Hinaan Ringankan Vonis: Inikah Bukti Hilangnya Sense of Crisis terhadap Pemberantasan Korupsi dalam Sistem Demokrasi?


TintaSiyasi.com-- Akhir-akhir ini rakyat disuguhi tontonan bak melodrama dari peradilan di sistem demokrasi. Dengan berbagai alasan yang dikiranya bakalan menyentuh hati, para hakim yang terhormat berusaha meringankan hukuman bagi para 'tikus berdasi'. Tak hanya sekali, para narapidana kasus korupsi seakan terus mendapatkan angin segar dari hukum di alam demokrasi.

Baru saja kemarin, Senin (23/8/2021), Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta menggunakan dalih perasaan menderita akibat dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat sebelum divonis pengadilan, yang dialami terdakwa dalam perkara bansos Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara, berbuah keringanan hukuman. Dalam sidang putusan perkara tersebut, Majelis Hakim memutuskan Juliari dihukum 12 tahun penjara dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider 6 bulan pidana kurungan.

"Keadaan meringankan, terdakwa sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat. Terdakwa telah divonis bersalah oleh masyarakat, padahal secara hukum terdakwa belum tentu bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap," kata hakim anggota Yusuf Pranowo di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (23/8). (Tempo.co, 23/8/2021).

Sebelumnya, terdakwa korupsi Pinangki dengan alasan perempuan yang masih memiliki balita juga mendapatkan sunat hukuman. Tidakkah rakyat seakan dipaksa untuk tersentuh hatinya 'nrimo dan legowo' dengan kelembutan penegakan hukuman terhadap 'tikus berdasi'? Sudah matikah komitmen pemberantasan korupsi di sistem demokrasi ini?


Lembutnya Penegakan Hukum terhadap 'Tikus Berdasi' di Sistem Demokrasi

Jika melihat kembali ke belakang trade record perlakuan hukum bagi para terpidana korupsi yang biasa dijuluki 'tikus berdasi'. Tentunya masih lekat diingatan rakyat +62, bulan April tahun lalu, ketika pandemi Corona mulai masuk, muncul wacana dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly yang akan membebaskan sekitar 300 narapida korupsi dan narkotika dalam Lapas bersamaan dengan puluhan ribu napi umum. Wacana ini menimbulkan polemik dan mendapatkan banyak kritikan dari berbagi pihak. Kemudian berujung Presiden Joko Widodo memastikan tidak ada narapidana korupsi dibebaskan karena alasan pencegahan penyebaran virus corona (Covid-19) akibat over kapasitas lapas.

Meskipun wacana di atas kemudian tidak terjadi, namun makin ke sini, penegakan hukum terhadap 'tikus berdasi' semakin memprihatinkan. Seakan terjawab kritikan dari Pakar Hukum dan Masyarakat kala wacana tersebut mencuat, Prof. Suteki mengatakan keprihatinannya jika berita itu benar, karena telah terjadi elegi dalam penegakan hukum tipikor yang sering disebut sebagai "extra ordinary" crime. Menurutnya, itu disebut sebagai upaya proses 'pembusukan' dalam penegakan hukum bukan langkah responsif apalagi progresif dalam penegakan hukum di Indonesia. Jika dilihat proses penegakan hukum tindak pidana korupsi yang semakin melembut saat ini, apakah proses 'pembusukan' itu telah benar-benar terjadi?

Selanjutnya dapat dilihat bagaimana Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta telah menyunat hukuman Jaksa Pinangki Sirna Malasari terpidana kasus suap USD 450 ribu dari Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra dari 10 tahun penjara menjadi 4 tahun penjara. Alasannya, "Bahwa terdakwa adalah seorang ibu dari anaknya yang masih balita (berusia 4 tahun) layak diberi kesempatan untuk mengasuh dan memberi kasih sayang kepada anaknya dalam masa pertumbuhannya. Bahwa terdakwa sebagai wanita harus mendapat perhatian, perlindungan, dan diperlakukan secara adil".

Penyunatan hukuman Pinangki mendapat kritikan dari Direktur Pamong Institute Wahyudi Al-Maroky, mengatakan hal itu melukai rasa keadilan publik dan semakin mengonfirmasi praktik hukum rezim penguasa kini, nampak lebih ramah dan pro koruptor, karena bukan sekadar dimanjakan dan dituntut ringan, mereka pun divonis dan dihukum ringan juga diskon hukuman.

Belum lama juga, Pengusaha Djoko Tjandra mendapat remisi umum pada momen HUT ke-76 RI. Hukuman Djoko Tjandra dikurangi 2 bulan setelah mendapat remisi dari Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Pemerintah memberikan remisi bagi 214 narapidana korupsi, 4 orang di antaranya langsung bebas (CNN Indonesia, 19/8/2021).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana menyoroti remisi yang diterima narapidana kasus korupsi, Djoko Tjandra saat peringatan HUT-ke76 RI. Yang menjadi pertanyaan atas remisi kepada Djoko Tjandra karena persyaratan pemberian remisi tidak hanya bagi narapidana yang telah menjalani 1/3 masa tahanan, akan tetapi kepada napi yang berkelakuan baik. Sedangkan Djoko Tjandra adalah seseorang yang melarikan diri selama sebelas tahun (suara.com, 24/8/2021).

Ditambah lagi upaya peringanan vonis hukuman bagi terdakwa dalam perkara bansos Covid-19 yang menjerat mantan Menteri Sosial Juliari Batubara yang terbukti menerima suap senilai total Rp32.482.000.000. Putusan 12 tahun penjara dan pidana denda sejumlah Rp 500 juta subsider 6 bulan pidana kurungan, ini lebih ringan sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 12 huruf b Jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP Jo Pasal 64 ayat 1 KUHP. Adapun ancaman maksimal dalam Pasal ini yakni pidana penjara seumur hidup atau paling lama 20 tahun. Majelis mengatakan salah satu pertimbangan yang meringankan vonis Juliari karena kader PDIP itu sudah cukup menderita dicaci hingga dihina oleh masyarakat sebelum divonis pengadilan (Tempo.co, 23/4/2021)

Terkait hal tersebut, Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, menilai alasan meringankan majelis hakim dalam putusan tersebut terlalu mengada-ada. Dari putusan ini masyarakat kemudian dapat melihat bahwa proses penegakan hukum belum sepenuhnya berpihak kepada korban kejahatan. Menurut peneliti ICW itu, ekspresi semacam itu merupakan hal yang wajar mengingat dampak yang terjadi akibat praktek korupsi Juliari. Kurnia mengatakan, praktek suap menyuap itu dilakukan secara sadar oleh politikus PDIP tersebut di tengah kondisi kesehatan dan ekonomi masyarakat yang ambruk akibat pandemi Covid-19. Cercaan, makian dan hinaan kepada Juliari tidak sebanding dengan penderitaan yang dirasakan masyarakat karena kesulitan mendapatkan bansos akibat ulah mantan Menteri Sosial dan kroni-kroninya (Tempo.co, 24/8/2021).

Fakta berbagai macam upaya peringanan hukuman bagi koruptor telah kentara sudah. Begitu lembutnya penegakan hukum di sistem demokrasi terhadap para 'tikus berdasi' yang terus menggerogoti uang rakyat. Tanpa rasa malu kejahatan korupsi terus berulang, bahkan kian tumbuh subur. Jangankan mengharapkan ketakwaan bahkan moral empati terhadap penderitaan rakyat di masa sulit dalam menghadapi pandemi pun tak dimiliki.


Kelembutan Penegakan Hukum terhadap 'Tikus Berdasi' Berpeluang Mematikan Komitmen Pemberantasan Korupsi di Sistem Demokrasi

Betul kiranya perkiraan Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Suteki dalam menggambarkan masa depan pemberantasan korupsi, "Madesu, masa depan suram. Itulah gambaran yang akan terjadi ketika perkara besar tidak tuntas ditangani bahkan justru terkesan ada keberpihakan penanganannya. Downward law is greater upward law".

Semakin melembutnya penegakan hukum terhadap 'tikus berdasi' kuat mengindikasi bahwa apa yang dimaksud Prof. Suteki dengan sistem penegakan hukum yang mengalami proses 'pembusukan' tengah berlangsung saat ini. Akhirnya, akan menjadi nyata pernyataannya, "Korupsi berpotensi menjadi evolutionary crime yg sulit diungkap dan makin membuka peluang dilakukannya tipikor di masa depan. Kejahatan ini makin lama makin 'pintar' karena telah terjadi proses pembelajaran yang panjang sehingga menjadikan kejahatan ini bermutasi, bermetamorfosis terus sehingga sulit untuk diungkap (eksposure). Dan setelah terungkap, ada modus yang lebih pintar untuk patut diduga dalam rangka 'penyelamatan orang' tertentu dengan dalih penyakit atau pandemi".

Kini terbukti, upaya 'penyelamatan orang' tertentu telah bertransformasi, bermutasi, bermetamorfosis bukan lagi dalih penyakit atau pandemi, melainkan berbagai macam dalih digunakan mulai dari perempuan yang harus dilindungi, ibu yang harus mengasuh balita, berkelakuan baik, hingga hinaan, cercaan dan makian masyarakat. Ke semuanya digunakan sebagai dalih untuk meringankan vonis hukuman para 'tikus berdasi'. Next, akan tercipta ribuan dalih yang akan menghalalkan keputusan mereka para penegak hukum di dalam sistem demokrasi yang penegakan hukumnya telah mengalami proses 'pembusukan'.

Apalagi sepanjang tahun 2020, temuan Indonesian Corruption Watch (ICW) yang mencatat terdapat 444 kasus korupsi. Ini menurut Direktur Siyasah Institute Iwan Januar menunjukkan bahwa pernyataan Jokowi akan memerangi korupsi hanyalah angin lalu (Mediaumat.news, 16/8/2021).

Seakan nampak, dalam sistem demokrasi banyaknya kasus korupsi menunjukkan para elite politik parpol tidak memiliki etiket baik untuk mencegah korupsi yang dilakukan oleh kadernya. Apakah ini modus umum dalam perpolitikan di sistem demokrasi sebagai upaya memperkaya diri sendiri dan kelompok?

Apabila upaya pemberantasan korupsi telah berubah melembut penegakan hukumnya terhadap 'tikus berdasi', ini akan berpeluang mematikan komitmen pemberantasan korupsi di sistem demokrasi yang digembar-gemborkan selama ini. 'Tikus berdasi' akan semakin banyak berkembangbiak, dan semakin pintar bermutasi baik dalam upayanya melakukan kejahatan ataupun penyelamatan diri.


Strategi Islam Memberikan Hukuman Tegas dan Menjerakan terhadap 'Tikus Berdasi'

Sistem politik Islam meniscayakan pemerintah bersih dan bebas dari gerogotan para 'tikus berdasi'. Karena telah jelas syariat Islam mengharamkan segala bentuk suap-menyuap. Sistem Islam adalah sistem shahih yang diturunkan oleh Allah, berdasarkan Al-Qur'an dan al-Hadis dan terbebas dari segala bentuk kepentingan segelintir manusia sebagaimana dalam sistem demokrasi.

Sistem sanksi dalam Islam meniscayakan memberikan hukuman yang tegas dan menjerakan. Siatem sanksi dalam Islam bagi pelaku tindak pidana korupsi pasti akan memberikan efek jera dan juga sekaligus pencegahan. Hukuman bagi yang terbukti bersalah dapat berupa bentuk takzir atau pemberitahuan ke publik, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati. Tak akan terjadi proses 'pembusukan' penegakan hukum di dalam sistem Islam. Tak ada sunat hukuman, karena huku.a. berdasarkan dalil syara Al-Qur'an dan hadis. Tidak ada yang bisa membatalkan keputusan peradilan selama tidak melenceng dari hukum syara. Serta tidak ada banding dalam sistem peradialn Islam.

Siatem sanksi yang tegas dan memberi efek jera ini, tentunya harus didukung dengan seperangkat aturan yang lainnya. Sehingga tidak ada menzalimi dalam aturan Islam. Misalnya sanksi tegas terhadap pencuri ditegakkan jika di masyarakat benar-benar telah terjamin kebutuhannya, sehingga tidak ada lagi alasan harus mencuri.

Begitu juga dengan pemberantasan korupsi, ada upaya dan strategi dalam perpolitikan yang harus diikuti, hingga tidak memberi peluang alasan bagi pejabat untuk melakukan tindka korupsi. Dikutip dari al-waie.id, berikut strategi Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, di antaranya:

Pertama. Sistem politik Islam.

Sistem politik Islam adalah sistem politik yang bisa memangkas biaya politik yang mahal. Khalifah (kepala negara), dipilih dalam waktu yang singkat (paling lama 3 hari 3 malam), jadi tidak dalam waktu yang lama seperti dalam sistem demokrasi. Pemilihan khalifah pun tidak bersifat regular, seperti lima tahun sekali yang menyedot biaya sangat mahal. Khalifah tetap sebagai kepala negara selama tidak melanggar syariat Islam. Begitu juga dengan kepala daerah yang dipilih oleh khalifah kapan saja dan dapat diberhentikan kapan saja. Jadi, negara tidak disibukkan oleh Pilkada rutin yang menguras energi dan uang. Dengan sistem politik Islam, dominasi pemilik modal dalam pembuatan UU yang berbahaya pun akan dipangkas habis. Pasalnya, dalam Islam kedaulatan ada di tangan hukum syariat, bukan manusia. Karena itu pemilik modal yang mempunyai banyak kepentingan tidak bisa mempengaruhi hukum seperti dalam sistem demokrasi.

Kedua. Teladan pemimpin.

Dan selain sistemnya, salah satu unsur terpenting dalam pemberantasan korupsi adalah teladan pemimpin. Jika ada gerakan pemberantasan korupsi, maka pemimpin tertinggilah yang semestinya memimpin gerakan ini. Pemimpin memiliki kewenangan dan pengaruh paling tinggi. Dengan kewenangan itu, ia bisa melakukan segala daya agar usaha penting ini bisa berhasil. Pemimpin yang bersih, tidak korup dan tegas dalam menindak para pelaku korupsi akan memberikan pengaruh sangat besar, bukan hanya kepada aparat birokrasi, tetapi juga kepada masyarakat luas. Akan berkembang atmosfer anti korupsi yang sangat kuat di tengah masyarakat.

Ada beberapa hal penting yang harus ditunjukkan oleh seorang pemimpin sebagai teladan dalam pemberantasan korupsi:

Pertama, pemimpin harus memiliki jiwa wara’ dan zuhud dari kemungkinan mengambil harta yang tidak halal. Apalagi terhadap yang jelas-jelas haram.

Kedua, teladan pemimpin diperlukan dalam mencegah agar tidak ada anggota keluarganya yang memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi. Jamak terjadi dimana-mana, keluarga atau orang dekat akan memanfaatkan kekuasaan yang dimiliki kepentingan bisnis atau lainnya. Dulu, Khalifah Umar menyita sendiri seekor unta gemuk milik putranya, Abdullah bin Umar, karena digembalakan bersama beberapa unta lain di padang rumput milik Baitul Mal. Hal ini dinilai Umar sebagai penyalahgunaan kekuasaan negara.

Ketiga, teladan paling penting adalah dalam hal larangan menerima suap dan hadiah. Suap biasanya diberikan sebagai imbalan atas keputusan atau jasa berkaitan dengan suatu kepentingan, yang semestinya wajib diputuskan atau dilakukan oleh seorang pegawai tanpa imbalan apa pun karena ia telah digaji. Abdulllah bin Rawahah, ketika menjalankan perintah Nabi saw. untuk membagi dua hasil bumi Khaibar—separuh untuk orang Yahudi separoh lagi untuk kaum Muslim—datang orang Yahudi mencoba menyuap dirinya dengan sejumlah perhiasan agar Abdullah mau memberikan lebih dari separuh kepada mereka. Tawaran itu ditolak keras seraya berkata, “Suap yang kalian tawarkan adalah haram dan kaum Muslim tidak memakan suap.” Mendengar ini, orang Yahudi menyahut, “Karena itulah (ketegasan Abdullah) langit dan bumi tetap tegak.” (Imam Malik dalam AI-Muwaththa’). Tentang hadiah kepada pejabat negara Rasulullah saw. berkata,“Hadiah yang diberikan kepada para penguasa adalah suht (haram) dan suap yang diterima hakim adalah kufur.” (HR Ahmad). Rasulullah  saw. berkata,  “Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap.” (HR Abu Dawud).

Dengan teladan dari pemimpin, tindak penyimpangan akan terdeteksi secara dini. Penyidikan dan penindakan tidak sulit dilakukan. Sebaliknya, apa jadinya bila justru pemimpin itu yang melakukan korupsi dan melindungi korupsi yang dilakukan bawahannya? Lalu dengan kewenangannya bukan memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, tetapi malah memperlemah. Semua upaya apa pun menjadi tidak ada artinya sama sekali. Akibatnya, pemberantasan korupsi hanya berhenti sebatas retorika kosong belaka.

Ketiga. Pengawasan masyarakat.

Masyarakat dapat berperan dalam menyuburkan atau menghilangkan tindak penyelewengan di kalangan birokrat. Masyarakat yang bermental instan (ingin serba cepat) akan cenderung menempuh jalan pintas untuk mendapatkan pelayanan cepat dari birokrat atau mencapai tujuan-tujuan pribadi dengan mengiming-imingi sejumlah uang atau pemberian lain. Sebaliknya, masyarakat mulia akan turut mengawasi jalannya pemerintahan termasuk para birokratnya. Mereka akan menolak bila oknum birokrat mengajak mereka berbuat menyimpang. Pengawasan masyarakat akan mempersempit ruang gerak penyimpangan kaum birokrat. Demi menumbuhkan keberanian rakyat  mengoreksi  birokrat,   Khalifah  Umar  pada  awal kepemimpinannya mengatakan, “Apabila kalian melihatku menyimpang dari jalan Islam, makaluruskan aku walau pun dengan pedang.”Menyambut seruan Umar, berdirilah seorang laki-laki yang dengan lantang berkata, “Kalau begitu, demi Allah, aku akan meluruskanmu dengan pedang ini.” Melihat itu, Umar amat bergembira. Bukan malah menangkap atau  menuduh dirinya menghina kepala negara.

Jadi tidak ada pilihan lain untuk memberantas habis kejahatan korupsi ini, selain harus mencabut akar permasalahannya. Dengan mengganti sistem demokrasi menjadi sistem shahih dari Dzat yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan, yaitu sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin.


Penutup

Fakta berbagai macam upaya peringanan hukuman bagi koruptor telah kentara sudah. Begitu lembutnya penegakan hukum di sistem demokrasi terhadap para 'tikus berdasi' yang terus menggerogoti uang rakyat. Tanpa rasa malu kejahatan korupsi terus berulang, bahkan kian tumbuh subur. Jangankan mengharapkan ketakwaan bahkan moral empati terhadap penderitaan rakyat di masa sulit dalam menghadapi pandemi pun tak dimiliki.

Apabila upaya pemberantasan korupsi telah berubah melembut penegakan hukumnya terhadap 'tikus berdasi', ini akan berpeluang mematikan komitmen pemberantasan korupsi di sistem demokrasi yang digembar-gemborkan selama ini. 'Tikus berdasi' akan semakin banyak berkembangbiak, dan semakin pintar bermutasi baik dalam upayanya melakukan kejahatan ataupun penyelamatan diri.

Strategi Islam dalam mewujudkan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, di antaranya: Menerapkan sistem politik Islam; Adanya teladan pemimpin; dan adanya pengawasan masyarakat. Jadi, tidak ada pilihan lain untuk memberantas habis kejahatan korupsi ini, selain harus mencabut akar permasalahannya. Dengan mengganti sistem demokrasi kapitalistik menjadi sistem shahih dari Dzat yang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan, yaitu sistem Islam yang menerapkan Islam secara kaffah dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah SAW dan para Khulafaur Rasyidin. []


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar