolah swasta akan menemui kendala ini. Hal ini dikarenakan sekolah swasta banyak berada di daerah-daerah pelosok, yang belum terjangkau sekolah negeri. Sehingga kebijakan ini dapat dinilai mendiskriminasi hak pendidikan anak Indonesia dan dinilai melanggar amanat konstitusi negara. Namun, pembatalan tersebut sepertinya hanya berlaku di tahun 2022, dan ada kemungkinan besar akan adanya peninjauan ulang atas pemberlakuan kebijakan tersebut di masa mendatang. 

Sebelumnya, beberapa lembaga yang berkiprah di bidang pendidikan menyuarakan penolakannya, di antaranya:

Wakil Ketua Majelis Dikdasmen PP Muhammadiyah, Kasiyarno, menolak dan mendesak Mendikbudristek menghapus ketentuan Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan BOS Reguler khususnya Pasal 3 ayat (2) huruf d tentang Sekolah Penerima Dana BOS Reguler. Dia menjelaskan Kemendikbudristek melalui Permendikbud Nomor 6 Tahun 2021 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana BOS Reguler dan Surat Edaran Dirjen PAUD Dikdasmen Nomor 10231/C/DS.00.01/2021 tentang Pembaharuan Dapodik untuk Dasar Perhitungan Dana BOS Reguler bertolak belakang dengan amanat Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945. Memurutnya, peraturan ini diskriminatif, dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial. Sebagaimana tertera ketentuan sekolah yang memiliki jumlah peserta didik paling sedikit 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir (iNSulteng, 3/9/2021).

Ketua LP Ma'arif PWNU DKI Jakarta, Sudarto, juga termasuk yang menolak aturan yang tertuang dalam Permendikbudristek nomor 6 Tahun 2021 Tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Sekolah Reguler. Aturan ini dianggap telah mencederai semangat pendidikan dan pengembangan pendidikan untuk masa yang akan datang. Menurutnya, secara garis besar ruang lingkup Dana BOS Reguler sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat 2 adalah Dana BOS dialokasikan untuk membantu kebutuhan belanja operasional seluruh peserta didik pada satuan pendidikan dasar dan menengah. Sehingga, ketentuan pasal 3 ayat 2 huruf d, tentang syarat sekolah Penerima Dana BOS Reguler yang mengharuskan memiliki jumlah Peserta Didik paling sedikit 60 Peserta Didik selama 3 tahun terakhir sangat jelas bertentangan dengan UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan ayat (2). Ketentuan dalam peraturan ini yang memunculkan pasal berupa syarat sekolah penerima Dana Bos dibuat dengan mekanisme yang tidak aspiratif, akomodatif dan diskriminatif. Secara prinsip asas penyelenggaran kepentingan itu menghendaki agar dalam setiap tindakan yang merupakan perwujudan dari penyelenggaraan tugas pokok kementerian selalu mengutamakan kepentingan umum dengan cara aspiratif, akomodatif dan tidak diskriminatif (Republika.co.id, 5/9/202).

Ketua Umum Asosiasi Yayasan Pendidikan Islam (AYPI) H  Mirdas Eka Yora, juga menyatakan menolak aturan  Kemendikbudristek tersebut. Menurutnya, aturan ini sangat tidak beralasan. Dan juga, aturan terkait BOS tersebut dianggap tidak bijak dan  bertentangan dengan UUD 45, “Kebijakan pemerintah  ini justru menghancurkan pendidikan terutama kalangan sekolah yang sudah sangat menderita karena adanya  Covid-19". Ia mengungkapkan, puluhan ribu lembaga pendidikan swasta  terseok-seok  dengan berbagai beban berat akibat menurunnya secara masif jumlah peserta didik. Ditambah beban biaya yg berat juga harus dipikul dalam kondisi sulit. Harusnya negara hadir dengan solusi dan berbagai kemudahan agar generasi  masa depan bangsa ini tetap mendapatkan  pendidikan dengan baik.

Ketua Dewan Pembina AYPI Afrizal Sinaro turut menegaskan, kunci kesuksesan pembangunan yang sedang gencar digerakkan negara saat ini hanya akan berhasil dengan maksimal apabila pendidikan bisa dibenahi  dengan tuntas. “Jangan ada lagi keterbelakangan yang harus menjadi kendala kemakmuran,” ujarnya. Sehingga, aturan Kemendikbudristek terkait BOS dinilai hanya akan menghadirkan makin menjamurnya kebodohan  dan disparitas yang amat tajam antara kaya dan miskin serta berujung  pada kegagalan pembangunan nasional yang sedang digaungkan. “Jangan sampai memunculkan kebijakan yang hanya akan menindas masyarakat miskin tambah miskin , dunia pendidikan yang sudah susah akan makin menderita dan terpuruk,” tuturnya.

Melihat penolakan dari berbagai organisasi pendidikan, semua sepakat bahwa kebijakan pembatasan  BOS bertentangan dengan UUD 1945, yang mewajibkan negara membiayai pendidikan nasional secara keseluruhan. Karena, pendidikan  merupakan hak konstitusional warganegara. Serta dianggap diskriminatif dan tidak memenuhi rasa keadilan sosial.

Sebelum akhirnya membatalkan kebijakan tersebut, pihak Kemendikbudristek bersikukuh dengan kebijakannya. Dilansir dari Republika.co.id (5/9/2021), sikap Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tak berubah terkait syarat dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler yang mengharuskan sekolah memiliki minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir. Meskipun, sejumlah organisasi, mulai dari Muhammadiyah hingga NU, telah mengkritik dan meminta aturan itu dicabut. "Tentu masukan dari berbagai pihak akan menjadi pertimbangan kami," kata Plt Kepala Biro Kerjasama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek, Anang Ristanto, ketika ditanya apakah akan mengkaji ulang atau tetap melanjutkan aturan tersebut, Ahad (5/9). Anang menerangkan, aturan tersebut belum berdampak tahun ini. Termasuk di sekolah yang memiliki peserta didik kurang dari 60 orang. Kemendikbudristek sedang mengkaji kesiapan penerapan kebijakan tersebut untuk tahun 2022.

Padahal, dilansir dari muslimahnews.id (7/9/2021), menurut data yang dimuat dalam buku publikasi BPS bertajuk “Potret Pendidikan Indonesia, Statistik Pendidikan Indonesia 2020”, sekolah swasta di Indonesia jumlahnya cukup besar, khususnya di level sekolah menengah. Untuk level SMP misalnya, jumlah sekolah swasta mencapai 41,83% dari total sekolah yang jumlahnya ada 40.559 buah. Di level SMA, jumlahnya mencapai 50,66% dari 13.939 buah sekolah. Adapun SMK, ada 74,67% sekolah swasta dari total 14.301 buah sekolah. Namun, statistik menyebutkan pula, lebih dari 70% ruang kelas di semua jenjang pendidikan Indonesia, kondisinya rusak, mulai dari ringan hingga berat. Itu artinya, ruang kelas yang terkategori layak digunakan sebagai sarana pembelajaran jumlahnya kurang dari 30% saja.

Dari sini, nampak jelas kebijakan pemerintah dalam hal dana pendidikan berbasis profit oriented di sistem kapitalisme apabila diperuntukkan bagi rakyat. Apalagi pembatalan kebijakan tersebut pun tidak sepenuhnya dijanjikan tidak akan dipertimbangkan kembali. Coba saja bandingkan dengan beberapa kebijakan terkait honor, insentif, plesiran bahkan tunjangan bagi pejabat. Salah satu contoh saja, ketentuan pemberian uang penghargaan yang tertuang dalam Pasal 8 Perpres 77/2021 yang merupakan hasil pengubahan atas Perpres Nomor 60 Tahun 2012 tentang Wakil Menteri (Wamen). Adapun besaran bonus yang akan diterima eks wakil menteri itu sebesar Rp580.454.000 untuk satu periode masa jabatan.

Inilah wujud nyata watak asli sistem kapitalisme yang segala kebijakannya berbasis profit oriented dalam menjamin kesejahteraan dan hak bagi rakyatnya. Meskipun mendapat penolakan dan menuai protes dari banyak pihak, namun pemerintah masih bersikukuh untuk mempertahankan kebijakannya untuk memberikan syarat penerima dana BOS reguler adalah minimal 60 peserta didik selama tiga tahun terakhir. Meskipun pada akhirnya dibatalkan, namun itu pun tak sepenuhnya, hanya untuk pemberlakuan di tahun 2022, masih menyisakan kekwatiran di masa mendatang. Ini berbeda, ketika begitu mudahnya menetapkan kebijakan mengucurkan dana untuk berbagai insentif atau tunjangan jabatan. Salah satu contohnya, dalam penetapan bonus bagi eks wakil menteri sebesar Rp580.454.000 untuk satu periode masa jabatan.


Dampak Dana Pendidikan Berbasis Profit Oriented dalam Sistem Kapitalisme terhadap Kelangsungan Pendidikan

Sebagaimana dikeluhkan oleh banyak pihak, syarat sekolah penerima dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) reguler dengan ketentuan minimal memiliki 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir ini dapat menghancurkan pendidikan. Terlebih, terhadap kalangan sekolah yang sudah sangat menderita akibat pandemi Covid-19. Puluhan ribu lembaga pendidikan swasta yang terseok-seok dengan berbagai beban berat akibat menurunnya secara masif jumlah peserta didik.

Lembaga-lembaga pendidikan swasta sudah harus memikul beban biaya yang sangat berat di masa pandemi Covid-19 ini. Sudah semestinya negara hadir dengan solusi dan berbagai kemudahan supaya generasi masa depan bangsa tetap bisa mendapat pendidikan dengan baik. Namun, kebijakan yang ditempuh Menteri Pendidikan sekarang sudah sangat bertentangan dengan nurani bangsa. Tidak peduli sama sekali dengan kemiskinan yang sedang mendera masyarakat, terutama daerah-daerah yang untuk sekadar bertahan hidup saja sudah susah. Kebijakan tersebut mencerminkan ketidakkeberpihakan pemerintah pada dunia pendidikan dengan masalah-masalah yang sedang dihadapi.

Sebagaimana suara berbagai organisasi pendidikan yang senada, bahwa kebijakan ini bertentangan dengan UUD 1945, yang semestinya negara membiayai pendidikan nasional secara keseluruhan karena itu merupakan hak konstitusional warga negara. Bila ini tidak dipenuhi oleh pemerintah, dikwatirkan terjadi keterbelakangan pendidikan yang akan menjadi kendala kemakmuran di negeri ini.

Kebijakan ini hanya akan menghadirkan makin menjamurnya kebodohan dan disparitas yang amat tajam antara kaya dan miskin. Yang juga dapat berujung pada kegagalan pembangunan nasional yang sedang digaungkan.

Apabila pemerintah membatasi kucuran dana bantuannya terhadap sekolah-sekolah yang tidak memenuhi syarat dari kebijakan yang ditetapkan, tentu akan berpengaruh besar bagi dunia pendidikan anak Indonesia ke depannya. Banyak sekolah swasta yang akan terancam gagal mendapat bantuan dan akan membiarkan fasilitas gedung sekolahnya makin tak layak untuk belajar bagi anak negeri ini. Padahal salah satu kendala mendapat siswa adalah minimnya fasilitas gedung yang tidak layak. Terutama bagi sekolah-sekolah dipedalaman, akan sangat besar kemungkinan tidak dapat memenuhi syarat kebijakan yang telah ditetapkan tersebut.

Tidak meratanya pembangunan sekolah dan pelayanan pendididikan, juga menunjukkan kegagalan pemerintah dalam upayanya mencerdaskan bangsa. Pemerintah gagal memenuhi hak pendidikan dasar bagi setiap warga negaranya. Ditambah lagi penetapan kebijakan penerimaan dana BOS reguler yang mensyaratkan minimal 60 peserta didik dalam tiga tahun terakhir, membuktikan bahwa negara gagal membangun infrastruktur pendidikan bagi rakyatnya. Dana BOS yang seharusnya untuk membangun infrastruktur pendidikan yang kokoh malah ditarik hanya karena persoalan jumlah siswa. 

Inilah carut-marut pengelolaan infrastruktur sekolah dalam sistem kapitalisme. Ketidakmampuan pemerintahan dalam sistem kapitalisme mengelola perekonomian sudah pasti berimbas pada anggaran pendidikan. Namun, anehnya tidak berimbas pada tunjangan ataupun insentif bagi kesejahteraan pejabat di sistem kapitalisme.

Sistem kapitalisme ini menghasilkan negara bermasalah secara ekonomi sehingga anggaran pendidikan minim yang otomatis pembangunan infrastruktur sekolah tak lagi menjadi prioritas. Bagaimana tidak, dalam sistem ini juga telah menjadikan pendidikan sebagai barang komoditas. Keadaan ini telah melemahkan tanggung jawab negara terhadap kewajiban penyelenggaraan pendidikan, yang seharusnya memenuhi hak pendidikan bagi setiap warga negara, namun tak terpenuhi secara merata. Akibatnya, birokrasi tidak tegak sesuai kebutuhan dan telah berbuah penelantaran dan pembiaran.

Menegaskan kembali, dampak nyata yang akan dialami dunia pendidikan ketika dana pendidikan berbasis profit oriented di antaranya: dikwatirkan terjadi keterbelakangan pendidikan yang akan menjadi kendala kemakmuran di negeri ini, makin menjamurnya kebodohan dan disparitas yang amat tajam antara kaya dan miskin, kegagalan pembangunan nasional yang sedang digaungkan, banyak sekolah swasta yang akan terancam gagal mendapat bantuan dan akan membiarkan fasilitas gedung sekolahnya makin tak layak untuk belajar bagi anak negeri terutama yang berada di pedalaman. Sehingga, akan semakin suram dunia pendidikan yang akan mempengaruhi kepada kualitas generasi di masa depan. Sudah sepatutnya kebijakan semacam ini tidak akan pernah ditinjau kembali. Seharusnya pemerintah lebih banyak lagi memberikan dukungannya bagi kelangsungan sekolah-sekolah reguler, bukan malah menciptakan kekhawatiran.


Strategi Islam Menjamin Kebutuhan Pendidikan Warga Negaranya Tanpa Berbasis Profit Oriented

Keadaan ini memang jauh berbeda apabila dibandingkan dengan jaminan pendidikan dalam sistem Khilafah Islam. Negara dalam sistem Islam menyediakan fasilitas pendidikan bagi setiap individu, tanpa adanya diskriminasi dan tanpa memberi prasyarat apapun yang akan dapat menghalangi akses layanan pendidikan.

Pengelolaan pendidikan dalam sistem Khilafah Islam didasarkan pada hukum syariah bukan berbasis profit oriented. Negara bertanggung jawab penuh mencukupi kebutuhan sarana pendidikan yang bersifat pokok seperti gedung sekolah, perpustakaan, laboratorium, dan lainnya termasuk kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan negara.

Apalagi, Islam telah menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar yang menjadi hak bagi setiap warga negara Muslim maupun non-Muslim tanpa terkecuali. Karena itu, wajib negara menyelenggarakan pendidikan secara gratis sebagaimana yang pernah dicatat tinta sejarah.

Pada masa kepemimpinan Khalifah Al muntashir Billah didirikan Madrasah Al Muntashiriah di kota Baghdad. Setiap siswanya menerima beasiswa berupa emas seharga 1 Dinar (4,25 gram emas). Kehidupan keseharian para siswa dijamin sepenuhnya oleh negara. Bahkan, fasilitas sekolah disediakan seperti perpustakaan, rumah sakit dan pemandian. Dengan kemakmuran negara Islam pada waktu itu, anggaran pendidikan tak pernah menjadi masalah. Oleh karenanya, tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam siswa tidak sekolah karena tidak adanya akses pendidikan di wilayahnya.

Tinta emas dunia pendidikan di masa Kekhilafahan Islam juga nampak nyata tertoreh pada masa Khalifah Al Ma'mum. Pada masanya di bangun "House of Wisdom" yang merupakan perpustakaan sekaligis laboratorium tempat berkumpul dan telah melahirkan para ilmuwan-ilmuwan Muslim.

Terbukti dalam masa keemasan Islam, pada masa itu studi ilmiah dan penelitian seperti kedokteran, ekonomi, matematika, geografi, astronomi dan banyak lagi berkembang di dunia Islam. Umat Muslim memberi kontribusi besar bagi sains, budaya dan sastra. Yang paling terkenal Aljabar yang ditemukan Al-Khawarizmi, Ilmiwan Persia di bidang matematika. Cendikiawan-cendikiawan Islam itu muncul dari berbagai agama, wilayah, suku dan ras. Orang Yahudi dan Zoroaster memainkan peran besar dalam menterjemahkan karya lama Yunani, Romawi, Persia, Cina dan Hindu ke dalam Bahasa Arab, bahkan ia dikenal sebagai Syekh of the translators. Di masa keemasan ini orang-orang yang berbeda agama dan budaya berkumpul di Baghdad. Semuanya berada di bawah perlindungan penguasa Muslim, yaitu Khilafah Islamiyah.

Di masa ini, para penulis buku atau penerjemah sebuah buku diberi bobot emas dalam buku itu. Bukan hanya menterjemahkan karya lama, di masa itu berbagai penelitian pun dilakukan. Al-Khawarizmi selain Aljabar juga meningkatkan karya-karya geografi. Ibn Mua'dh al-Jiyyani, terinspirasi oleh karya Euclid, menulis risalah tentang trigonometri bola. Ibn al-Haytham melakukan terobosan di bidang optik. Ibn al-Nafis ilmuwan yang menggambatkan sirkulasi darah paru-paru dan masih banyak lagi cendekiawan-cendekiawan Islam lainnya.

Inilah pentingnya infrastruktur dalam pendidikan, karena minimnya infrastruktur berarti menghambat pelaksanaan kewajiban menuntut ilmu dan ini disadari oleh pemerintahan dalam sistem Islam, yang mendapatkan kewajiban dari Allah SWT sebagai pengelola pendidikan rakyatnya. Oleh karenanya negara Khilafah sangat memberi perhatian bagi pembangunan infrastruktur sekolah. Hadirnya banyak perpustakaan maju di zaman kekhilafahan telah cukup membuktikan bahwa bangunan tempat belajar bukan persoalan lagi dan tentulah sudah sangat representative bagi kebutuhan belajar siswa.

Sejarah membuktikan dari pelayanan pendidikan tersebut, terlahir ilmuwan-ilmuwan Muslim yang begitu gigih belajar dan menimba ilmu. Ini karena didukung oleh infrastruktur yang mendukung dengan demikian selayaknya hal ini sudah seharusnya menyadarkan umat Islam tentang rusaknya tatanan bernegara yang sekuler kapitalistik liberal. Karena sistem ini terbukti menelantarkan pelayanan pendidikan yang menjadi kebutuhan umat, sebaliknya hal ini juga menyadarkan kita tentang pentingnya negara mengelola urusannya dengan syariah Islam dan Khilafah. Sebab dalam Islam negara benar-benar hadir untuk melayani seluruh urusan rakyat termasuk pendidikan yang merupakan kebutuhan pokok masyarakat. []

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar