Kembalinya Blok Rokan, Untung atau Buntung?



TintaSiyasi.com-- Awal Agustus lalu, ucapan terima kasih dan suasana gembira diluapkan atas kembalinya Blok Rokan ke pangkuan Indonesia. Mencermati nuansa yang telah tercipta, sebenarnya Blok Rokan kembali Indonesia untung atau buntung? Dilansir dari artikel cnbcindonesia.com (9/8/2021) bertajuk Kembali ke Pangkuan RI, Blok Rokan Resmi Dikelola Pertamina menginformasikan, pengelolaan ladang minyak di Blok Rokan akan berpindah dari PT CPI (Chevron Pasific Indonesia) ke PT Pertamina tepatnya ke PT Pertamina Hulu Rokan. 

Presiden Direktur Chevron Pacific Indonesia Albert Simanjuntak, dalam konferensi pers virtual yang dipantau di Jakarta, Minggu malam (8/8/2021) menyatakan, ”terima kasih atas kesempatan yang diberikan kepada kami untuk melaksanakan kegiatan baik operasional maupun kegiatan yang mendukung masyarakat selama hampir satu abad.”

Sontak, ada beberapa hal yang patut dipertanyakan terkait kabar ini. Pertama, sungguh aneh, Chevron kapitalis asing yang lama telah mengekploitasi Blok Rokan mengembalikan kepada Indonesia. Apakah sudah mulai menipis cadangan minyak di sana, sehingga dikembalikan ke Indonesia? Karena, sudah menjadi rahasia umum, kapitalis di sistem kapitalisme memiliki sifat rakus dan serakah.

Kedua, setelah puluhan tahun lamanya dan mereka kuasai dan keruk kekayaan minyak di negeri ini, kenapa begitu pasrah mengembalikan Blok Rokan? Apakah mereka sudah mendapat incaran blok lainnya, yang jauh lebih strategis dan melimpah minyaknya? Ketiga, akankah Indonesia mampu menjadikan sisa pengelolaan yang diserahkan kapitalis asing benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Lebih-lebih bisa menurunkan harga BBM yang beredar.

Mengulik

Mengulik jauh ke belakang, fakta mengatakan, pertama, eksplorasi tambang di Blok Rokan sudah dimulai sejak 1924. Eksplorasi tersebut, baru berbuah usai penemuan Lapangan Duri pada tahun 1941 dan Lapangan Minas pada tahun 1944. Kedua lapangan ini  merupakan lapangan minyak terbesar dari total 115 lapangan minyak  yang ada di Blok Rokan. Pada tahun 1973, produksi minyak Blok Rokan hampir menyentuh 1 juta barrel per hari (bph), dan ini menjadi pencapaian terbesar selama pengelolaan PT CPI. 

Kedua, aktual produksi Blok Rokan berdasarkan informasi dari berbagai sumber terus mengalami kemerosotan. Data 5 tahun terakhir menunjukkan hal yang demikian. Pada tahun 2016, Blok Rokan masih mampu menghasilkan rata-rata 250 ribu bph. Nilai tersebut menurun menjadi rata-rata 210 ribu bph di tahun 2018.  Di akhir juli 2021 ini, Blok Rokan hanya mampu berproduksi rata-rata mencapai 160,5 ribu bph. Nilai ini di bawah terget yang ditetapkan dalam APBN 2021 yang mencapai sekitar 175-180 ribu bph. 

Hal yang sama juga terjadi pada Blok Mahakam yang diakuisisi oleh PT Pertamina pada 2018 silam. Sebelum diakuisisi, produksi Blok Mahakam terus mengalami penurunan. Agus Suprijanto, Deputy Excecutive Vice President Total E&P Indonesia, Kalimantan Timur pada 2015 silam, seperti yang dikutip Koran Tempo (30/04) menyatakan bahwa penurunan produksi migas dari lapangan yang dikelola oleh Total Indonesia E&P terjadi karena rata-rata usia sumur sudah mencapai 30 tahun. Penurunan produksi Blok Mahakam sudah dimulai sejak 2010. 

Untungkah?

Paparan fakta di atas semakin menegaskan, Blok Rokan dilepas karena mengalami penurunan, bahkan merosot. Tentu saja, ini merugikan perusahaan yang mengelola Blok Rokan, siapa lagi kalau bukan Chevron. Wajar saja, daripada ia menderita kerugian yang lebih besar lagi, akhirnya Blok Rokan dilepas.

“Pengelolaan Blok Rokan harus banyak belajar dari Blok Mahakam. Jangan sampai setelah dikelola oleh PT Pertamina, produksi minyak terus menurun”. Demikianlah pesan yang disampaikan oleh Gubernur Riau, Syamsuar saat serah terima WK Rokan, Senin (09/08/2021). 

Pesan tersebut cukup berat. Penurunan produksi pada Blok Mahakam dimungkinkan terjadi juga pada Blok Rokan. Alasannya karena data aktual menunjukkan bahwa produksi keduanya sebelum serah terima ke PT Pertamina mengalami penurunan, bahkan kemerosotan. 

Lantas, jawaban untung atau buntungkah negara jika kelola Blok Rokan? Dari jabaran fakta di atas ada dua hal yang dapat dianalisis. Di antaranya, pertama, pengelolaan baru yang dilakukan di usia pasca-produktif dapat diprediksi keuntungan yang didapat tidak optimal, bahkan negara ini harus siap mengalami penurunan produksi seperti pengelola sebelumnya. 

Faktanya, sumur-sumur Blok Rokan telah beroperasi lebih dari 70 tahun, lebih tua dari Blok Mahakam. Maka, produksinya bisa diprediksi akan seperti apa. Kedua, pengelolaan yang tidak sepenuhnya bisa mandiri secara teknologi. Konon informasi yang beredar, untuk menjaga sumur tua terus berproduksi di Blok Rokan, dibutuhkan zat aditif yang harganya tidak murah. Zat tersebut bahkan telah dipatenkan oleh PT CPI. Di sisi lain, untuk pengeboran sumur baru, butuh rig pengeboran dari luar negeri yang harganya tidak murah. 

Ada satu lagi jawaban. Ketiga, satu-satunya keuntungan atas hal ini adalah keuntungan para politisi pragmatis. Mereka berselancar dengan isu ini, menaklukan gelombang anti privatisasi tambang. 

Keempat, jika negara benar-benar ingin untung dan menyejahterakan rakyatnya melalui tata kelola tambang, maka semua tata kelola tambang termasuk minyak harusnya berada di bawah pengelolaan negara sejak usia produktif. Jika kesulitan teknologi, asing hanya menambal sisi teknologi bukan menggantikan peran utama pengelolaan. Jika negara tidak berani mengakuisisi di usia produktif, siapakah sejatinya yang berdaulat atas wilayah negeri ini?

Kelima, sampai kapan pun, jika negeri ini menerapkan sistem kapitalisme sekuler, maka tidak akan mampu untuk berdikari dan berdaulat dalam mengelola kekayaan yang dimiliki.

Karena sejatinya, sistem kapitalisme sekuler adalah jalan tol para kapitalis asing bebas menyedot berbagai kekayaan yang ada di negeri ini. Walhasil, jangankan sisa, tetapi Indonesia hanya mendapatkan kerugian semata.

Oleh sebab itu, satu-satunya cara agar negeri ini mampu berdaulat dalam mengelola kekayaan alam, terutama minyak bumi, tambang, dan lainnya hanya dapat dilakukan dengan menerapkan sistem syariat Islam secara kaffah. Yaitu, syariat yang diaplikasikan dalam bentuk institusi daulah khilafah Islam. Inilah bentuk negara yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan bebas dari belenggu sistem kufur kapitalisme. Wallahu'alam.[] Ika Mawarningtyas


Posting Komentar

0 Komentar