Represi Mural: Ironi Kebebasan Berekspresi di Negara Demokrasi


TinyaSiyasi.com -- Ironis. Dalam Sidang Tahunan MPR 2021 menyambut HUT RI ke-76, Senin (16/8/2021), Presiden Jokowi meyampaikan kritik yang membangun penting diutarakan, terutama terkait banyak hal yang belum diselesaikan pemerintah. Namun belakangan sejumlah kritik yang disampaikan masyarakat justru direpresi oleh aparat (cnnindonesia.com, 16/8/2021)

Alih-alih disikapi sebagai saluran kritik sosial, mural (lukisan dinding) yang mengandung pesan kritis terhadap situasi dan kondisi kekinian, justru dinilai amoral dan pelakunya diburu bak kriminal. Setidaknya ada tiga mural viral yang mendapat sorotan warga, yaitu pertama, mural wajah mirip Presiden “Jokowi 404: Not Found” di Batu Ceper, Tangerang. Kedua, “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit” di Bangil, Pasuruan. Ketiga, “Tuhan Aku Lapar!” di Tigaraksa, Tangerang. 

Diduga mengandung sindiran sangat tajam terhadap ketidakhadiran penguasa dalam berbagai fragmen penderitaan rakyat, sontak ketiga mural tersebut dihapus. Tak hanya itu, pelakunya pun dicari dan dikejar. Terkait mural Jokowi 404 Not Found, aparat menganggapnya menghina simbol negara. 

Sejumlah kalangan menyayangkan tindakan represi aparat dan memandang aksi seni seperti ini tidak tepat dilawan dengan pembungkaman. Pengamat politik dari Institue for Digital Demokrasi, Bambang Arianto, menyebut mural merupakan bentuk kritik sosial melalui seni dan meminta pemerintah terus membuka ruang dialog seluasnya agar kebijakan tetap merakyat, dan bukan hanya kepentingan segelintir elit politik (suaramerdeka.com, 20/8/2021).

Represi terhadap mural tak ayal menyisakan berbagai pertanyaan. Dari aspek hukum misalnya, mural itu boleh atau tidak di negara demokrasi, apa batasannya, bisakah pembuatnya dihukum jika menyangkut presiden yang konon disebut oleh aparat penegak hukum (APH) sebagai simbol/lambang negara yang ditafsirkan sebagai delik yang akan dijerat peraturan hukum. Selain itu, dari aspek politik yaitu penerapan demokrasi, bukankah represi mural ini justru kontraproduktif dengan slogan kebebasan yang diagungkannya. 

Ironis, Membuka Ruang Kritik namun Melakukan Represi

Di era pemerintahan siapa pun dan kapan pun, kritik adalah keniscayaan. Dalam mengelola urusan rakyat, kebijakan penguasa berpotensi tak memuaskan semua pihak. Pun sebagai manusia, kepemimpinannya pasti diliputi kekurangan. Di sinilah kritik hadir sebagai katarsis kekuasaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kritik bermakna kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dan sebagainya.

Terkait cara rezim merespons kritik padanya, pemerintahan Jokowi sering mendapat sorotan publik. Banyak pihak membandingkan sikap rezim saat ini dengan sebelumnya yang bermuara pada kesimpulan emoh dikritik dan lebih emosional. Maka, saat presiden berkoar-koar minta dikritik, membuka ruang untuk dikritik, berbagai ungkapan ketidakpercayaan, sinisme hingga meme bertajuk The King of Lip Service muncul. 

Sebelumnya, Peneliti KontraS Rivanlee Anandar menilai pernyataan presiden yang membuka ruang kritik sebagai ironi. KontraS mencatat, hingga Oktober 2020, ada sebanyak 10 peristiwa dan 14 orang yang diproses karena mengkritik Presiden Jokowi. Juga ada 14 peristiwa, 25 orang diproses dengan objek kritik Polri, serta 4 peristiwa dengan 4 orang diproses karena mengkritik Pemda. Menurut Rivan, jika presiden menginginkan kritik, beri dan jamin ruangnya dari ancaman pasal karet yang ada selama ini (TEMPO.CO, 10/2/2021).

Demikian pula, SAFEnet pernah memetakan sejumlah aturan yang dinilai membuka celah pembatasan kebebasan berpendapat dan berekspresi. Di antaranya Pasal 26 UU ITE, Pasal 27 ayat 1 UU ITE dan Pasal 40 UU ITE terkait blokir konten. Kemudian, Pasal 40 ayat 2b UU ITE terkait internet shutdown. Selanjutnya, Pasal 27 ayat 3, Pasal 28 ayat 1 dan 2, Pasal 29 UU ITE, KUHP 310-311, 156, 156a yang dinilai berpotensi untuk kriminalisasi ekspresi. Pasal karet dinilai paling banyak terdapat di UU ITE. Studi koalisi masyarakat sipil berdasarkan kasus yang dikumpulkan sepanjang 2016-2020, tingkat penghukuman dengan UU ITE sangat tinggi, yakni 96,8 persen (744 perkara) dengan tingkat pemenjaraan 88 persen (676 perkara) (TEMPO.CO, 11/2/2021).

Lantas, bagaimana dengan mural kritikan yang disebut menghina simbol/lambang negara? Dari aspek hukum, bisa ditinjau bahwa bentuk negara ini adalah republik, bukan kerajaan, sehingga kepala negara bukanlah simbol negara. Hal ini berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU No. 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, yang menyebutkan "Lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia yang selanjutnya disebut Lambang Negara adalah: "Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika." Ketentuan ini menegaskan bahwa presiden bukan lambang negara. Di UUD 1945 sendiri hanya ditegaskan bahwa presiden itu kepala negara dan pemerintahan, bukan lambang negara. 

Namun ironisnya masih banyak orang awam bahkan aparat kepolisian selaku penegak hukum yang keliru menyebut presiden sebagai lambang atau simbol negara. Sebagaimana pernyataan Kasubag Humas Polres Metro Tangerang Kota, Kompol Abdul Rochim, bahwa polisi merasa tidak terima sosok presiden dibikin mural karena menganggapnya sebagai pimpinan negara, lambang negara, sehingga memburu sang pembuat mural. 

Pencarian dan penyelidikan mural ini pun aneh, karena bukan terkategori tindak pidana. Jika presiden merasa tersinggung, penyelidikan baru dapat dilakukan berdasar laporan Presiden Jokowi, bukan inisiatif aparat karena delik pencemaran sebagaimana diatur dalam Pasal 310 KUHP adalah delik aduan. Kalau dianggap menghina penguasa berdasarkan Pasal 207 KUHP, juga tetap delik aduan sebagaimana keputusan Mahkamah Konstitusi. Jadi, seandainya ada dugaan pencemaran nama baik, maka Jokowi harus melaporkan kepada APH, baru kemudian APH menindaklanjutinya. 

Pemahaman hukum yang “kleru”, akhirnya membuat pilar pokok demokrasi menjadi rapuh, yakni menyangkut Kebebasan warga negara untuk mengontrol jalannya pemerintahan negara melalui hak mengeskpresikan diri, baik dengan audio maupun visual. APH otoriter dapat menyebabkan dying bahkan die-nya demokrasi. Akibat seriusnya adalah kreativitas anak bangsa dikebiri, kritik dibungkam. Lalu apakah kita ini sebenarnya ingin menjadi negara diktator ala komunisme di mana kepala negara haram dikritik?

Mural, tetaplah mural yang secara moral ingin menyampaikan pesan melalui bahasa seni lukis. Apa pun bentuknya, bahasa dalam ilmu komunikasi (Jurgen Habermas) memiliki tiga fungsi yaitu kognisi, ekspresi, dan persuasi. Dengan fungsi ekspresi ini, setiap penggunanya termasuk para warga negara dapat menggunakan haknya agar didengar para penguasa negeri. 

Mural tidak boleh dibasmi oleh APH selama: tidak menyebarkan kebohongan (hoaks), tidak menyinggung SARA, tidak berisi ujaran kebencian/penghinaan, serta tidak mengandung unsur pornografi. Andai ada unsur pelanggaran hukum pun, sebaiknya APH tidak serta-merta melakukan pencarian dan menebar ancaman terhadap pembuat mural. Lebih baik dilakukan community policing dengan pendekatan humanis. Bukankah Kapolri punya program PRESISI? Restorative Justice hendaknya diutamakan sehingga penegakan hukum dapat dilakukan secara adil dan berperikemanusiaan sesuai amanat Tap MPR No. VI Tahun 2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa, khususnya terkait etika penegakan hukum yang adil. 

Dan bukankah dalam Pidato Kenegaraan Presiden tanggal 16 Agustus 2021, dinyatakan bahwa kritik akan dibalas dengan tanggung jawab. Ini berarti, kritik tidak dihadapi palu gada dan cuci tangan, apalagi mencari kambing hitam. 

Saat lisan dan sikap penguasa kontradiktif, hal ini tentu menampakkan wajah aslinya. Jika ucapan ini tulus, maka akan mencerminkan sikap kenegarawanan. Andai hanya basa-basi, maka itu tak lebih aksi pencitraan. Lebih jauh, pernyataan tersebut menunjukkan praktik politik bermuka dua. Kekuasaan berwajah munafik. Di satu sisi, menunjukkan pesan positif untuk bersedia dikritik. Di sisi lain, terus menangkap atau menghantam pihak yang lantang mengkritik kekuasaan.

Dari sini, wajar jika banyak kalangan mempertanyakan motif Jokowi yang minta dikritik. Ada beberapa kemungkinan latar belakang ucapannya. Pertama, didorong oleh fakta atau riset terbaru tentang indeks demokrasi yang turun drastis. Kedua, merosotnya indeks kepercayaan terhadap pemerintah. Ketiga, takut citranya rusak dan terus dicap sebagai pemimpin otoriter. Keempat, untuk meredam para pengkritik yang menilai kondisi pemerintahan saat ini kurang berjalan baik.

Sebenarnya masyarakat tidak segan menyampaikan kritik. Namun, mereka tentu berhitung. Jika menyampaikan kritik, apakah ada jaminan tidak terciduk UU ITE dan sejenisnya. Faktanya, tak ada satu pun jaminan ini. Oleh karena itu, hendaknya pemerintah jangan hanya mengimbau masyarakat kritis, namun harus menjamin kebebasan berpendapat. Jika tidak, masyarakat berada dalam situasi dilematis. Kalau bersuara masuk penjara, jika tidak bersuara praktik pemerintahan buruk terus ada.

Relasi Sistem Politik Demokrasi terhadap Perilaku Represi Penguasa

Pernyataan Presiden Jokowi yang memberikan ruang bagi masyarakat mengkritik pemerintah, tak hanya terjadi saat ini. Saat mengisi sambutan dalam Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin (8/2/2021), Jokowi  meminta masyarakat lebih aktif memberikan masukan dan kritik pada pemerintah sebagai bagian mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Pun dalam video yang diunggah pertama kali pada 18 Juli 2012, ketika Jokowi masih menjabat Walikota Solo (hanya beberapa bulan sebelum dilantik menjadi Gubernur DKI Jakarta), ia menyatakan kangen dan minta didemo karena pemerintah perlu dikontrol. 

Namun lidah tak bertulang. Pada pertengahan 2017, CNN Indonesia merilis artikel bertajuk Gejala Antikritik Rezim Jokowi. Saat itu marak terjadi penangkapan aktivis, baik dengan tudingan makar maupun penghinaan terhadap presiden melalui jejaring media sosial yang dipandang melanggar UU ITE.

Menengok yang terjadi pada tahun 2020, sikap antikritik tak lagi sebatas gejala. Penguasa secara jelas menampakkan diri sebagai rezim antikritik seraya salah satunya melekatkannya dengan narasi perang melawan radikalisme dan ujaran kebencian. Bahkan 2020 sering disebut sebagai tahun kelam demokrasi. 

Pasalnya, banyak kasus kebebasan berekspresi yang dipersoalkan melalui pidana, pun dengan cara di luar proses hukum terhadap aktivis, mahasiswa, hingga jurnalis. Modusnya dengan: penangkapan sewenang-wenang, kekerasan berlebihan, pembubaran paksa, penghalangan ruang gerak, intimidasi, pembiaran kekerasan oleh ormas, peretasan akun media sosial, pencitraan buruk hingga penghalangan akses bantuan hukum.

Selain itu, tak ada definisi baku yang disebut pendapat, masukan, kritikan, protes, nyinyiran dan hujatan. Rezim hanya punya satu perspektif menilainya. Selama yang dinarasikan berkonten berseberangan dengan kepentingannya  maka berpotensi sebagai ujaran kebencian. 

Berbagai perangkat pun dibuat. Pasal karet dalam UU ITE menjadi alat kebiri suara kritis masyarakat terhadap berbagai kebijakan penguasa. Pasukan buzzer yang diduga dibiayai APBN disiapkan untuk menghempas opini kritis di media sosial. Khusus ASN, ada satgas pengawas dan pembina ASN yang siap menerapkan sanksi tegas bagi yang terbukti mengkritisi pemerintah dan dipandang radikal. 

Adapun pembentukan kabinet jilid dua yang meletakkan isu radikalisme sebagai core of the core terus membuat program-program turunan. Terakhir, Perpres Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional (RAN) Penanggulangan Ekstremisme. Kurang perangkat apa lagi demi memberangus kebebasan berekspresi? 

Diakui atau tidak. Dampak kebijakan zalim yang terus diproduksi penguasa telah memutus urat takut sebagian rakyat. Ada kecenderungan nekat meski tahu risikonya bakal dipenjara. Mereka merasa tak tabu menuang kritiknya di berbagai media, termasuk mural. Mengapa penguasa seolah bergeming atas kritikan rakyatnya? Apakah tidak khawatir dengan cap represif yang dilekatkan kepadanya?

Inilah harga yang harus dibayar penguasa, saat memilih konsisten menerapkan sistem demokrasi kapitalistik liberalistik yang pro kepentingan kapitalis. Pada praktiknya, sistem ini pasti akan menabrak proses partisipasi rakyat, sekaligus menihilkan proses dialog yang akomodatif terhadap kepentingan dan maslahat rakyat banyak.

Jangan pernah menaruh asa terhadap pembelaan hak-hak asasi manusia, kemanusiaan yang adil dan beradab, permusyawaratan dalam hikmat kebijaksanaan, keadilan bagi seluruh rakyat dan hal-hal normatif lainnya akan menjadi tolok ukur pembangunan atau pengambilan keputusan. Kalau pun isu ini diangkat, hanya ada dalam konsep dan wacana di ruang-ruang sidang. 

Harga kebutuhan pokok yang gagal ditekan meski kran impor dibuka lebar, merangseknya pekerja asing di tengah gunungan pengangguran, kriminalitas dan dekadensi moral yang kian mengancam tapi terkesan tak serius diselesaikan, terlebih di tengah lara pandemi saat ini, jelas menyakiti hati rakyat dan membuat mereka merasa hidup tanpa pengurusan penguasa. Lantas, rakyat mesti mengadu ke mana? Salahkah jika akhirnya dinding menjadi tempat curhatnya, media sosial menjadi sarana keluh-kesahnya?

Hingga di satu titik, tentu kondisi ini dianggap membahayakan. Bagaimana pun, penguasa butuh legitimasi rakyat, meski harus diperoleh dengan cara paksa (curang). Sebagai pemegang kendali atas sumber-sumber kekuatan, rezim akan mudah melakukan semuanya. Media mainstream, kekuatan militer, polisi, ormas, bahkan dana negara, semua digerakkan demi membangun dukungan. Dan di saat sama, digunakan untuk memberangus kebebasan berpendapat dan berorganisasi di tengah masyarakat yang berpotensi melakukan penolakan.

Represi aparat demi memberangus kebebasan berekspresi, tak hanya menunjukkan bermuka duanya penguasa. Pun sekaligus menguak munafiknya demokrasi, sebagai sistem politik tumbuh dan berkembangnya rezim. Demokrasi munafik melahirkan rezim munafik adalah keniscayaan. Jargon kedaulatan rakyat hanyalah utopi. Ide kebebasan dan HAM yang diagung-agungkan pun sekadar mimpi. 

Justru dengan ide kebebasan ala demokrasi inilah yang menjadi titik kritis untuk dimainkan pengembannya sesuka hati. Jadilah kebebasan berstandar ganda. Lahirlah penguasa SSK (Suka-suka Kami). Pun karakter rezim yang antikritik. Kebebasan hanya milik penguasa dan orang (kelompok) yang berada di lingkaran tahta. Bukan bagi kaum oposan yang berdiri di seberang istana penguasa. 

Inilah wajah asli demokrasi dan rezim yang dibesarkannya. Sama-sama munafik. Buruknya karakter sistem dan sikap rezim ini disadari atau tidak telah mengantarkannya pada gerbang keterpurukan. Salah satu gejalanya nampak dari hasil jajak pendapat lembaga survei Indikator Politik pada 1-3 Februari 2021.

Survei tersebut mengungkap, tingkat kepuasan publik terhadap presiden hanya 62,59 persen di mana turun sekitar 5 persen dari 2019. Bahkan ini merupakan titik terendah sejak 2016. Di survei yang sama, Indikator juga mengungkap tingkat kepuasan publik terhadap kinerja demokrasi sebagai sistem pemerintahan hanya sebesar 53 persen. 

Jika ‘pengkhianatan’ terhadap hak-hak rakyat terus berlangsung, sejatinya rezim dan demokrasi tengah bunuh diri. Pelan namun pasti akan mengantarkan pada kematiannya yang hakiki. Begitulah kerapuhan sistem hidup buatan manusia. Penuh kelemahan, keraguan dan ketidakjelasan dalam memberikan aturan. Jika telah terbukti keburukannya, akankah rezim dan sistem ini terus dibela dan dipertahankan?

Strategi Menyampaikan kritik sosial yang Jauh dari Represi Penguasa

Jika demokrasi dengan wajah aslinya yaitu tirani minoritas atas mayoritas telah melahirkan penguasa represif dan antikritik, maka Islam melalui penerapan sistem pemerintahan khilafah justru membuka ruang kritik yang sesungguhnya bagi masyarakat. Bahkan kritik termasuk ajaran Islam yaitu amar makruf nahi mungkar, sebagaimana firman Allah SWT, “Kamu adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang makruf, mencegah dari yang mungkar dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imran: 110)

Muhasabah atau kritik terhadap penguasa merupakan bagian syariat Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga dan membawa keberkahan. Seorang pemimpin Muslim harusnya tak alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan kebijakan represif.

Budaya muhasabah atau kritik inilah yang dihidupkan dan dijaga dalam dalam naungan Khilafah Islamiyah. Rasulullah SAW adalah contoh terbaik dalam menjaga budaya kritik ini, beliau menerima kritik terhadap kebijakan yang tidak dituntun wahyu. Dalam perang Uhud, beliau menyetujui pendapat para Sahabat yang menghendaki untuk menyongsong pasukan Quraisy di luar kota Madinah, meskipun beliau sendiri berpendapat sebaliknya.

Dalam pandangan Islam, politik negara adalah meriayah/mengatur urusan umat berdasarkan syariat Allah SWT. Kekuasaan (kekhilafahan) merupakan jalan menerapkan syariat kaffah demi kemaslahatan umat. Meskipun aturan hukum yang diterapkan buatan Allah yang Maha Sempurna, namun khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia tak luput dari salah dan lupa. Karenanya, kritik bukanlah ancaman. Bahkan dibutuhkan sebagai standar optimalisasi kinerja khalifah yang akan dipertanggungjawabkan dunia-akhirat. 

Kritik umat terhadap penguasa adalah sunah Rasul dan tabiat dalam Islam. Kritik menjadi saluran komunikasi publik sekaligus bentuk cinta rakyat terhadap pemimpin agar tak tergelincir pada keharaman yang dimurkai Allah SWT. 

Strategi Islam dalam menyampaikan kritikan spsial agar tak berujung pada represi penguasa, di antaranya:

Pertama, menasihati dan mengkritik kebijakan penguasa dalam kerangka menjalankan kewajiban. Pun sebagai bentuk ketakwaan kepada Allah SWT dan kemaslahatan umat. Bukan demi kepentingan pribadi/kelompok. Kita tidak boleh melancarkan kritik dengan tujuan menonjolkan diri, termotivasi oleh hasad (kedengkian) atau berbagai tendensi tertentu, namun semata-mata untuk memperoleh ridha Allah ta’ala.  

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Wajib bagi setiap orang yang memerintahkan kebaikan dan mengingkari kemungkaran berlaku ikhlas dalam tindakannya dan menyadari bahwa tindakannya tersebut adalah ketaatan kepada Allah. Dia berniat untuk memperbaiki kondisi orang lain dan menegakkan hujah atasnya. Bukan untuk mencari kedudukan bagi diri dan kelompok, tidak pula untuk melecehkan orang lain." 

Kedua, mengkritik harus disertai ilmu. Artinya, kritikan benar-benar didasari dengan ilmu di bidangnya. Kita tidak boleh mengritik tanpa ilmu dan basirah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Fatawa mengatakan, “Hendaknya setiap orang yang melakukan amar makruf nahi mungkar adalah seorang yang alim terhadap apa yang dia perintahkan dan dia larang.”  

Hal ini akan menghindarkan seorang muslim bersikap asal njeplak, jauh dari perilaku mencela dan menghujat. Ia mengkritik berdasarkan ilmu, baik berlandaskan dalil agama maupun data secara fakta dan keilmuan yang menunjang.

Ketiga, tidak diperbolehkan mengkritik penguasa dengan menghina pribadi penguasa itu, sebab semua yang terkait fisik adalah ciptaan Allah SWT yang tidak boleh dihina. Misalnya, fisiknya hitam, putih, kurus, gemuk, keriting, dan sebagainya. Ranah yang dikritik adalah kebijakan/aturan yang dibuat penguasa saat melanggar hukum Allah SWT dan atau tidak memenuhi hak umat yang menjadi tanggung jawab pengelolaannya. 

Keempat, menyampaikan dengan bahasa ahsan sesuai adab Islam. Kritik adalah bagian amar makruf nahi mungkar atau dakwah. Dalam aktivitas menyeru kepada sesama manusia, Allah SWT telah memberikan panduan, “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik. Dan berdebatlah dengan cara yang baik..” (QS. An Nahl: 125).

Bila kita mampu menerapkan hal di atas, maka kritikan insyaa Allah akan bernilai pahala, mendatangkan pahala dan akan memberi kebaikan bagi orang yang kita kritisi.

Menjadi tanggung jawab setiap Muslim untuk menghidupkan kewajiban muhasabah lil hukkam. Terutama kalangan pemuda dan intelektual karena mereka adalah martir kebangkitan umat. Imam Ghazali dalam kitab Ihya Ulumiddin menyatakan, tradisi intelektual masa lalu adalah mengoreksi penguasa untuk menerapkan hukum Allah SWT.

Meskipun sistem dan rezim saat ini represif, pantang menyurutkan umat Islam menyuarakan kebenaran ajaran Islam dan kebutuhan khilafah sebagai solusi negara ini. Apa pun risikonya, cukuplah balasan terbaik dari Allah SWT.

"Pemimpin syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menghadap pemimpin yang zalim untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, lalu penguasa itu pun membunuhnya.” (HR. Al-Hakim). 

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati

Posting Komentar

0 Komentar