Ucapan “Kesehatan Badan Lebih Dikedepankan Atas Keselamatan Agama -Shihhatu al-Abdân Muqaddamatun ‘alâ Shihhati al-Adyân-“


Soal:

Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah wa barakatuhu. Amirunâ al-jalîl

Hari ini kita menghadapi ungkapan yang diulang-ulang di berbagai kalangan masyarakat, seputar topik berjarak dalam shaf shalat jamaah, yang mana mereka berdalih dengan apa yang menunjukkan bahwa itu merupakan kaedah fikhiyah yang maknanya “shihhatu al-abdân muqaddamatun ‘alâ shihhati al-adyân -kesehatan badan lebih dikedepankan terhadap keselamatan agama-“!  Sudikah kiranya Anda memberi penjelasan lebih banyak tentang jika ini merupakan kaedah fikhiyah yang secara riil bisa dijadikan sandaran? Dan apa patokan hal itu?

 
Jawab:

Sebelum menjawab pertanyaan Anda, saya sebutkan perkara-perkara berikut:

Pertama- Kaedah kulliyah di dalam fikih adalah hukum syara’ yang diistinbath dari dalil-dalil syar’iyah dengan istinbath secara syar’iy yang shahih. Dan hukum itu haruslah dinisbatkan kepada lafal kulliy dan bukan kepada lafal umum. Di dalam al-Kurâsah dinyatakan:

(Adapun penjelasan keberadaan kaedah kulliyah merupakan hukum syara, maka kaedah kulliyah adalah: hukum kulliy yang berlaku pada bagian-bagiannya. Adapun keberadaannya sebagai hukum, hal itu karena kaedah kulliyah itu diistinbath dari seruan asy-Syâri’ -khithâb asy-syâri’-. Jadi itu merupakan madlul seruan asy-Syâri’. Adapun keberadaannya sebagai hukum kulliy, hal itu karena penisbatan hukumnya bukan kepada lafal umum sehingga dikatakan sebagai hukum umum, seperti firman Allah SWT:

﴿وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ﴾ [سورة البقرة: 275]

Dan Allah telah menghalalkan jual beli” (TQS al-Baqarah [2]: 275).

Yang berlaku pada semua jenis jual beli, sehingga itu merupakan hukum umum. Dan seperti firman Allah SWT:

﴿حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ﴾ [سورة المائدة: 3]

Telah diharamkan atas kalian bangkai” (TQS al-Maidah [5]: 3).

Berlaku pada semua bangkai, jadi itu merupakan hukum umum. Tetapi hukum kulliy yang menjadi kaedah kulliyah adalah penisbatan hukum kepada lafal kulliy. Oleh karenanya dikatakan kulliy. Dan karenanya semua hukum yang masuk di bawah madlul lafal ini merupakan bagian dari hukum kulliy ini, bukan individunya. Misal, kaedah “al-wasîlatu ilâ al-harâm harâm -wasilah yang mengantarkan kepada yang haram adalah haram-“. Dan kaedah “mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjibun -tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu adalah wajib-“, dan semacamnya. Dalam kedua kaedah ini, hukum syara’ yakni keharaman, tidak dinisbatkan kepada lafal umum semisal al-bay’ -jual beli-, melainkan dinisbatkan kepada lafal kulliy yaitu “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi -suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu-“, dan oleh karenanya bersifat kulliy...) selesai.

Kedua- Kemudian, dalil-dalil yang darinya diistinbath kaedah kulliyah harus mengandung ‘illat syar’iyah atau perkara yang berposisi seperti ‘illat. Contoh, dalil-dalil menunjukkan hukum dan kepada sesuatu yang lain yang menjadi akibatnya atau dihasilkan darinya, sehingga ketika itu tampak bahwa hal itu berposisi sebagai ‘illat. Hal itu agar bisa disusun redaksi kulliy untuk kaedah tersebut. Di dalam asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii dalam bab “al-Qawâ’idu al-Kulliyah” dinyatakan;

[... dan kaedah kulliyah itu diistinbath dari nas syar’iy sama saja seperti istinbath hukum syara’ apapun, baik apakah dari satu dalil atau dari sejumlah dalil, hanya saja dalil di sini mengandung sesuatu yang berposisi seperti ‘illat atau mengandung ‘illat. Inilah yang menjadikannya bisa berlaku terhadap semua bagian-bagiannya ... 

Misalnya, firman Allah SWT:

﴿وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْواً بِغَيْرِ عِلْمٍ﴾ 

Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” (TQS al-An’am [6]: 108).

Huruf al-fâ` dalam fayasubbû memberi faedah bahwa makian kalian kepada berhala-berhala mereka menyebabkan mereka memaki Allah dan ini haram, Sehingga berakibat bahwa makian kalian kepada berhala-berhala mereka dalam kondisi ini adalah haram, seolah-olah itu merupakan ‘illat. Jadi larangan dari memaki orang-orang kafir adalah dalil hukum. Dan aspek dalalahnya terhadap hukum menunjukkan kepada kepada sesuatu yang lain yang disusun terhadapnya (diakibatkan olehnya) ketika Allah berfirman “fayasubbûllâha -karena mereka nanti akan memami Allah-“. Maka dari ayat ini diistinbath kaedah “al-wasîlatu ilâ al-harâm harâmun -wasilah kepada yang haram adalah haram-“ ...].

Berdasarkan semacam itulah diistinbath kaedah “mâ lâ yatimmu al-wâjibu illâ bihi fahuwa wâjibun -suatu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu adalah wajib-“ ... Ini tentang pentingnya “posisi seperti ‘illat -bi mutsâbati al-‘illat-”.

Adapun dalil itu mengandung ‘illat, maka dinyatakan di asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah juz iii setelah apa yang disebutkan di atas tentang posisi seperti ‘illat sebagai berikut:

[Dan misalnya, Rasul SAW bersabda:

«الْمُسْلِمُونَ شُرَكَاءُ فِي ثلاَثٍ: فِي الْكَلإِ وَالْمَاءِ وَالنَّارِ» أخرجه أبو داود

Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air dan api” (HR Abu Dawud).

Dan telah terbukti dari Rasul SAW bahwa Beliau menyetujui penduduk Thaif dan penduduk Madinah memiliki air sebagai kepemilikan individu. Dan dipahami dari kondisi air yang diperbolehkan dimiliki secara pribadi bahwa air itu tidak dibutuhkan oleh jamaah. Maka ‘illat keberadaan orang-orang berserikat dalam tiga hal itu adalah keberadaannya termasuk fasilitas jamaah. Jadi dalil tersebut menunjukkan atas hukum dan menunjukkan atas ‘illat, yakni menunjukkan atas hukum dan menunjukkan atas sesuatu yang lain yang merupakan sebab pensyariatan hukum. Sehingga darinya diistinbath kaedah: “kullu mâ kâna min marâfiqi al-jamâ’ah kâna milkiyatan ‘âmatan -apa saja yang menjadi fasilitas jamaah maka merupakan kepemilikan umum-“. Begitulah, semua kaedah kulliyah].

Kemudian buku asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah menutup topik tersebut sebagai berikut: [dari hal itu menjadi jelas bahwa kaedah kulliyah membuat hukum dengan posisi seperti ‘illat untuk hukum kulliy dikarenakan keberadaannya sebagai sebab untuk hukum itu, yakni karena keberadaannya sebagai hasil darinya atau disusun di atasnya (diakibatkan olehnya), atau menjadikannya sebagai ‘illat hakiki untuk hukum kulliy. Maka itu merupakan hukum kulliy yang berlaku terhadap bagian-bagiannya. Oleh karena itu, kaedah kulliyah itu berlaku terhadap semua hukum yang sesuai dengannya, sebagaimana dalil berlaku terhadap hukum yang dibawanya, dan tidak diqiyaskan terhadapnya secara qiyas, tetapi bagian-bagiannya itu terderivasi di bawahnya, yakni masuk di bawah mafhumnya atau manthuqnya, sama persis seperti apa yang masuk di dalam dalalah dalil tersebut. Dan beristidlal dengannya seperti beristidlal dengan dalil ...].

Ketiga- Atas dasar itu, kaedah syar’iyah kulliyah yang muktabar adalah yang diistinbath dengan istinbath yang syar’iy sesuai yang dijelaskan di atas, yakni yang memenuhi perkara-perkara berikut:

a. Kaedah itu diistinbath dengan istinbath syar’iy yang shahih sesuai ushul fikih.

b. Hukum yang diistinbath memberi faedah kulliy sehingga di bawahnya terderivasi bagian-bagiannya.

c. Dalil-dalil yang darinya diistinbath kaedah kulliyah itu mengandung ‘illat syar’iyah atau perkara yang berposisi seperti ‘illat, dan berikutnya disusun redaksi kulliy untuk kaedah syar’iyah tersebut.

Ini adalah kaedah muktabar yang diistinbath dari dalil-dalil dengan istinbath syar’iy. Adapun kaedah yang tidak diistinbath dari dalil-dalil syar’iy atau diistinbath dengan istinbath yang tidak syar’iy maka tidak dinilai sebagai kaedah syar’iyah dan tidak ada nilainya.

Dan dengan menelaah ucapan yang ada di pertanyaan tersebut (shihhatu al-abdân muqaddamatun ‘alâ shihhati al-adyân -kesehatan badan lebih dikedepankan terhadap keselamatan agama-“) menjadi jelas hal sebagai berikut:

Pertama- Ucapan ini tidak disitinbath dengan istinbath syar’iy dari dalil-dalil yang di dalamnya ada ‘illat atau yang berposisi seperti ‘illat agar bisa menjadi kaedah kulliyah yang shahih yang di bawahnya terderivasi bagian-bagiannya.

Kedua- Adapun mereka yang mengatakan bahwa itu diisinbath dari dalil-dalil shalat orang yang sakit yang tidak mampu berdiri sehingga dia shalat dengan duduk, maka ini bukan istinbath syar’iy. Sebab ini merupakan hukum khusus yang tidak bisa melampaui masalah orang sakit yang tidak mampu shalat dengan berdiri sehingga dia shalat dengan duduk, dan di dalamnya tidak masuk orang yang shalat dengan berdiri tetapi berjauhan dari orang yang shalat di sampingnya satu atau dua meter!

Ketiga- Atas dasar itu maka ucapan ini (shihhatu al-abdân muqaddamatun ‘alâ shihhati al-adyân) bukan kaedah fikhiyah dengan makna ini menurut para fuqaha sebagaimana yang saya ketahui. Tetapi ini adalah semisal ucapan orang umum, contohnya: “murâ’atu al-abdân khayrun min murâ’ati al-adyân -memperhatikan badan lebih baik daripada memperhatikan agama-“, dan ucapan mereka “shalâhu al-abdân awlâ min shalâh al-adyân -keselamatan badan lebih utama dari keselamatan agama-“. Semua ini bukan kaedah fikhiyah. Bahkan ada pendapat-pendapat fikhiyah yang sebaliknya. Misalnya, [Ibnu al-Amir al-Haj al-Hanafi berkata: “menjaga agama lebih dikedepankan dari dharûriyât lainnya ketika terjadi kontradiksi, sebab itu menjaga agama merupakan maksud paling agung. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ﴾ سورة الذاريات الآية 56

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku” (TQS adz-Dzariyat [51]: 56).

At-Taqrîr wa at-Tahbîr karya Abu Abdillah Syamsuddin yang dikenal dengan Ibnu al-Amir Haj al-Hanafi (w. 879 H)].

Keempat- Oleh karena itu, ucapan ini tidak dinilai bagian dari hukum syara’ dan memasukkannya dalam topik berjauhan dalam shaff shalat jamaah tidak benar sama sekali. Adapun hukum syara’ tentang berjauhan dalam shaf shalat jamaah, maka kami sebelumnya telah mengeluarkan sejumlah Jawab Soal seputar topik ini. Dan saya mencukupkan dengan mengingatkan kepada dua Jawab Soal saja:

- Pertama, Jawab Soal pada 17 Syawal 1441 H-8 Juni 2020 M dan saya kutipkan potongan dari yang ada di dalamnya:

[ ... Ketiga: tidak dikatakan bahwa penyakit menular adalah udzur yang memperbolehkan saling berjauhan di dalam shalat. Tidak dikatakan demikian. Sebab penyakit menular adalah udzur untuk tidak pergi ke masjid dan bukan udzur untuk pergi dan saling berjauhan dari orang yang shalat di sampingnya satu atau dua meter!! Penyakit menular terjadi pada masa Rasulullah SAW (Tha’un) dan tidak ada dari Rasul SAW bahwa orang yang terinfeksi Tha’un pergi ke shalat dan menjauh dari temannya sejarak dua meter. Tetapi, dia diberi udzur sehingga dia shalat di rumahnya. Yakni bahwa orang yang sakit dengan penyakit menular tidak dicampur dengan orang-orang yang sehat, dan untuknya disediakan pengobatan yang cukup dan memadai dengan izin Allah. Adapun orang yang sehat, maka dia pergi ke masjid menunaikan shalat Jumat dan shalat jamaah seperti biasa tanpa saling berjauhan. (17 Syawal 1441 H-8 Juni 2020 M)] selesai.

- Dan Jawab Soal kedua pada 14 Oktober 2020 tentang Shalat Jumat, dan saya kutipkan potongannya:

[ ... ... jelas dari apa yang disampaikan di atas bahwa Shalat Jumat adalah fardhu ‘ain dan wajib ditunaikan dengan tatacara yang telah dijelaskan oleh Rasul SAW dengan rukun dan syarat sahnya disertai merapatkan shaf menurut syariah sebagaimana apa yang telah dijelaskan di dalam jawaban kami sebelumnya. Larangan penguasa (otoritas) untuk pelaksanaan Shalat Jumat menurut tatacara seperti itu merupakan dosa besar yang jatuh pada pundak penguasa, baik apakah negara menutup masjid-masjid atau melarang pelaksanaan Shalat Jumat sesuai tatacara syar’iy itu.

Dan karena Shalat Jumat adalah fardhu ‘ain, maka setiap Muslim mukallaf harus berusaha Shalat Jumat dan menunaikannya secara syar’iy dengan rukun dan syarat-syarat sahnya serta merapatkan shafnya dan sebagainya. Jika tidak mampu karena larangan fisikal atau penguasa zalim melarang (menghalangi) pelaksanaan Shalat Jumat sesuai aturan syariah tetapi penguasa zalim itu memaksa orang-orang yang melaksanakan shalat terhadap bid’ah tersebut dengan memaksakan perenggangan shaf sehingga orang yang shalat itu tidak bisa menunaikannya sesuai kemampuannya dan penguasa zalim itu akan memikul dosa tersebut.

Rasul SAW bersabda dalam riwayat yang telah dikeluarkan oleh imam al-Bukhari dan Muslim rahimahumallâh dari Abu Hurairah ra:

«وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ» واللفظ للبخاري

Dan jika aku memerintahkan kalian dengan satu perkara maka tunaikanlah semampu kalian” (lafal menurut al-Bukhari).

Maka jika seorang Muslim mampu melaksanakan Shalat Jumat yang fardhu ‘ain dengan merapatkan shaf maka dia wajib menunaikan shalat dengan merapatkan shaf, sebab merenggangkan shaf adalah bid’ah selama dia mampu menjauhi perenggangan shaf itu. Adapun jika dia tidak mampu karena perbuatan penguasa yang berdosa maka ketika itu dia melaksanakan shalat sesuai yang dia mampu. Imam an-Nawawi (w. 676 H) mengatakan di dalam bukunya al-Minhâj Syarh Shahîh Muslim bin al-Hajâj ketika menjelaskan hadits dengan lafal Muslim: “dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW bersabda:

«فإذا أَمَرْتُكُمْ بِشَيْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ»

Maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian.

An-Nawawi berkata dalam syarahnya: ““Maka jika aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka tunaikanlah semampu kalian” ini termasuk kaedah (pilar) Islam yang penting dan termasuk kalimat yang menghimpun yang diberikan oleh Rasulullah saw, dan termasuk di dalamnya hukum-hukum yang tak terhitung banyaknya seperti shalat dengan semua macamnya maka jika tidak mampu dari sebagian rukunnya atau sebagian syaratnya maka hendaknya dia tunaikan sisanya (yang mampu dia tunaikan). Wallâh a’lam)] selesai.

Saya berharap di dalam ini ada kecukupan. Wallâh a’lam wa ahkam.[]

 
Oleh: Syekh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah
16 Syawal 1442 H
28 Mei 2021 M

Posting Komentar

0 Komentar