Kampus Memang Harus "Radikal"


TintaSiyasi.com -- Heboh, sejak Minggu, 27 Juni 2021 BEM UI masuk dalam deretan trending di Twitter. Setelah dilakukan penelusuran, BEM UI menjadi trending topic setelah mengunggah sebuah status yang dinilai provokatif terhadap Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Dalam unggahannya di Twitter, BEM UI melabeli Jokowi dengan The King of Lip Service. Atas kehebohan ini, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) dipanggil pihak  rektorat UI pada Minggu (27/6/2021) terkait poster berbunyi "The King of Lip Service" yang mereka unggah di internet. Di poster tersebut terpampang gambar Presiden Joko Widodo. Apabila pemanggilan tersebut akan berakhir dengan pemberian sanksi terhadap BEM UI dan atau para mahasiswa terkait, maka sulit untuk dikatakan bahwa perguruan tinggi masih memiliki otonomi.  

Apakah unggahan tersebut dapat disebut sebagai sebagai kritik? Jika sebagai kritik maka seharusnya rezim penguasa juga tidak boleh anti kritik, mengingat mahasiswa sebagai bagian dari civitas akademika kampus juga mempunyai tugas sebagai the agent of change. Berapa banyak peristiwa hukum dan politik di negeri ini berubah karena kiprah para mahasiswa yang peduli dengan berbagai ketimpangan sosial dihadapannya.

Kita sering mendengar slogan tentang Otonomi Perguruan Tinggi, yang meliputi:

Pertama, kebebasan Ilmiah
Kedua, kebebasan Akademik
Ketiga, kebebasan Mimbar Akademik Profesor

Pertanyaan kita, mungkin ada otonomi perguruan tinggi ketika para "petinggi" tertawan oleh hegemoni kekuasaan. Ketika perguruan tinggi sudah terhegemoni oleh kekuasaan, maka sangat sulit untuk mengharap tugasnya dalam meruhanikan ilmu itu, yakni pencarian terhadap kebenaran. Searching the truth, nothing but truth.

Tugas kampus adalah meruhanikan ilmu pengetahuan. Ruhani itu berarti bicara tentang cipta, rasa dan karsa. Ini yang kita sebut dengan akal. Akal inilah yang mendasari mengapa seorang ilmuwan harus berkarakter radikal. Narasi saya tentang radikal adalah: ramah terdidik berakal. Artinya "critical thinking" adalah cara insan kampus berpikir terlepas dari kepentingan hegemoni kekuasaan rezim bahkan kalau perlu berani memberikan kritik atas kekeliruan kebijakan rezim penguasa, bukan membebek dan mengamini kekeliruan tersebut. Itu baru bisa disebut kampus yang meruhanikan ilmu. Bila tidak, sebenarnya kampus itu tidak ubahnya seperti "kepanjangan tangan" rezim. 

Seorang ilmuwan mesti mengutamakan akal dalam bersikap, berpendapat dan bertindak. Seseorang dikatakan berakal bila masih ada ikatan antara cipta, rasa dan karsanya. Cipta: bertugas pada pencarian kebenaran. Rasa: bertugas mewujudkan keindahan, keseimbangan. Karsa: bertugas mengarahkan pada kebaikan. 

Ketika seorang ilmuwan telah: 

Pertama, terinjak kakinya lantaran masalah besarnya;
Kedua, terbujuk dengan janji manis;
Ketiga, tidak mampu lagi berArgumentasi;
maka tunggulah kelumpuhan intelektualitasnya hingga tak lagi dapat diharapkan ada perubahan ilmu yang idealogis apalagi berharap keberkahannya. 

Ilmu tanpa praktik hanya menjadi macan kertas. Garang di atas kertas tapi lumpuh di alam nyata. Seonggok kata-kata tanpa makna, sebatas syair jampi-jampi yang meninabobokkan; sedang praktik tanpa ilmu hanya akan menggiring manusia ke arah kehancuran karena kehidupan yang dijalani nir ideologi, nir akal sehat. Maka tugas utama kampus, universitas adalah meruhanikan ilmu sehingga mampu menuntun kehidupan manusia menjadi lebih baik. Itulah kampus yang diharapkan mampu memanusiakan manusia yang hakikatnya adalah mahluk ruhani. Dan, itulah kampus yang mendekatkan dirinya terhadap persoalan masyarakat, bukan menara gading. 

Oleh karena itu, kampus itu harus:
Pertama,  menyuarakan kebenaran sebagai kewajiban pokok ilmuwan;
Kedua, menampilkan keindahan sebagai tugas mulia ilmuwan;
Ketiga, mendukung kebaikan sebagai sikap santun seorang ilmuwan. 

Kampus hendaknya tetaplah berkarakter Radikal Ramah, Terdidik dan Berakal. Pemberangusan karakter radikal hanya akan berakhir pada kemandegan ilmu pengetahuan dan kejumudan berpikir yang akan berakhir pada situasi yang dalam bahasa Jawa kasar disebut "micek", yakni membutakan diri dengan tidak peduli terhadap ketidakadilan dan ketidakbenaran serta ketimpangan sosial.

Tabik...!!!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum.
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar