Silang Sengkarut Indikator Jumlah Kematian Akibat Covid-19: Adakah Manipulasi Data?


TintaSiyasi.com-- Kebijakan penanggulangan pandemi kembali fluktuatif. Berdasarkan Kompas Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengumumkan untuk mengeluarkan angka kasus kematian dari indikator penanganan Covid-19 (Kompas.com 10/8/2021). Hal ini langsung menuai protes dari berbagai kalangan karena indikator kematian menjadi ukuran untuk menentukan kebijakan penanggulangan pandemi, seperti perpanjangan PPKM Darurat menjadi PPKM level 3&4 hingga sekarang.

Langkah itu ditempuh lantaran pemerintah mendapati masalah dalam input data akumulasi kasus kematian beberapa pekan sebelumnya (CNNIndonesia 11/8/2021). Input yang tidak sesuai dan menuai kontroversial ini adalah Solo, Malang dan Jawa Timur. Luhut Binsar Pandjaitan dalam rapat koordinasi penanganan Covid-19 di Jawa Tengah pada Kamis (29/7) menanyakan angka kematian Solo yang sebanyak 877 kasus. Walikota Solo, Gibran Rakabumi Raka membantah Covid-19 Solo jumlah warga Solo yang meninggal dunia tercatat sebanyak 914 orang dan itu bukan hanya warga Solo (Rmol.id 31/7/2021). Pernyataan Gibran segera mendapatkan bantahan melalui cuitan di twitter pribadi Politisi Rachland Nashidik. "Lalu kenapa bila korban berasal dari kota lain? Dia tak berhak dapat perawatan di Solo? Kematiannya tidak diakui dan tidak dicatat sebagai korban?" (Seputar Tangsel 1/8/2021).

 Kasus kedua adanya pertanyaan Najwa dalam rubrik "Mata Najwa" terkait dugaan manipulasi data melalui unggahan video di kanal Youtube Najwa Shihab pada Kamis, 29 Juli 2021. Senada dengan pernyataan Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur dr Sutrisno. Selain itu, LaporCovid-19, per Rabu (21/7), mencatat total kematian akibat Corona mencapai 98.014 kasus. Sementara, Satgas Covid-19 pada hari mencatat 77.583 kasus, alias ada gap 20.431 kasus. Selisih data itu salah satunya terjadi di Jawa Timur. Contoh gap itu ditemukan di Kota Malang. Satgas setempat mencatat, Senin (19/7), nol kematian. Sementara, LaporCovid-19 menerima laporan 26 jenazah dimakamkan dengan protokol Corona (CNNIndonesia 27/7/2021).

Menuai kontroversial yang luar biasa akhirnya kebijakan berubah lagi. Juru Bicara Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Jodi Mahardi mengatakan, "Sedang dilakukan clean up (perapian) data, diturunkan tim khusus untuk ini. Nanti akan di-include (dimasukkan) indikator kematian ini jika data sudah rapi," Sembari menunggu maka pakai kelima indikator yaitu BOR (tingkat pemanfaatan tempat tidur), kasus konfirmasi, perawatan di RS, pelacakan (tracing), pengetesan (testing), dan kondisi sosio ekonomi masyarakat (Kompas 12/8/2021). Kebijakan macam apa sebenarnya yang tengah di gagas penguasa sehingga seolah-olah demi menaikkan level PPKM mereka enteng memainkan data?? Bukankah semakin nampak kesemrawutan penguasa mengurusi rakyatnya meski pun hanya masalah pendataan saja??

Gonta-Ganti Model Pendataan Pandemi Berujung Rusuh Bukti Ketidakseriusan Penguasa Kapitalisme

Hampir 2 tahun pandemi melanda. Indonesia masih saja berkutat dengan teknis. Pendataan dan pengumuman resmi awalnya di sampaikan oleh dr. Achmad Yurianto sebagai Juru Bicara Nasional Mengenai Masalah Covid-19 pada 9 Maret 2020. Setiap hari update covid disampaikan secara seragam. Inti yang ingin di sampaikan adalah adanya awareness dari masyarakat terkait Covid-19 dan penyebarannya. Sayangnya upaya edukasi ini tidak diiringi dengan kesadaran negara untuk melockdown wilayah sebaran dan memutus aliran TKA sehingga penyebaran tetap berlangsung. 

Pengumuman resmi pun digantikan Prof Wiku Adisasmito. Yang beberapa saat kemudian pemerintah tidak lagi mengumumkan perkembangan data harian kasus Covid-19 tetapi akan diumumkan melalui website www.covid19.go.id. Pergantian ini setelah Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2020 tentang Komite Penanganan Coronavirus Disease (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Pergantian posisi jubir ini tak lepas dari dibubarkannya Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Tupoksi Gugus Tugas kemudian diganti menjadi Komite Kebijakan Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. Komite yang dipimpin Menko Perekonomian Airlangga Hartarto ini membawahi dua satuan tugas yaitu Satgas Covid-19 dan Satgas Pemulihan Ekonomi Nasional. Mulai sejak itulah Indonesia menetapkan penanganan pandemi dalam bingkai pemulihan ekonomi. Hingga awal Juli 2020 pemerintah mengumumkan new normal.

Dugaan manipulasi data sebenarnya sudah beredar sejak April tahun lalu. Tiadanya edukasi yang benar masyarakat sedikit yang memahami bahwa data positif berasal dari data PCR baik dari ODP dan PDP yang meninggal dan di ambil spesimennya. Tapi untuk kehati-hatian dan keselamatan nakes serta pemulasaran jenazah maka pemakaman tetap dengan standar Covid-19. Lalu adanya dana kesehatan yang seret juga menjadikan rumah sakit dituduh melakukan manipulasi data demi dana. Pendataan secara online yang semakin diragukan karena meningginya public distrust sebenarnya menutupi urgensi data. Apalagi di dukung dengan hoaks dan minimnya edukasi dalam masyarakat. Pro dan kontra yang terbentuk pun akhirnya menimbulkan perdebatan sengit dalam medsos dan dunia nyata. Sungguh keterbukaan data dan edukasi yang berkelanjutan harus beriringan demi menjadi kebijakan suatu negara berhasil. Tapi lihatlah negeri ini, edukasi masyarakat langsung di tangkap derasnya arus medsos tanpa filter dan pembanding yang proporsional dari negara. 

Upaya pemutusan rantai virus corona Covid-19 tidak akan terlaksana tanpa adanya kerja sama antara pemerintah dan masyarakat. Demi mengoptimalkan penegakan kedisiplinan protokol kesehatan dan memudahkan pengawasan di lapangan seharusnya semua upaya disiapkan. Menghadapi kejanggalan demi kejanggalan data sebenarnya sudah ada lembaga partisipasi masyarakat. Lembaga indipenden pengelola data covid dan info seputarnya seperti LaporCovid-19 dan KawalCovid-19 yang hadir untuk mengawal dan bekerjasama mengumpulkan data. LaporCovid-19 menyebutkan bahwa daerah yang transparan memberikan data hanyalah DKI Jakarta, sedangkan daerah lain masih banyak data yang tidak singkron (Radarbangsa 23/7/2021). Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan pemerintah menyadari pentingnya transparansi dan akuntabilitas data Covid-19. Namun tantangan terbesar dalam pengumpulan data adalah ego sektoral (Suara.com 25/6/2021). Sungguh tragis bin ironis atas pendataan Covid-19 negeri ini.

Informasi online Covid-19 pun di terjemahkan dan ditangkap insan media sesuai angle masing-masing. Keterbukaan info ini pun terkadang mengiring penguasa untuk berbuat sesuatu sebagaimana kasus manipulasi data Inilah yang tampaknya menjadikan perubahan kebijakan Luhut. Saatnya kita mempertanyakan apakah penanganan pandemi Covid-19 masih akan berada dalam kerangka PEN ?? Hingga pendataan sampai hari ini tidak di fokuskan untuk penanganan yang benar sesuai koridor kesehatan, tapi demi asas ekonomi. 

Dampak Buruknya Pendataan Covid-19 Khususnya Nir Indikator Kematian dalam Laporan Covid-19

Penghilangan indikator kematian dalam menentukan level status Covid-19 kondisi suatu daerah merupakah langkah skak rezim. Betapa tidak, penentuan PPKM yang berkepanjangan dan berkelanjutan seolah di khianati dan tak membawa kemajuan yang berarti. Angka penderita, kasus baru dan korban covid terus berjatuhan. Maka penghilangan angka kematian mampu meningkatkan level yang mengindikasikan suatu daerah menghijau. Tapi itu hanyalah kamuflase belaka. Sungguh ironi nan ngeri. 

Menilik kondisi pendataan dan penghilangan indikator kematian tersebut kira-kira dampak yang akan terjadi adalah: 

1. Menimbulkan kebingungan publik secara luas

Buruknya pendataan Covid-19 sudah terbaca berbagai kalangan. Pengamat Kebijakan Publik Universitas Airlangga (Unair) Yanuar Nugroho menyebutkan menurunnya angka kasus virus Corona beberapa waktu belakangan disebabkan karena berkurangnya jumlah testing Covid-19. Oleh karena itu, ia menilai penurunan kasus Covid-19 bermasalah (Kompas.com, 22/7/2021). Sebagaimana tanggapan Epidemiolog Griffith University Dicky Budiman mengkritik "Ini yang berbahaya sekali ya, karena kita akan kehilangan indikator penting. Angka kematian itu indikator keparahan suatu wabah, termasuk pandemi. Kalau indikator menentukan tingkat keparahannya hilang, kita enggak tahu seberapa parah kondisinya," (Tempo 10/8/ 2021).Lalu juga penurunan level PPKM setelah adanya penghapusan indikator kematian yang selama ini digunakan juga bukti jelas yang akan menimbulkan kebingungan publik.

2. Kerancuan dan paradigma dan indikator-indikator yang telah ditetapkan.

Pemerintah sebelumnya menggunakan sejumlah indikator menentukan level PPKM. Untuk level 4, kriterianya; angka kasus konfirmasi positif Covid-19 lebih dari 150 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Kejadian rawat inap di rumah sakit lebih dari 30 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Angka kematian akibat Covid-19 lebih dari lima orang per 100 ribu penduduk di daerah tersebut. Sementara level 3, angka kasus konfirmasi positif Covid-19 antara 50-100 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Kejadian rawat inap di rumah sakit 10-30 orang per 100 ribu penduduk per minggu. Angka kematian akibat Covid-19 antara dua sampai lima orang per 100 ribu penduduk di daerah tersebut (Tempo, 10/8/2021). Bayangkan jika indikator kematian di hapuskan. Misal menggunakan data 3T (Test, Tracking n Treatment) yang menurun karena alasan ketidakpercayaan publik misal. Karena saat ini banyak orang dan keluarga yang sakit tidak mau di periksa (test) dan diobati (treatment). Lalu jika angka kematian covid dihilangkan akankah menggambarkan kemajuan? Bukankah ini juga menimbulkan kerancuan?

3. Peremehan lonjakan kasus dan kecacatan yang ditemukan.

Kebijakan penghilangan indikator kematian sungguh gegabah dan sembrono. Seharusnya pejabat negara berhati-hati ketika mengeluarkan statement politiknya. Karena hal itu merupakan gambaran pemahaman dia kepada kondisi rakyat dan negara ini. Bahkan ketika Luhut mengklaim sebagian besar wilayah telah melewati puncak kasus dan mulai mengarah ke penurunan. Namun ia mengkhawatirkan tingginya angka kematian akibat Covid-19 yang masih harus diwaspadai. Yang berarti disini menggambarkan kecacatan pengambilan keputusan meski sudah ditemukan kecurigaan. Wajarlah ada klaim kebijakan ini hanyalah menutupi cacat dan bukan perbaikan. Wajarlah platform penanganan pandemi ini berada dalam bingkai PEN. Dalam keadaan yang genting dan darurat, pemerintah masih saja sibuk mempermasalahkan data. Salah satu Menteri bahkan menantang kepada siapa saja yang menyebutkan pemerintah tidak bisa mengendalikan Covid-19 ini agar memberikan bukti. Maka sebagaimana Prof Suteki ungkapkan pentingnya buzzing media sebagai alat kontrol penguasa. Dan sekali lagi realitas memaparkan bahwa kapitalisme sungguh ideologi yang kejam lagi keji.

Data yang disajikan pemerintah pusat hingga daerah menjadi satu-satunya rujukan masyarakat, LSM, komunitas internasional, ahli dan akademisi untuk memetakan, memprediksi dan membuat indeks risiko suatu wilayah. Terkait kebijakan pandemi yang diterapkan pun seharusnya berpijak dengan data tersebut. Validitas data yang di dapatkan dan disajikan seharusnya tidak diragukan lagi. Tapi kejanggalan demi kejanggalan yang terjadi memupus harapan yang nampak. 

Strategi Pendataan Daulah Islam dalam Meriayah Warganegara Khususnya Masa Pandemi

1. Penanaman kerangka berpikir yang benar pada rakyat dan penguasa.
 
Sesungguhnya pendataan dan laporan harian Covid-19 adalah masalah cabang. Persoalan utama yang harus di tetapkan adalah azas dan ideologi untuk solusi masalah pandemi. Seorang muslim harus memilih azas dan ideologi adalah aqidah Islamiyyah. Karena aqidah Islam mampu menjadi qaidah aqliyyah (kaidah/azas berpikir) dan qiyadah aqliyyah (kepemimpinan berpikir). Ketika Islam sudah menjadi pilihannya maka pilihan-pilihan hidupnya juga harus disesuaikan dengan standar hukum syara (syariat Islam).

Islam datang pemberi solusi bagi setiap persoalan kehidupan manusia, tidak terkecuali persoalan pandemi dan mengatasi kemunculan varian lebih berbahaya. Sebagaimana telah Allah Swt. tegaskan,

وَيَوْمَ نَبْعَثُ فِى كُلِّ أُمَّةٍ شَهِيدًا عَلَيْهِم مِّنْ أَنفُسِهِمْۖ وَجِئْنَا بِكَ شَهِيدًا عَلَىٰ هَٰٓؤُلَآءِۚ وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ ٱلْكِتَٰبَ تِبْيَٰنًا لِّكُلِّ شَىْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَىٰ لِلْمُسْلِمِينَ ﴿٨٩﴾

Dan (ingatlah) pada hari (ketika) Kami bangkitkan pada setiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri, dan Kami datangkan engkau (Muhammad) menjadi saksi atas mereka. Dan Kami turunkan Kitab (Al-Quran) kepadamu untuk menjelaskan segala sesuatu, sebagai petunjuk, serta rahmat dan kabar gembira bagi orang yang berserah diri (Muslim) (QS. An-Nahl[16]: 89). Lebih dari itu, penanganan pandemi Islam memiliki karakter istimewa yang begitu manusiawi. Hal ini terlihat dari prinsip-prinsip Islam dalam penanganan pandemi dan tindakan yang harus dilakukan beserta metode pelaksanaannya.

2. Fokus masalah yang diselesaikan. 

Persoalan pandemi adalah bagian dari persoalan kesehatan. Sehingga, fokus penyelesaiannya juga menggunakan pandangan sistem kesehatan, bukan mencampuradukkan pada masalah ekonomi. Jika hal itu terjadi, masalahnya tidak akan selesai, bisa jadi justru akan lebih parah. Meskipun demikian, tidak dimungkiri seluruh subsistem saling berkaitan. Kesehatan berhubungan dengan ekonomi, sebagaimana ekonomi juga berhubungan dengan kesehatan. Persoalan pandemi berhubungan dengan penyediaan obat, layanan kesehatan, sarana prasarana kesehatan, SDM nakes, pendidikan kesehatan berkualitas, dan lain-lain. Seluruhnya berada di bawah subsistem kesehatan. Pasien otomatis tidak bisa bekerja untuk nafkah keluarga, sehingga tanggung jawab pemenuhan kebutuhan primer keluarga secara layak menjadi tanggungan negara. 

3. Mendudukan kewenangan dan amanah pada tempatnya.

Otoritas mutlak khalifah sebagai penguasa negara sepenuhnya berjalan dalam konsep syariat. Khalifah tidak akan melimpahkan amanat tanpa melihat kemampuan personal, managerial rapi sebagai rel pelaksanaan, dan strategis aturan yang bersumber dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah dan atau bersumber dari keduanya. Para Khalifah juga mewujudkan fungsi riayah dalam kekuasaan mereka. Khalifah Ali bin Abi Thalib, misalnya, memberikan panduan kerja pada para pejabat, sehingga hak-hak rakyat bisa ditunaikan dengan baik. Khilafah mendistribusikan harta negara pada yang berhak berdasarkan data kependudukan yang valid. Rasululloh SAW dari awal pemerintahan memiliki banyak juru tulis (khaatib) yang menulis berbagai data urusan dalam negeri (contoh : banyak kharaj dan sumbernya) dan luar negeri (contoh : surat yang dikirimkan keluar Daulah). Ketika masa pandemi Daulah juga memiliki data hewan yang harus di pisahkan karena wabah dan tidak (Dr.Hafidz Ahmad 'Ajjal Al-Karmi, 2012).

4. Memahami hak warganegara dan tanggung jawab penguasa untuk mewujudkannya. 

Fungsi negara adalah meriayah (melayani dan mengurusi) warganegaranya. Sehingga warga negara terjamin kebutuhan-kebutuhannya baik primer, sekunder dan tersier. Negara harus menjamin rasa aman dan sejahtera agar kondisi dalam negeri stabil. Untuk melakukan riayah dengan benar seringkali data dan gambaran kebutuhan umat harus di survei. Tidak peduli negara itu luas dan padat penduduk. Data valid harus dikumpulkan. Pendataan sudah dilakukan secara profesional sejak masa Umar bin Khaththab ra., karena sejak masa beliaulah pemasukan negara Khilafah jumlahnya amat besar. Umar ra. mendistribusikan harta negara di Baitulmal berdasarkan prinsip keutamaan. Beliau membentuk Al-Diwan, yaitu daftar distribusi harta negara. Sistem distribusi Baitulmal berbasis data ala Umar bin Khaththab ini menjadi dasar bagi para Khalifah berikutnya dalam membagikan pendapatan negara (DR. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, 2003). Peran negara yang bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan dan makanan bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia. Rasulullah saw. juga bersabda, “Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim dari Ma’qil Bin Yassar al-Mujani).

Maka melakukan dakwah ideologis secara sempurna hingga terwujudnya institusi yang menerapkannya yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah adalah qadiyyah mashiriyah (kebutuhan vital) bagi seluruh umat Islam. Beban hukum yang tadinya fardhu khifayah akan berubah menjadi fardhu ain jika ternyata sampai detik ini belum ada yang mampu menegakkannya. Apa lagi harapan umat selain hidup di dalamnya? Bahkan setelah melihat ketidak seriusan kapitalisme sekuler dalam mengurus hajah hidup rakyatnya.[]


Oleh: Retno Asri Titisari
Dosol Uniol 4.0 Diponorogo


Posting Komentar

0 Komentar