Berbahaya: Amandemen Konstitusi di Era Rezim yang Berkarakter Otoritarianisme


TintaSiyasi.com-- Era reformasi telah berjalan 23 tahun sejak 1998. Benarkah tujuan kemerdekaan 1945 sudah jauh diselewengkan orang menjauh dari cita-cita Proklamasi? 

Atau Anda pun akan bertanya, ibarat sebuah bahtera raksasa, Republik ini sebenarnya sudah berlabuh di mana? Apakah semakin mendekat atau menjauh dari apa yang kita harap dan cita-citakan? Sri Bintang Pamungkas bahkan menyatakan bahwa Republik ini sudah berantakan tidak karuan. Pengkhianatan dan penjajahan, bahkan di antara anak bangsa sendiri, sudah terjadi di mana-mana. Apalagi sudah masuk pula penjajah asing dan aseng. 

Bahkan semua sila dari dasar negara ini pun sudah nyaris berantakan, apalagi cita-cita. Nasib dan hari depan bangsa juga sudah tidak jelas. Soal ekonomi, sosial, budaya, demokrasi yang semu tirani. Inikah alasan MPR mau mengajukan proposal amandemen terhadap hukum dasar kita? 

Saudara sekalian. Sebagaimana diketahui bahwa hukum dasar itu ada 2 (dua), yaitu hukum dasar tertulis (konstitusi) dan hukum tidak tertulis (konvensi). Konstitusi itu bukan peraturan perundang-undangan biasa yang mudah untuk diubah dan dijalankan semau rezim yang berkuasa. 

Ada yang berpendapat bahwa "demi keselamatan rakyat, konstitusi dapat dilanggar". Padahal UUD NRI 1945 sebagai Konstitusi negara RI juga memuat dalil atau prinsip salus populi suprema lex esto. Oleh karena itu dalam implementasinya, penerapan dalil salus populi suprema lex esto dapat terjadi penyimpangan oleh rezim yang lebih mengutamakan kekuasaan dibandingkan hukum. Dalil itu terkesan sebagai alasan pembenar dari semua tindakan dan kebijakannya meskipun secara konstitusional tidak benar. Apalagi kebijakan dan tindakan rezim itu didasarkan atas penerapan prinsip "negara tidak boleh kalah" secara keliru. Oleh karenanya, penerapannya dalil “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” ini perlu dipertanyakan dan dikritisi agar tidak disalahgunakan oleh rezim yang cenderung berwatak otoriter konstitusional. 

Saudara sekalian. Ingatan kita saya kira belum hilang soal adanya beberapa rentetan kejadian tragis, masa lalu: 

Pertama. Penculikan dan penembakan "terduga" preman dengan istilah "petrus", penembak misterius pada zaman Orba;
Kedua.  Penculikan aktivis di masa Orde Baru yang belum menemukan titik terang hingga hari ini;
Ketiga. Munculnya korban jiwa dalam aksi penyampaian aspirasi yang masih marak terjadi hingga di era Reformasi ini;
Keempat. Pencabutan Badan Hukum dan pembubaran Ormas yang cenderung sewenang-wenang,
Kelima. Meninggalnya sekitar 600 hingga 700 orang penyelenggaara pemilihan umum (PEMILU) serentak 2019;
Keenam. Unlawfull killing (extrajudicial killings) atas 6 anggota laskar FPI;
Ketujuh. Penangkapan dan penahanan aktivis dan ulama yang dianggap berseberangan dengan pemerintah yang patut diduga dilakukan secara diskriminatif dan sewenang-wenang. 

Beberapa peristiwa hukum dan politik tersebut di atas menimbulkan keraguan terhadap ketepatan penerapan dalil “keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi” oleh Pemerintah, bahkan cenderung sebagai back up atas prinsip "negara tidak boleh kalah". Dengan demikian, konstitusi kita yang sebenarnya telah menganut asas, dalil "salus popili suprema lex esto" pun dapat "dikangkangi" oleh rezim yang cenderung berwatak otoriter konstitusional tersebut. 

Lalu apa gunanya konstitusi? Celaka betul rakyat negeri ini, sudah diminta agar bergeser dari kitab suci ke konstitusi dalam bernegara, ternyata konstitusi pun hendak digeser demi kepentingan pemerintah yang hendak membenarkan kebijakannya atas dalil "salus populi suprema lex esto"

Menurut saya, konstitusi tidak boleh dilanggar atas dalil "salus populi suprema lex esto" mengingat dalil itu justru telah dianut oleh konstitusi kita sendiri, mulai dari pembukaan hingga ditetapkan dalam pasal-pasalnya. Alasan lainnya, konstitusi harus tetap dipatuhi selama belum ada amandemen terhadapnya dan jika dilakukan amandemen pun ada hukum yang lebih hakiki di negara bangsa religius (religious nation state), yakni kitab suci dan hukum alam. 

Anda mungkin masih ingat dengan buku How Democracies Die karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt. Banyak pemimpin awalnya berwajah polos dan lugu, pelan tapi pasti lalu menjadi otoriter setelah memimpin dalam rangka mempertahankan kekuasaannya. Segala cara akan dilakukan untuk melanggengkan kekuasaan oligarkisnya, termasuk menggunakan instrumen hukum sebagai alat untuk melegitimasi seluruh tindakan politik, salah atau pun benar. Termasuk melalui amandemen konstitusi

Salah satu indikator rezim otoriter itu adalah: 

Reject of (or weak commitment to) democratic rule of the game (Penolakan (atau lemah komitmen) terhadap sendi-sendi demokrasi). 

Parameternya, antara lain: Apakah mereka suka mengubah-ubah UU? 

Bagaimana dengan rezim Inonesia kini? Sebagaimana kita ketahui, ada 2 (dua) hal yang diisukan akan diamandemen di Konstitusi kita: 

Pertama

Terkait dengan isu Amandemen masa jabatan presiden 3 periode, maka paramater yang dipakai untuk membuktikan bahwa suatu rezim otoriter atau demokratis adalah: Apakah rezim suka mengubah UU demi melanggengkan kekuasaannya atau tidak? 

Masa jabatan Presiden mengalami perkembangan sebagai berikut: 

Pertama. Sesuai dgn UUD 1945 asli: Pasal 7: Presiden memegang kekuasaan selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Kedua. Penyimpangan praktik pada masa Orde Lama: seumur hidup dengan TAP MPRS No. III/MPRS/1963.
Ketiga. Pelaksanaan konktekstual di ORBA: kata dan sesudahnya dapat ditafsirkan tanpa batas, hingga 32 tahun masa kepemimpinan Presiden Soeharto.
Keempat. Pembatasan 2 kali di masa Reformasi dengan Amandemen UUD 1945.
Kelima. Wacana 3 kali periode, atas dasar kegentingan apa selain kemauan untuk kembali mundur pada prinsip pelanggengan kekuasaan

Sebagaimana beredar di media sosial, wacana jabatan 3 periode ini kembali jadi hangat setelah M. Qodari (Dir. Indo Barometer) mengangkatnya. 

Di sisi lain konon pihak istana tak setuju wacana itu dengan bukti melalui jubirnya Fajrul Rahman yang menyatakan bahwa Presiden Jokowi memegang teguh UUD 1945 (Pasal 9) yang membatasi memegang jabatan presiden selama dua periode (Pasal 7).  Benarkah Presiden Jokowi menolak wacana ini, ataukah wacana itu hanya diarahkah untuk penyelamatan kekuasaan kroni oligarkisnya? Namun, kini tersiar kabar baru bahwa Presiden Jokowi setuju untuk dilakukan amandemen terbatas terhadap UUD. Apakah juga akan "menyerempet" masa jabatan Presiden? 

Dari sisi konstitusional, mestinya tidak mungkin Presiden Jokowi memegang jabatan 3 periode karena jabatan yang sekarang diemban didasarkan pada rezim aturan konstitusi yang membatasi masa jabatan paling lama 2 periode sejak Presiden Jokowi menjabat periode pertama tahun 2014. Dalam prinsip hukum modern (Marc Galanter) hukum itu tidak boleh berlaku SURUT (retroaktif). Jika UUD 1945 sekarang diamandemen, maka amandemen itu tidak boleh berlaku untuk masa jabatan presiden sebelum amandemen, melainkan untuk pemilu presiden yang akan datang (2024). 

Periode singkat atau panjang sebuah masa jabatan sebenarnya tidak penting selama negeri ini punya miles stone, punya roadmap, punya haluan negara dalam bentuk apa pun sehingga siapa pun pemimpinnnya berapa lama pun masa jabatan memimpin negara itu tidak menjadi persolan karena road map-nya jelas. Siapa pun presidennya harus mematuhi roadmap atau haluan negara yang sudah ditetapkan. Jadi, buat apa masa jabatan diubah dari 2 periode menjadi 3 periode jika hanya ingin melanggengkan kekuasaan yang terindikasi otoriter namun tidak patuh pada road map atau haluan negara? Ingat, karakter otoritarianisme justru akan membunuh demokrasi itu sendiri. 

Kedua, perihal PPHN.

Saya sependapat dengan Hamdan Zoelva yang mengkritik wacana amendemen UUD 1945 yang disuarakan MPR. Sungguh benar bahwa mengubah konstitusi tak bisa sembarangan. Tidak ada urgensi negara untuk melakukan amandemen UUD 1945 pada saat ini. Apalagi, hampir dua tahun belakangan, negara tengah dilanda pandemi Covid-19. Taruhlah masalah besar paling nyata adalah pandemi, kemudian akibat pandemi terjadi masalah ekonomi, masalah akan bertambahnya penduduk yang miskin dan masalaah sosial lainnya. Pertanyaannya apakah masalah itu karena persoalan UUD 1945? Apakah betul krisis multidimensional di negeri ini karena Indonesia tidak adanya GBHN atau PPHN? Bukankah soal pedoman pembangunan kita sudah mempunyai RPJP dan RPJM? Jadi sebenarnya persolannya bukan ada atau tidak adanya GBHN, PPHN atau pun RPJP yang tidak ditetapkan di dalam konstitusier tetapi konsistensi para politisi  terhadap konstitusi yang sangat minim. Negeri seolah dijalankan tanpa kendali, berjalan seperti autopilot sementara cuaca negeri sedang tidak baik-baik saja. 

Boleh jadi strategi politik dengan mengamandemen UUD 1945 seolah kita masih membicarakan mantra-mantra demokrasi, namun sesungguhnya kita telah terjerumus ke dalam kubangan rezim tiran yang merusak (tyran-okhlokrasi). 

Akhirnya terkait dengan rencana amandemen ini dapat dikatakan bahwa: 

Pertama jika ada orang atau sekelompok orang yang mendorong seorang presiden yang sudah menjabat 2 periode berturut-turut untuk mencalonkan kembali ketiga kalinya, maka patut diyakini mereka itu telah berupaya melakukan makar terhadap konstitusi, UUD NRI 1945. 

Kedua, upaya menghidupkan kembali GBHN dengan PPHN bukan solusi terbaik. Yang terbaik adalah segera ganti presiden dan ganti pengurus negara sembari membenahi hukum yang hendak digunakan. Intinya, amandemen bukan solusi jika otak pemimpin negeri ini tidak "diamandemen" atau "dihijrahkan" dari sekedar otak politisi otoritarian menjadi otak negarawan sejati sehingga pola pikirnya tidak dalam masa lima tahunan melainkan masa depan Indonesia. 

Jadi, sungguh berbahaya melakukan amandemen konstitusi di masa rezim yang berkarakter otoritarianisme, bukan? Tabik.! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar