Ironis, Nelayan Aceh Dipidana karena Menolong Pengungsi Rohingnya: Inikah Cermin Penegakan Hukum Indonesia nir Rasa Kemanusiaan dan Keadilan?



TintaSiyasi.com-- Bagai makan buah simalakama, maju kena mundur kena. Sudah menolong malah dipenjara, jika tidak menolong nurani meronta. Seolah menggambarkan nasib tiga nelayan Aceh yang menolong pengungsi Rohingya. Ironis, ketulusan tiga nelayan Aceh disambut aparat penegak hukum dengan hukuman penjara lima tahun.

Dilansir dari Tribunnews.com (17/6/2021), menolong warga Rohingya di tengah laut, Faisal Afrizal (43), nelayan asal Desa Matang Bayu Kecamatan Baktiya, Aceh Utara, Abdul Aziz (31) warga Desa Gampong Aceh Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur dan Faisal Afrizal (43) Desa Matang Bayu Kecamatan Baktiya, Aceh Utara divonis 5 tahun penjara.

Hakim menyebutkan terdakwa melanggar Pasal 120 ayat (1) Undang-undang Nomor 6 tahun 2011 tentang Keimigrasian Juncto pasal 55 KUH Pidana. Tiga terdakwa dalam kasus itu dihukum masing-masing 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta, subsidair satu bulan kurungan.

Kasus ini bermula dari adanya laporan nelayan yang menyelamatkan puluhan warga Rohingya yang terkatung-katung di laut, setelah kapal yang mereka tumpangi rusak pada Juni 2020 lalu. Sebanyak 99 warga pengungsi Rohingya ada di situ. Tetapi, niat baik tersebut, dilansir dari detik.com (7/6/2021) didakwa dugaan penyelundupan manusia terkait warga Rohingya yang terdampar.

Polemik tersebut mendapat protes dan perhatian keras dari berbagai banyak tokoh dan warganet. Banyak yang menyayangkan sikap hukum yang langsung menjatuhkan hukuman kepada penyelamat warga Rohingya dengan dakwaan penyelundupan manusia.

Cukup mengherankan, bagaimana bisa niat baik ketiga nelayan tersebut berujung penjara dan tuduhan penyelundupan. Apakah karena ikatan kebangsaan nurani terkikis dan enggan menolong warga Rohingya yang terlunta-lunta di lautan? Ataukah telah pupus rasa kemanusiaan untuk menolong mereka?


Mendedah Pemidanaan terhadap Nelayan Aceh yang Menolong Pengungsi Rohingnya yang Terdampar di Laut Indonesia Dinilai Tidak Adil dalam Perspektif Rasa Kemanusiaan

Jagat sosial media dibuat prihatin terkait kabar tiga nelayan Aceh yang dihukum karena menolong pengungsi Rohingya. Hal itu menuai tanggapan banyak tokoh publik dan warganet. Dikutip dari dialeksis.com (18/6/2021), Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Ar-Raniry Prof. Dr. Syahrizal, M.A, mengatakan, “kita melihat, warga Rohingya yang mereka tolong itu secara yuridis normatif pasti itu bertentangan dengan norma, diatur dalam undang-undang keimigrasian, karena ikut membantu masuknya orang asing tanpa dokumen yang sah."

Namun, ia menambahkan, harus ada pertimbangan kemanusiaan. "Nah, di sinilah peran penegak hukum. Hukum sesungguhnya mempertimbangkan nilai kemanusiaan, nilai keadilan, tapi tidak boleh hukum itu mengangkangi lobang, karena itu akan meruntuhkan negara hukum," bebernya.

Prof Syahrizal mengatakan, hukuman yang diberi kepada nelayan itu jelas punya norma dan pertimbangan dari seorang hakim penegak hukum, karena bisa jadi ada pertimbangan yuridis atau Hakim ada pertimbangan yang lain.

“Oleh karena itu, ketika misalnya seorang penegak hukum dalam menjatuhkan hukuman 5 tahun penjara misalnya, kepada orang yang membawa masuk. Kita bisa lihat, itu adalah norma, apa pertimbangan hakim dalam konteks itu? Hanya semata-mata pertimbangan yuridis? Atau dia ada pertimbangan yang lain? Pertimbangan yuridis kadang berjalan dengan norma, tapi hakim juga memberi pertimbangan jangan-jangan itu adalah jaringan, dalang internasional perdagangan manusia? Jaringan perdagangan narkoba? Teroris internasional?" jelasnya.

Sebagai Ketua Umum Ikatan Keluarga Alumni Lemhanas (IKAL) Provinsi Aceh, Prof Syahrizal juga menyampaikan kasus ini, jika dari perspektif bangsa dan negara, bisa jadi mereka terlibat dalam internasional networking terorisme, perdagangan manusia, hukuman 5 tahun penjara dan denda Rp 500 juta , menurutnya itu sangat ringan.

Dosen Hukum UIN Ar-Raniry Badri Hasan, M.H., mengatakan, berhukum di negeri secara esensinya harus mengacu kepada makna yang terkandung dalam hukum dasar, yakni Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang salah satunya tujuannya adalah membatasi kesewenang-wenangan dan melaksanakan ketertiban hukum.

Sementara itu, ia tambahkan, sisi kemanusiaan, sebagai amanat Undang-Undang Dasar (UUD) yang bertujuan melindungi Hak Asasi Manusia (HAM), tentu harus mendapat perhatian karena itu adalah esensi dari keadilan hukum. Walaupun dalam kasus ini pihak imigrasi melakukan tindakan dalam rangka ketertiban hukum di lapangan, dianggap sah-sah saja bersikap tegas karena ada dasar hukumnya yang perlu ditegakkan.

Menilik penjelasan dari paparan di atas dapat dibahas sebagai berikut. Pertama, seharusnya penegak hukum mendengar alasan tiga nelayan Aceh menolong warga Rohingya. Dari berita kronologis sudah dijelaskan, kapal yang mereka tumpangi rusak. Wajar saja mereka membutuhkan pertolongan. Jika ada yang menolong mereka, semata-mata untuk dasar kemanusiaan. 

Kedua, patut diduga, pengungsi Rohingya mendapatkan stigma negatif dari penegak hukum. Dari pengantar, tiga nelayan didakwa dengan upaya penyelundupan manusia. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Prof. Syahrizal tadi, dugaan-dugaan perdagangan manusia, kelompok teroris, atau apa saja, itu tidak ada buktinya. Anehnya, mengapa tiga nelayan langsung didakwa demikian?

Dalam pemberitaan, warga Rohingya memang diusir di kampung halamannya sendiri. Konflik di sana hanya karena perbedaan agama dan keyakinan. Muslim Rohingya harus terusir dari negaranya sendiri. Sekarang, ketika mereka terkatung-katung di tengah laut, ditolong oleh nelayan Aceh. Mengapa nelayan Aceh, justru dihukum penjara lima tahun? Di mana nurani kemanusiaan?

Ketiga, patut diduga, kemanusiaan dan keadilan telah terkikis ikatan nasionalisme. Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon turut mengritisi dan mempertanyakan di mana letak kemanusiaan yang adil dan beradab.

Melalui akun Twitter @fadlizon (17/6/2021) ia mengatakan, "tiga nelayan Aceh ini menyelamatkan warga Rohingya harusnya diberi penghargaan karena melaksanakan amanat Pancasila, kemanusiaan yang adil dan beradab. Kok malah dihukum."

Sejatinya, umat Islam itu bagaikan satu tubuh. Apabila ada bagian tubuh yang sakit, seluruh tubuh ikut merasakan sakit. Begitu juga, ketika melihat pengungsi Muslim Rohingya, terlunta-lunta butuh bantuan, lumrah dan wajar jika umat Islam di Aceh, khususnya nelayan yang mengetahuinya menolongnya.

Tetapi sedihnya, karena ikatan kebangsaan atau nasionalisme telah menepis nurani kemanusiaan. Hingga pengungsi tersebut dicurigai dan ketiga orang yang menolong terjerat hukuman lima tahun penjara. Seharusnya, atas nama HAM yang diagung-agungkan, warga Rohingya harus dilindungi, tidak boleh diusir dari negaranya. Dilindungi keyakinan mereka sekalipun berbeda.

Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Zainal Abidin meminta pemerintah Aceh untuk memberi bantuan hukum kepada ketiga nelayan tersebut. Dilansir dari Antaranews.com (21/6/2021), ia prihatin terhadap vonis tersebut, karena ketiga nelayan sedang melakukan aksi penyelamatan sebagai bentuk aksi solidaritas kemanusiaan.

Ikatan Pelajar Muhammadyah (IPM) Kota Lhokseumawe menilai putusan hakim tersebut tidak adil. Mereka prihatin, bagaimana bisa tindakan menolong bisa kena hukuman. Mereka mempertanyakan, di mana letak nurani kemanusiaan yang seharusnya dijaga.

Keempat, patut diduga ada upaya kriminalisasi terhadap ketiga nelayan yang menolong warga Rohingya tersebut. Tindakan mulia yaitu menolong, seharusnya diapresiasi, tetapi sedihnya malah dikriminalisasi. Sejalan yang dikatakan Advokat Ahmad Khozinuddin (TintaSiyasi.com, 21/6/2021), ia menduga, ada kriminalisasi terhadap ketiga nelayan tersebut.

Kelima, putusan hukuman 5 tahun penjara terhadap ketiga nelayan tidak tepat dan salah alamat. Sungguh keliru upaya menolong 99 warga Rohingya yang kapalnya rusak di tengah laut dikenai tentang tentang penyelundupan manusia. Mereka terkatung-katung di tengah laut belum ada yang membantu. Sebenarnya mereka hanya berusaha melaksanakan amanat agama, UUD 1945, dan lain-lain, yaitu membantu siapa yang butuh pertolongan di tengah laut, tidak peduli suku, ras, agam a, maupun bangsa. Sebenarnya, mereka tidak keliru. Atas dasar akidah dan kemanusiaan menolong warga Rohingya. 

Keenam, akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme membuat keadilan tidak bisa ditegakkan. Hukum bukan lagi diputuskan berdasarkan tuntutan Illahi, tetapi berdasarkan hukum sekuler buatan ilmuwan-ilmuwan non-Muslim. Keadilan diambil berdasarkan hawa nafsu dan pikiran masing-masing. Wajar jika mudah sekali dipesan sesuai kepentingan yang kelompok tertentu.

Lebih-lebih, praktik ketidakadilan sering mendera umat Islam, di berbagai belahan dunia. Baik di Indonesia sendiri, ataupun di negara yang katanya menjunjung tinggi HAM, ternyata omong kosong. Umat Islam senantiasa dipojokkan, dialienisasi, dikriminalisasi, hingga dizalimi. Begitulah gambaran buruknya sistem buatan manusia. Keadilan dikangkangi kepentingan syahwat suatu golongan.


Dampak Pemidanaan Nelayan Aceh yang Menolong Pengungsi Rohingnya terhadap Kualitas Hubungan Antarbangsa dan hukum di Indonesia

Banyak yang prihatin dan kecewa dengan gambaran hukum di negeri ini. Karena, ketidakadilan yang dipertontonkan sudah thedeng aling-aling (tanpa ada hijab lagi). Menyibak dampak pemidanaan nelayan Aceh yang menolong pengungsi Rohingnya terhadap kualitas hubungan antarbangsa dan hukum di Indonesia adalah sebagai berikut. Pertama, melemahkan ikatan akidah sesama Muslim. Dugaan kriminalisasi yang menimpa ketiga nelayan Aceh berpotensi menumpulkan kepedulian dan melemahkan ikatan akidah Islam. Ya, ini berpotensi membuat rakyat takut untuk melakukan aksi kemanusiaan. Khawatir aksinya dikriminalisasi. 

Padahal, sebagai seorang manusia, jika ada yang terkatung-katung di tengah laut karena kapal yang ditumpangi rusak, lalu menolongnya, ini adalah bentuk rasa kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Apalagi jika dia seorang Muslim? Seorang Muslim yang melihat saudaranya membutuhkan bantuan apalagi nyawanya terancam di tengah lautan, tentu nalurinya akan terdorong untuk membantu. Sekalipun berbeda ras, suku, agama atau bangsa, pastilah akan tetap menolongnya. Karena hal itu didorong oleh akidah Islam dan ikatan persaudaraan atau ukhuwah Islam. Inilah syariatnya sebenarnya.

Kedua, melunturkan ukhuwah Islam. Sesama seakidah Islam, sudah sewajarnya saling menolong. Tetapi, kasus dugaan kriminalisasi ini telah menodai ukhuwah Islam yang seharusnya dibangun dan dijaga di negeri ini. Oleh karena itu, penegak hukum seharusnya memahami ini dan segera melakukan perbaikan penegakan hukum. Bukan malah memenjarakan tetapi mengapresiasi tindakan ketiga nelayan tersebut.

Ketiga, patut dipertanyakan, di mana nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Bagaimana bisa negeri yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan menghukum rakyatnya yang melakukan aksi kemanusiaan? Bagaimana bisa orang yang menolong atas dasar rasa kemanusiaan dijatuhi hukuman dengan dugaan penyelundupan manusia? Padahal, menyingkap konflik Rohingya di Myanmar, etnis Muslim Rakhine dizalimi oleh rezim Myanmar. 

Rezim Myanmar telah dengan nyata melakukan genosida kepada Muslim Rakhine Rohingya, lumrah jika mereka hijrah dan mencari tempat yang aman untuk keluarga dan anak-anak mereka. Kecaman dunia pun juga tidak dipedulikan oleh rezim Myanmar, mereka tetap bengis dan zalim kepada warga Rohingya. Seharusnya, melihat kondisi demikian, negeri Indonesia bisa menolongnya. Bukan malah mengkriminalisasi orang yang menolong mereka. 

Keempat, menciderai hukum di negeri ini. Menunjukkan hukum di negeri ini tidak tunduk kepada kemanusiaan dan keadilan. Karena, patut diduga, aksi menolong Muslim Rohingya justru dikriminalisasi. Tetapi, jika menilik wajah hukum di negeri ini memang memprihatinkan. Karena banyak kasus kriminalisasi menimpa aktivis dan ulama di negeri ini. Hukum bukan ditegakkan untuk sarana keadilan dan kemaslahatan umat. Tetapi hukum ditegakkan suka-suka pemilik kepentingan.

Dari paparan di atas seharusnya menyadarkan penegak hukum, bahwa yang dilakukan penegak hukum keliru. Seharusnya, ketiga nelayan tersebut segera dibebaskan dan seharusnya diapresiasi. Bagaimana bisa hukum di negeri ini dijadikan alat kriminalisasi para aktor kemanusiaan? Jika aktivis, ulama, dan sekarang aktor kemanusiaan bisa dikriminalisasi oleh hukum di negeri ini? 

Bukankah ini membuktikan rapuh dan cacatnya hukum yang berada di payung sekulerisme kapitalisme? Hal ini yang perlu dipahami, bahwa hukum buatan manusia memang tak layak diterapkan. Seharusnya, umat manusia diatur dan dipimpin oleh hukum Illahi, insyaallah akan tercipta keadilan, berkah, dan rahmatanlil'alamin.


Pandangan dan Strategi Islam dalam saling Memberikan Pertolongan Kemanusiaan kepada Penduduk Antarbangsa dalam Damai Maupun Konflik

Islam sebagai sebuah sistem kehidupan yang sempurna dan menyeluruh telah memiliki seperangkat aturan yang tidak hanya mengatur masalah hubungan manusia dengan Rabb-Nya dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri saja, tetapi juga mengatur hubungan manusia dengan sesama manusia. 

Berbicara pandangan dan strategi Islam dalam saling memberikan pertolongan kemanusiaan kepada penduduk antarbangsa dalam damai maupun konflik dapat dibahas sebagai berikut. Pertama, dalam pandangan Islam tolong-menolong (ta'awun) adalah wajib jika berkaitan dalam dakwah atau amar makruf nahi mungkar. 

"Barang siapa di antara kalian melihat suatu kemungkaran hendaklah ia mengubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya; jika ia masih tidak mampu, maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Dalam Islam jelas, kedudukan tolong-menolong dalam dakwah. Apalagi posisi pengungsi Rohingya sedang dizalimi rezim Myanmar. Adalah kewajiban pemerintah menolong dan menampung warga Rohingya yang terlunta-lunta di laut Aceh. Apabila ada warga negara yang telah menolong mereka, tidak perlulah sampai menghukum lima tahun penjara, dikonfirmasi dengan baik dan tak perlu menyematkan stigma penyelundupan manusia atau terorisme terhadap kasus tersebut. Toh, faktanya memang ketiga nelayan hanya menolong warga Rohingya, tidak lebih.

Kedua, negara wajib memberikan suaka kepada Muslim Rohingya. Terlebih mereka berakidah Muslim dan dengan jelas dizalimi oleh rezim Myanmar. Seharusnya, dalam negeri Indonesia menampung dan memberi suaka terhadap pengungsi Rohingya. 

Terlebih dari itu, dalam pandangan Islam, institusi Islam yaitu khilafah akan menuntut perhitungan kepada rezim Myanmar karena terbukti berperilaku zalim kepada Muslim Rohingya. Yaitu, melakukan genosida kepada Muslim Rakhine Rohingya. Hal itu, menyebabkan, warga Rohingya mengungsi ke negara lain. Ini jelas kezaliman yang nyata yang hanya dikecam dunia dan tidak ada yang mampu menghentikan kezaliman rezim Myanmar.

Ketiga, atas dasar ukhuwah Islam, negara khilafah akan menjamin keamanan warganya di seluruh dunia. Umat Islam baik yang berada di negeri khilafah atau yang tinggal di negeri kufur, semua berada dalam perlindungan dan jaminan negara khilafah. Jika ada yang menyakiti atau menzalimi, pemimpin Khilafah Islam, yaitu, khalifah, tidak akan tinggal diam dan akan meminta perhitungan. Hak kaum Muslim akan dibela sampai titik darah penghabisan. Karena, inilah perwujudan ikatan akidah Islam dan ukhuwah Islam.

Keempat, apabila menemui kezaliman antarnegara kufur, khilafah akan menganalisis berada di pihak mana. Tentunya daulah Khilafah Islam akan menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman, sekalipun yang dizalimi adalah orang kafir. Di sinilah kokoh dan tangguhnya Khilafah Islam dalam kancah dunia internasional. Jelas, Khilafah Islam tidak diam menyaksikan kezaliman merajai di dunia ini. Khilafah yang akan menegakkan amar makruf nahi mungkar dengan dakwah dan jihad.

Selanjutnya, berbicara pengaturan hubungan antara manusia dengan sesama manusia ini yang tercermin dalam aturan ekonomi, sosial, pemerintahan, pendidikan, pidana dan politik luar negeri sejak zaman Rasulullah SAW diimplementasikan secara lebih formil dalam bentuk peraturan-peraturan yang diadopsi oleh negara. Tatkala negara islam runtuh pada 1924 M, maka peraturan-peraturan islam tersebut hilang dari tengah-tengah kehidupan. Akhirnya, peraturan-peraturan buatan manusia telah menggantikan peraturan-peraturan ilahiyyah.

Peraturan-peraturan buatan manusia tidak akan bisa lebih baik dari peraturan-peraturan yang telah ditetapkan oleh Alloh SWT. Manusia yang terbatas, lemah dan butuh sandaran jika membuat aturan maka aturannya juga akan menghasilkan banyak keterbatasan dan kelemahan. An Nabhani (2001: 118) menyatakan, “tentu saja aturan itu tidak mungkin berasal dari manusia, karena ia bersifat lemah dan tidak mampu mengetahui segala sesuatu.

Juga pemahaman manusia terhadap tata aturan sangat mungkin sekali terjadinya perbedaan, perselisihan dan pertentangan. Suatu hal yang akan melahirkan tata aturan yang saling bertentangan, dan berakibat kesengsaraan bagi manusia. Karena itu aturan tersebut harus berasal dari Allah SWT.”

Contoh hasil peraturan buatan manusia yang menyengsarakan manusia dalam artikel ini tentu adalah peristiwa divonis bersalahnya 3 nelayan di Aceh karena menolong Muslim Rohingya yang terkatung-katung di tengah laut. Hal ini menjadi sebuah ironi kehidupan. Niat baik berbuah menjadi kesengsaraan. Seandainya negara mengadopsi Islam sebagai aturannya maka peristiwa tersebut tidak akan terjadi.

Tolong menolong adalah salah satu ajaran Islam yang dikenal dengan istilah ta’awun. Tolong menolong dibatasi dalam hal kebaikan dan ketakwaan saja, tidak dalam permusuhan dan dosa. Sebagimana Allah SWT berfirman:”… Dan saling tolong-menolonglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan saling tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksaan-Nya." (TQS Al-Maidah: 2). Tentu jika menilik kasus di atas, tidak ada yang salah tatkala seseorang menolong orang yang terkatung-katung di lautan lepas. 

Dalam konteks negara, negara Islam atau yang disebut dengan istilah khilafah pernah memberikan pertolongan dan bantuan kepada berbagai negara di wilayah lain bahkan negara kafir sekalipun. Kesultanan Aceh yang sedang berperang melawan Portugis, misalnya, dibantu oleh Khilafah Islam dengan bantuan pasukan. Pasukan Khilafah Turki Utsmani tiba di Aceh (1566-1577) --termasuk para ahli senjata api, penembak, dan para teknisi-- untuk mengamankan wilayah Syamatiirah (Sumatra) dari Portugis. Dengan bantuan ini (Khilafah Islam) Aceh menyerang Portugis di Malaka. 

Saat di Amerika berkecamuk perang antara pemerintah Federal Amerika yang baru berdiri dengan Inggris pada abad ke-18, Khilafah Islam memberikan bantuan pangan terhadap rakyat Amerika Serikat (AS) yang dilanda kelaparan pascaperang. Surat ucapan terima kasih resmi pemerintah AS tersimpan rapi di Museum Aya Sofia Turki. Di Aya Sofia juga dipamerkan surat-surat Khalifah (Usmans Fermans) yang menunjukkan kehebatan Khilafah Utsmani dalam memberikan jaminan, perlindungan, dan kemakmuran kepada warganya maupun kepada orang asing pencari suaka, tanpa pandang agama mereka. Yang tertua adalah surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H (1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inkuisisi Spanyol pascajatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia.

Lalu surat jaminan perlindungan kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7 Agustus 1709). Ada juga surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865 M) yang memberikan izin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah beremigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah, karena di Rusia mereka justru tidak sejahtera. Yang paling mutakhir adalah peraturan bebas cukai atas barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmani pasca-Revolusi Bolschewik, tertanggal 25 Desember 1920.

Hal ini menunjukkan, hukum Islam dalam naungan khilafah mampu memanusiakan manusia. Baik Muslim maupun non-Muslim yang membutuhkan bantuan akan dibantu, sekalipun lintas negara. Dalam Islam aksi kemanusiaan atau tolong menolong itu pasti diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Inilah keunggulan sistem Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Seyogyanya diperjuangkan agar mampu diterapkan kembali dalam segala aspek kehidupan. Karena hidup di sistem sekuler banyak ketidakadilan dan kezaliman terjadi.


Apabila menyimak pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Mengulik kasus tiga nelayan yang dihukum karena menolong pengungsi Rohingya yang didakwah lima tahun penjara karena dikenai pasal penyelundupan manusia, seharusnya penegak hukum mendengar alasan tiga nelayan Aceh menolong warga Rohingya. Jangan sampai salah alamat atau zalim ketika memberikan putusan hukum, bagaimana bisa orang menolong dianggap menyelundupkan manusia? Patut diduga, pengungsi Rohingya mendapatkan stigma negatif, karena aksi kemanusiaan, didakwa sebagai aksi penyelundupan, sehingga diduga kuat terjadi upaya kriminalisasi terhadap ketiga nelayan Aceh. Selain itu, patut diduga kemanusiaan dan keadilan terkikis akibat ikatan nasionalisme. Inilah akibat sistem kapitalisme sekuler, ketidakadilan bisa terjadi karena kepentingan pribadi atau kelompok.

Kedua. Dampak pemidanaan nelayan Aceh yang menolong pengungsi Rohingnya terhadap kualitas hubungan antarbangsa dan hukum di Indonesia adalah, memprihatinkan dan menuai berbagai tanggapan publik. karena pada intinya, hal ini menunjukkan hukum di negeri ini tidak memiliki nurani dan kemanusiaan. Selain itu, berpotensi melemahkan ikatan akidah sesama Muslim, melunturkan ukhuwah Islam. Patut dipertanyakan, di mana keadilan dan kemanusiaan para penegak hukum? Peristiwa ini telah menciderai hukum di negeri ini. Hal itu seharusnya menyadarkan akan rapuh dan cacatnya hukum yang lahir dari sekulerisme kapitalisme. Karena, sistem dan hukum ini mampu menghilangkan rasa kemanusiaan dan meniadakan keadilan. 

Ketiga. Dalam pandangan Islam, tolong-menolong wajib untuk menegakkan amar makruf nahi mungkar. Atas dasar akidah Islam dan dorongan ukhuwah Islam, negara berbasis Islam yaitu, khilafah, wajib memberikan suaka, perlindungan, jaminan kepada Muslim Rohingya. Karena terbukti, mereka dizalimi oleh rezim Myanmar. Selain itu, adanya khilafah adalah menegakkan keadilan dan menumpas kezaliman. Adanya kezaliman yang dilakukan negara kufur kepada negara kufur, khilafah juga tidak akan diam dan mengambil andil. Apalagi jika sampai yang dizalimi umat Islam itu sendiri. Tentu daulah Khilafah Islamiyah akan menuntut perhitungan. Hal itu yang dicontohkan Nabi Muhammad SAW dan para Khalifah Islam yang meneruskan kepemimpinan Nabi. Hal ini menunjukkan, hukum Islam dalam naungan khilafah mampu memanusiakan manusia. Baik Muslim maupun non-Muslim yang membutuhkan bantuan akan dibantu, sekalipun lintas negara. Dalam Islam aksi kemanusiaan atau tolong menolong itu pasti diberikan kepada mereka yang membutuhkan. Inilah keunggulan sistem Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Seyogyanya diperjuangkan agar mampu diterapkan kembali dalam segala aspek kehidupan. Karena hidup di sistem sekuler banyak ketidakadilan dan kezaliman terjadi.[]


Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Nb: MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 22 Juni 2021
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki
#Lamrad
#LiveOpperresedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar