Mengoreksi Kebijakan Penguasa dalam Penanggulangan Pandemi: Antara Pro dan Kontra Rezim

 
TintaSiyasi.com-- Selama 1,5 tahun lebih pandemi covid telah melanda tanah air dan belum ada tanda-tanda melandai. Publik bisa menyaksikan bahkan mengalami kondisi yang mengerikan. Rumah sakit penuh, banyak pasien yang antre, ambulans tak memadai untuk menjemput dan mengantar jenazah para korban covid serta kelangkaan oksigen. Pasien positif virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia bertambah 991 orang hari Rabu total kasus kematian Covid-19 di Indonesia mencapai 69.210 orang (cnnindonesia.com 14/7/2021). Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 hingga Jumat (16/7/2021) pukul 12.00 WIB, ada penambahan 54.000 kasus baru Covid, total jumlah pasien yang terjangkit Covid-19 kini berjumlah 2.780.803 orang terhitung dari Maret 2020 (Kompas.com 16/7/2021). Tanggal 3-20 Juli 2021 diberlakukan PPKM DARURAT yang kabanya diperpanjang sampai 2 Agustus 2021. Pro kontra kebijakan ini menambah daftar panjang luka di hati rakyat. Dan satu-satunya aktivitas harapan rakyat adalah muhasabah lil hukam (mengoreksi kebijakan penguasa) baik disampaikan secara langsung maupun tidak langsung misal pesan digital, surat, email dst. 

Cendekiawan Muslim Ustaz Muhammad Ismail Yusanto (UIY) menilai andai sikap pemerintah tidak abai di awal menangani pandemi, mungkin akan alami keadaan yang berbeda dari kondisi sekarang. "Andai pada waktu itu tidak ada sikap denial (pengabaian), kemudian mengikuti kaidah-kaidah keilmuwan termasuk seruan atau saran dari para ahli epidemiologi, mungkin kita akan mengalami keadaan yang berbeda," tuturnya Ahad (4/7/2021) di kanal YouTube UIY Official dalam acara Fokus Live bertema Wabah Semakin Menggila (tintasiyasi.com). Sikap denial yang dilakukan penguasa hampir 3 pekan menghilangkan kesempatan masa emas penanggulangan covid yang bisa dilakukan negara untuk menghentikan penyebarannya. Alhasil ketika upaya penanggulangan dilakukan wilayah +62 yang terpapar covid tidak hanya jakarta terutama depok. Tapi sudah menyebar hingga hari ini polanya tidak lagi jelas. 

Prof. Suteki sebagai pakar hukum dan guru besar bidang hukum UNDIP pada tanggal 8 Juli 2021 di laman tintasiyasi.com mengkritisi kebijaksanaan presiden yang memidanakan penolak vaksin dengan ancaman denda dan pidana penjara dengan menyebutnya sebagai pemerintahan yang otoriter. Pada tanggal 19 Februari 2021 Presiden Jokowi menandatangani Perpres no 14 tentang pengadaan vaksin dalam rangka penanggulangan pandemi sebagai langkah legalisasi ancaman pidana bagi penolak vaksin. Hal ini disebut Prof. Suteki dengan mengacu pendapat Mancur Olson sebagai teori banditisme yang mengedepankan ancaman daripada membangun kesadaran atas pentingnya vaksin dalam masyarakat. 

Kedua tokoh diatas merupakan contoh sosok yang mengoreksi kebijakan penguasa (muhasabah lil hukkam) saat pandemi ini. Kondisi pandemi yang sedemikian mencekam dan adanya keterlambatan riayah pemerintah ini, bahkan masih sempat ada niatan komersialisasi vaksin. Cukuplah menjadi bukti kedzaliman dan penyimpangan pengurusan warganegara dalam kondisi pandemi. Kasus vaksin berbayar yang akhirnya dibatalkan kabarnya disebabkan adanya berkeberatan warganegara atas kebijakan tersebut. Hal ini bisa terkategori sebagai kontrol dan koreksi atau muhasabah lil hukkam. Bagaimanapun penguasa memiliki banyak kepentingan dan tekanan dalam menjalankan pemerintahan tapi mereka harus tetap fokus pada kepentingan dalam negeri (warga negaranya). Dan sekali lagi hal ini menunjukkan bahwa muhasabah lil hukkam terbukti begitu penting dalam penyelenggaraan pemerintahan.


Urgensi Muhasabah Lil Hukkam dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara

Alasan utama adalah perintah Asy Syari. Amar ma’ruf adalah mengajak pada kebaikan, sedangkan nahi munkar adalah melarang dari kemungkaran. Dua sifat ini telah dipuji dalam firman Allah SWT, 

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ 

Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf (kebaikan), dan mencegah dari yang munkar (keburukan), dan beriman kepada Allah.” (QS. Ali Imron: 110).

Seorang ahli tafsir terkemuka, Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa dari umat ini yang memiliki sifat semacam ini (yaitu beramar ma’ruf, nahi munkar dan beriman kepada Allah), maka dia termasuk dalam pujian yang disebutkan dalam ayat ini. Namun sebaliknya, barangsiapa yang tidak memiliki sifat semacam ini, maka dia memiliki keserupaan dengan ahli kitab. Allah telah mencela mereka (ahli kitab) sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya, 

كَانُوا لَا يَتَنَاهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوهُ 

Artinya: “Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat.” (QS. Al Ma’idah: 79).

Berdasarkan firman Allah SWT di atas terlihat bahwa umat Islam ini bisa menjadi umat terbaik dengan melakukan amar makruf nahi munkar. Namun dalam menyikapi amar makruf nahi munkar terdapat dua kelompok ekstrim dalam agama ini. Hal ini diutarakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam kitabnya yang sangat berfaedah yaitu Al Amru bil Ma’ruf wan Nahyu ‘anil Mungkar'. 

Kelompok pertama, adalah kelompok yang meninggalkan amar ma’ruf nahi munkar. Kelompok kedua, adalah kelompok yang berlebihan dalam beramar ma’ruf nahi munkar, baik dengan lisan dan tangannya tanpa berlandaskan ilmu, kelembutan, sikap sabar dan tanpa menimbang maslahat dan mudharat (bahaya), atau tanpa mau melihat apakah dia mampu melakukan hal itu atau tidak. 

Dua kelompok yang telah disebutkan oleh Syaikhul Islam ini memang betul-betul ada di tubuh umat Islam ini. Sebagian orang ada yang tidak mau amar ma’ruf nahi munkar. Prinsipnya yang penting kita bisa saling rukun, biarpun orang lain berbuat salah atau terperosok ke jurang kesesatan, itu bukan urusan kita. Inilah pemikiran sebagian orang saat ini. 

Sikap yang berlawanan dari hal tadi adalah orang-orang yang begitu bersemangat dalam beramar ma’ruf nahi munkar, namun sayangnya kadang kelewat batas sehingga dinilai anarkis. Kadang sampai mendatangi diskotik, kafe dan berbagai tempat maksiat, lalu memporak-porandakan minuman-minuman keras yang ada sebagai biang keladi keonaran. Inilah dua sikap ekstrim di tengah umat Islam saat ini mengenai amar ma’ruf nahi mungkar. Sikap yang benar adalah sikap pertengahan yaitu tetap melakukan amar ma’ruf nahi munkar, namun penyampaiannya _bi ihsan_ (dengan kebaikan, kelembutan dan kesabaran)... 

Dari Abu Sa’id Al Khudri ra, dia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, 

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ 

Artinya: “Barangsiapa di antara kalian melihat kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49).

Hadits Abu Sa’id ini menjelaskan mengenai tingkatan dalam mengingkari kemungkaran. Hadits ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang mampu untuk merubah kemungkaran dengan tangannya, maka wajib dia menempuh cara itu. Namun perlu diperhatikan bahwa hal ini hanya boleh dilakukan oleh orang yang memiliki kemampuan/kekuasaan terhadap orang yang berada di bawahnya dan bukan sembarang orang boleh merubah dengan tangannya. Contoh orang semacam ini adalah penguasa dan bawahan yang mewakilinya dalam suatu kepemimpinan yang bersifat umum. Atau bisa juga hal itu dikerjakan oleh seorang kepala rumah tangga pada keluarganya sendiri dalam kepemimpinan yang bersifat lebih khusus. Yang dimaksud dengan ‘melihat kemungkaran‘ dalam hadits ini bisa dimaknai dengan melihat dengan mata dan yang serupa dengan itu atau melihat dalam artian mengetahui informasinya. 

Apabila seseorang bukan tergolong orang yang berhak merubah kemungkaran dengan tangannya, maka kewajiban ini beralih dengan menggunakan lisan yang memang mampu dilakukannya. Kalau pun untuk itu tidak sanggup, maka dia tetap berkewajiban untuk merubahnya dengan hati dan inilah selemah-lemah iman. Merubah kemungkaran dengan hati adalah dengan cara membenci kemungkaran tersebut. (Lihat Fathul Qawil Matiin, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, pada hadits no. 34) .

Dalil yang menunjukkan bahwa menghilangkan kemungkaran secara keseluruhan atau sebagian adalah wajib dapat dilihat pada firman Allah SWT, 

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى 

Artinya: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al Maa’idah: 2) 

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ 

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. Ali Imran: 104) 

Jika dibandingkan, amar ma'ruf lebih mudah dari nahi munkar. Mengapa? Karena ketika mengajak taat, responnya mungkin hanya enggan melaksanakan. Berbeda jika mencegah suatu kebatilan atau hal-hal yang bersifat buruk dan dilarang oleh Islam, bisa jadi akan menyebabkan seseorang marah atau memusuhi. Bahkan bisa juga berujung kepada ancaman pembunuhan... 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memperingatkan orang-orang hina dan lemah yang bersikap diam atas kezaliman dan tidak mencegah orang yang zalim dengan siksa Allah Azza wa Jalla yang akan mengenai mereka semua, tidak ada di antara mereka yang luput, 

إِنَّ النَّاسَ إِذَا رَأَوْا الظَّالِمَ فَلَمْ يَأْخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ أَوْشَكَ أَنْ يَعُمَّهُمْ اللَّهُ بِعِقَابٍ مِنْهُ 

Artinya: "Sesungguhnya apabila manusia melihat orang zalim dan mereka tidak mencegahnya dari kezaliman, maka Allah akan menimpakan siksa atas mereka semua."(HR. Abu Daud, Tirmidzi, dan Nasa'i) 

Kapitalisme sebagai sistem yang diterapkan saat ini, sejatinya sistem buatan manusia yang rapuh dan kontraproduktif. Sistem yg berlandaskan azas sekulerisme ini menjadikan manusia sebagai pembuat sekaligus pelaksana aturan. Kebijakan yang sering kali mengecewakan masyarakat, seolah menegaskan bahwa kebijakan yang dibuat memang ditunggangi banyak kepentingan. Misalnya saja kepentingan bisnis sektor Kesehatan seperti vaksinasi. Padahal, vaksinasi sedang berlomba dengan menjalarnya virus ke tengah masyarakat. Namun hegemoni negara-negara maju penghasil vaksin membuat distribusi vaksin pada negara berkembang tersendat. 

Ada beberapa kelemahan hukum buatan manusia. Pertama, mudah direvisi. Proses panjang yang dialami RUU KUHP mengindikasikan bahwa hukum yang dibuat manusia dapat dengan mudah diutak-atik sesuai kepentingan yang ingin diraih. Di sinilah potensi penyalahgunaan kekuasaan itu terjadi. Sekalipun ada lembaga yang mengawasi, hal itu tidaklah menjamin UU yang dihasillkan bebas dari kepentingan kekuasaan. 

Sudah terlalu banyak produk hukum  buatan manusia yang justru menambah susah bagi kehidupan rakyat. Ada UU Minerba, UU PMA, UU Kelistrikan, atau UU Cipta Kerja yang lebih berpihak pada kepentingan kapitalis dan korporasi. Lebih-lebih jika wakil rakyat yang katanya mewakili suara rakyat Indonesia itu tidak mencerminkan diri sebagaimana idealnya seorang wakil. Mereka lebih sering berbicara mewakili kepentingan kekuasaan dibanding kemaslahatan rakyat. Alhasil, kongkalikong antara wakil rakyat, penguasa, dan pengusaha kerap terjadi dalam sistem demokrasi. 

Kedua, bersifat lentur. Adakalanya Undang-Undang direvisi memang bertujuan untuk mengokohkan kekuasaan rezim yang berkuasa. Tak ayal, disusunlah pasal-pasal yang bisa meneguhkan hegemoni penguasa atas rakyat. Saking lenturnya, pasal-pasal karet kerap dijadikan alat untuk membungkam lawan politik penguasa. Contoh yang paling sering terjadi ialah tafsiran terhadap UU ITE. Korban penerapan UU ITE sangat banyak. Mulai dari aktivis, politisi, artis, dan oposisi. Sanksi yang dicantumkan dalam UU juga terkadang kurang memenuhi rasa keadilan. Lenturnya UU produk pikiran manusia ini bermula dari terbukanya peluang revisi UU oleh sistem demokrasi. 

Ketiga, berpotensi tumpang tindih. Ketika UU dibuat terlalu terperinci, sisi lemahnya adalah aturan bisa tumpang tindih. Mantan Menkopolhukam, Wiranto, pernah mengatakan terdapat 41 ribu regulasi yang tumpang tindih. 

Biasanya UU dilahirkan sebagai jawaban atas persoalan baru yang muncul di tengah masyarakat. Namun, pada praktiknya, UU yang dihasilkan justru tidak mampu menjawab persoalan tersebut. Guru Besar Hukum Universitas Indonesia, Prof Maria Farida Indrati, sempat menyinggung soal tumpang tindih dan ketidaksesuaian perundangan di Indonesia. Menurut mantan Hakim Konstitusi ini, tidak perlu semua hal dijadikan Undang-Undang. Yang perlu diundangkan adalah peraturan yang mengikat keluar dan menjadi kewajiban seluruh masyarakat serta disertai sanksi.“Semua pokoknya pengen kita jadikan UU. Kalau tadi dikatakan ada over regulation, ya karena banyaknya UU tetapi satu dengan lainnya tidak sesuai,” katanya. (Voa Indonesia, 3/2/2021) 

Betapa ruwet dan rumitnya penyusunan UU yang didasari pada pikiran manusia. Sudahlah terlalu rinci, mbulet, membingungkan, menghabiskan dana yang tidak sedikit, eh ketika disahkan, regulasinya menyusahkan rakyat. Hukum dijadikan tameng menjaga kepentingan. Ada masalah, bikin Undang-Undang. Ketika UU-nya kontradiksi, lahirlah revisi. Sebenarnya kebohongan yang kerap dilakukan penguasa merupakan sebuah konfirmasi atas kelemahan pemerintah dalam memimpin bangsa ini. Di atas pilar-pilar kedustaanlah mereka mempertahankan kekuasaannya. Maka sewajarnya lah muhasabah lil hukkam dilakukan selain untuk menyelamatkan diri kita dari azab Alloh SWT juga ikhtiyar keluar dari kesulitan hidup meski kita berada dalam sistem yang tidak Islami.


Sikap Pemerintah dan Masyarakat terhadap Pihak yang Mengoreksi Kebijakan Penguasa 

Muhasabah lil hukkam, mengoreksi penguasa yang lalai, salah dan keliru, termasuk perkara yang umum dari agama ini. Salah satu hadits yang mendorong untuk mengoreksi penguasa, menasihati mereka, adalah hadits dari Tamim al-Dari ra, bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: 

«الدِّينُ النَّصِيحَة» 

Artinya: “Agama itu adalah nasihat” 

Di sisi lain, Rasulullah SAW pun secara khusus telah memuji aktivitas mengoreksi penguasa zalim, untuk mengoreksi kesalahannya dan menyampaikan kebenaran kepadanya: 

«أَفْضَلَ الْجِهَادِ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ» 

Artinya: “Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar kepada pemimpin yang zalim.” (HR. Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud, al-Nasa’i, al-Hakim dan lainnya). 

«سَيِّدُ الشُهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدُ الْمُطَلِّبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ» 

Artinya: “Penghulu para syuhada’ adalah Hamzah bin ‘Abd al-Muthallib dan orang yang mendatangi penguasa zalim lalu memerintahkannya (kepada kebaikan) dan mencegahnya (dari keburukan), kemudian ia (penguasa zalim itu) membunuhnya.”
(HR. al-Hakim dalam al-Mustadrak, al-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Awsath). 

Kalimat afdhal al-jihâd dalam hadits pertama merupakan bentuk tafdhîl (pengutamaan), yang menunjukkan secara jelas keutamaan mengoreksi penguasa, menyampaikan kebenaran kepada penguasa yang berbuat zalim. Sedangkan dalam hadits yang kedua, orang yang mengoreksi penguasa, lalu dibunuh, maka dinilai sebagai sayyid al–syuhadâ (penghulu mereka yang mati syahid). Kedua kalimat ini jelas merupakan indikasi pujian atas perbuatan mengoreksi penguasa, dalam bentuk ikhbâr (pemberitahuan). Maka, pemberitahuan tersebut bermakna jâzim (tegas). Sebab, jika sesuatu yang dipuji tersebut tidak dilakukan akan mengakibatkan terjadinya pelanggaran dan runtuhnya pelaksanaan hukum Islam, dan sebaliknya hukum Islam akan dapat terlaksana jika aktivitas tersebut dilaksanakan, maka aktivitas tersebut hukumnya wajib. 

Hukum asal amar makruf nahi mungkar harus dilakukan secara terang-terangan, dan tidak boleh disembunyikan. Ini adalah pendapat mu’tabar dan perilaku generasi salafunâ al-shâlih. Namun, sebagian orang berpendapat bahwa menasihati seorang penguasa haruslah dengan cara sembunyi-sembunyi (empat mata). Menurut mereka, seorang Muslim dilarang menasihati penguasa secara terang-terangan di depan umum, mengungkap kesalahan mereka di muka publik, karena ada dalil yang mengkhususkan. Pendapat semacam ini adalah pendapat batil, dan bertentangan dengan realitas muhâsabah lil hukkâm yang dilakukan oleh Nabi –shallaLlâhu ’alayhi wa sallam-, para sahabat dan generasi-generasi al-salaf al-shâlih sesudah mereka. 

Khalifah kedua, Umar bin Khattab juga memiliki banyak keutamaan, bahkan ada banyak ayat yang turun karena perkataannya. Namun begitu, ia bahkan menerima kritikan seorang wanita yang disampaikan di depan umum ketika beliau menetapkan batasan mahar bagi kaum wanita. Beliau berkata, “Wanita ini benar dan Umar salah,” setelah mendengarkan argumentasi kuat si Muslimah tadi yang membacakan surat An-nisa’ ayat 20 untuk mengkritik kebijakan Umar. 

Pada masa Khalifah Utsman bin Affan, beliau menggagalkan hukuman rajam bagi seorang wanita yang melahirkan dengan usia kehamilan enam bulan dan menolak tuduhan zina. Hal itu beliau lakukan pasca mendapat nasehat dari Ali bin Abi Thalib yang berdalil dengan Alquran Surat al-Ahqaf ayat 15 dan al-Baqarah ayat 233. Pada ayat pertama disebutkan bahwa masa perempuan mengandung dan menyusui bayinya adalah 30 bulan. Sementara ayat kedua hanya menjelaskan tentang waktu menyusui saja, yakni dua tahun atau 24 bulan. Dengan dua ayat di atas, Ali bin Abi Thalib menyimpulkan bahwa usia minimal kandungan hingga melahirkan adalah enam bulan. Khalifah ketiga yang terkenal dermawan itupun tak segan untuk mengambil pendapat rakyatnya dan mengubah pendapat pribadinya. 

Berderet kisah di atas dan kisah serupa yang tak disebutkan dalam tulisan ini menunjukkan bahwa kritik dan nasehat terhadap penguasa merupakan bagian dari ajaran Islam dan bagian dari syariah yang agung. Dalam sistem pemerintahan Islam, hukum yang diterapkan memanglah hukum terbaik yakni hukum buatan Allah yang Maha Sempurna. Namun Khalifah sebagai pelaksananya adalah manusia yang tak luput dari salah dan lupa. Nasehat dan kritik adalah bentuk rasa cinta rakyat terhadap pemimpin agar pemimpin tak tergelincir pada keharaman dan jatuh pada murka Allah. 

Rasulullah SAW bahkan menyatakan dengan spesifik kewajiban serta keutamaan melakukan muhasabah (koreksi) kepada penguasa. Al-Thariq menuturkan sebuah riwayat: 

قَالَ جَاءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ أَيُّ الْجِهَادِ أَفْضَلُ قَالَ كَلِمَةُ حَقٍّ عِنْدَ إِمَامٍ جَائِرٍ 

Artinya: “Ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah saw, seraya bertanya, “Jihad apa yang paling utama.” Rasulullah SAW menjawab,’ Kalimat haq (kebenaran) yang disampaikan kepada penguasa yang lalim.“ [HR. Imam Ahmad] 

Dalam sabdanya yang lain yang diriwayatkan Imam Muslim dari Ummu Salamah, Rasulullah SAW bersabda: 

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا 

Artinya: “Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka)”. Para shahabat bertanya, “Tidaklah kita perangi mereka?” Beliau bersabda, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat” Jawab Rasul.” [HR. Imam Muslim] 

Dalam sistem politik Islam, terdapat majelis ummah atau majelis syura sebagai tempat merujuk bagi Khalifah untuk meminta masukan atau nasihat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhâsabah (mengontrol dan mengoreksi) para pejabat pemerintahan (al-Hukkâm). Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasul Saw. yang sering meminta pendapat dan bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan Anshar yang mewakili kaum mereka. 

Hal ini juga diambil dari perlakuan khusus Rasulullah SAW terhadap orang-orang tertentu di antara para Sahabat Beliau untuk meminta masukan dari mereka. Beliau lebih sering merujuk kepada mereka yang diperlakukan khusus itu dalam mengambil pendapat (dibandingkan dengan merujuk kepada Sahabat-sahabat lainnya). Di antara mereka adalah: Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah dan lainnya. 

Muhasabah terhadap penguasa merupakan bagian dari syariah Islam yang agung. Dengan muhasabah, tegaknya Islam dalam negara akan terjaga. Ketika Islam tegak, pasti akan berdampak pada kebaikan sebuah negeri. Seorang pemimpin yang beragama Islam harusnya tak perlu alergi kritik. Terlebih jika sampai membungkam lawan politik dengan ancaman bui. Contoh nyata yaitu ketika membongkar kezaliman, semisal kasus korupsi yang dilakukan oleh seseorang atau juga oknum-oknum tertentu. Orang yang melakukan nahi munkar pasti akan mendapat ujian yang tidak mudah. Ujiannya bisa berupa serangan, baik secara verbal maupun fisik. Tidak sedikit juga yang dikriminalisasi dan berakhir di balik jeruji penjara. Jika kelompok atau ormas maka akan dinyatakan terlarang untuk kemudian dibubarkan. 

Dalam Sistem kapitalisme demokrasi ini, alih-alih pujian,  orang yang melakukan muhasabah lil hukam pun banyak yang menuai kritikan bahkan kriminalisasi dengan tuduhan makar atau menghina presiden dst. Skala kelompok  seperti HaTeI dan eFPeI bahkan dibredel gerakannya dengan berbagai tuduhan tidak jelas. Adakalanya juga menjadi kambing hitam dengan bullying demi menutupi kegagalan rezim dengan menuai perhatian khalayak rakyat (viral). Framing negatif juga dilakukan untuk menjadikan orang/kelompok yang kritis pada penguasa ini diam. Meski demikian ini adalah resiko muhasabah lil hukkam yang telah disebutkan resikonya di atas. Aktivitas muhasabah lil hukkam memang berat karena pahalanya setara dengan penghulu syuhada. 


Strategi Jitu dalam Islam untuk Mengoreksi Kebijakan Penguasa dalam Mengurus Rakyatnya Khususnya di Masa Pandemi 

Aktivitas muhasabah lil hukkam merupakan salah satu aktivitas pemerintahan. Sejatinya tanpa nya negara akan berjalan tanpa kontrol. Demikian bisa terjadi karena wawasan politik warganegara yang terlalu rendah sehingga tidak paham mana yang harus dikontrol dan dikoreksi. Atau juga kerasnya tekanan penguasa sebagaimana kasus uighur sehingga warganegara tidak bisa lagi melakukan upaya muhasabah karena tangan besi pemerintahan. Pada masa pandemi ini aktivitas muhasabah ini akan mengiringi setiap kebijakan penanggulangan covid. Seperti PPKM dan vaksinasi yang hingga hari ini masih berjalan dengan berbagai masalah dalam masyarakat. Maka dibutuhkan kesigapan dan kewaspadaan warganegara untuk mengawalnya. 

Melihat fokus aktivitas kontrol dan muhasabah yang harus dilakukan dengan benar setidaknya ada beberapa strategi jitu: 

Pertama. Meluruskan niat aktivitas hanya karena Alloh. 

Allah SWT tunjukkan kuasa-Nya dengan menghadirkan pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Allah perlihatkan betapa dekatnya kita dengan kematian. Ironisnya, masih banyak juga yang tak tergetar hatinya. Jangankan mendekat kepada Allah dengan memperbanyak amal saleh, justru mereka makin sibuk membangun istana rapuhnya dengan memakan hak-hak rakyat, menipu dan menzalimi mereka. Sementara di sisi lain, ada orang yang begitu menjauhi dan menganggap hina kenikmatan dunia. Dia menepi dari hiruk pikuk manusia dan hidup penuh kekurangan. Dengan meluruskan niat kita akan meneguhkan arah perjuangan lillah semata. 

Kedua. Mendudukkan Islam sebagai kekuatan politik umat. 

Dalam Islam, politik dikenal dengan istilah “siyasah”. Secara bahasa, siyasah berarti mengatur, memperbaiki, dan mendidik. Politik dalam Islam diartikan riayah su’unil ummah, yaitu mengatur urusan umat. Segala permasalahan umat dipecahkan sesuai pandangan Islam. Inilah esensi politik Islam. 

Maka sangat aneh bila ada yang mengatakan bahwa agama harus dipisah dari politik. Pemahaman semacam ini tidak terlepas dari pengaruh sistem sekuler yang diterapkan. Dalam pandangan sistem sekuler, agama tak boleh mengatur urusan manusia. Dalam demokrasi, agama ya ibadah ritual, politik beda urusan. Bahkan ada yang mengatakan agama itu suci tak layak bersanding dengan politik yang notabene kotor. Secara tidak langsung, mereka mengakui politik demokrasi itu kotor. Anggapan inilah yang mestinya diluruskan. Politik dalam Islam tidaklah sekotor demokrasi. Makna politik Islam jelas berbeda jauh dengan demokrasi. 

Aneh pula bila ada yang mengatakan agama jangan dijadikan alat politik. Inilah akibat memahami politik secara kerdil dengan kacamata demokrasi. Padahal urusan politik dalam Islam menyangkut seluruh kemaslahatan dan kesejahteraan bagi manusia. Kekuasaan bukanlah tujuan politik Islam. Dalam Islam, kekuasaan hanyalah jalan agar syariat Islam dapat ditegakkan. Sebagaimana perkataan Imam Al Ghazali, “Sesungguhnya dunia adalah ladang bagi akhirat, tidaklah sempurna agama kecuali dengan dunia. Kekuasaan dan agama adalah saudara kembar; agama merupakan fondasi dan penguasa adalah penjaganya. Apa saja yang tidak memiliki fondasi akan hancur, dan apa saja yang tidak memiliki penjaga akan hilang. Dan tidaklah sempurna kekuasaan dan hukum kecuali dengan adanya pemimpin.” (Ihya ‘Ulumuddin, 1/17) 

Maka dari itu, politik harusnya menjadi aktivitas utama bagi umat Islam. Di antara aktivitas itu adalah meluruskan pemahaman umat terhadap politik; memberi kesadaran politik yang benar kepada umat; serta mengoreksi kebijakan penguasa yang bertentangan dengan Islam. Kesadaran berpolitik umat inilah yang menjadi batu sandungan bagi penguasa. Lantangnya aktivitas muhasabah lil hukkam membuat rezim kegerahan. Mereka tak ingin rakyat vokal mengkritisi. Para penguasa itu hanya ingin rakyat duduk manis dan tidak melawan. Tatkala rakyat kritis terhadap kebijakan, dituding melawan negara. Ketika rakyat menuntut perubahan, dituduh membuat makar. 

Ketiga. Mewujudkan kesatuan hakiki umat Islam. 

Sesungguhnya, problematik umat Islam tidak memerlukan adanya kesatuan partai politik Islam. Sebab, selain memang tidak diwajibkan adanya kesatuan partai politik, beragam partai politik Islam adalah sunatullah. Kebutuhan umat sesungguhnya ada pada kesamaan visi seluruh partai Islam, yakni visi pembebasan umat dari cengkeraman penjajahan global yang digawangi Barat (ideologi kapitalisme). 

Realitas menunjukkan bahwa Barat telah ditopang oleh negara-negara kapitalisme, akan tetapi umat Islam sama sekali tidak ditopang oleh sebuah negara berideologi Islam. Walhasil, kekuatan perlawanan umat tidak  pernah sebanding dengan Barat. Yang ada justru upaya umat mewujudkan kekuatan politik ideologis diserang oleh Barat. Maka, adanya negara ideologis yang melindungi segenap potensi umat dari serangan Barat, mutlak dibutuhkan saat ini juga. Kekuatan riil umat inilah yang dikenal dengan Khilafah Islamiah. Dengan demikian, peluang kesatuan politik umat sangat besar. Sebab, keberadaan institusi politik umat (negara) telah kokoh atas pijakan nas-nas syariat, di samping adanya kebutuhan yang mendesak serta keniscayaan neraca peradaban yang senantiasa berayun-ayun. Saatnya Khilafah memimpin dunia! 


Penutup 

Urgensi mengoreksi kebijakan penguasa ( muhasabah lil hukkam) dilakukan adalah semata-mata karena perintah syariat. Hal ini ditopang adanya dalil-dalil Al Quran dan As Sunnah untuk legalitas nya. Sehingga cukup menjadi pijakan bagi muslim/ah untuk melakukan aktivitas tersebut di tengah-tengah kehidupan kapitalisme sebagai hujjah kelak di akhirat agar jalannya penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan kebenaran dan keadilan serta berorientasi pada pelayanan kepada rakyat.

Sikap penguasa dan masyarakat saat ini pada pihak yang melakukan kontrol dan muhasabah lil hukkam mengalami pergeseran yang cukup signifikan dibandingkan masa Rasul dan para sahabat. Meski demikian berat dan bertambah berat aktivitas tersebut dilakukan dalam sistem kapitalisme dengan tekanan rezim tidak boleh menjadikan kaum muslimin berhenti untuk melakukannya. Sikap pro dan kontra akan selalu ada dan menjadi tantangan tersendiri dalam penyelenggaraan pemerintahan negara. Penguasa dan rakyat seharusnya bijak menyikapinya. 

Ada tiga strategi jitu dalam mengoreksi kebijakan penguasa dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, yaitu: 

Pertama. Meluruskan niat aktivitas hanya karena Alloh.
Kedua. Mendudukkan Islam sebagai kekuatan politik umat. 
Ketiga. Mewujudkan kesatuan hakiki umat Islam. 

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kapitalisme yang biasanya penuh kontroversial ini ditambah tidak sempurna dengan adanya pandemi maka menjadikan kaum muslimin harus selalu mengikatkan aktivitasnya hanya kepada Alloh, lalu dengan penuh kesadaran harus terus mengoreksi kebijakan penguasa yang dinilai menyimpang dari nilai-nilai kebenaran dan keadilan. Salah satu sumber nilai itu adalah ajaran Islam  yang tiada duanya dalam aktivitas politik dan umat Islam seharusnya mampu membulatkan tekad untuk menetapkan tujuan akhir dapat menerapkan syariat Islam secara kaffah. []


Oleh:  Retno Asri Titisari
(Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Referensi: 

- https://www.google.com/amp/s/mediaumat.news/benarkah-mengkritik-penguasa-di-muka-umum-hukumnya-haram-dan-termasuk-ghibah/amp/ 
- https://www.tintasiyasi.com/2021/07/main-ancam-pemidanaan-penolak-vaksin.html?m=1 
- https://lensamedianews.com/2021/07/09/muhasabah-lil-hukam-kritik-rakyat-kepada-penguasa-islam


#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar