Mengincar Kurikulum Industri di Kampus: Inikah Strategi Sistem Kapitalisme Membajak SDM Unggul Menjadi Budak Korporasi?


TintaSiyasi.com-- Dilansir dari kompas.com (27/7/2021), Presiden Joko Widodo meminta perguruan tinggi melibatkan berbagai industri untuk mendidik para mahasiswa. Menurutnya, di era yang penuh disrupsi seperti sekarang ini, kolaborasi antara perguruan tinggi dengan para praktisi dan pelaku industri sangat penting. "Ajak industri ikut mendidik para mahasiswa sesuai dengan kurikulum industri, bukan kurikulum dosen, agar para mahasiswa memperoleh pengalaman yang berbeda dari pengalaman di dunia akademis semata," kata Jokowi dalam Konferensi Forum Rektor Indonesia yang ditayangkan YouTube Universitas Gadjah Mada, Selasa (27/7/2021). Bahkan ia meminta untuk memberikan bobot SKS yang jauh lebih besar untuk mahasiswa belajar dari praktisi dan industri.

Kolaborasi dunia pendidikan dengan dunia industri ini memang sudah menjadi target utama sistem kapitalisme dalam upayanya mencetak SDM yang berdaya dan siap kerja. Sebelumnya kurikulum SMK pun tak lepas dari incaran korporasi, diwartakan detiknews.com, Sabtu (9/1/2021), Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Vokasi) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) telah melakukan penyesuaian kurikulum SMK dalam rangka mendukung program link and match.

Sedari awal, ini memang sejalan dengan program pendidikan dari kabinet pemerintahan Jokowi, Nadiem selaku Menteri Pendidikan telah menegaskan bahwa ia akan menjalankan program Kampus Merdeka untuk menghasilkan mahasiswa yang unggul dan bisa menjadi pendisrupsi revolusi industri 4.0.

Ini bukan sekadar potensi unggul generasi telah dilelang demi korporasi. Melihat bagaimana upaya pemerintah menjadikan dunia pendidikan mampu mencetak SDM menjadi insan-insan yang siap memenuhi kepentingan para korporasi, akan memunculkan pertanyaan, tidakkah ini sudah menjadi upaya 'pembajakan' SDM untuk dicetak menjadi budak korporasi?


Sistem Kapitalisme Membajak SDM Unggul Menjadi Budak Korporasi

Bukan lagi suatu hal yang keliru, apabila dikiaskan sistem kapitalisme 'membajak' dunia pendidikan. Sistem ini menjadikan dunia pendidikan sebagai mesin pencetak lahirnya sumber daya manusia yang siap memenuhi kebutuhan dunia industri, layaknya seperti budak pemuas kepentingan korporasi. Tentu saja ini sulit disadari kebanyakan akademisi, bahwa kepentingan dan keberadaan mereka telah diambil alih fungsi, karena memang peradaban kapitalisme menjadikan kehidupan semakin sempit, meskipun hanya sekadar memenuhi kebutuhan hidup. Tak khayal, kebanyakan manusia dalam sistem kapitalisme terjebak dalam kepentingan yang berpusat pada materialisme. Akhirnya, dunia pendidikan dapat dengan mudah mengikuti kepentingan korporasi.

Sejalan dengan kepentingan korporasi dan para kapitalis, pemerintah semakin serius memastikan kurikulum kampus adalah kurikulum industri. Ini karena menurut Jokowi, pengetahuan dan keterampilan yang hebat di masa kini bisa jadi sudah tidak dibutuhkan lagi dalam 5 tahun atau 10 tahun ke depan. Ia bersikukuh, mahasiswa harus disiapkan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang relevan untuk zamannya. Ia berpikir dengan begitu dapat memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk mengembangkan talentanya. Jokowi mengatakan, bahwa para mahasiswa harus difasilitasi untuk mampu bersaing di pasar kerja yang semakin terbuka dan terglobalisasi, harus mampu menjadi industriawan yang menciptakan lapangan kerja. Menurutnya, dengan begitu mahasiswa mampu meningkatkan status sosialnya, membuat dirinya naik kelas dan menjadikan UMKM Indonesia juga naik kelas bersama-sama (kompas.com, 27/7/2021).

Sebelumnya Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ( Kemendikbud) bersama Google, Gojek, Tokopedia, dan Traveloka menyelenggarakan program Bangun Kualitas Manusia Indonesia (Bangkit) 2021. Program ini merupakan program pembinaan 3.000 talenta digital terampil guna menyiapkan sembilan juta talenta digital terampil pada tahun 2030. Program Bangkit ini digadang Ditjen Dikti sebagai program yang ditawarkan kepada mahasiswa di semua perguruan tinggi Indonesia untuk dapat mengimplementasikan Kampus Merdeka melalui studi/proyek independen untuk mendapatkan kompetensi di bidang machine learning, mobile development, dan cloud computing (kompas.com, 8/1/2021). Diperjelas dalam laman resmi Bangkit 2021, pada akhir program, mahasiswa akan dibekali dengan keahlian teknologi dan soft skill yang dibutuhkan untuk sukses berpindah dari dunia akademis ke tempat kerja di perusahaan terkemuka.

Setelah upaya pemerintah memasukkan programnya yang bekerja sama dengan korporasi, kini diperkuat dengan memasukkan kurikulum industri kepada kampus-kampus. Telah jelas arah pendidikan yang bergelayut di sistem kapitalisme, tak jauh-jauh dari mencetak sumber daya manusia (SDM) yang siap berdaya di kancah industri. Demi memenuhi kepentingan korporasi, tujuan mulia pendidikan telah dibajak beralih fungsi menjadi pencetak sumber daya manusia yang siap menjadi budak korporasi.

Ini terbukti, dalam sistem kapitalisme, dunia pendidikan saat ini dengan kemajuan teknologinya, namun tidak mampu menyelesaikan persoalan umat. Hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan persaingan bisnis dan demi kepentingan para kapitalis.

Mirisnya, para akademisi seakan mengamini arah pendidikan ini, mahasiswa sebagian besar seperti merasa terbantu dengan arah dunia pendidikan ini. Bukan salah mereka, yang memang sejak awal terdidik dalam sistem kapitalisme yang bernapaskan materialisme. Ditambah lagi dengan kemandulan penguasa memenuhi hajat hidup rakyatnya menjadi pendorong insan akademisi yang menempuh pendidikan hanya bertujuan untuk dapat memperoleh pekerjaan mapan setelah mereka terjun ke tengah masyarakat. Inilah wujud pembajakan nyata fungsi dunia pendidikan yang harusnya mampu mencetak para ilmuwan dan para intelektual yang mampu menjawab dan menjadi bagian dari penyelesai problematika umat.


Dampak Sumber Daya Manusia yang tercetak dari Kurikulum Industri di Kampus

Sistem kapitalisme telah melunturkan tujuan mulia dari pendidikan yang sesungguhnya. Banyaknya ilmuwan dan para intelektual yang terlahir dalam sistem ini, berikut kecanggihan teknologi yang kian meningkat tajam saat ini, tak berbanding lurus dengan semakin terselesaikannya problematika umat manusia, bahkan krisis kemanusiaan semakin terbentang lebar di berbagai belahan dunia.

Inilah beberapa dampak bahaya dari pemaksaan kurikulum industri di kampus bagi SDM yang terlahir dari kurikulum pendidikan ini, di antaranya:

Pertama, mengalihkan fokus mahasiswa dari pendalaman ilmu menjadi pintu korporasi membajak potensi intelektual generasi. Fokus mahasiswa tak lagi berorientasi pada seberapa jauh ilmunya akan dibutuhkan masyarakat dan turut menjadi penyelesai persoalan umat. Namun, lebih menitikberatkan pada seberapa besar peluang ilmunya akan dibutuhkan korporasi.

Kedua, menjadi ancaman jangka panjang karena kehilangan SDM pakar ilmu yang menjadi sumber lahirnya inovasi maslahat bagi rakyat dan hanya didapati SDM operator mesin industri. Pada akhirnya mahasiswa hanya fokus berapa banyak potensi pencapaian materi yang akan dihasilkan ketika nanti terjun ke tengah masyarakat. Bukan lagi fokus berapa jauh kedalaman ilmu yang akan terus digali untuk memberikan kemaslahatan kepada umat dalam turut menyelesaikan berbagai krisis dan problematika yang ada di tengah masyarakat. Terbukti, keberlimpahan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, namun tidak mampu menjadi penyelesai problematika umat manusia. Terjadi banyak krisis di segala bidang, krisis kemanusian, krisis ekonomi, krisis moral, krisis politik dan krisis generasi. Dengan keberlimpahan ilmu pengetahuan tidak juga mampu menjadikan dunia lebih baik.

Ketiga, lahirnya karakter intelektual yang lebih diarahkan pada gaya hidup sekuler, yang semakin menciptakan generasi individualis dan hedonis. Dan bahkan karakter materialistis semakin melekat pada generasi yang terlahir dari sistem kapitalisme, sehingga tercipta para intelektual yang nir-empati terhadap persoalan umat.

Keempat, semakin menancapnya ruh kapitalisme, yaitu materialisme. Melalui kurikulum industri, SDM yang pragmatis semakin meningkat dalam dunia pendidikan. Tercermin dari tujuan pendidikan yang terlampau materialistik yang hanya sekedar penyedia kebutuhan korporasi, menjadi budak dan pelayan kapitalis semata.

Kelima, krisis kepemimpianan. Sumber daya manusia dengan sikapnya yang individualis, hedonis dan pragmatis, semakin menjauhkan peran mahasiswa sebagai agent of change. Semakin apatis dengan berbagai persoalan umat, tak lagi peduli dengan ketidakadilan yang semakin merajalela. Terlihat nyata, di sistem kapitalisme saat ini semakin banyak pemimpin yang nir-empati, hilang ruh spiritualnya, serakah terhadap kekuasaan dan sense of crisis yang dimilikinya sangatlah rendah.

Pakar Hukum dan Masyarakat Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum menekankan bahwa mahasiswa harus memiliki critical thinking, bahkan harus dapat terlepas dari hegemoni rezim. Menurutnya, mahasiswa harus memiliki peran 'From The Agent to The Leader of Change', sebagai bagian dari civitas akademika kampus, mahasiswa mempunyai tugas sebagai the agent of change. Kiprah mahasiswa ia nilai mampu memberi perubahan atas berbagai ketimpangan sosial. Inilah yang menurut Prof. Suteki sudah seharusnya menjadikan mahasiswa tidak berdiam diri menyaksikan ketidakadilan yang marak terjadi.

Dalam tulisannya yang selalu tajam menyuarakan kebenaran, Prof. Suteki mengingatkan, "Ingatlah, bahwa tak hanya menjadi the agent of change, mahasiswa adalah the leader of change. Selain itu, sebagai insan kampus, tugas mereka adalah merohanikan ilmu, yakni  pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth. Rohani di sini berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Sebagai ilmuwan, mahasiswa juga mesti memiliki "critical thinking," yaitu cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim, bahkan berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut". Namun bahaya krisis kepemimpinan ini, akan menggerus potensi besar mahasiswa sebagai the agent of change, apalagi the leader of change.

Dampak dari kurikulum industri di kampus ini akan semakin membahayakan bila tak disadari, karena sebagai pintu lahirnya SDM yang jauh dari khittah tujuan mulia pendidikan. Apalagi ketika dalam benak masyarakat tidak tergambar, bagaimana seharusnya arah pendidikan yang shahih.


Strategi Kurikulum Pendidikan Islam dalam Mencetak SDM yang Mampu Menjawab Kebutuhan Zaman

Pendidikan memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Islam. Sebagaimana firman Allah SWT, "Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman, dan orang-orang yang telah diberi ilmu." (QS. Al-Mujadilah: 11).

Tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk membentuk kepribadian Islami (Shakhsiyyah Islamiyyah) yaitu membentuk pola pikir Islami dan pola sikap Islami. Serta menciptakan ulama, intelektual dan tenaga ahli sebanyak mungkin yang dapat memberi manfaat bagi umat, melayani masyarakat dan membangun peradaban Islam.

Tentu saja tujuan pendidikan ini tidak akan mampu terwujud bila ditopang oleh sistem kapitalisme sekuler. Hanya sistem Islam yang mampu dan sudah terbukti mampu mewujudkannya. Negara memberikan hak penuh tanpa pandang bulu bagi seluruh umat untuk dapat mengenyam pendidikan secara cuma-cuma. Segala penelitian, laboratorium, perpustakaan dan sarana yang dibutuhkan disiapkan negara. Karena tidak lain negara merupakan penanggung jawab penyelenggara pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan kebutuhan dasar yang harus dijamin oleh negara dan sekali lagi negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat.

Ingatlah sabda Rasulullah SAW, "Imam itu adalah pemimpin dan ia akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR al-Bukhari).

Dalam buku Ensiklopedia Khilafah dan Pendidikan: Menghidupkan Kembali Masa Keemasan, menyebutkan kebijakan pendidikan Daulah Khilafah Islamiyah, di antaranya:

Pertama, asas pendidikan formal adalah akidah Islam. Seluruh mata pelajaran dan metode pengajaran harus berdasarkan akidah Islam.

Kedua, kebijakan pendidkkan adalah pembentukan sistem berpikir dan kejiwaan Islami pada anak didik.

Ketiga, tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islami serta membekali anak didik dengan sejumlah ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan urusan hidupnya.

Keempat, dalam pendidikan, ilmu eksperimental beserta derivatnya harus dibedakan dengan pengetahuan yang berhubungan dengan tsaqafah.

Kelima, pendidikan tsaqafah Islam harus disajikan di setiap jenjang kehidupan.

Keenam, ilmu sains dan teknologi yang terkategori dalam ilmu yang bebas nilai boleh diambil tanpa ada persyaratan apapun.

Ketujuh, kurikulum pendidikan harus tunggal.

Kedelapan, negara menjamin penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh rakyatnya, tanpa memandang agama, suku dan ras.

Kesembilan, negara bertanggung jawab sepenuhnya dalam menyediakan fasilitas pendidikan bagi rakyatnya.

Terbukti dalam masa keemasan Islam, pada masa itu studi ilmiah dan penelitian seperti kedokteran, ekonomi, matematika, geografi, astronomi dan banyak lagi berkembang di dunia Islam. Umat Muslim memberi kontribusi besar bagi sains, budaya dan sastra. Yang paling terkenal Aljabar yang ditemukan Al-Khawarizmi, Ilmiwan Persia di bidang matematika. Cendikiawan-cendikiawan Islam itu muncul dari berbagai agama, wilayah, suku dan ras. Sebagai contoh, banyak dokter pribadi untuk Khalifah Abbasiyah adalah orang Kristen. Seorang Kristen bernama Hunayn ibn Ishaq al-Ibadi adalah kepala "House of Wisdom" dalam jangka waktu yang lama, dia diberi posisi itu oleh Khalifah Al-Ma'mum. Orang Yahudi dan Zoroaster memainkan peran besar dalam menterjemahkan karya lama Yunani, Romawi, Persia, Cina dan Hindu ke dalam Bahasa Arab, bahkan ia dikenal sebagai Syekh of the translators. Di masa keemasan ini orang-orang yang berbeda agama dan budaya berkumpul di Baghdad. Semuanya berada di bawah perlindungan penguasa Muslim, yaitu Khilafah Islamiyah.

Di masa ini, para penulis buku atau penerjemah sebuah buku diberi bobot emas dalam buku itu. Bukan hanya menterjemahkan karya lama, di masa itu berbagai penelitian pun dilakukan. Al-Khawarizmi selain Aljabar juga meningkatkan karya-karya geografi. Ibn Mua'dh al-Jiyyani, terinspirasi oleh karya Euclid, menulis risalah tentang trigonometri bola. Ibn al-Haytham melakukan terobosan di bidang optik. Ibn al-Nafis ilmuwan yang menggambatkan sirkulasi darah paru-paru dan masih banyak lagi cendekiawan-cendekiawan Islam lainnya.

Itulah sebagian kecil gambaran kegemilangan pendidikan di masa Khilafah Islamiyah. Kembalinya abad keemasan ini, hanya dapat terwujud dengan penerapan syariat Islam di setiap lini kehidupan, yaitu sistem pendidikan Islam yang terintegrasi dengan sistem politik, ekonomi dan sosial budaya.

Demikianlah, negara khilafah memberikan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Islam mewajibkan negara menjamin terwujudnya generasi pembangun peradaban Islam. Generasi adalah anak-anak umat (abna’ul ummah) yang rasul banggakan karena jumlah dan kontribusinya bagi Islam. Dengan tujuan pendidikan Islam yang terlahir sesuai dengan syariat Islam dapat menghasilkan generasi yang bertakwa, tunduk dan taat pada hukum-hukum Allah. Bukan generasi yg miskin moral, lemah dan tidak memiliki ghirah Islam.


Penutup

Kurikulum industri di kampus semakin menguatkan upaya pemerintah untuk mencetak para insan akademisi yang siap terjun ke masyarakat dalam memenuhi tuntutan korporasi. Demi memenuhi kepentingan korporasi, tujuan mulia pendidikan telah dibajak beralih fungsi menjadi pencetak sumber daya manusia yang siap menjadi budak korporasi. Ini terbukti, dalam sistem kapitalisme, dunia pendidikan saat ini dengan kemajuan teknologinya, namun tidak mampu menyelesaikan persoalan umat. Hanya fokus untuk memenuhi kebutuhan persaingan bisnis dan demi kepentingan para kapitalis. Inilah wujud pembajakan nyata fungsi dunia pendidikan, yang harusnya mampu mencetak para ilmuwan dan para intelektual yang mampu menjawab dan menjadi bagian dari penyelesai problematika umat.

Dampak kurikulum industri di kampus, di antaranya: Pertama, mengalihkan fokus mahasiswa dari pendalaman ilmu menjadi pintu korporasi membajak potensi intelektual generasi. Kedua, menjadi ancaman jangka panjang karena kehilangan SDM pakar ilmu yang menjadi sumber lahirnya inovasi maslahat bagi rakyat dan hanya didapati SDM operator mesin industri. Ketiga, lahirnya karakter intelektual yang lebih diarahkan pada gaya hidup sekuler, yang semakin menciptakan generasi individualis dan hedonis. Keempat, semakin menancapnya ruh kapitalisme, yaitu materialisme. Kelima, krisis kepemimpinan, sehingga tercipta SDM yang pragmatis, nir empati, hilang ruh spiritualnya.

Dampak dari kurikulum industri di kampus ini akan semakin membahayakan bila tak disadari, karena sebagai pintu lahirnya SDM yang jauh dari khittah tujuan mulia pendidikan. Apalagi ketika dalam benak masyarakat tidak tergambar, bagaimana seharusnya arah pendidikan yang shahih.

Negara khilafah memberikan perhatian yang besar terhadap dunia pendidikan. Islam mewajibkan negara menjamin terwujudnya generasi pembangun peradaban Islam. Generasi adalah anak-anak umat (abna’ul ummah) yang rasul banggakan karena jumlah dan kontribusinya bagi Islam. Dengan tujuan pendidikan Islam yang terlahir sesuai dengan syariat Islam dapat menghasilkan generasi yang bertakwa, tunduk dan taat pada hukum-hukum Allah. Bukan generasi yg miskin moral, lemah dan tidak memiliki ghirah Islam. []


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar