Terpapar Virus Corona: Antara Tawakal dan Upaya Medis



TintaSiyasi.com-- Menyedihkan, saat ini Indonesia negeri kita tercinta tengah menghadapi gelombang tsunami pandemi virus covid-19 yang begitu dahsyat. Dilansir melalui healthdetik.com pada 24/6/2021, tercatat penambahan 20.574 kasus baru COVID-19. Yang secara total kasus positif saat ini yakni sebanyak 2.053.995. Provinsi DKI Jakarta mencatat penambahan kasus terbanyak dengan jumlah 7.505 kasus. Di bawahnya, terdapat Jawa Tengah dengan 4.384 kasus dan Jawa Barat dengan 3.053 kasus.

Begitu nyata bagaimana kondisi masyarakat yang menjadi korban pandemi ini terus berjatuhan. Salah satu dari penulis sendiri merupakan korban dari bagaimana ganasnya serangan virus corona, saat dari sepekan lalu baru saja selesai dirawat dan dinyatakan sembuh dari paparan covid-19. Sungguh ada begitu banyak hikmah dan pelajaran penting yang bisa diambil, dari apa yang dialami selama terpapar covid-19 ini.

Kendati demikian, tentu kondisi yang sangat memprihatinkan dalam masa pandemi ini membuat kita bertanya, mengapa di saat banyak negara yang notabene menjadi tempat awal munculnya pandemi ini bisa keluar dari masa sulit ganasnya pandemi covid-19, akan tetapi negara kita justru kian terpuruk dan mengkhawatirkan? Apakah ini murni dari sifat alamiah virus yang gampang bermutasi, ataukah karena perilaku kelalaian dari manusia sendiri? Lalu bagaiamana sikap kita sebagai seorang yang beriman? Mengutamakan tawakal dengan hanya berserah kepada ketetapan ataukah terdahulu dengan upaya medis?


Ikut Tepapar Virus di Masa Pandemi, Antara Takdir atau Kelalaian

Hadirnya wabah pandemi yang sedang menimpa kita saat ini, merupakan takdir atau ketetapan yang telah ditetapkan Allah di luar kendali kemampuan kita sebagai manusia. Maka, sebagai Muslim yang beriman kita pun wajib menerima ketentuan Allah ini dengan lapang dada (ridha). Allah SWT berfirman :

“Tiada suatu bencana pun yg menimpa di bumi dan pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yg demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS al-Hadid [57] : 22)

Kita pun wajib menerima taqdir Allah ini dengan rela, sesuai sabda Rasulullah SAW:

Sesungguhnya besarnya pahala itu seiring dengan besarnya cobaan. Sesungguhnya Allah jika mencintai satu kaum, maka Allah memberi cobaan kepada mereka. Maka barangsiapa yg ridha (terhadap cobaan itu), maka dia mendapat ridha Allah. Barangsiapa yang murka, maka dia mendapat murka Allah.” (HR Tirmidzi, no. 2396, hadis hasan).

Jadi, terhadap suatu musibah yang menimpa, sudah seharusnya bagi seorang muslim menyikapinya dengan sabar dan ridha kepada takdir Allah. Namun, rasa dan sikap sabar atas takdir bukan berarti pasrah tanpa melakukan apa-apa. Pada qadar/sifatnya, wabah virus yang muncul melalui pandemi ini sifatnya gampang menular ke semua orang sehingga mudah juga untuk bermutasi. Maka adapun sikap dalam menghadapi wabah, Islam telah dahulu memberikan tuntunannya sesuai nash syar'inya.

Seperti diriwayatkan dalam hadits berikut ini:

Artinya: "Jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah, maka janganlah kalian memasukinya. Tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada, maka jangan tinggalkan tempat itu." (HR Bukhari).

Dari tuntunan hadist shahih tersebut, maka sungguh jelas ada tanggung jawab atau kewajiban yang harus kita lakukan dalam menghadapi pandemi ini. Dan sebuah kewajiban akan ditanggung juga suatu pertanggungjawabannya di sisi Allah. Di dalam standar aturan protokol kesehatan yang telah ditetapkan secara umum dalam masa pandemi, kita diperintahkan selain menjauhi tempat atau wilayah-wilayah yang terkena wabah, kita juga wajib melakukan 3 M 5 M (Memakai Masker, Muncuci Tangan, & Menjaga Jarak) dan ditambah dengan Menjauhi Kerumunan dan Mengurangi Mobilitas/Aktivitas kita, selain melakukan pencegahan melalui program vaksinasi terhadap masyarakat.

Hal tersebut merupakan langkah atau ikhtiar yang termasuk patuh terhadap tuntunan syara', sehingga juga akan bernilai pahala di sisi Allah pabila kita melakukannya. Apabila dilalaikan dan di abaikan maka akan berkonsekuensi kepada pertanggungjawaban, yakni dosa. Selain juga akan merugikan diri kita. Ketika kita sebagai individu, masyarakat dan negara telah berupaya semaksimal mungkin untuk melakukannya namun serangan Pandemi virus ini masih tetap memapari diri kita, maka sejatinya itulah yang disebut Qadla/takdir ketetapan Allah yang harus kita jalani dengan lapang dada dan sabar, di atas ikhtiar kita sebagai makhluknya. Dan itulah manifestasi dari sikap tawakal.

Akan tetapi, melihat sebuah realitas saat ini sungguh memprihatikan, yakni lonjakan para korban yang terpapar corona setiap harinya terus meningkat tajam, tidak dapat menghindarkan akan adanya sebuah kelalaian di dalam menghadapi dan menanggulangi wabah pandemi ini. Dari mulai penanganan yang dilakukan negara cenderung tidak konsisten, lambat, dan penuh dengan intrik politisasi. Pembatasan atau penguncian wilayah-wilayah yang diduga telah tercemar dan terjadi pandemi wabah, serta mengisolasi orang-orang yang telah positif terinfeksi wabah di awal pandemi, semua cenderung diabaikan.

Walhasil, sikap lalai dan abai tersebut juga banyak diikuti oleh sebagian masyarakat kita yang tingkat kedisiplinannya memang sudah cenderung rendah. Hingga melahirkan pola masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang tidak patuh. Pemahaman yang rendah oleh karena minimnya edukasi dari pemerintah, juga menambah permasalahan dan kekacauan yang ada. Hingga berbuah pada kesulitan untuk keluar dari masa pandemi yang semakin masif dan menggila.

Memang, di balik lambat dan ketidakkonsistenannya pemerintah dalam menangani pandemi ini, tidak sedikit juga masih ada keberadaan masyarakat yang disiplin protokol kesehatan atas petunjuk dan pedoman para ahli yang amanah, akan tetapi hal itu masih kalah dengan jumlah masyarakat yang cenderung mengabaikan yang didukung pula oleh ketidakkomitmetan pemerintah dalam menjalankan tugasnya, dalam menjaga keselamatan warga negaranya. Sehingga tidaklah heran, jika hingga detik ini kita menghadapi sebuah kesulitan dan ketidakpastian yang berkepanjangan di dalam mengahadapi wabah pandemi corona ini.

Dengan demikian, sekarang tinggal instrospeksi masing-masing diri kita. Apakah kita termasuk pada golongan yang sudah berikhtiar dan taat atau justru ke dalam golongan yang lalai dan abai tersebut. Yang dapat pula mengkoreksi diri ketika sampai terpapar juga oleh corona, apakah hal tersebut akibat dari sikap lalai kita, atau murni ketetapan Yang Maha Kuasa sebagai ujian di balik segala ikhtiar di dalam menjaga diri, dan upaya kepatuhan kita terhadap aturan protokol kesehatan di dalam menghadapi wabah pandemi.

Idealnya terutama bagi seorang Muslim, ia memang juga harus melakukan berbagai usaha untuk memperbaiki keadaan dan menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat musibah. Artinya, seperti apa yang penulis jelaskan di awal tadi bahwa kita memang tidak boleh diam saja, atau pasrah berpangku tangan menunggu bantuan datang. Apalagi sampai ikut-ikutan bersikap seenaknya, dan menyalahkan takdir dan hanya tinggal meratapi nasib apabila ikut terpapar oleh erangan wabah. 

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yg ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13] : 11)

Ketika terjadi wabah penyakit di Syam, Umar bin Khaththab segera berupaya keluar dari negeri tersebut. Ketika ditanya, ”Apakah kamu hendak lari dari taqdir Allah?” maka Umar menjawab, ”Ya, aku lari dari taqdir Allah untuk menuju taqdir Allah yg lain.” (Muttafaq ‘alaihi).

Begitulah sempurnanya Islam dalam memberi petunjuk bahwa apapun bahaya (madharat) bagi diri dan orang lain, wajib bagi kita berikhtiar untuk menghindari dan menghilangkannya. Terutama sikap dalam mengahadapi pandemi menular ini.

Rasullullah SAW bersabda:

”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah)

Orang-orang yang meninggal akibat wabah virus 2019-Ncov tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas kematiannya akibat paparan virus tersebut. Akan tetapi kita yang masih diberi hidup namun abai apalagi menjadi bagian yang menghalangi upaya penghentian laju pandemi virus, pasti akan ditanya/dimintai pertanggungjawabannya. Karena sikap tersebut bukanlah termasuk ke dalam takdir, oleh sebab kita sebagai manusia yang diberi akal, punya kapasitas/kendali untuk mencegah dan memilih  melakukannya.

Dampak Pemahaman Seseorang atas Hukum Agama dan Hukum Medis dalam Menilai Terjangkitnya Wabah Penyakit (Pandemi)

Mafahim atau pemahaman adalah bagian dari unsur terpenting bagi manusia/seseorang di dalam berperilaku dalam menjalani kehidupannya atau disebut dengan berperilaku sosial. Perilaku Sosial menurut Taqiyuddin an-Nabhani, merupakan sebuah proses yang terbentuk dari adanya dorongan-dorongan naluri yang dimana sebelum manusia berbuat telah terjadi proses pemahaman terhadap situasi dan kondisi yang disebut dengan mafahim/persepsi, sehingga baru terbentuklah perilaku sosial manusia tersebut.

Begitu juga ketika kita berbicara tentang ketika seseorang sedang ikut terpapar virus corona ini, pemahamannya dari segi akidah/agama maupun hukum medis akan berdampak pada bagaimana dia bertindak atau berperilaku saat sakit terjangkit virus.

Pertama, dari segi hukum agama. Seseorang yang telah memiliki pemahaman yang benar terkait qadla dan qadar tentu juga akan mampu bersikap dan bertindak benar di dalam menilai atas sakit terpapar virus yang di deritanya. Ia menyakini bahwa sakitnya merupakan ketetapan Allah atas dirinya, maka ia akan bersabar dan ridha dalam menjalaninya. Menurut Imam Suyuthi dalam Tafsir al-Jalalain, sabar adalah menahan diri terhadap apa-apa yang Anda tidak sukai atau yang Anda benci (al-habsu li an-nafsi ‘alaa maa takrahu). Maka sikap atau perilaku inilah yang akan dimiliki saat kita menghadapi musibah ataupun sakit.

 Allah SWT berfirman :

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yg sabar. orang-orang yg apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: ‘Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.’” (QS al-Baqarah [2] : 155-156)

Dengan demikian, seseorang yang telah memahami konsep ini, maka ia tidak akan mengeluh dan berputus asa apalagi berprasangka buruk seakan Allah tidak akan memberikan kebaikan di masa depannya. Memang, secara manusiawi seseorang yang sedang tertimpa ujian atau musibah akan mudah sekali terjerumus ke dalam sikap mengeluh bahkan berputus asa dari rahmat Allah (QS 30 : 36). Namun Allah SWT menegaskan, sikap itu adalah sikap kufur dan terlarang, karena hal tersebut merupakan tabi'at dari orang kafir (nauzhu billah mindzalik), sebagaimana firman-Nya :

“Janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum kafir.” (QS Yusuf [12] : 87).

Selain dari itu, seorang muslim yang faham dan mengetahui konsep Qadla Allah, akan mampu mengambil hikmah (rahasia) di balik musibah dan ujian yang sedang menimpanya, maka dengan itu ia juga akan memiliki ketangguhan mental yang baik di dalam menjalaninya. Ia akan mampu mengambil hikmah yaitu ditimpakannya sakit ini yakni antara lain sebagai wasilah/jalan diampuninya dosa-dosa sehingga ia ridha dan tetap bersyukur atas apa yang dihadapinya. Sabda Rasulullah SAW :

“Tidaklah seorang muslim tertimpa musibah tertusuk duri atau lebih dari itu, kecuali dengannya Allah akan menghapus sebagian dosanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Kondisi tersebut tentu akan berbeda dengan seseorang yang tidak memiliki pemahaman itu, ia akan cenderung memahami suatu musibah dan sakitnya hanya secara dangkal dengan hanya melihat lahiriahnya saja. Mentalnya pun akan sangat lemah, rapuh dan ringkih, ia akan mudah tergoncang dan tergelincir kepada sikap berputus asa dari rahmat Allah, naudzubillahi mindzalik.

Kedua, pemahaman hukum medis. Pemahaman medis terkait gangguan kesehatan itu perlu dimiliki oleh seseorang. Dengan pemahaman hukum agama dan pemahaman hukum medis yang dimiliki akan melahirkan perilaku yang seimbang, antara sikap sabar dan ikhtiar. Jadi, ia akan bersikap secara benar, yang bukan hanya berserah kepada ketentuan Allah atas dirinya. Akan tetapi ia justru mengimbangi sikap sabar dengan melakukan upaya medis/berobat kepada yang ahli atau dokter untuk memperbaiki keadaan. Guna menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat dari gejala sakit yang dideritanya. 

Sikap seperti itulah yang disebut dengan tawakal, takawal berarti berserah kepada keputusan Allah atas segala upaya yang dilakukannya.

“Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yg ada pada diri mereka sendiri.” (QS ar-Ra’du [13] : 11)

Hal itu merupakan manifestasi dari sebuah keimanan yang benar terhadap Allah yang Maha Penyembuh atas berbagai penyakit, melalui potensi kepada setiap yang diciptakannya.

Ia dapat memahami bahwa tindakan medis/kedokteran merupakan keagungan dari sisi pengetahuan saintifik yang bersifat empirik logis yang Allah anugerahkan, dari potensi manusia sebagai makhluk yang berakal dan mampu mencari dan memiliki ilmu pengetahuan di dalam menyelesaikan berbagai macam problem kehidupan. Maka seseorang yang mempunyai pemahaman hukum agama maupun hukum medis di saat menghadapi ujian sakit, akan mampu bersikap secara proporsional. Ia tidak akan hanya cukup sabar dengan hanya berdzikir dan sembari menunggu kesembuhan dari langit, tapi ia juga akan berupaya mencari jalan kesembuhan dengan pengobatan medis dengan ahli yang dapat membantunya.

Di masa pandemi dalam pemerintahan Islam Khilafah Islamiyah di masa Khilafah Turki Ustmani, Khalifah juga memerintahkan para ahli kesehatan dan kedokteran untuk membuat vaksin sebagai ikhtiar dalam penghentian penularan wabah virus bagi seluruh masyarakat di negaranya.


Strategi Secara Agama dan Medis ketika seseorang terpapar virus corona di Masa Pandemi

Islam adalah sebuah agama paripurna yang mempunyai tuntunan dan aturan lengkap untuk seluruh problematika kehidupan, termasuk dalam menangani tuntas pandemi wabah dan warga negaranya yang terpapar. Di masa sistem pemerintahan Islam dalam kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab juga pernah terjadi wabah, Abu Ubaidah yang merupakan Gubernur Syam wilayah Syam yang terkena wabah kusta saat itu ikut menjadi korban dan meninggal akibat terjangkit wabahnya bersama warganya yang telah ikut menjadi korban. Kepemimpinan Abu Ubaidah kemudian digantikan oleh Muaz bin Jabal sebagai Gubernur Syam, namun apa daya ketetapan takdir juga mengharuskan ia juga meninggal dunia akibat ikut terjangkit wabah.

Setelah beberapa waktu wabah penyakit di Syam baru mereda setelah Amr bin Ash menjabat gubernur. Dengan berbagai upaya yang langsung dilakukan berupa testing, tracking dan treatment dalam wilayah yang tersebar wabah tersebut. Dia mencoba menganalisa penyebab munculnya wabah dan kemudian melakukan isolasi, orang yang sakit dan sehat dipisahkan ke gunung-gunung yang disertai dengan pengobatan. Walhasil wabah penyakit di Syam pun akhirnya perlahan-lahan mulai menghilang. 

Di dalam daulah Islam, masyarakat atau seseorang yang terjangkit oleh wabah virus pandemi akan menjadi sepenuhnya tanggung jawab negara hingga ia sembuh tuntas. Selain akan secara kontinu dalam penanganan medisnya, ia juga akan dikuatkan secara mental dan akidah agar kuat dan bersabar dengan landasan keimanan dalam menghadapi musibah penyakitnya. 

Oleh sebab itu di dalam pandangan yang Islami, apabila ada seseorang yang telah merasakan gejala wabah virus menular dalam tubuhnya, maka hendaklah ia cepat-cepat melakukan pelaporan ke pada petugas-petugas kesehatan yang berwenang. Untuk segera dilakukan pemeriksaan hingga pengobatan secara medis dan isolasi diri apabila ia terkonfirmasi positif terjangkit virus, seperti halnya terjangkit virus Covid seperti yang sedang dan banyak terjadi saat ini. Tujuannya adalah sebagai pencegahan akan bahaya penularan lebih luas kepada orang lain. Sebagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga diri dan orang lain dari sesuatu yang berbahaya.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:

”Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah).

Selain dari individu dan masyarakat yang disiplin, penanganan para korban terjangkit virus ini juga membutuhkan keberadaan seorang pemimpin yang berperan nyata sebagai perisai umat, yang pada saat terjadi wabah pandemi yang menderah negara dan masyarakatnya, ia akan segera bertindak menanggulangi pandemi wabah penyakit menular ini dengan tuntunan nash syara'. Dia akan memberlakukan kebijakan nasional secara tanggap, cepat dan tepat sesuai tuntunan Islam. Selain sebagai perisai, ia juga akan melaksanakan fungsinya sebagai Raa’in yang bertanggung jawab dan berada dalam garda terdepan dalam memberikan perlindungan bagi keselamatan rakyatnya.

Sedini mungkin seorang pemimpin sebagai perisai di dalam Islam akan memberlakukan kebijakan Lockdown, isolasi dan karantina terhadap wilayah-wilayah maupun individu-individu yang terduga maupun telah positif terinfeksi wabah menular. Dengan menjamin kebutuhan dasar untuk rakyatnya semasa perberlakuan kebijakan dilaksanakan, dengan bantuan arahan para ahli baik secara medis, sain dan spiritual. Haram bagi seorang pemimpin di dalam Islam berlepas dari tanggung jawab, atau memanfaatkan wabah pandemi sebagai wadah politisasi dan jalan kapitalisasi atau mencari keuntungan secara materiil. Karena ia sadar betul kepemimpinan yang dia pegang, tidak akan terlepas dari hisab dan segala macam pertanggungjawabkan.

Begitulah potret kerjasama antara masyarakat dan (pemimpin) di dalam Islam, yang punya peran sentral untuk memberikan perlindungan dan pelayanan menyeluruh terhadap warga negaranya. Apalagi saat terjadi pandemi wabah penyakit menular seperti sekarang, tentu rakyat butuh perlindungan yang optimal. Penguasa tidak boleh abai, dan wajib memberi support kepada seorang dan masyarakat (warganya) yang telah terpapar atau terinfeksi virus baik secara material maupun spiritual. Karena bagi seseorang yang terpapar virus menular ini, bukan hanya akan terserang secara fisik, namun juga akan terserang secara mental dan kepercayaan diri. Maka penguatan dari segi moril, materil, psikologis dan spiritual teramat penting untuk diberikan.

Para pemimpin dalam Islam seperti halnya Rasulullah saw dan para Khalifah Umar bin al-Khaththab ra, merupakan tauladan terbaik bagaimana seharusnya seharusnya seorang pemimpin sebagai perisai umat bertanggung jawab atas segala persoalan yang mendera rakyatnya, khususnya dalam menghadapi wabah penyakit menular seperti pandemi Corona.


Dari uraian di atas, maka perlu kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

Pertama. Melihat sebuah realitas saat ini sungguh memprihatikan, yakni lonjakan para korban yang terpapar corona setiap harinya terus meningkat tajam, tidak dapat menghindarkan akan adanya sebuah kelalaian di dalam menghadapi dan menanggulangi wabah pandemi ini. Dari mulai penanganan dan kebijakan yang dilakukan negara cenderung tidak konsisten, lambat, dan penuh dengan intrik politisasi. Walhasil, sikap lalai dan abai tersebut juga banyak diikuti oleh sebagian masyarakat kita yang tingkat kedisiplinannya memang sudah cenderung rendah. Hingga melahirkan pola masyarakat yang terdiri dari individu-individu yang tidak patuh. Hingga berbuah pada kesulitan untuk keluar dari masa pandemi yang semakin masif dan menggila.

Dengan demikian, sekarang tinggal instrospeksi masing-masing diri kita. Apakah kita termasuk pada golongan yang sudah berikhtiar dan taat atau justru ke dalam golongan yang lalai dan abai tersebut. Ketika kita sampai ikut terpapar oleh corona, apakah hal tersebut akibat dari sikap lalai kita, atau murni ketetapan Yang Maha Kuasa sebagai ujian di balik segala ikhtiar dalam menjaga diri dan upaya kepatuhan kita terhadap aturan protokol kesehatan dalam menghadapi masa pandemi.

Kedua. Berbicara tentang ketika seseorang sedang ikut terpapar virus corona ini, pemahamannya dari segi akidah/agama maupun hukum medis akan berdampak pada bagaimana dia bertindak atau berperilaku saat sakit terjangkit virus.

Dengan pemahaman hukum agama dan pemahaman hukum medis yang dimiliki akan melahirkan perilaku yang seimbang, antara sikap sabar dan ikhtiar. Jadi, ia akan bersikap secara benar, yang bukan hanya berserah kepada ketentuan Allah atas dirinya. Akan tetapi ia justru mengimbangi sikap sabar dengan melakukan upaya medis/berobat kepada yang ahli atau dokter untuk memperbaiki keadaan. Guna menghindarkan diri dari bahaya-bahaya yang muncul akibat dari gejala sakit yang dideritanya. 

Sikap seperti itulah yang disebut dengan tawakal, takawal berarti berserah kepada keputusan Allah atas segala upaya yang dilakukannya.

Ketiga. Di dalam pandangan yang Islami, apabila ada seseorang yang telah merasakan gejala wabah virus menular dalam tubuhnya, maka hendaklah ia cepat-cepat melakukan pelaporan ke pada petugas-petugas kesehatan yang berwenang. Untuk segera dilakukan pemeriksaan hingga pengobatan secara medis dan isolasi diri apabila ia terkonfirmasi positif terjangkit virus, seperti halnya terjangkit virus Covid seperti yang sedang dan banyak terjadi saat ini. Tujuannya adalah sebagai pencegahan akan bahaya penularan lebih luas kepada orang lain. Sebagaimana Islam memerintahkan umatnya untuk menjaga diri dan orang lain dari sesuatu yang berbahaya.

“Tidak boleh menimbulkan bahaya bagi diri sendiri dan bahaya bagi orang lain.” (HR Ibnu Majah).”


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum (Pakar Hukum dan Masyarakat) dan Liza Burhan (Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpgains

Posting Komentar

0 Komentar