Pilih Pancasila atau Al-Qur'an: Inikah Cermin Relasi dan Pilihan Dilematis antara Negara dan Agama dalam Negara Hukum Transendental?



TintaSiyasi.com-- Belum lama ini jagad medsos dan jagad nyata dihebohkan dengan konten Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) dalam rangka alih status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Salah satu pertanyaan dalam tes itu berbunyi: Pilih mana, Pancasila atau Al-Qur'an? Tidak ada opsi pilih keduanya, harus memilih salah satu. Untuk pertanyaan tersebut saya jadi ingat atas pernyataan Ketua BPIP Yudian Wahyudi yang menyatakan bahwa musuh terbesar Pancasila adalah Agama, atau kalau dibalik, agama adalah musuh terbesar Pancasila. Di beberapa kesempatan saya sampaikan bahwa pernyataan itu merupakan pernyataan yang layak dilontarkan oleh orang yang berwatak ateis, ahistoris dan anomis. Apakah betul, Pancasila dan Kitab Suci suatu agama harus dibenturkan, dihadap-hadapkan? Hal ini perlu dirunut lebih jauh agar tidak gagal paham atau berpaham gagal dalam memahami relasi keduanya. Oleh karena itu kita harus memahami dulu relasi antara Negara (dengan Pancasila-nya sebagai Dasar Negara) dan Agama (yang mempunyai Kitab Suci, termasuk Al Quran) di negara hukum Transendental sesuai dengan amanat Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945. 

Relasi antara negara dengan agama menjadi perbincangan hangat di kalangan pemerhati politik hukum, baik yang sekular maupun yang transenden. Dikotomi antara keduanya seringkali dilakukan terkait dengan model perpolitikan negara yang dianut. Pandangan seperti ini sempat hadir di sidang perumusan Pancasila di Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) 1945. Bung Hatta mengajukan pandangan yang mengkritisi dikotomi agama dan negara yang berkembang di dalam sidang. Menurut Bung Hatta, pembenturan agama dan negara memiliki bias persoalan Eropa. Sebab di Eropa menjelang Abad Pencerahan (Renaisance), terjadi pergulatan antara otoritas agama dan otoritas negara. Keduanya berkontestasi karena masing-masing memiliki otoritas politik tersendiri. 

Di dalam dunia Islam Indonesia khususnya, kontestasi antara negara dan agama tidak terjadi. Islam dianggap bukan lembaga politik. Ia merupakan nilai-nilai religius yang hidup di masyarakat, tanpa tergantung dengan negara. Jika merujuk pada konsep Sunni, penegakan syariah berada di ruang publik di bawah otoritas ulama. Sedangkan negara menjadi wewenang Sultan. Keabsahan pelaksanaan syariah berada di tangan keilmuan ulama, meskipun pra-kondisi legitimasinya di tangan Sultan (pemimpin negara). 

Hal tersebut di muka merupakan alasan mengapa pada 1954, para ulama kita melegitimasi Sukarno dan seluruh Presiden Indonesia sebagai waly al-amri al-dlaruri bi al-syaukah. Pemimpin Islam (dalam keadaan darurat) namun berwenang melegalkan syariah. Meskipun syariah membutuhkan legalisasi Presiden, namun pelaksanannya tetap di tangan ulama, bukan Presiden.   Hal ini yang membuat hubungan agama dan negara menganut pola diferensiasi, bukan separasi atau integrasi. Pinjam istilah Bung Hatta, Indonesia menganut pola pembedaan antara “urusan agama” dan “urusan negara”. Bukan pemisahan maupun penyatuan agama dan negara (https://www.nu.or.id/post/read/116846/argumentasi-fiqih-untuk-pancasila). 

Pemahaman awal tentang pola hubungan antara negara dengan agama harus sejak awal dikuasai oleh siapapun agar tidak salah menindaklanjuti dalam praktik penyelenggaraan negara di Indonesia yang nota bene bukan sebagai negara agama sekaligus juga bukan negara sekuler. Indonesia telah menobatkan dirinya menjadi Negara yang Berdasarkan Atas Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 29 Ayat 1 UUD NRI 1945). Lebih tepatnya lagi sesuai dengan Pasal 3 ayat 1 UUD NRI 1945, maka relasi negara dan agama di Indonesia itu tercermin dalam konsep Indonesia sebagai Negara Hukum Transendental. Lebih mikro lagi, adakah pertentangan antara Paancasila (simbol dari negara) dan Al Quran (simbol dari agama Islam)? Pilih mana Pancasila atau Al Quran dalam negara hukum transendental Indonesia? 


Relasi Negara dan Agama dalam Pembentukan Hukum di Indonesia 

Sebagai homo homini socius, manusia tidak dapat hidup sendiri dan memenuhi semua kebutuhannya sendiri tanpa berhubungan dengan manusia yang lain. Mereka berinteraksi, berkumpul membentuk keluarga, masyarakat, bangsa hingga terbentuklah suatu negara. Manusia menegara. 

Manusia menegara memiliki tujuan nasionalnya, bahkan tujuan imnternasional. Menurut J.J. Rosseau, bila ditinjau dari teori kontrak sosial, maka terbentuknya suatu negara  bangsa tentu membutuhkan kesepakatan yang dalam negara demokrasi ditempuh dengan cara menjajagi volonte de tous (kehendak setiap orang) untuk menemukan volonte generale (kehendak semua orang). 

Di sinilah kita menemukan adanya HUKUM. Bila didasarkan pada pendapat Paul Bohanan, maka hukum yang disepakati oleh warga negara bangsa itu merupakan reinstitusionalisasi (pelembagaan kembali) atas nilai-nilai hukum serta rasa keadilan yang telah ada atau hidup di dalam masyarakat. Nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat itu dapat berupa nilai hukum agama maupun nilai hukum kebiasaan. 

Oleh karena suatu negara juga berhubungan dengan negara lain, maka nilai hukum juga meluas pada nilai hukum yang mondial, misalnya nilai hukum modern. Oleh karena itulah bahan untuk membangun hukum suatu negara bangsa dapat berupa bahan nilai hukum kebiasaan, nilai hukum agama dan nilai hukum internasional. 

Indonesia sebagai negara bangsa oriental, tidak lepas dari pengaruh baik maupun buruk atas perkembangan global. Namun, sangat disadari bahwa Indonesia memiliki dasar pengembangan negara bangsa untuk mencapai cita-cita atau tujuan nasionalnya. Dasar itu tidak lain adalah Pancasila. Bila kita simak secara seksama, maka ketiga nilai hukum  di muka sebenarnya telah terkandung dalam Pancasila, yaitu nilai ketuhanan--dikatakan sebagai dasar dari segala sila, nilai hukum kebiasaan (persatuan, demokrasi, kesejahteraan) serta nilai hukum internasional (kemanusiaan, HAM). 

Ketiga nilai hukum tersebut kemudian mengejawantah menjadi kesepakatan membentuk negara berdasar hukum (Pasal 1 ayat 3 UUD NRI 1945). Macam apa negara hukum yang hendak kita bangun itu? Negara hukum yang hendak dibangun itu adalah negara hukum yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Maha Esa. Lebih konkret lagi negara hukum itu adalah negara hukum transendental. 

Sebagai negara hukum transendental, menurut Thomas Aquinas maka hukum yang direproduksi kembali melalui lembaga-lembaga supra dan infrastruktur negara (human law) seharusnya dijiwai nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci (scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (hukum alam/natural law). Sampai di sinilah secara logika sederhanapun kita bisa memahami dan menerima secara nalar bahwa kitab suci itu berada di atas konstitusi, yang berarti dapat menjadi sumber rujukan penyusunan konstitusi sebagaimana telah disebutkan di muka. 

Bila penalaran ini kemudian kita tarik garis lurus, maka logikanya seharusnya disadari bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Juga dapat kita nalar bahwa membaca, mengkaji, memahami, menjalankan bahkan menyebarkan (mendakwahkan) perintah Tuhan dalam kitab suci yang kebenarannya tidak perlu diragukan adalah sebuah kebolehan bahkan sebuah kewajiban bagi para pemeluknya. 

Inilah yang kita sebut dalam Islam: amar makruf nahi munkar. Hal ini justru juga dilindungi oleh negara melalui Konstitusi, yakni Pasal 28 dan 29 ayat 2 UUD 1945. Kemerdekaan untuk memeluk, beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan sangat dilindungi sebagai HAM yang tidak dapat dikurangi (non derogable HR). Jadi, pelarangan, penghambatan, pecabutan Badan Hukum bahkan pembubaran organisasi masa yang dijamin pembentukannya serta kegiatannya yang sah adalah sebuah pelanggaran HAM. 

Berdasarkan konstruksi penalaran tersebut di atas, maka jika ada organisasi yang gerakannya telah sesuai dengan AD ART yang disebut sebagai gerakan dakwah tidak dapat dikatakan bertentangan dengan hukum negara yang transendental apalagi hendak mengganti Pancasila ketika organisasi tersebut menyampaikan ajaran Islam. 

Dakwah organisasi Islam atau pun agama selain Islam dengan demikian tidak dapat divonis sebagai gerakan yang telah menyebarkan paham yang dianggap hendak mengganti Pancasila. Mengapa? Karena organisasi Islam ataupun organisasi masyarakat lainnya itu memang tidak ingin mengganti Pancasila sebagai konsensus final. Tugas organisasi Islam sebatas mendakwahkan ajaran Islam itu dalam berbagai media dakwah yang dianggap sesuai dengan sunnah rasul. Persoalan pihak lain yang didakwahi menerima atau pun menolak sekalipun tidak ada hak sesuatu organisasi Islam untuk melakukan pemaksaan. Ketika tidak ada pemaksaan dengan cara apa pun dan kepada pihak mana pun, bagaimana bisa organisasi Islam itu dikatakan hendak mengganti Pancasila? 

Kini ada titik krusial terkait dengan relasi antara negara dan agama, khususnya terkait dengan ajaran agama tertentu. Sebut saja Islam yang berkeyakinan terhadap sistem pemerintahan yang dinilai sesuai dengan sunnah rasululloh, yaitu sistem pemerintahan kekhalifahan (khilafah Islamiyah). Seharusnya, bagi kaum intelektual mau membuka pikiran (open mind) dalam memahami fakta adanya sistem pemerintahan itu dan tidak mengedepankan sentimen dan intimidasi. Argumen dibalas dengan argumen, bukan sentimen. Narasi dibalas dengan narasi, bukan intimidasi. Ini langkah yang fair. 

Sebagaimana mafhum diketahui, khilafah dikatakan sebagai bagian dari ajaran Islam mengingat khilafah merupakan bagian pokok yang dipelajari dalam kitab fikih, misalnya di Kitab Fiqh Islam yang disusun oleh H Sulaiman Rasjid. Dalam Kitab itu Kitab Al-Khilafah dibahas pada Bab XV mulai halaman 495 s/d 507. Mendakwahkan ajaran Islam kepada siapa pun---termasuk kepada polisi dan TNI----dengan baik justru melaksanakan nilai moral Pancasila khususnya nilai Ketuhanan Yang Maha Esa dan tidak dapat dikatakan melanggar hukum. Ormas mana pun harus didukung ketika hendak berusaha mengarahkan perilaku hidup manusia Indonesia menjadi insan yang beperilaku baik dengan cara mengajak untuk dekat dan merasa diawasi oleh Allah Tuhannya. 

Bila unsur tauhid tersebut di muka sudah tertanam dalam sanubari insan Indonesia, maka akan sangat mudah membentuk pribadi-pribadi warga negara yang baik. Pribadi baik inilah yang akan menjadi basis untuk dapat menegakkan hukum sebaik-baiknya. Sebaliknya, bila ajaran Islam tidak diserukan, didakwahkan dengan baik maka mustahil manusia akan merasa takut kepada Alloh. Bila dengan Tuhan saja tidak takut, apalagi dengan manusia dan hukum-hukum ciptaannya. Di sini cikal bakal asal kejahatan itu tumbuh subur, termasuk tindak pidana korupsi. 

Konstitusi bukan harga mati. Di mana pun negara bangsa dunia berada, tidak mengenal konstitusi harga mati karena perkembangan masyarakat sangat dinamis, baik di tingkat lokal maupun internasional. Perubahan internal dan eksternal negara bangsa akan sangat memungkinkan terjadinya perubahan sebuah konstitusi. Cepat atau lambat. Terhadap perubahan sebuah konstitusi tentu setiap komponon anak bangsa akan berbeda pandangan terkait dengan cara mengubah dan substansi yang akan diubahnya. 

Memang benar, pada Pasal 37 UUD NRI 1945 telah ditegaskan bagaimana cara mengubah dan apa saja yang disepakati untuk tidak diubah, namun wacana untuk mengubah konstitusi jelas tidak dilarang. Ini adalah bagian dari hak rakyat atau kelompok rakyat untuk melalukan kritik yang bersifat membangun. Bukankah Indonesai tergolong sebagai negara yang disebut sebagai the open society dalam perpektif Karl Raimund Popper? Dalam negara the open society, maka kritik tidak boleh dianggap sebagai enemy, musuh yang harus diperangi, melainkan sebagai cara lain membangun. 

Bila kritik yang membangun justru ditempatkan sebagai enemy, bahkan dikatan sebagai ujaran kebencian, maka bisa dipastikan bahwa rezim yang tenga berkuasa adalah rezim yang represif. Lebih suka memukul dari pada merangkul. Lebih suka menggebuk dari pada mengajak berembuk. Akhirnya UU ITE berubah dari fungsinya untuk mengendalikan kejahatan di bidang  transaksi elektronik menjadi semacam UU Subversif yang telah lama kita tinggalkan. Jadi, apa salahnya jika ada berbagai kalangan menyampaikan wacana ide, gagasan, perubahan Konstitusi? Tidak ada pasal UU Ormas, atau pun Orpol yang dilanggar, karena tidak adanya upaya konkret untuk mengubah Konstitusi dalam pengertian secara melawan hukum. 


Relasi Negara dan Agama dalam Proses Penegakan Hukum dan HAM

Hukum seringkali menjadi sebuah mantra ajaib dapat dipakai oleh penguasa sebagai sarana melanggengkan kekuasaannya (status quo). Mantra ini bisa mengoyak siapapun penghalang yang menghadang kekuasaan. Dengan dalih atas nama hukum semua mulut yang terbuka bisa dibungkam, tangan yang membentang bisa diringkus dan langkah kaki pun bisa dihentikan. Ini namanya hukum dipakai sebagai tameng kekuasaan yang biasa kita sebut sebagai alat legitimasi kekuasaan. Oleh Brian Z Tamanaha disebut sebagai the thinnest rule of law ( rol). 

Mantra ROL paling tipis ini akan lebih dahsyat lagi ketika diilhami oleh ideologi yang diklaim sebagai sosok mulia laksana berhala yg hendak disembah-sembah lantaran dianggap sebagai kalimah suci yang dianggap mampu mendatangkan kebaikan dan keburukan. Ideologi suci dan mantra ROL telah berkolaborasi menikam jantung misi negara hukum itu sendiri. Misi negara hukum kita pun bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama black letter law, namun lebih menuju pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam human right dignity. 

Lompatan raksasa dari misi ROL yang tertinggi adalah, tidak sekedar berorientasi pada legitimacy dan human right dignity tetapi pada misi untuk mewujudkan social welfare. Ini yg disebut sebagai the thickest rol. Hal ini tentu tidak mungkin bisa dicapai ketika jalan menuju negara hukum justru secara paksa dibelokkan (bifurkasi) ke arah negara kekuasaan. Jurang tengah menanti jatuhnya negara hukum ketika pilar-pilar negara hukum mulai dirobohkan oleh penguasa yang hendak melanggengkan dan mengokohkan tampuk kepemimpinannya. Pembubaran ormas yang tidak ditempuh melalui due process of law nampaknya turut berkontribusi menggiring negara hukum itu ke bibir jurang negara kekuasaan itu. 

Inilah kalau hukum itu bersifat represif bukan responsif apalagi progresif. Mahkamah Konstitusi yang seharusnya bisa membaca hukum dengan moral (moral reading) ternyata sama dengan peradilan yang lainnya. Membaca hukum dengan kaca mata kuda. Mengagungkan cara berpikir secara automat mechanistic. Cara berpikir ini mengandalkan bunyi Undang-undang sehingga hakim seolah hanya menjadi corong atau mulut UU (la bouche de la loi). Padahal kita tahu, sesuai dengan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa: hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. 

Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Apa arti semua ini? Hal ini sesungguhnya bermakna bahwa hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi-bunyi pasal UU melainkan diberikan hak untuk berinovasi dalam menyelesaikan perkara. Dan di sini lah tampak jelas bagaimana relasi antara negara dan agama dalam penegakan hukum di Indonesia. 

Berhukum Progresif berarti melakukan langkah progresif dengan melakukan rule breaking melalui tiga cara: 

1. Menggunakan kecerdasan spiritual (spiritual quotien) utk tidak terkungkung dengan peraturan apabila penerapannya justru mendatangkan ketidakadilan; 

2. Lebih memilih pemaknaan yg dalam ketika menafsirkan suatu UU sehingga tidak terjebak pada makna gramatikal; 

3. Menjalankan hukum bukan hanya mengutamakan logika melainkan justru juga mempertimbangkan rasa keberpihakan terhadap orang lemah, miskin dan teraniaya yang dirangkum dalam istilah compassion. 

Apa yang dilakukan oleh MK dewasa ini, jauh dari karakter Rule Breaking tersebut tetapi justru mengutamakan kehebatan mesin automatnya hukum positif dan cenderung melukai perasaan masyarakat pemohon Judicial Review atas Perppu Ormas. Bagaimana tidak, sidang JR Perppu Ormas yang sudah dijalankan "berdarah-darah"---yang baru tgl 2 Oktober 2017 saya memberikan KETERANGAN AHLI pada sidang JR ini--- ternyata hanya berakhir dengan menyatakan: DITOLAK PERMOHONAN JR LANTARAN OBJEKNYA SUDAH TIDAK SESUAI LAGI. Mengapa? Karena Perppu No. 2 Tahun 2017 yang dimintakan JR telah berubah di tangan 7 Fraksi DPR menjadi UU No. 16 Tahun 2017. Padahal, substansi UU sekarang tidak ada bedanya dengan Perppu nya dulu. Jadi secara substansial tidak ada perubahan sama sekali. 

Mengapa hanya karena NAMA yang berbeda dengan substansi yang sama pemohon harus menggugat lagi Perppu Ormas dengan hanya menggantinya kata PERPPU menjadi UU? Apakah Indonesia akan runtuh ketika MK memutuskan untuk tetap melanjutkan persidangan JR Perppu Ormas dengan menggantinya dengan kata UU Ormas? Ini MK bukan pengadilan biasa. Yang duduk pun adalah para "dewa hukum" di Indonesia. Mengapa tidak berani melakukan terobosan dalam menegakkan hukum. Memang benar, diperlukan 2 modal seorang hakim untuk melakukan rule breaking, yaitu: 

1. Braveness, keberanian untuk mengutamakan keadilan substantif.
2. Vigilante, yakni jiwa pejuang, pejuang kebenaran dan keadilan. 

Bila kedua karakter tersebut tidak dimiliki oleh seorang hakim, termasuk Hakim MK, maka impossible akan melakukan terobosan. Ia akan cenderung mengutamakan zona nyaman (comfort zone) dan menjalankan hukum sebagaimana bunyi teks UU. Jangan berharap ia akan berani membaca Konstitusi dengan menggunakan moral (moral reading on constitution: Ronald Dworkin). 

C.  Relasi Negara dan Agama dalam  Penerapan Hukum Agama di Indonesia. 

Penulis terus terang merasa tertarik dengan visi Partai berlambang Ka'bah (PPP) yang memiliki misi ingin membentuk NKRI BERSYARIAH. Saya berpikir keras tentang hal itu. Mengapa? Karena selama ini banyak di antara umat Islam, bahkan mungkin mayoritas muslim tidak sejalan dengan penegakan Syariat Islam dalam kehidupan bernegara, apalagi secara kaaffah (menyeluruh). Umat Islam termasuk penulis masih mengikuti cara berpikir: YANG PENTING ADA MASLAHAH, SYARIAT ITU NANTI DULU, bukan DI MANA ADA SYARIAT DI SITU ADA MASLAHAH. Ini prinsip yang selama ini dipegang sebagian besar umat Islam di NKRI ini. 

Kita lebih suka berhukum SECARA PRASMANAN. Artinya berhukum syariat Islam itu sebatas yang "mengenakkan", AMBIL YG DIANGGAP MENGUNTUNGKAN, TINGGALKAN YANG DIANGGAP MERUGIKAN. Jadi kita berhukum itu sebatas anggapan manusia sendiri tanpa berkonsekuensi dengan "apa maunya Alloh". Mungkinkah kita dengan modal minimalis itu menegakkan syariat islam, hendak membentuk NKRI BERSYARIAH seperti tekad partai itu? Padahal kita tahu bahwa THE END OF SHARIA ISLAM ENFORCEMENT adalah TERCAPAINYA TUJUAN NEGARA didirikan, yakni MASLAHAH DHURORIYAAT. 

Penegakan Syariat Islam dalam Negara selain akan mencegah pelanggaran, mencegah kriminalitas, juga karena penegakannya diwajibkan oleh Pencipta. Dan seperti yang dituliskan oleh Muhammad Husain Abdullah dalam kitabnya ‘Mafahim Islamiyah’, bahwa Islam akan mendatangkan ‘maslahah Dhoruriyaat’, kemaslahatan-kemaslahatan yang menjadi keharusan, yang diperlukan oleh kehidupan individu masyarakat sehingga tercipta kehidupan yang harmonis. 

Jika kemaslahatan-kemaslahatan ini tidak ada, maka sistem kehidupan manusia menjadi cacat, manusia hidup anarki dan rusak, dan akan mendapatkan banyak kemalangan dan kesengsaraan di dunia serta siksa di akhirat kelak. Maslahah dhuroriyah tersebut rasanya memang seperti FIKSI. Sebatas energi positif yang dapat membangkitkan seseorang, kelompok orang untuk mencapai tujuan mulia tertentu. Namun, salah rasa itu. Maslahah itu bukan FIKSI, apalagi FIKTIF melainkan REALITAS. Maslahah Dhuroriyaat itu juga sudah dikaji berdasarkan WAHYU, RA'YU (olah akal) dan PENGALAMAN SEJARAH ratusan bahkan ribuan tahun. Namun, ketiga hal itu sering kita kibaskan hanya karena NAFSU yang ingin semakin lepas menjauh dari syariat Islam. Kita mesti ingat, tidak ada sebuah komunitas masyarakat di muka bumi ini HOMOGEN, tetapi HETEROGEN. Islam setahu saya hadir untuk tetap menghargai KERAGAMAN dengan tetap menyerukan AMAR MA'RUF NAHI MUNKAR. 

Indonesia sebagai negara yang penduduknya mayoritas beragama Islam, tidak menggunakan hukum Islam sebagai landasan penyelenggaraan negara. Namun demikian, negara tetap memberikan ruang untuk diterapkannya hukum Islam pada tataran tertentu khususnya hukum keluarga. Hukum Perkawinan, Hukum Waris, Hukum Wakaf, Hukum Zakat, Hukum Penyelenggaraan Haji mendapat tempat khusus dalam penyelenggaraan negara hingga dibentuk pula peradilan khususnya, yakni Pengadilan Agama. Meskipun tidak secara menyeluruh diatur, bukti tersebut sebenarnya mencerminkan bahwa relasi antara negara dan agama begitu tampak jelas. 

Semoga uraian sedikit ini tidak makin membuat umat manusia, khususnya masyarakat bangsa Indonesia itu PHOBIA terhadap syariat Islam yang sangat mulia tersebut. Penulis tidak dalam kapasitas MEMAKSAKAN dan menggunakan KEKERASAN untuk mengarahkan orang lain agar sepaham dengan penulis. Kita seharusnya jujur dan berpikir terbuka (open mind) terhadap adanya sebuah fakta bahwa syariat Islam bukan BINATANG BUAS yang mesti DIBURU untuk dihancurkan, melainkan ajaran yang menuntun ke arah kemaslahatan umat manusia, kemarin, kini dan yang akan datang. Yang terpenting dalam penyampaiannya adalah tidak adanya pemaksaan, penggunaan kekerasan apalagi makar. Demikian cara kita memaknai relasi antara negara dan agama di negeri yang telah menahbiskan dirinya sebagai Negara yang berdasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa khususnya ketika diimplementasikan dalam konsep Indonesia Negara Hukum Trasendental. 

Dilema Pilihan Antara Pancasila dan Al-Qur'an

Prinsip negara hukum (Rule of Law) pada awalnya diarahkan untuk melindungi kepentingan para pemilik modal dan sekaligus penguasa dalam arti sedapat mungkin untuk mempertahankan, menyelamatkan investasi dan melanggengkan kekuasaan dengan cara yang legal. Alasan adanya hukum adalah untuk menjamin agar kekuasaan berganti, dialihkan secara teratur, terarah sehingga tidak menimbulkan pertumpahan darah akibat adanya perebutan kekuasaan, misalnya melalui kudeta. ROL memiliki jenis yang berlapis, mulai dari ROL yang paling tipis (the thinnest ROL) yakni ketika hukum hanya dipakai oleh penguasa sebagai tameng (alat legitimasi) kekuasaan, ROL dengan human right dignity hingga ROL yang paling tebal (the thickest ROL) yakni ROL yang berorientasi pada social welfare. Ini yang kita sebut hukum konvensional normatif represif. 

Apa pun nama ROL, tampaknya belum mencukupi kebutuhan bangsa Indonesia yang membentuk negara hukum transendental (Pasal 1 ayat 3 dan Pasal 29 ayat 1 UUD NRI 1945) dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sebagaimana dicantumkan dalam Pembukaan UUD NRI 1945. ROL dalam konsepsi Barat cenderung sekular, tidak melibatkan “campur tangan” kekuasaan ilahi melalui kitab suci yang telah diturunkan kepada umat manusia. Sementara itu diketahui bersama bahwa hukum di Indonesia itu dibangun dan dikembangkan berbasis dan bersumber pada 3 bahan, yakni hukum adat, hukum modern  dan hukum agama (Khususnya Islam). Hal ini sesuai dengan teori pembentukan hukum yang dikemukakan oleh Thomas Aqunias yang menyatakan bahwa human law itu dibentuk bersumber dari devine law (Kitab Suci) dan natural law (Moral dan Ethic). Berdasarkan teori ini penulis berani menyimpulkan bahwa kitab suci seharusnya juga dapat dipakai sebagai rujukan atau sumber pembentukan human law berupa konstitusi. Inilah yang kita sebut salah satu konsep implementasi relasi antara negara dan agama. 

Oleh karena ROL konsep Barat tidak akan pernah mencukupi kebutuhan umat untuk mencapai tujuan nasional-nya maka ditawarkan model negara hukum dalam perspektif transendental sebagai sumber referensi pembentukan negara hukum yang mampu menjamin terwujudnya tujuan nasional. 

Akhirnya, penulis pun mengamini apa yang dikatakan oleh Prof. Oemar Seno Adji yang menyatakan bahwa: there is no law without morality and there is no morality without religion. Dengan demikian hukum di negara hukum tidak akan tegak tanpa moralitas dan moralitas tidak bisa berdiri tanpa agama. 

Jika membaca 3 bentuk relasi antara negara dan agama sebaimana diterangkan di atas maka mustahil jika ada upaya untuk mempertentangkan atau menghadap-hadapkan antara agama dan negara. Lebih khusus lagi antara Pancasila dan Al-Qur'an. Keduanya merupakan sumber dalam proses pembentukan, penerapan atau penegakan hukum di Indonesia. Mempertentangkannya berarti berpikir secara ateis, ahitoris dan anomis. Ateis itu karakter ideologi komunis yang berangkat dari filsafat materialistik. Komunis berkeyakinan bahwa agama itu merupakan racun bagi kehidupan bangsa. Tidak akan maju jika suatu bangsa memegang teguh suatu agama, maka agama harus dijauhi dan dijadikan musuh. Al-Qur'an pun demikian. Sebagai salah satu unsur dalam agama Islam, maka Al-Qur'an harus dijauhkan dari kehidupan bangsa dan negara, jika perlu harus dihadapkan langsung dalam pilihan, pilih negara (Pancasila) atau pilih Agama (Al Qur'an). 

Dikatakan ahistoris karena pertanyaan pilihan itu seolah menggambarkan bahwa seseorang tidak mampu memahami bagaimana sejarah hubungan antara Pancasila dan Agama. Sejarah membuktikan bahwa nilai-nilai Pancasila itu digali dari puncak-puncak sosio kultural bangsa yang telah mendarah daging dalam tubuh dan jiwa bangsa Indonesia. Jelas bangsa kita adalah bangsa religius. Hal ini tidak dapat dipungkiri. Ada data yang dikemukakan oleh seorang etnolog Austria bernama Wilhelm Schmidth yang menyatakan bahwa bangsa-bangsa di Asia dan Asia Tenggara itu mempunyai karakter religius. Mereka bertuhan, dengan beragam keyakinannya. Hal ini berlanjut hingga proses kelahiran Pancasila, baik mulai pada tahap pembibitan, tahap pembenihan, tahap perumusan hingga tahap kelahiran. Semua tahap itu tidak dapat dilepaskan dari aspek religiusitas. Para perumus Pancasila mulai dari Moh Yamin, Soepomo, Soekarno hingga Panitia 9 dan PPKI semuanya bersepakat bahwa dasar ketuhanan menjadi salah satu prinsip yang harus ada dalam rumusan dasar negara yang kemudian disebut dengan Pancasila. Apakah kita berani mempertentangkan Pancasila dengan Agama, termasuk dengan Kitab Sucinya? 

Dikatakan anomi, karena pemikiran yang membenturkan antara Pancasilan dan Al Quran itu seolah tidak paham bahwa negara hukum kita yang bersifat transendental. Bukan negara hukum yang terpisah dari unsur transendental, yakni persoalan spiritualitas - religiusitas. Kita sejak memiliki Pembukaan UUD 1945 alinea ke 3 telah mampu mendeteksi bahwa Indonesia ada ini atas berkat rahmat Alloh Yang Maha Kuasa, bukan atas kekuatan rakyat semata. Artinya apa? Ini berarti negara hukum kita mengakui bahwa Alloh Yang Maha Kuasa menduduki posisi sentral dalam kehidupan bangsa dan negara. Ini juga berari adanya pengakuan bahwa Kitab Suci yang diturunkan oleh Alloh harus diyakini kebenarannya dan menjadi  salah satu sumber rujukan dalam membangun segala bidang kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk Al Quran dan kitab lainnya harus menjadi rujukan dalam menata kedua bidang kehidupan tersebut. 

Kita pun bisa membaca ketentuan yuridis dalam konstitusi kita bahwa negara ini dijalankan atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Apa artinya? Hal ini berarti negara ini didirikan bukan tanpa alas, bukan tanpa dasar religiusitas melainkan atas dasar religiusitas yang mapan. Apakah dengan fakta ini kita berani membenturkan antara Pancasila yang memiliki sila Ketuhanan Yang Maha Esa yang bersifat religius dengan Al Quran yang sarat dengan aspek religiusitas? 

Oleh karena kita tidak perlu membenturkan antara Pancasila dengan Al-Qur'an, maka ketika ditanyakan sebuah pilihan yang berbunyi: pilih mana, Pancasila atau Al-Qur'an, menurut saya tidak perlu dijawab. Mengapa? Karena pertanyaan itu cacat secara logika namun dipenuhi dengan intrik politik yang berbalut kesesatan berpikir. Namun, jika dipaksa untuk memilih maka sebagai muslim yang taat, harus pilih Al Quran. Mengapa? Karena ketika kita pilih  al Quran dan mengamalkannya, maka dengan sendirinya nilai-nilai Pancasila pasti telah terlaksana, mulai dari sila pertama hingga sila kelima. Jika sebaliknya, kita pilih Pancasila maka tidak ada jaminan kita dapat menjalankan dan menaati aturan Alloh dalam Al Quran bahkan sebaliknya kita bisa tersesat karena lebih mementingkan kemaslahatan umum dibandingkan dengan syariat Alloh dan Rasul-Nya. Padahal kita paham bahwa Kitab Suci itu di atas Konstitusi, termasuk Pancasila. Dan kita pun sadar atas prinsip hukum yang berbunyi: Di Mana Ada Syariah, Di Situ Ada Maslahah (Kebaikan). Ini jaminan Alloh pencipta perumus Pancasila. Bukan sebaliknya: "Demi Maslahah, Syariat Kita Pinggirkan." Pilih mana, Pancasila atau Al Quran?

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat diajukan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 

Terkait relasi negara dan agama dalam pembentukan hukum di Indonesia, mengacu pada pendapat Thomas Aquinas, maka Indonesia sebagai negara hukum transendental semestinya menjiwai pembuatan hukum dengan nilai ketuhanan. Baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci, maupun yang melekat pada alam. Sehingga, posisi kitab suci itu berada di atas konstitusi, yaitu menjadi sumber rujukan penyusunan konstitusi. Dengan kata lain, konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci. Pun, mengkaji, memahami, menjalankan dan mendakwahkan perintah Tuhan dalam kitab suci adalah kebolehan, bahkan kewajiban bagi pemeluknya. 

Inilah titik krusial terkait relasi antara negara dan agama, khususnya terkait ajaran agama tertentu. Seperti keyakinan Islam  terhadap sistem pemerintahan yang dinilai sesuai sunnah Rasulullah (Khilafah Islamiyah). Seharusnya kaum intelektual mau membuka pikiran dalam memahami fakta sistem pemerintahan ini dan tidak mengedepankan sentimen/intimidasi. Di sisi lain, konstitusi bukanlah harga mati. Perubahan internal dan eksternal bangsa memungkinkan terjadinya perubahan konstitusi. Wacana mengubahnya pun tidak terlarang. Ini adalah hak rakyat/kelompok rakyat untuk melakukan kritik membangun. Bukankah Indonesia tergolong the open society? 

Adapun relasi negara dan agama dalam proses penegakan hukum dan HAM di Indonesia, dapat diketahui dari UU No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 5 Ayat 1 bahwa: Hakim dan Hakim Konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Ditambah aspek transendental dalam irah-irahan putusan hakim yang berbunyi: Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Hal ini bermakna, hakim dalam memutus perkara tidak boleh hanya berdasarkan bunyi pasal UU, melainkan diberikan hak berinovasi dalam menyelesaikan perkara. 

Sehingga hukum tidak boleh dipakai sebagai tameng kekuasaan atau alat legitimasi kekuasaan, oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai The Thinnest Rule of Law (ROL). Mantra ROL ini akan menikam jantung misi negara hukum itu sendiri.  Sementara misi negara hukum kita bukan sebatas mengagungkan tameng kekuasaan bernama Black Letter Law, namun lebih pada penghormatan (to respect), pemenuhan (fulfill) dan perlindungan (protect) yang dirangkum dalam Human Right Dignity. 

Tentang relasi negara dan agama dalam penerapan hukum agama di Indonesia, bisa kita saksikan bahwa Indonesia sebagai negara berpenduduk mayoritas beragama Islam, namun tidak menggunakan hukum Islam sebagai landasan penyelenggaraan negara. Meski demikian, negara tetap memberikan ruang diterapkannya hukum Islam pada tataran tertentu, khususnya hukum keluarga. Hukum perkawinan, waris, wakaf dan penyelenggaraan haji mendapat tempat khusus dalam penyelenggaraan negara hingga dibentuk peradilan khusus yaitu Pengadilan Agama. 

Semoga bangsa Indonesia tidak fobia terdapat syariat Islam yang mulia. Kita seharusnya open mind bahwa syariat Islam bukan binatang buas yang mesti diburu dan dihancurkan. Melainkan ajaran yang menuntun ke arah kemaslahatan umat. Yang terpenting, penyampaiannya tidak ada pemaksaan, penggunaan kekerasan, makar. Terlebih negeri ini telah menahbiskan diri sebagai negara ber-Ketuhanan Yang Maha Esa dalam konsep Indonesia Negara Hukum Transendental. 

Menyikapi dilema pilihan antara Pancasila dan Al-Qur'an, jika membaca tiga bentuk relasi antara negara dan agama di atas, maka mustahil  mempertentangkan atau menghadap-hadapkan antara agama dan negara. Lebih khusus lagi antara Pancasila dan Al-Qur'an. Keduanya merupakan sumber dalam proses pembentukan, penerapan atau penegakan hukum di Indonesia. Mempertentangkannya berarti berpikir secara ateis, ahitoris dan anomis. 

Maka, tidak perlu membenturkan Pancasila dengan Al-Qur'an. Ketika ditanyakan sebuah pilihan: pilih Pancasila atau Al-Qur'an, menurut saya tidak perlu dijawab. Karena pertanyaan itu cacat secara logika dan dipenuhi intrik politik berbalut kesesatan berpikir. Namun, jika dipaksa memilih, maka sebagai Muslim taat harus pilih Al-Qur'an. Ketika kita pilih Al-Qur'an dan mengamalkannya, maka dengan sendirinya nilai-nilai Pancasila telah terlaksana, mulai dari sila pertama hingga sila kelima. Jika sebaliknya, kita pilih Pancasila, maka tidak ada jaminan dapat menjalankan dan menaati aturan Allah dalam Al Qur'an, bahkan sebaliknya kita bisa tersesat karena lebih mementingkan kemaslahatan umum dibandingkan syariat Allah dan Rasul-Nya. Padahal kitab suci itu di atas konstitusi, termasuk Pancasila.[]

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H. M. Hum.
Pakar Hukum dan Masyarakat

Posting Komentar

0 Komentar