Polemik Marital Rape: Layakkah Perkosaan Terhadap Istri Dipidana?



TintaSiyasi.com-- Berseliweran artikel dalam WA, FB, Instagram, dan lain-lain, yang mengungkapkan kegelisahan warga atas beberapa delik krusial yang terdapat dalam RUU KUHP 2019 yang hingga kini dipersoalkan banyak pihak. RUU KUHP disebut meluaskan definisi perkosaan, salah satunya perkosaan suami terhadap istrinya (marital rape). Perihal Perkosaan dalam Perkawinan ditambahkan dalam rumusan Pasal 479, dimaksudkan agar konsisten dengan Pasal 53 UU 23/2004 tentang PKDRT yaitu tindak pidana kekerasan seksual berupa pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap istri atau suami (detik.com, 14/6/2021). 

Dalam Pasal 479 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan pemerkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Tindak pidana pemerkosaan itu, antara lain perbuatan persetubuhan dengan cara kekerasan memaksa seseorang karena orang tersebut percaya bahwa orang yang disetubuhinya itu merupakan suami/istriya yang sah (CNNIndonesia, 16/6/2021). 

Syahdan, Pasal 479 RUU KUHP inilah yang kemudian memicu polemik sekaligus kegelisahan masyarakat. Tersebab memungkinkan bagi pasangan suami istri menjumpai kondisi-kondisi yang berpotensi menimbulkan tindakan yang disebut sebagai perkosaan tersebut. Jika dengan RUU KUHP ini pemerintah dan DPR berusaha melindungi kaum perempuan (istri) dari perlakuan kekerasan dari laki-laki ( suami), mengapa justru menimbulkan polemik berkepanjangan di tengah masyarakat?

Komunikasi Hukum Sebagai Faktor Utama Pemicu Polemik Marital Rape dalam RUU KUHP di Tengah Masyarakat 

Jika diamati, terjadinya polemik perihal perkosaan dalam perkawinan pada Pasal 479 RUU KUHP, disebabkan oleh kekurangpahaman warga terhadap bahasa hukum perundang-undangan. Hal ini bisa terjadi karena proses pembahasan dan pascapembahasan yang kurang melibatkan masyarakat umum dan awam terhadap konten RUU tersebut. Artinya, di sini masih ada kendala persoalan komunikasi hukum (legal communication). 

Komunikasi hukum yang tidak baik akan berakibat pada timbulnya miskomunikasi, yang berakibat lanjut pada misunderstanding terhadap pasal-pasal yang seharusnya bila dipahami dengan baik tidak akan menimbulkan keresahan, apalagi penolakan yang tidak perlu. Misal persoalan "memperkosa isteri sendiri dipidana". Bahasa hukumnya tidak seperti itu. Bahasa hukumnya dapat kita simak pada Pasal 479 RUU KUHP sebagai berikut: 

(1) Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun. 

(2) Termasuk tindak pidana perkosaan dan dipidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi perbuatan: 

a. persetubuhan dengan seseorang dengan persetujuannya, karena orang tersebut percaya bahwa orang itu merupakan suami/istrinya yang sah; 

b. persetubuhan dengan anak; atau 

c. persetubuhan dengan seseorang, padahal diketahui bahwa orang lain tersebut dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya. 

Coba kita analisis Pasal 479 RUU KUHP ini, mungkinkah seorang suami atau istri dipenjara karena melakukan perkosaan seksual atas keduanya? Jawabnya sebagai berikut: 

1. Mungkin. 

Dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 479 ayat (1) maka bisa saja seorang suami memerkosa istrinya. Dengan syarat yaitu si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan. Karena memang sudah ada kejadian. 

Kasusnya yang pertama karena istri sakit-sakitan dan dipaksa berhubungan intim lalu istri meninggal. Kasus ini terjadi di Denpasar pada 2015, yaitu Tohari memerkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, PN Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari. 

Kasus kedua yaitu istri dipaksa melakukan hubungan intim di hutan dengan alasan itu hak suami sesuai dengan agama tertentu. Kasus kedua ini dilakukan oleh Hari Ade Purwanto. Ia memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai agama yang ia yakini. 

Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi dengan ketua majelis hakim Prof Komariah E Sapardjaja serta hakim anggota Suhadi dan Salman Luthan. 

Jadi, kalau kita lihat kejadiannya sangat ekstrem. Tidak bisa kita generalisasikan karena memang pasangan itu tidak bisa hidup bersama lagi sebagai suami istri. 

2. Tidak mungkin. 

Meskipun delik ini adalah bukan delik aduan, tetapi karakter delik yang sangat privat ini bisa diperkirakan bahwa suami atau istri tidak akan melaporkan kepada pihak berwajib ketika terjadi "perkosaan" di antara keduanya bila mereka masih berkeinginan untuk hidup bersama sebagai suami istri. Jadi kemungkinan pidana ini akan berjalan misalnya terkait dengan situasi ekstrem. 

Misalnya, sepasang suami istri sudah tidak hidup harmonis, sudah tidak bisa menyatukan diri sebagai suami istri, lalu di antara mereka melakukan perkosaan seksual dengan alasan karena mereka masih terikat hubungan suami istri. Nah, dalam keadaan seperti ini, baik suami atau pun istri yang diperkosa dapat melaporkan kepada pihak berwajib, bukan? 

Lalu, salahnya di mana Pasal 479 ini? Jadi, untuk dua kemungkinan di atas dapat dipahami bahwa, dalam keadaan normal tidak mungkin Pasal 479 ini mengancam kehidupan rumah tangga suami istri. 

Mungkin kita perlu menanyakan apakah rumusan Pasal 479 RUU KUHP di atas merupakan hal yang baru? Kalau kita perhatikan ketentuan hukum yang sudah ada, ternyata ketentuan itu bukan hal yang baru. Definisi serupa juga tertuang saat ini dalam UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Hal itu sesuai dengan asas KUHP yaitu melakukan kodifikasi hukum. 

Perbedaannya bahwa dalam UU PKDRT, tidak menggunakan istilah perkosaan, tetapi kekerasan seksual. Pasal 8 huruf a UU PKDRT berbunyi, “Kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.” 

Adapun Pasal 46 UU PKDRT berbunyi, “Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp 36 juta.” 

Jadi, kita perlu bijak menyikapi RUU KHUP ini agar kita bisa segera memiliki KUHP sendiri. Tidak ada satu pun UU yang sempurna dan memuaskan semua kepentingan. Di situlah dibutuhkan penegakan hukum yang baik. 

Pasal 479 RUU KUHP Bukan Solusi Mendasar bagi Kasus Kekerasan Seksual dalam Rumah Tangga 

Merespons perluasan definisi perkosaan dalam RUU KUHP yang menyebut adanya perkosaan dalam hubungan perkawinan, Komnas Perempuan mengungkap data aduan dari istri yang mengaku diperkosa suami. Menurut komisioner Komnas Perempuan, Theresia Iswarini, berdasarkan Catatan Tahunan 2021, jumlah laporan terkait perkosaan terhadap istri adalah 100 kasus untuk tahun 2020. Adapun pada tahun 2019, data kasus mencapai 192 kasus yang dilaporkan. Bagi Theresia, laporan itu menunjukkan adanya kesadaran dari istri melihat bahwa ada tindakan yang disebut perkosaan dalam rumah tangga, sehingga bisa ditindaklanjuti ke proses hukum (detik.com, 15/6/2021). 

Merujuk definisi dalam KBBI, perkosaan ialah menundukkan atau memaksa dengan kekerasan, menggagahi. Secara umum juga diartikan sebagai tindakan kriminal berwatak seksual yang terjadi ketika seseorang memaksa orang lain untuk melakukan hubungan seksual dalam berbagai bentuk. Terlepas dari pro kontra ada tidaknya istilah perkosaan dalam hubungan suami istri, namun jika yang terjadi merupakan bentuk kekerasan, maka hal ini berpotensi menjadi KDRT. Lantas, mampukah pasal KUHP ini menjadi solusi bagi kasus KDRT yang kini kian meningkat? 

Bagi kalangan pembela kesetaraan gender, pasal 479 ayat 1 KUHP tentang perkosaan dalam perkawinan, seolah memberikan angin segar. Karena KUHP berkedudukan sebagai payung untuk rujukan lain, misalnya Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kini masih berupa RUU PKS). Apalagi Indonesia lebih dari 20 tahun berada pada tahun   emergency (keadaan darurat) kejahatan seksual. Sehingga membutuhkan regulasi tegas untuk membantu negeri ini keluar dari jebakan kekerasan/kejahatan seksual. 

Tidak bisa dipungkiri, kasus kekerasan perempuan semakin mengkhawatirkan. Hal ini menuntut penyelesaian segera. Namun, dalam menyelesaikannya tak boleh gegabah dan sekadar mencari solusi pragmatis. Kebanyakan orang hanya menjadikan fakta sebagai sumber berpikir, bukan objek berpikir. Mereka berpikir, untuk menyelesaikan masalah yang timbul, ya dengan membuat aturan antimasalahnya. Berbeda bila menjadikan masalah itu sebagai objek berpikir. Kita akan menelusuri hingga bertemu akar masalahnya. Sehingga, kita dapat menentukan solusi yang mendasar dan benar dalam menghadapi masalah tersebut. 

Menjadikan Pasal 479 KUHP sebagai solusi terlepasnya istri dari ‘perkosaan’ suami, tentu tak sesederhana itu. Mengingat tindak kekerasan suami terhadap istri tak semata-mata karena kesalahan sang suami, namun terkait aspek/problem lainnya. Misalnya, di satu sisi, begitu mudahnya rangsangan seksual didapatkan, di sisi lain situasi krisis saat ini telah melahirkan problem ekonomi yang mendera banyak keluarga. Saat sang suami menginginkan istri melayani, sementara istri sedang berhalangan tidak bisa menjalankan tugasnya, dan suami karena tekanan/stres akibat masalah ekonomi, cenderung berlaku kasar dan memaksakan kehendak. 

Selain itu, jika yang terjadi misalnya suami menghendaki dilayani namun istri tidak mau, lantas suami memaksa, menurut Pasal KUHP ini bisa dinilai sebagai kejahatan dan delik pidana, sehingga bisa diproses hukum. Sementara dalam pandangan Islam, jika istri tidak mau melayani suami tanpa adanya halangan yang dibenarkan secara syariat, dipandang sebagai bentuk ketidaktaatan istri pada suami.  

Maka, terkait dengan persoalan ini, Islam telah memberikan solusi, baik preventif maupun komprehensif. Sebagai solusi preventif, Islam mengatur hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan, baik di ranah kehidupan umum maupun khusus. Di antaranya pengaturan hak dan kewajiban suami-istri agar peran keduanya seimbang. Tak ada yang lebih diuntungkan atau dirugikan. 

Islam juga menjadikan setiap elemen keluarga dan masyarakat sebagai pengingat. Dengan perintah amar makruf nahi mungkar, akan terpacu untuk saling mengingatkan dan menasihati. Jika terjadi kesalahan perilaku pergaulan atau kekerasan, maka anggota keluarga lain dan masyarakat menjadi kontrolnya. 

Yang terakhir adalah negara, yang memiliki seperangkat aturan bagi setiap bentuk penyelewengan. Untuk memastikan terjadinya sebuah tindak kejahatan, termasuk dalam keluarga (pasangan suami istri) dan memutuskan masalah tersebut dengan hukumnya Allah. Apakah betul sang suami melakukan kekerasan/paksaan terhadap istri yang membahayakan, ataukah si istri yang tidak taat dalam melayani suami.  

Pandangan Islam dalam Mewujudkan Hubungan Seksual Suami Istri yang Harmonis 

Sebagaimana kita pahami, pernikahan merupakan salah satu jalan untuk menyempurnakan keimanan dan menjadi salah satu sunah Rasul yang seharusnya dijalani oleh umat Islam tanpa terkecuali. Tujuan membangun rumah tangga adalah untuk membentuk keluarga harmonis dan menjadi keluarga sakinah, mawaddah warahmah. Ini tentu menjadi idaman bagi semua pasangan suami istri. 

Untuk mewujudkan kehidupan yang damai dan tenang inilah, Islam menempatkan suami dan istri dalam hubungan persahabatan. Pergaulan di antara keduanya bukanlah pergaulan mitra bisnis yang berhitung rugi. Bukan pula sebagai majikan dan bawahan yang memungkinkan salah satu pihak berlaku sewenang-wenang. Pergaulan suami istri adalah pergaulan persahabatan. Satu sama lain merupakan sahabat sejati dalam segala hal. Yaitu persahabatan yang dapat memberikan kedamaian dan ketenteraman satu sama lain.   

Agar persahabatan di antara suami istri menjadi persahabatan damai dan tenteram, syariat Islam telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing. Oleh karena itu, suami dan istri harus mengerti apa yang menjadi tanggung jawab dan haknya. Pun sebaliknya. Sang istri juga harus memahami kewajiban dan haknya terhadap suami dalam rumah tangga. Mereka juga mesti saling memahami dalam penunaiannya. Salah satu cara membahagiakan suami agar mendapat keluarga bahagia adalah dengan memenuhi dan melayani secara lahir dan batin. Ini merupakan kewajiban utama istri yang tidak boleh ditinggalkan. 

Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah saw bersabda,

إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ 

“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul, hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR Tirmidzi, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) 

Berdasarkan hadis tersebut dapat disimpulkan, bahwa istri wajib melayani suami jika suaminya  meminta meskipun saat itu ia sedang ada pekerjaan lain. Hadis tersebut merupakan anjuran untuk lebih memprioritaskan ajakan suami berhubungan intim dibanding pekerjaan lainnya. 

Hadis lainnya, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: 

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ 

“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR Bukhari) 

Masih dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda: 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ 

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR Bukhari) 

Menolak ajakan bersetubuh dengan suami dapat menyebabkan suami kecewa dan menjadi timbulnya konflik dalam keluarga. Hal ini berpotensi berpengaruh terhadap keharmonisan rumah tangga. Pada akhirnya jika hal itu sering terulang dan menjadi kebiasaan, maka akan menimbulkan kebencian suami. Meskipun masalah ajakan berhubungan seks dianggap sepele, namun menolak ajakan suami untuk berhubungan intim akan menimbulkan dosa besar terhadap istri. Artinya, melayani suami selain sebagai tanggung jawab, ketaatan pada suami, juga merupakan salah satu ibadah yang mengantarkan istri ke surga. 

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, bagaimana jika istri sedang menderita sakit, sehingga merasa berat melayani suaminya. Apakah istri berdosa jika menolak ajakan suaminya? Sebagaimana diterangkan di muka, pada dasarnya, istri wajib memenuhi ajakan suami untuk berhubungan intim. Akan tetapi jika istri sedang sakit atau sedang mengalami gangguan psikis lainnya yang mengakibatkan berat melayani suaminya, maka suami tidak boleh memaksanya untuk berhubungan intim. Tapi, masih ada cara lain agar kebutuhan batin suami terpenuhi, yaitu dengan cara mencium, membelai, atau lainnya. Selama hal itu tidak membahayakan terhadap si istri. 

Nabi Saw bersabda: 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ 

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya atau membahayakan (orang lain).” (HR Ahmad,  Malik dan Ibnu Majah) 

Allah Swt juga berfirman dalam surah Annisa’ ayat 19: 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ 

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” 

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap terbaik suami adalah berlaku lemah lembut terhadap istrinya. Tidak memaksa si istri melakukan sesuatu yang berat untuk dilaksanakannya. Suami tidak boleh memaksakan syahwatnya tanpa memperhatikan kondisi istrinya. Maka jika istri terlihat merasa enggan melayaninya karena sakit atau meriang, hendaknya suami mencari tahu kondisi istrinya, bersabar dan berusaha menghilangkan  kekurangan yang ada pada istrinya (dikutip dari https://bincang syariah. com/nisa/istri-sakit-apakah-boleh-menolak- ajakan-berhubungan-intim-suami/zulfikar, 30 Januari 2019). 

Hukum negara di Indonesia dan hukum agama Islam sangat menghormati wanita dengan cara melindunginya dari tindakan kekerasan atau kesewenang-wenangan pihak lain sekalipun dari suaminya sendiri dengan dalih apa pun yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, suami istri memang harus berusaha saling memahami hak dan kewajibannya secara makruf, arif dan bijaksana. Seks bukan masalah utama dan pertama dalam sebuah kehidupan rumah tangga, meski juga tidak boleh dianggap sepele. Yang terbaik adalah, jika ada masalah terkait keluarga, khususnya, segera kembalikan pada hukum Allah dan Rasul-Nya tanpa mengesampingkan adanya hukum negara sama sekali. 
 

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diajukan kesimpulan sebagai berikut: 

Pertama. Polemik perkosaan dalam perkawinan disebabkan oleh kekurangpahaman warga terhadap bahasa hukum perundang-undangan. Hal ini akibat proses pembahasan dan pascanya yang kurang melibatkan masyarakat umum terhadap konten RUU tersebut. Artinya, di sini ada persoalan komunikasi hukum (legal communication). Padahal bila dipahami dengan baik, tidak akan menimbulkan keresahan, apalagi penolakan yang tidak perlu. 

Terkait persoalan "memerkosa isteri sendiri dipidana", dengan menyimak bahasa hukumnya pada Pasal 479 RUU KUHP, kita akan menjumpai dua kemungkinan yang dapat dipahami bahwa, dalam keadaan normal tidak mungkin Pasal 479 ini mengancam kehidupan rumah tangga suami istri. Jadi, kita perlu bijak menyikapi RUU KHUP ini agar bisa segera memiliki KUHP sendiri. Tidak ada satu pun UU yang sempurna dan memuaskan semua kepentingan. Di situlah dibutuhkan penegakan hukum yang baik. 

Kedua. Kasus kekerasan perempuan semakin mengkhawatirkan dan menuntut penyelesaian segera. Namun, dalam menyelesaikannya tak boleh gegabah dan sekadar mencari solusi pragmatis. Menjadikan Pasal 479 KUHP sebagai solusi terlepasnya istri dari ‘perkosaan’ suami, tentu tak sesederhana itu. Mengingat tindak kekerasan suami terhadap istri tak semata-mata karena kesalahan sang suami, namun terkait aspek/problem lainnya. Selain itu, misalnya suami menghendaki dilayani namun istri tidak mau, lantas suami memaksa, menurut Pasal KUHP ini bisa dinilai sebagai kejahatan dan delik pidana, sehingga bisa diproses hukum. Sementara dalam pandangan Islam, jika istri tidak mau melayani suami tanpa adanya halangan secara syariat, dipandang sebagai bentuk ketidaktaatan istri pada suami.
  
Terkait persoalan ini, Islam telah memberikan solusi, baik preventif maupun komprehensif. Sebagai solusi preventif, Islam mengatur hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan, baik di kehidupan umum maupun khusus. Di antaranya pengaturan hak dan kewajiban suami-istri agar peran keduanya seimbang. Islam juga menjadikan setiap elemen keluarga dan masyarakat sebagai pengingat. Selain itu, keberadaan negara, yang memiliki seperangkat aturan bagi setiap bentuk penyelewengan. Untuk memastikan terjadinya sebuah tindak kejahatan, termasuk dalam keluarga (pasangan suami istri) dan memutuskan masalah dengan hukumnya Allah.

Ketiga. Untuk mewujudkan hubungan suami istri (termasuk kehidupan seksual) yang harmonis, Islam menempatkan suami istri dalam hubungan persahabatan. Agar menjadi persahabatan yang damai dan tenteram, syariat Islam telah mengatur hak dan kewajiban masing-masing. Suami istri harus mengerti kewajiban dan hak tersebut, serta saling memahami dalam penunaiannya. 

Salah satu kewajiban istri sekaligus cara membahagiakan suami agar mendapat keluarga bahagia adalah dengan melayani lahir dan batin. Namun jika istri terhalang melayani suami, misalnya sakit,  maka suami tidak boleh memaksanya berhubungan intim. Sikap terbaik suami adalah berlaku lemah lembut, mencari tahu kondisi istrinya, bersabar dan berusaha menghilangkan kekurangan sang istri. Seks bukan masalah utama dan pertama dalam kehidupan rumah tangga, meski juga tidak boleh dianggap sepele. Yang terbaik adalah, jika ada masalah terkait keluarga, segera kembalikan pada hukum Allah dan Rasul-Nya tanpa menyampingkan adanya hukum negara sama sekali.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar