Dugaan Peradilan Sesat H4eR5 (Trials Without Truth): Adakah Implikasi Politik dan Hukumnya?


TintaSiyasi.com-- “Sampai jumpa di pengadilan akhirat.” Demikian ucapan H4eR5 kepada hakim usai sidang vonis 4 tahun penjara di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Kamis (24/6/2021). Ia dinyatakan bersalah menyebarkan berita bohong terkait hasil tes swab dalam kasus RS Ummi hingga menimbulkan keonaran. H4eR5 dituduh melanggar Pasal 14 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang berbunyi: "Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan sengaja menerbitkan keonaran di kalangan rakyat, dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya sepuluh tahun."

Merespons putusan ini, H4eR5 menyatakan banding. Tim kuasa hukumnya juga akan mengajukan banding sehingga perkara tersebut belum berkekuatan hukum tetap. H4eR5 pun menyemangati tim pengacaranya untuk melawan terus. “Lawan terus, sampai banding. Lawan terus, Pengacara. Jangan mundur,” ucapnya (detik.com, 24/6/2021). 

Menanggapi vonis terhadap H4eR5, kritikan hingga kecaman datang dari berbagai kalangan. Sejak awal, aroma unfairness (ketidakadilan) begitu menyengat di balik kasus H4eR5. Pasca kepulangannya ke tanah air pada Selasa (10/11/2020), H4eR5 terjerat rentetan kasus. Dari kerumunan massa di Petamburan dan Megamendung, kasus tes swab di RS Ummi, pembubaran FPI, hingga kasus unlawfull killing atas penembakan enam anggota laskar FPI. 

Selain itu, pasal yang dipakai menjerat H4eR5 dinilai sebagai pasal karet yang tidak memuat definisi konkrit dan memiliki batasan jelas. Dikhawatirkan, penerapannya berpotensi sewenang-wenang ditafsirkan. Wajar jika proses penegakan hukum atas kasus H4eR5 ini disebut banyak kalangan sebagai trials without truth, bahkan peradilan sesat.

Motif Politik di Balik Dugaan Trials Without Truth (Peradilan Sesat) atas H4eR5 

Berbicara tentang peradilan sesat, sejatinya bukanlah hal baru. Pada tahun 1999 di level dunia, ada seorang ahli hukum Amerika bernama William T. Pizzi yang menulis buku berjudul “Trials Without Truth (Peradilan Tanpa Kebenaran).” Seperti judulnya, buku ini berisi tentang kritik tajam atas bobroknya sistem peradilan yang sedang berjalan waktu itu, khususnya di Amerika, juga Inggris. 

Secara singkat dan sederhana, dapat dikatakan bahwa sistem peradilan telah berubah. Dari peradilan untuk “searching the truth and justice (pencarian kebenaran dan keadilan)” menjadi sistem peradilan yang tak ubahnya sebagai ajang gladiator, demi mencari “the winner and the loser.” Dalam hal ini, the quality of one’s lawyer dan the composition of the jury lebih diutamakan untuk menghasilkan putusan daripada kualitas pembuktian. 

Lantas, apa hubungannya dengan sistem peradilan Indonesia yang menimpa H4eR5? Sistem peradilan di Indonesia ditengarai telah lama menjadi industri hukum sebagaimana disinyalir oleh Menkopolhukam Mahfud MD dalam forum ILC pada 11 Februari 2020. Ia menemukan praktik hukum di mana orang yang benar dibuat salah dan orang salah dibuat benar. Juga praktik pengalihan perkara dari pidana ke perdata dan sebaliknya. 

Bahkan katanya, ada polisi yang membuat surat kaleng untuk dirinya sendiri agar dapat menceraikan istrinya. Ini merupakan sindiran tajam terhadap praktik yang diselenggarakan, baik oleh polisi, jaksa, hakim, maupun advokat. Maka, tak heran jika saat ini penegakan hukum lebih berorientasi pada untung-rugi dengan mengabaikan persoalan kebenaran dan keadilan. Keadaan ini persis dengan pernyataan William T. Pizzi tentang trials without truth.  

Terkait kasus H4eR5, ada dugaan telah terjadi trials without truth atau peradilan sesat. Hal ini nampak pada: 

Pertama, sejak penangkapan dan penahanan H4eR5, telah terjadi diskriminasi dan ketidakpatuhan Aparat Penegak Hukum (APH). Dalam hal penegakan protokol kesehatan (prokes), terjadi diskriminasi penyikapan antara kerumunan H4eR5 dengan kerumunan lain, misalnya ketika presiden berkunjung ke Maumere, Nusa Tenggara Timur, Selasa (23/2/2021), kehadiran presiden dan beberapa pejabat tinggi negara di resepsi pernikahan pasangan selebritis, Sabtu (3/4/2021), hingga kerumunan perayaan ulang tahun Gubernur Jawa Timur, Rabu (19/5/2021). 

Selain itu, ketidakpatuhan terhadap Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 mengenai penetapan seseorang menjadi tersangka. Sementara di dalamnya telah diatur bahwa seseorang tidak bisa ditangkap tanpa ada penyelidikan/penyidikan sebelumnya. Namun, hal ini tidak dilakukan secara patut dalam kasus H4eR5. 

Kedua, peradilan untuk kasus Megamendung dan Petamburan dilakukan secara tidak adil dan tidak konsisten. Memang hakim berhak memutuskan perkara. Namun jika kita lihat, dalam kasus Megamendung H4eR5 dipidana 20 juta dengan subsider 5 bulan kurungan. Dan dalam kasus Petamburan justru dipidana delapan bulan penjara dipotong masa tahanan. 

Dua kasus ini saja tidak klop, sementara di kasus Petamburan, sebelumnya H4eR5 diberi sanksi administratif denda 50 juta. Lantas, ketika di kasus yang sama ia pun dijatuhi pidana penjara selama 8 bulan, di mana sisi keadilan berada? Di sinilah letak inkonsistensi. Padahal yang digunakan adalah pasal sama, yaitu Pasal 93 UU No. 6 tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.  

Ketiga, peradilan untuk kasus RS Ummi Bogor. “Pernyataan sehat” dengan video ternyata dinilai sebagai penyiaran berita bohong dengan sengaja untuk menimbulkan keonaran. Ini kemudian dijerat dengan Pasal 14 UU No. 1 Tahun 1946 sehingga dipidana 4 tahun penjara. Patut diduga, jika tidak ada muatan politik- untuk mengandangkan H4eR5-hakim tidak mungkin menghukumnya apalagi dengan bukti-bukti lemah, misalnya dengan kesengajaan membuat keonaran. Terlihat, hakim dan jaksa setali tiga uang dalam hal lemahnya bukti-bukti nyata penafsiran tentang keonaran dan kebohongan. 

Berdasar atas ketiga fakta di muka, dapat diduga adanya motif politik ini yakni semacam intervensi kekuasaan lain pada sistem peradilan. Bisa jadi ke jaksanya untuk menuntut sekian, pun bisa jadi ke hakimnya untuk memutus sekian. Ancaman pidana 10 tahun lalu tuntutan jaksa 6 tahun hingga akhirnya hakim memutuskan hukuman pidana 4 tahun penjara, mungkin dianggap baik oleh sebagian kalangan. Namun bagi mereka yang mengerti riwayat kasus ini, sejak tuduhan pelanggaran prokes hingga kematian enam anggota laskar FPI, tidak bisa sebatas itu. Apakah layak misalnya, H4eR5 dihukum seberat itu? 

Terkait motif politik di balik peradilan H4eR5, dapat dilihat dari dua aspek, yaitu aspek masa lalu dan masa datang. Berdasarkan peristiwa masa lalu, patut diduga adanya dendam politik atas kekalahan pilkada DKI tahun 2017 hingga Ahok dipenjara 2 tahun. Di mana H4eR5 ditengarai berada di balik kejadian tersebut bersama berbagai elemen umat Islam lainnya.    

Adapun berdasarkan perkiraan di masa datang, diduga ada kekhawatiran munculnya pengaruh besar dan masif H4eR5 di perhelatan politik tahun 2024. Maka sejak awal, saya memberikan prediksi bahwa H4eR5 akan dipenjara minimal 4 tahun. Selain itu, saya juga menduga adanya pembungkaman H4eR5 untuk selamanya. Sangat mungkin ia akan dikaitkan dengan tindak pidana terorisme yang telah dituduhkan kepada Munarman yang sekarang telah menjadi tersangka dan ditahan. Sehingga kasus H4eR5 bisa seperti kasus Ustaz Abu Bakar Ba’asyir yang belasan tahun dipenjara. 

Sepertinya sulit berharap jika kasus H4eR5 ini sebagai persoalan murni hukum. Karena dalam kajian saya, hukum dan politik itu tidak bisa dipisahkan (embedded), bahkan sering kali terjadi eksploitasi hukum demi kepentingan politik.   

Trials Without Truth Berpotensi Memicu Distrust dan Civil Disobedience 

Dugaan terjadinya trials without truth terkesan telah terjadi ketika APH mengutamakan tindakan memukul daripada merangkul terhadap ormas dan atau orang yang dinilai berseberangan dan mengkritisi pemerintah, menjadi ironi tersendiri. Sebuah elegi hukum tengah dipertontonkan oleh para penegak hukum di negara yang mengaku sebagai negara hukum, bukan negara kekuasaan. 

Tampaknya benar, ilmu hukum dan ilmu politik tidak lagi diperlukan di negara ini. Penegakan hukum tidak perlu menggunakan ilmu hukum, cukup ilmu aturan yang tidak beraturan bahkan chaos karena diracuni arogansi kekuasaan. Kondisi ini menyebabkan krisis penegakan hukum yang didesain dengan slogan "negara tidak boleh kalah dan aparat dilindungi hukum". Cacat hukum dalam memproduksi keputusan hukum pun tidak dapat dihindari. Proses peradilan H4eR5 telah menguatkan dugaan adanya trials without truth. Inilah pintu masuk kehancuran penegakan hukum di negeri ini. 

Sementara, Indonesia mendeklarasikan diri sebagai negara hukum. Dan sebagaimana konsepsi Gustav Radbruch, hukum memiliki tiga nilai dasar sekaligus menjadi dasar keberlakuannya. Ketiga nilai dasar itu disebut dengan Triadisme. Triadisme itu adalah: secara filosofis mengandung nilai keadilan (justice), secara yuridis memiliki nilai kepastian (certainty), serta secara sosiologis ada nilai expediency (kebaikan, kebijaksanaan/wisdom, kemanfaatan/utility, dan seterusnya). 

Pertanyaannya adalah, apakah hukum kita sudah adil, pasti dan manfaat khususnya terhadap kesejahteraan sosial atau social welfare yang oleh Brian Z. Tamanaha disebut sebagai "the thickest ROL?" Tiga nilai dasar hukum tersebut saat belum dapat diwujudkan, akan nampak pada fakta : diskriminatif (non equality before the law)---the unjust law is not law--lex injusta non est lex, ngaret, ketimpangan, kesengsaraan, kemiskinan, ketidakbebasan, opresi, persekusi, dan lain-lain. 

Terkait peradilan H4eR5, nampak bahwa ketiga nilai dasar hukum tersebut belum terealisasi. Tak hanya menimpa diri H4eR5, dugaan trials without truth juga mewarnai proses hukum kalangan ulama, ustaz dan aktivis Muslim yang dikenal kritis, serta berseberangan dengan kepentingan penguasa. 

Saat trials without truth berlangsung, seolah pelaku ketidakadilan berada dalam posisi benar dan menang. Sebaliknya, sang korban kezaliman menjadi terdakwa, disalahkan dan dikalahkan. Namun, jika situasi semacam ini terus-menerus terjadi, akan berpotensi memberikan dampak buruk bagi si pelaku. Akibat pelaksanaan trials without truth antara lain:  

Pertama, kian meneguhkan citra buruk penguasa sebagai rezim zalim anti-Islam. Meskipun selama ini menolak sebutan tersebut -- hingga mengangkat kyai sebagai Wapres demi menepisnya – namun, realitas penegakan hukum menunjukkan hal tersebut. Pun, berbagai kebijakan dirilis bertarget mengeliminasi kalangan umat Islam yang selama ini kritis dalam kerangka amar makruf nahi mungkar terhadap polah penguasa. Terlebih, dalam kasus H4eR5 ini aroma politisnya sangat kental. 

Kedua, berpotensi terjadinya distrust rakyat. Adanya "lack" pada ketiga nilai dasar hukum tersebut dapat menggerus modal social trust menjadi distrust. Perbedaan sikap penguasa terhadap kerumunan H4eR5 dan kerumunan lainnya, berbagai paradoks kebijakan di masa pandemi Covid-19 yang membingungkan dan berkontribusi pada menggilanya angka Covid-19, menyebabkan trust rakyat terhadap penguasa kian turun. 

Ketiga, berpotensi memunculkan sikap civil disobedience (pembangkangan sipil). Distrust akan menjadi trigger munculnya sikap civil disobedience. Rakyat akan bersikap apatis, yaitu acuh tak acuh terhadap kebijakan penguasa dan tak mau menaatinya. 

Keempat, rezim berpeluang runtuh di puncak kekuasaannya. Menilik fragmen sejarah yang mungkin berulang, tumbangnya sebuah kekuasaan justru saat penguasa berada di puncak kezalimannya. Sebagaimana Fir’aun yang ditenggelamkan Allah di Laut Merah di puncak kekuasaan namun bertabur kezaliman. 

Kelima, berpotensi mengantarkan pada matinya sistem pemerintahan (demokrasi) yang tengah berlangsung. Penguasa yang bertindak tidak adil biasanya berkarakter otoriter. Dalam bukunya How Democracies Die, Levitsky dan Ziblatt menyatakan bahwa kematian tak disadari terjadi selangkah demi selangkah, dengan: terpilihnya pemimpin otoriter, disalahgunakannya kekuasaan pemerintah dan penindasan total atas oposisi. Ketiga langkah ini sedang terjadi di seluruh dunia. Pun termasuk di negeri kita, Indonesia. 

Demikian akibat yang mungkin muncul kala trials without truth terhadap H4eR5 dan kalangan ulama kritis terus berlangsung. 

Dugaan adanya trials without truth dalam proses peradilan H4eR5 tampaknya sulit ditampik mengingat sejak awal patut diduga telah terjadi diskrimimasi dan inkonsistensi serta ketidakpatuhan terhadapa hukum itu sendiri. Pengadilan yang semula diharapkan mampu menghadiarkan kebenaran dan keadilan kepada rakyat (bringing the truth and justice to the people) telah berubah menjadi industri hukum yang berorientasi pada untung rugi sehingga seringkali menjadi ajang gladiator untuk sekedar mencari the winner and the loser (William T. Pizzi (1999). 

Akhir drama trials without truth tentu dapat diterka, yang salah dibenarkan, yang benar disalahakan, atau mestinya dihukum dengan perdata namun dialihkan ke pidana. Intinya penegakan hukum Suka-Suka Kami (SSK) akan menimbulkan putusan yang tidak benar dan tidak adil atau patut diduga telah tampak kezaliman yang nyata. 

Pelaku kezaliman lupa bahwa tiap kekuasaan ada usianya. Pun mereka lalai bahwa tiap kezaliman memiliki nishab (batasan)nya, yaitu hukuman Allah kepada si pelaku. Ingatlah, bahwa doa-doa orang yang terzalimi akan mengetuk pintu-pintu langit. Dan saat mencapai nishabnya, Allah akan menghukum dan menghinakan pelakunya. Maka, bagi orang-orang "lemah" yang diperlakukan tidak benar dan tidak adil, mereka hanya bisa berseru; "sampai jumpa di pengadilan akhirat, wahai para tiran!"[]


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum., 
Pakar Hukum dan Masyarakat

Kota Semarang, Senin: 28 Juni 2021
Nb: H4eR5 adalah HRS (Habib Rizieq Syihab)

Posting Komentar

0 Komentar