Tak Kenakan PPN Sembako Terlalu Baik Hati? Narasi Picik Kapitalisme Pemalak



TintaSiyasi.com-- Beraja di hati, bersultan di mata. Lagi-lagi pemerintah mengeluarkan wacana yang menunjukkan, semakin menuruti kemauannya sendiri. Pemerintah secara bertahap akan mulai meningkatkan rasio perpajakan, dengan cara memperluas obyek pajak. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati berencana akan mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) untuk sembako, jasa pendidikan hingga jasa kesehatan premium. (CNBC, 17/7/2021)

Sekalipun sempat dikonfirmasi oleh Sri Mulyani, rencana itu belum akan dilakukan selama pandemi belum usai. Tetapi, kabar itu telah menambah duka kembali rakyat.

Pernyataan ironis juga dinyatakan oleh Stafsus Menkeu. Dilansir dari merdeka.com (13/6/2021), Staf khusus (Stafsus) Menteri Keuangan, Yustinus Prastowo menyebut bahwa selama ini pemerintah terlalu baik hati tidak mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap sembako, pendidikan, dan jasa kesehatan.

"Banyak sekali pengecualian, jadi pemerintah selama ini sebenarnya boleh dibilang terlalu baik hati banyak barang jasa dikecualikan supaya kehidupan sosial ekonomi masyarakat dapat terjamin dapat terjaga," kata Yustinus dalam webinar Pajak Pendidikan, Minggu (13/6).

Ironis

Di kala rakyat masih kesulitan karena hadapi sulitnya ekonomi dalam kungkungan ekonomi kapitalisme dan musibah pandemi Covid-19 yang tak tahu kapan ujungnya. Pemerintah lagi-lagi mengeluarkan wacana soal pajak yang menyakiti nurani rakyat.

Lebih-lebih, ada pernyataan, pemerintah terlalu baik hati, karena tidak semua barang dan jasa dikenakan pajak (termasuk di antaranya sembako). Dari beberapa jabaran fakta di atas dalam dianalisis sebagai berikut.

Pertama, hal itu menandakan, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan pajak sebagai tulang punggung atas berjalannya ekonomi yang menopang negaranya. Hal ini sama saja menjadikan rakyat sebagai tumbal atas berjalannya ekonomi di negeri ini. Seharusnya rakyat itu disejahterakan, bukan diperas dengan aneka ragam tagihan pajak.

Sesungguhnya wacana pemungutan pajak merupakan hal yang dianggap lumrah di negeri ini karena sistem yang diadopsi negeri ini memang menjadikan pajak sebagai sumber pendapatan utama. Bahkan ada slogan warga negara yang baik adalah yang taat pajak. Akan tetapi, jika sembako dan pendidikan pun dikenakan pajak, hal itu zalim. Karena sembako dan pendidikan merupakan kebutuhan pokok masyarakat yang seharusnya dijamin oleh negara.

Kedua, gambaran sistem ekonomi pemalak. jika pajak jadi pendapatan utama yang menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Sistem kapitalisme mengadospsi kebijakan ekonomi liberal dan pajak menjadi salah satu bagian dari kebijakan fiskal. Pajak adalah kontributor terbesar dalam Anggaran Pendapatan Negara(APBN). Ketika pendapatan dari sektor pajak tinggi, maka pemerintah akan mampu mengalokasikan ke beberapa program strategis. Oleh karena itu, pajak dianggap sebagai cara mudah untuk menutupi defisit anggaran.

Inilah gambaran buruknya sistem ekonomi kapitalisme pemalak. Ditambah lagi, dengan pajak dan utang ribawi ke pihak asing, ini adalah bentuk sistem pemalak dan penghisap rakyat yang zalim. 

Bagaimana tidak? Utang ribawi yang menjadikan jumlah utang berlipat-lipat dengan tuntunan pembayaran ribawi telah membuat negara terbelenggu oleh kepentingan negara pemberi utang. Inilah bahaya dari utang ribawi kepada negara-negara asing. Wajar, jika banyak kebijakan yang diduga kuat disahkan demi menuruti syahwat kapitalis asing.

Contohnya saja, di kala rakyat kecil dikenai berbagai pajak, tetapi para kapitalis justru diringankan dengan wacana ampunan pajak jilid II. Selain itu, rentetan sumber daya alam (SDA) yang lebih dikapitalisasi ke asing. Padahal, SDA ini adalah aset yang seharusnya dikelola negara untuk kepentingan rakyat, bukan bancakan para kapitalis asing aseng.

Indonesia adalah negeri yang gemah ripah loh jinawi, negeri yang kaya dengan sumber daya alam. Jika dikelola dengan baik dan benar maka akan akan mempu menyejahterakan seluruh rakyatnya. Namun, apa daya rakyat bak ayam mati di lumbung padi, kekayaan yang melimpah ternyata tidak mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat.

Ketiga, pajak itu zalim dan kejam. Sebenarnya, hati nurani rakyat yang paling dalam pasti akan berteriak. Adanya pajak adalah beban, bahkan zalim dan kejam. Buktinya, para kapitalis pun juga berharap ada tax amnesty. Tapi, anehnya dengan segala ngelesnya pemerintah mengeluarkan narasi-narasi yang menunjukkan kepicikannya. Bagaimana bisa, dikata tidak kenakan pajak untuk barang dan jasa adalah baik hati? Jadi, jika pemerintah akan mengenakan pajak untuk sembako, pemerintah telah mengonfirmasi kekejamannya begitu? 

Begitulah, sebenarnya ketiga hal tersebut telah membuktikan, kapitalisme telah gagal menciptakan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, sungguh aneh, jika pemerintah masih berkelindan dengan sistem pemalak yang zalim tersebut. 

Jika kebijakan pemerintah benar-benar digulirkan, maka rakyat yang akhirnya akan menjadi korban. Ketika baru mulai bangkit dari keterpurukan akibat pandemi, mereka sudah dibebani dengan berbagai macam pajak kebutuhan pokok. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga.

Pajak dalam Islam

Pajak dalam Islam dikenal dengan nama dharibah. Pajak bukan merupakan sumber tetap baitul mal (kas negara). Dalam sistem ekonomi Islam ada sembilan sumber penerimaan negara yaitu fai, jizyah, kharaj, harta milik umum yang dilindungi dan dikelola negara, harta haram dari pejabat dan pegawai, khumus rikaz dan tambang, harta orang murtad,serta harta orang yang tidak memiliki ahli waris.

Pajak hanya dipunggut ketika kas negara dalam kondisi kosong, dan sumber-sumber kas tidak mampu menutupinya. Pajak bersifat insidental, sehingga ketika kekosongan kas negara telah teratasi maka pemungutan harus segera dihentikan. Sehingga pajak dalam Islam tidak berpotensi menimbulkan kezaliman terhadap rakyat.

Pajak dalam Islam tidak dikenakan kepada seluruh masyarakat, tetapi hanya dikenakan kepada orang-orang kaya, nonmuslim tidak dipungut pajak. Diambil dari kelebihan pemenuhan kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf. Pajak tidak boleh dipungut melebihi kebutuhan yang diperlukan.

Demikian juga dengan pelayanan publik, seperti biaya pendidikan, kesehatan, semuanya gratis dengan sistem pelayanan yang terbaik dan paripurna.

Islam pun memberikan ancaman yang keras terhadap para penguasa yang memungut pajak sebagai andalan kas negara.

“Sesungguhnya para penarik/pemungut pajak (diazab) di neraka” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Maka sangat penting bagi setiap muslim memahami bagaimana sitem perekonomian dalam Islam sehingga bisa meyadari kebobrokan sistem ekonomi kapitalis dalam mengelola kekayaan negara dan menyejahterakan masyarakat. Maka bukankah sudah selayaknya kitabtinggalkan sistem yang rusak dan beralih ke sistem Islam yang telah terbukti mampu membawa keberkahan bagi semesta alam.

Sistem ekonomi Islam dalam naungan khilafah adalah sistem ekonomi yang kuat dan mampu menyejahterakan umat. Karena, sistem ini ditopang dengan wahyu Allah SWT yang datang melalui lisan Nabi Muhammad SAW. Jelas di dalam Islam haram memungut tarikan yang membebani umat. Boleh memungut jika memang rakyat dinilai mampu membayar pungutan tersebut. Selain itu, itu bukan menjadi sumber utama.

Sistem ekonomi Islam, mengharamkan pengelolaan SDA kepada asing atau kapitalis, sehingga adanya SDA adalah murni dikelola negara untuk kesejahteraan umat. Selain itu banyak komponen yang memperkuat baitul mal sebagai sumber keuangan negara khilafah. 

Jika demikian, lalu tunggu apalagi? Apa yang membuat negeri inu ragu menerima tawaran solusi Islam? Bukankah ini adalah satu-satunya solusi untuk menghentikan kezaliman yang diciptakan kapitalisme sekuler? Wallahu'alam.[]

Oleh: Sri Purwanti
(Analis Mutiara Umat) dan Ika Mawarningtyas (Analis Muslimah Voice)


Posting Komentar

0 Komentar