Kukuruyuk Dianggap Mengganggu: Akankah Kritik Rakyat Juga Dianggap Mengganggu Penguasa?


TintaSiyasi.com-- Desa-desa di Spanyol mulai kembali membuka pintu untuk wisatawan, salah satunya adalah Ribadesella. Desa di Spanyol utara ini jadi incaran wisatawan dengan nuansa pedesaan yang masih kental. Di tengah kesunyian desa, seorang turis protes kepada wali kota. Turis ini terganggu dengan suara ayam yang membangunkannya.

Turis itu sampai meminta agar wali kota melakukan sesuatu untuk meredam suara ayam saat dini hari. Namun bukannya membela sang turis, wali kota tersebut beraksi dengan menempelkan poster ke seisi desa. Poster tersebut berisikan suasana pedesaan yang tak mungkin bisa dihindari.

Tujuan dari poster ini adalah menjembatani kesenjangan yang kadang menganga antara kaum urban dan kehidupan pedesaan. Jika turis tidak bisa menangani ini semua, maka mereka tidak berada di tempat yang tepat. Sebenarnya di Ribadesella, hanya ada sedikit keluhan soal ini. Namun, para pejabat memanfaatkan kesempatan ini untuk menjelaskan bahwa apa yang mereka anggap masalah itu adalah hal normal. "Mendengar ayam berkokok di malam hari adalah normal. Jika Anda datang ke hotel pedesaan, Anda harus menyadari bahwa ini adalah kehidupan sehari-hari desa," kata si wali kota.

Kenapa ayam berkokok di pagi hari? Dilansir National Geographic, studi baru menunjukan bahwa ayam jantan tidak membutuhkan cahaya baru untuk mengetahui kapan fajar tiba. Sementara para peneliti dari Universitas Nagoya, Jepang tengah mempelajari dasar-dasar genetik suara bawaan berkokok pada ayam. Mereka menemukan ayam jantan tidak memerlukan isyarat cahaya eksternal untuk mengetahui kapan harus mulai berkokok. Dari penelitian-penelitian  tersebut mereka menyimpulkan adanya ritme sirkadian. Ritme sirkadian adalah proses internal dan alami yang mengatur siklus tidur-bangun yang diulangi kira-kira setiap 24 jam pada makhluk hidup.

Memang aneh jika orang ingin menikmati suasana desa tanpa suara kukuruyuk ayam jantan yang tinggal disana di pagi hari. Aneh juga jika orang ingin menikmati jadi penguasa apalagi dalam sistem demokrasi tanpa adanya suara rakyat yang mengkritisi.

Jika tidak mau terganggu kukuruyuk tentunya jangan ke desa. Begitu pula jika tidak mau terganggu kritik jangan jadi penguasa. Lagi pula filsuf Yunani, Aristoteles sudah pernah mengingatkan kita semua dengan petuahnya, “Kritik adalah sesuatu yang dapat dengan mudah anda hindari dengan tidak mengatakan apa-apa, tidak melakukan apa-apa dan tidak menjadi apa-apa.” Jadi jika anda merasa tidak sanggup menerima kritik, lebih baik tidak usah menjadi apa-apa.

Namun faktanya di Indonesia, masih begitu banyak hambatan yang dapat menjerat rakyat yang sedang berupaya menyuarakan pendapat. Jika kita melihat kembali ke belakang, begitu banyak catatan-catatan kelam yang berkaitan dengan pembungkaman suara rakyat yang hingga kini tak juga terselesaikan. Lalu bagaimana nasib kritik di antara indikasi penguasa untuk berupaya membungkam rakyatnya dan cita-cita yang katanya ingin memperjuangkan nilai-nilai demokrasi?


Definisi Kritik dan Cara Penyampaiannya agar Terlepas dari Jerat Hukum

Cukup mencengangkan ketika berbagai media menginformasikan permintaan Presiden Jokowi kepada masyarakat agar aktif dalam menyampaikan kritik terhadap pemerintah. Informasi tersebut membuat semringah bercampur senyum sinis. Sebab, di masyarakat banyak peristiwa traumatis terkait penyampaian kritik yang berujung bui. Dengan begitu, tak jarang momen itu dianggap paradoks, kontras, dan bermuka dua.

Peristiwa-peristiwa yang terjadi selama ini memang menorehkan rekam jejak tak mulus bagi Presiden Jokowi terkait keterbukaan terhadap kritik publik. Bahkan, survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia menunjukkan kenaikan ketidakpuasan dari 28 persen menjadi 35,6 persen. Itulah titik terendah tingkat kepuasan terhadap Presiden Jokowi semenjak Juni 2016.

Ketakutan untuk menyampaikan kritik bisa jadi merupakan imbas adanya pasal 45 UU tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik. Juga pasal 45a dan 45b yang banyak menjerat pengguna media sosial terkait penyampaian ujaran kebencian, ancaman kekerasan, dan menakut-nakuti.

Rasa takut untuk mengkritik semakin memuncak tatkala dihadapkan pada pasal 207 KUHP tentang Penghinaan terhadap Penguasa. Pasal itu sebenarnya tidak bisa secara otomatis diberlakukan.

Sebab, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006, dalam pertimbangannya menyatakan bahwa pasal 207 KUHP tidak dapat dikenakan terhadap seseorang apabila sebelumnya tidak ada pengaduan terlebih dahulu dari pihak yang merasa dirugikan (delik aduan). Dengan demikian, pemberlakuan pasal tersebut harus melalui aduan dari presiden atau pemerintah, bukan simpatisan ataupun pendukungnya.

Jika melihat berbagai pasal di atas, seolah kita terjebak dalam dimensi bahwa mengkritik sama halnya dengan menghina ataupun menyampaikan ujaran kebencian. Padahal, UU Nomor 9 Tahun 1998 juga memberikan keleluasaan dan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum. 

Lantas, bagaimana cara menyampaikan kritik yang benar? Adakah aturan ataupun etikanya agar kita tidak termakan pasal-pasal tersebut?

Jika membuka Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata kritik dimaknai sebagai kecaman, tanggapan, dan kupasan. Maka, apabila melihat makna tersebut, kata kecaman mungkin memerlukan klarifikasi makna agar tidak berkonotasi negatif.

Makna kecam dalam KBBI merujuk terhadap teguran yang keras. Dengan demikian, konsepsi makna terhadap kritik memang meletakkan kegiatan tersebut dalam konteks memberikan masukan serta tanggapan terhadap suatu peritiwa yang dapat dilakukan dengan keras ataupun tidak. Makna kritik semacam itu melekat terhadap penganalisisan dan pengevaluasian.

Kritik sejatinya juga disertai dengan bukti-bukti yang kuat untuk menguatkan argumentasi. Berbagai macam penyampaian kritik itulah yang perlu pemahaman (social learning). Bahwa kritik dapat dilakukan dengan keras dan pedas, tidak selalu dengan cara yang santun. Namun, memang lebih baik jika kritikan tersebut dilakukan dengan santun.

Bahkan, bentuk dari kritik tidak hanya lingual, melainkan dapat pula berbentuk simbol. Hal yang tidak dapat terlepas dari proses tersebut adalah pertimbangan kadar baik dan buruk peristiwa yang dikritik sehingga akan menjadikan proses muatan kritik tersebut penuh bukti.

Titik berat kritik memang akan mengacu terhadap muatan ataupun kontennya. Tetapi, secara definitif, penyampaiannya dapat dilakukan dengan pedas sesuai tawaran indeks KBBI yang memuat adanya kosakata kritik pedas dengan tidak menyamakan makna terhadap penghinaan, apalagi pencemaran nama baik.

Dengan demikian, sangatlah jelas bahwa kritik berbeda dengan penghinaan. Tipisnya perbedaan makna dari dua kata tersebut tidak dapat dijadikan kesempatan untuk membonsai kritik di era demokrasi ini. Dalam hal itu, pembelengguan kebebasan berpendapat menjadi menonjol jika konsep makna kritik dilekatkan terhadap kata penghinaan dan ujaran kebencian.

Dalam KBBI, menghina diartikan merendahkan; memandang rendah. Yang menjadi polemik selanjutnya adalah jika presiden ataupun lembaga pemerintah melakukan sesuatu yang salah dan dikritik masyarakat dengan berbagai argumentasi yang valid sehingga menyebabkan presiden ataupun lembaga pemerintah dipandang rendah. Apakah hal tersebut masuk penghinaan?

Jika hal tersebut dikategorikan menghina, maka kuburlah makna demokrasi berpendapat kita dan jangan berharap masyarakat akan berani memberikan kritik terhadap presiden ataupun pemerintah. Proses yang dinamakan menghina adalah ketika seseorang ataupun kelompok dengan sengaja merendahkan ataupun memandang rendah objek yang kenyataanya tidak sesuai.

Runtutan logika itulah yang harus tertanam pada masyarakat, lebih-lebih penegak hukum di negeri ini. Agar respons terhadap kritik tidak dikait-kaitkan dengan berbagai aspek lain yang berujung saling lapor dan pidana.

Keterbukaan pola berpikir semacam itu sangat diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik, sekaligus membangun komunikasi yang komprehensif antara masyarakat dan presiden serta lembaga pemerintahan. Dalam hal tersebut, masyarakat yang menyampaikan masukan dan kritik harus dianggap bukan tindak kejahatan. Melainkan bentuk partisipasi dan pengawasan publik, sekaligus ekspresi masyarakat atas berbagai kebijakan-kebijakan pemerintah.

Selanjutnya, sebuah kritik tidak boleh langsung dimaknai penghinaan jika belum memenuhi pembuktiaan seluruh unsur kebenaran objek kritik tersebut. Kritik dapat dikatakan sebagai seni berpandangan dalam kehidupan demokrasi. Persoalannya, ketika aspirasi atau suara kritis kehilangan substansi atau pegangan etis, tentu menyampaikan pendapat bukan hanya soal keberanian, tetapi juga melibatkan aspek keseimbangan hak dan kewajiban, termasuk juga asas manfaat.

Melalui skema itu, kebebasan berpendapat yang dimaksudkan dalam amanah konstitusi, bukanlah kebebasan yang ‘benar-benar bebas’ bersifat absolut atau mutlak, tetapi tetap bersandar etika. Hal ini yang dapat disebut sebagai kebebasan yang bertanggung jawab. Secara operasional, etika komunikasi menjadi penting diperhatikan dalam menyampaikan pendapat. Artinya, kritik dapat disampaikan dengan baik, teapi tetap mempertimbangkan rambu-rambu dan aturan yang berlaku.

Mengacu Aristoteles, setidaknya terdapat tiga pilar etika komunikasi yang dapat dimanfaatkan sebagai landasan mengkritik, mulai dari etos, pathos, dan logos. Pertama, etos artinya kritik yang disampaikan memperhatikan aspek-aspek moralitas, termasuk kualitas atau kredibilitas sumber atau orang yang mengkritik. Maksudnya tidak etis ketika seseorang menyampaikan kritik, tetapi kritiknya berkebalikan dengan apa yang dilakukannya.

Kedua, pathos berkaitan dengan relasi emosional yang terbangun dalam konteks ini antara orang yang mengkritik dengan representasi realitas atau masyarakat yang diwakili (empati). Ketiga, logos berkaitan substansi atau isi kritik, berdasarkan fakta dan data yang logis, tidak direkayasa atau dibuat-buat demi kepentingan tertentu.

Dengan demikian, kebebasan berpendapat yang mempunyai pegangan etis menjadi cerminan yang sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Dalam konteks inilah, kritik yang diharapkan bersifat konstruktif, tetap menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain yang dipandu aturan-aturan moral serta mendorong keutuhan dan persatuan.

Jika presiden atau lembaga pemerintah belum siap terhadap berbagai bentuk dan wujud kritik, alangkah baiknya dibentuk peraturan ataupun etika penyampaian kritik terhadap presiden maupun lembaga pemerintah. Agar proses tersebut tidak menjadi sesuatu yang langka dalam kehidupan demokrasi kita. Semoga pemahaman tersebut dapat mewujudkan impian Presiden Jokowi serta keberanian masyarakat untuk aktif memberikan kritik dan masukan terhadap kinerja pemerintah.


Dampak yang Ditimbulkan dari Tindakan Represif yang Ambiguitas Pemerintah terhadap Kritik Rakyat

Kata hate speech telah menjadi buzzword di sosial media. Akan tetapi dalam 17th RightCon Southeast Asia tahun 2015 pengguna sosial media tidak memahami apa yang dimaksud dengan kata hate speech tersebut. 

Memang tidak mudah untuk mendefinisikan hate speech karena kata tersebut memiliki pengertian yang berbeda di setiap negara yang berkaitan dengan berbagai aspek seperti keadaan sosial maupun sejarah. Dalam berbagai konvensi internasional kata hate speech dikaitkan dengan hak atas kebebasan berpendapat. Larangan hate speech merupakan pembatasan dari kebebasan berpendapat. 

Definisi mengenai hate speech baru disinggung dalam International Convention on the Elimination of all Forms of Racial Discrimination (ICERD). Dimana dalam Pasal 4 huruf a ICERD menyinggung mengenai ruang lingkup ujaran kebencian yang meliputi penyebarluasan gagasan berdasarkan superioritas ras atau kebencian rasial, hasutan terhadap diskriminasi rasial, serta semua tindak kekerasan atau hasutan terhadap tindakan diskriminasi terhadap ras atau kelompok orang dengan warna lain atau asal etnis.

Kata hate speech dalam bahasa Indonesia disepadankan dengan kata ujaran kebencian dan merupakan pembatasan akan kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bagi negara demokrasi seperti Indonesia sensor atas kebebasan berpendapat dilarang, oleh karenanya larangan bagi ujaran kebencian diatur dalam hukum pidana. Akan tetapi karena tidak ada definisi yuridis mengenai apa yang dimaksud sebagai ujaran kebencian sehingga membuat ketidakjelasan dalam lingkup dari perbuatan yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian.

Sejak keran demokrasi terbuka pasca reformasi 1998, kebebasan berekpsresi dan mengeluarkan pendapat menjadi hal yang lumrah dan tak lagi dikebiri. Kritikan pedas yang mengarah kepada penghinaan kepala negara pun tak lagi termasuk kategori kriminal.

Apalagi menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi no. 013-022/PUU-IV/2006 mencabut pasal 134, 136 bis, dan 137 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penghinaan terhadap presiden serta pasal 207 KUHP seperti telah dijelaskan di pembahasan poin A di atas. Pun, Putusan MK no. 6/PUU-V/2007 yang mencabut pasal 154-155 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Soekarno suatu waktu dulu pernah berkata dalam bukunya yang terkenal, Di Bawah Bendera Revolusi, 1964: “Rakyat yang tidak merdeka adalah rakyat yang sesungguh-sungguhnya tidak-merdeka. Segala gerak-bangkitnya adalah tidak-merdeka. Segala kemauannya, segala pikirannya, ia segala rohnya dan nyawanya adalah tidak-merdeka. Mau ini tidak leluasa, mau itu tidak leluasa. Mau ini ada ranjau, mau itu ada jurang. Mau mengeluarkan kritik, ada artikel 154 sampai 157 dari buku hukum siksa; mau menganjurkan kemerdekaan, ada artikel 153 bis dan ter; mau menggerakkan kaum buruh, terancam artikel 161 bis; mau mengadakan aksi radikal, gampang dicap berbahaya bagi keamanan umum; mau memajukan perniagaan ada rintangan bea, mau memajukan sosial ada macam-macam syaratnya, - pendek kata: mau ini ada duri, mau itu ada paku.”

Di dalam negara hukum berdasarkan asas demokrasi ini, kritik yang dilancarkan kepada pejabat pemerintah merupakan bagian dari komunikasi politik dan dapat dilakukan melalui tulisan atau demonstrasi jika komunikasi politik itu macet. Kritik merupakan salah satu cara keturutsertaan warga negara dalam mengawasi dan berpartisipasi dalam pemerintahan yang dijamin dalam konstitusi UUD 1945.

Seorang pejabat, termasuk presiden dan wakil presiden, harus mau dikritik sebagai bagian dari cara berdemokrasi yang efektif. Seorang pemimpin jika tidak mau dikritik menandakan bahwa dia belum siap untuk menjadi pemimpin.

Hal tersebut juga mejelaskan bahwa dia tidak dapat menggunakan kritik sebagai cermin untuk mengukur dirinya sampai di mana program dan kebijakannya ampuh dan benar serta berguna bagi masyarakat. Membalas kritik dengan hukuman dan membawa yang mengkritik ke pengadilan bukanlah sifat seorang pemimpin yang demokratis tetapi lebih cocok diimplementasikan dalam kepemimpinan yang otoriter.

Dalam masyarakat terbuka, Karl Raimund Popper pernah menyatakan bahwa kritik itu sangat penting untuk membangun, membangkitkan bangsa dan negara. Oleh penguasa kritik seharusnya tidak boleh diposisikan sebagai musuh (enemy), melainkan sparing partner yang hendak membangun negeri secara bersama.

Main ancam dengan pidana denda dan penjara hanya akan semakin menumbuhkan resistensi perlawanan rakyat dan mengesankan seolah pemerintahan dijalankan secara otoriter, antikritik dan antidemokrasi. Bila kritik yang membangun justru ditempatkan sebagai enemy, bahkan dikatan sebagai ujaran kebencian, maka bisa dipastikan bahwa rezim yang tengah berkuasa adalah rezim yang represif. 

Kritik haruslah diterima sebagai masukan, namun disampaikan dengan cara yang positif untuk tujuan yang positif pula. Jadi, sungguh mengherankan jika presiden dan wakil presiden yang terpilih melalui pemilihan langsung malah mengembalikan perangkat hukum pidana kita kepada era represif yang digunakan pada jaman kolonial.

“Haatzaai Artiekelen” di masa lampau digunakan untuk membungkam gerakan kemerdekaan oleh Inggris di tanah jajahan India dan Belanda di Indonesia. Di abad ke-21 yang serba modern dan komunikasi elektronik yang begitu canggih mengakibatkan apa yang terjadi di semua pelosok dunia dapat diterima dengan cepat dan segera. Oleh karena itu komunikasi politik tentunya dapat disampaikan dengan cepat dan efektif pula.


Strategi Islam dalam Menjaga Berlangsungnya Kritik Rakyat terhadap Penguasa

Islam memandang pemimpin sebagai ra’in (pelayan) dan junnah (pelindung) bagi rakyat yang dipimpinnya. Rasulullah SAW bersabda:

الإِÙ…َامُ رَاعٍ ÙˆَÙ…َسْئُولٌ عَÙ†ْ رَعِÙŠَّتِÙ‡ِ

Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya” (HR al-Bukhari).

Sehingga menjadi suatu hal yang wajar jika rakyat mengkritik penguasa, yang menjalankan amanah rakyat. Amanah untuk mengurusi urusan rakyat. Amanah untuk menjadi pelindung rakyat. 

Strategi Islam dalam menjaga berlangsungnya kritik rakyat terhadap penguasa antara lain:

Pertama, adanya kewajiban amar makruf nahi mungkar termasuk kepada penguasa. Rasulullah SAW telah memberitakan bahwa akan ada para pemimpin yang di antara mereka dapat melakukan kemakrufan dan yang melakukan kemungkaran. Mereka berpotensi melakukan kemakrufan maupun kemungkaran. Maka, ketika kemungkaran tampak dari penguasa, rakyat wajib mengingkari penguasa tersebut sekaligus menasehati dan mengoreksi dirinya.

Namun, tetaplah hal itu dilakukan bukan berdasarkan suka dan tidak suka. Akan tetapi berdasarkan standar bahwa itu merupakan kemungkaran, yakni menyalahi hukum-hukum syariah. Sebab, nasehat atau kritik kepada penguasa itu juga bukan untuk kepentingan dunia, melainkan kepentingan akhirat, yakni melaksanakan kewajiban dari Allah SWT.

Kedua, menumbuhkan sikap penguasa yang membutuhkan kritik dari rakyatnya. Kritik justru di butuhkan, sebab khalifah atau pemimpin juga manusia yang membutuhkan koreksi dan nasehat dari manusia lainnya bahkan dari rakyat. Terlebih dalam mengambil kebijakan.

Dituturkan dari Anas bin Malik, Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq ra berpidato selepas pelantikan sebagai khalifah. “Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, sementara aku bukanlah orang terbaik dari kalian. Jika aku berbuat baik, maka tolonglah aku. Jika aku berbuat buruk, maka luruskan aku. Kejujuran adalah amanah, sedangkan kedustaan adalah khianat. Orang yang lemah di tengah kalian adalah kuat di sisiku sampai aku mengembalikan haknya, Inshaa Allah… Taatilah aku selama aku menaati Allah dan Rasul-Nya. Jika aku bermaksiat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka tidak ada kewajiban taat bagi kalian kepadaku. Berdirilah kalian untuk salat. Semoga Allah merahmati kalian.” (Imam ath-Thabari, Târîkh ath-Thabarî).

Dari hadis ini tergambar bagaimana seharusnya menjadi penguasa. Penguasa memiliki kesadaran bahwa akan selalu ada potensi dalam melakukan kesalahan. Maka, ia tidak akan menganggap dirinya selalu benar. Artinya, penguasa akan membuka diri terhadap nasehat, kritik, dan koreksi dari rakyatnya. Pasalnya, dia akan menyadari hal itu untuk kebaikan di dunia dan akhirat kelak.

Ketiga, dorongan kepada penguasa supaya mau dikritik dan tidak melakukan persekusi bahkan perlakuan keji kepada rakyatnya yang menyampaikan kritik atas kebijakan yang dirasa zalim. Seperti yang dilakukan oleh Umar bin Khattab. Kisah Umar yang mau dikritik dan mengakui kesalahannya di hadapan umat. Selama isi kritik tidak melanggar hukum syarak, beliau menerimanya. Dengan merendah beliau mengakui kesalahannya sebagai pemimpin.

Oleh karenanya beliau mendengar apa kemauan rakyat untuk kehidupan mereka, semata mata bukan karena benci namun karena peduli. Ada hubungan yang sangat erat antara pemimpin dan rakyat yang dipimpinnya. Rakyat semakin mencintai pemimpinnya, begitu pula pemimpin mencintai rakyatnya.


Penutup

Sangatlah jelas bahwa kritik berbeda dengan penghinaan. Tipisnya perbedaan makna dari dua kata tersebut tidak dapat dijadikan kesempatan untuk membonsai kritik di era demokrasi ini. Dalam hal itu, pembelengguan kebebasan berpendapat menjadi menonjol jika konsep makna kritik dilekatkan terhadap kata penghinaan dan ujaran kebencian.

Mengacu Aristoteles, setidaknya terdapat tiga pilar etika komunikasi yang dapat dimanfaatkan sebagai landasan mengkritik, mulai dari etos, pathos, dan logos. Pertama, etos artinya kritik yang disampaikan memperhatikan aspek-aspek moralitas, termasuk kualitas atau kredibilitas sumber atau orang yang mengkritik. Maksudnya tidak etis ketika seseorang menyampaikan kritik, tetapi kritiknya berkebalikan dengan apa yang dilakukannya. Kedua, pathos berkaitan dengan relasi emosional yang terbangun dalam konteks ini antara orang yang mengkritik dengan representasi realitas atau masyarakat yang diwakili (empati). Ketiga, logos berkaitan substansi atau isi kritik, berdasarkan fakta dan data yang logis, tidak direkayasa atau dibuat-buat demi kepentingan tertentu.

Dalam masyarakat terbuka, Karl Raimund Popper pernah menyatakan bahwa kritik itu sangat penting untuk membangun, membangkitkan bangsa dan negara. Oleh penguasa kritik seharusnya tidak boleh diposisikan sebagai musuh (enemy), melainkan sparing partner yang hendak membangun negeri secara bersama.

Main ancam dengan pidana denda dan penjara hanya akan semakin menumbuhkan resistensi perlawanan rakyat dan mengesankan seolah pemerintahan dijalankan secara otoriter, antikritik dan antidemokrasi. Bila kritik yang membangun justru ditempatkan sebagai enemy, bahkan dikatan sebagai ujaran kebencian, maka bisa dipastikan bahwa rezim yang tengah berkuasa adalah rezim yang represif. 

Strategi Islam dalam menjaga berlangsungnya kritik rakyat terhadap penguasa antara lain: pertama. Adanya kewajiban amar makruf nahi mungkar termasuk kepada penguasa. Kedua. Menumbuhkan sikap penguasa yang membutuhkan kritik dari rakyatnya. Ketiga. Dorongan kepada penguasa supaya mau dikritik dan tidak melakukan persekusi bahkan perlakuan keji kepada rakyatnya yang menyampaikan kritik atas kebijakan yang dirasa zalim. []


Oleh: Tri Widodo dan A. M. Pamboedi
(Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

#LamRas
#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Referensi:
- "Kenapa Ayam Jantan Berkokok di Pagi Hari?" Dalam www.kompas.com diakses pada 22 Agustus 2021.
- https://business-law.binus.ac.id/2017/07/25/tumpang-tindih-lingkup-dan-ketentuan-pidana-mengenai-ujaran-kebencian-di-indonesia/
- "Kritik Bentuk Cinta Rakyat Kepada Pemimpin dan Negeri." Dalam www.republika.co.id diakses pada 22 Agustus 2021.
- http://www.franswinarta.com/news/pemimpin-demokratis-menerima-kritik-sebagai-masukan/
- "Kukuruyuk Kesal Dibangunkan Ayam Tiap Pagi Turis Ini Lapor Wali Kota." Dalam www.travel.detik.com diakses pada 22 Agustus 2021.
- Beberapa artikel-artikel pendek Prof. Suteki, Ahli Hukum Dan Masyarakat Undip
- https://m.mediaindonesia.com/opini/385698/dilema-etis-kebebasan-berpendapat

Posting Komentar

0 Komentar