Data PNS Fiktif Berbayar: Inikah Citra Buruk Kinerja Birokrasi Pemerintahan Demokrasi?


Data 97.000 PNS fiktif masih menjadi perhatian pemerintah. Apalagi perkara ini sudah mencuat semenjak tahun 2014. Terlebih lagi hingga 2015 yang disebutkan masih mendapatkan gaji dan dana pensiun (kompas.com, 26/5/2021).

Masih di laman yang sama, Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bima Haria Wibisana mengatakan, mengantisipasi adanya PNS yang tidak masuk dalam database pemerintah, pihaknya melakukan kickoff meeting yang membahas pemutakhiran data mandiri ASN dan Pejabat Pimpinan Tinggi (PPT) non-ASN pada Senin (24/5/2021).

Sedangkan, dilansir dari metropolitan.id (26/5/2021), Anggota Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda mengatakan, terungkapnya data PNS fiktif sebanyak 97 ribu orang adalah musibah dalam penataan kepegawaian di tanah air. Menurutnya, perlu penjelasan yang komprehensif dari berbagai pihak terkait temuan ada 97 ribu PNS dan pensiunan yang ternyata orangnya tidak ada. Selama puluhan tahun, 97 ribu PNS misterius itu masih mendapat alokasi gaji dari negara.

Keberadaan data PNS fiktif yang berlangsung dalam waktu lama, semenjak 2014, memunculkan tanya bagaimana bisa ini terjadi dan tak kunjung diselesaikan? Apakah ini mengonfirmasi buruknya kinerja birokrasi di sistem demokrasi?


Penyebab Buruknya Kinerja Birokrasi Pemerintahan Demokrasi hingga Memunculkan Data PNS Fiktif

Sebenarnya, berdasarkan hasil Pendataan Ulang Pegawai Negeri Sipil (PUPNS) yang dilakukan pada September-Desember 2015, BKN sudah merilis penjelasan mengenai 97.000 PNS yang tidak terekam datanya. Adapun penyebab ribuan data tersebut tidak terekam yakni karena; Mengalami kesulitan akses melakukan pendaftaran ulang; Status mutasi; Status meninggal; dan status berhenti atau sejenisnya yang tidak dilaporkan oleh Instansi kepada BKN. Namun dari 97.000 data PNS, per Mei 2021, masih tersisa 7.272 PNS yang terdata belum mengikuti PUPNS 2015. BKN berjanji akan menelusuri status keaktifan kepegawaiannya (kompas.com, 26/5/2021).

Melihat dari fakta yang terjadi dan lambatnya penyelesaian pembaharuan data kepegawaian, hingga penyelesaian munculnya puluhan ribu data PNS fiktif yang tak kunjung selesai, publik dapat melihat buruknya kinerja birokrasi di sistem demokrasi, di antara penyebabnya:

Pertama. Lemahnya sistem pemutakhiran data.

Segala sesuatu yang berhubungan dengan database masih banyak menjadi persoalan, terutama di dunia birokrasi. Dilansir dari metropolitan id (26/5/2021), Anggota DPR RI Dapil Kalsel I Rifqinizamy Karsayuda menegaskan, ikhtiar melakukan sentralisasi data, pembaharuan data yang kontinyu, serta akses data yang terbuka oleh publik adalah kebutuhan pengelolaan data kepegawaian.

Bahkan, kelemahan sistem kepegawaian ini diakui oleh Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus. Ia mengatakan bahwa data fiktif 97.000 PNS ini memalukan dan menunjukkan manajemen kepegawaian negara begitu lemah dan amburadul, apalagi perkara tersebut sudah mencuat sejak 2014.

Kedua. Diduga adanya kolusi dengan birokrasi.

Sebagaimana fakta tumbuh suburnya korupsi di sistem demokrasi. Tidak menutup kemungkinan terjadi kolusi pula dalam persoalan data 97.000 PNS fiktif. Diwartakan nasional.sindonews.com (26/5/2021), Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) Guspardi Gaus menduga tak menutup kemungkinan terjadi persekongkolan sejumlah pihak dalam kasus puluhan ribu PNS fiktif ini. "Tidak bisa sendiri itu, yang terkucur dana terus menerus, tiap bulan menerima gaji. Bisa saja dia berkolusi dengan institusi atau atasan yang bersangkutan," kata Guspardi kepada wartawan, Rabu (26/5/2021).

Wartawan Senior Asyari Usman turut berkomemtar bahwa kasus ini haruslah diusut, karena merupakan kejahatan bukan kelalaian. Ia menegaskan kasus tersebut tidak boleh dianggap sebagai kelalaian biasa. Namun, harus dilakukan penyelidikan pidana karena menurutnya tidak menutup kemungkinan ada sindikat yang mengendalikan data PNS fiktif tersebut.

Kejadian ini memang sangat memalukan, sebab selama bertahun-tahun negara mengeluarkan miliaran rupiah setiap bulan untuk membayar gaji dan pensiun PNS fiktif. Siapakah pihak yang selama ini menerima gaji pegawai misterius itu? Inilah yang harus diusut tuntas.


Dampak Kemunculan Data PNS Fiktif

Puluhan ribu data PNS fiktif, tentu berdampak yang cukup besar bagi negara. Terutama dalam hal menyangkut uang rakyat. Kejadian ini bukanlah hal baru di tengah berjalannya sistem demokrasi kapitalisme. Pasalnya, sistem kapitalisme yang berasaskan sekulerisme telah menuntun manusia mendapatkan uang atau materi dengan berbagai cara meski itu haram apalagi ketika mendapatkan kesempatan duduk di kursi kekuasaan. Ini adalah peluang mendapatkan harta yang besar yang tidak lain milik negara yang seharusnya dialokasikan untuk kemaslahatan rakyat.

Belum lagi gaya hidup hedonis yang diaruskan dalam sistem kapitalisme telah menjadikan setiap individu berpikir bahwa kekayaan adalah sumber kebahagiaan. Sehingga, hidup bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan pokok saja, akan tetapi hidup untuk memenuhi gaya hidup. Justru terkadang, hal ini yang menjadi inti kehidupan masyarakat kapitalis.

Berikut beberapa dampak yang ditimbulkan atas kemunculan data PNS fiktif, di antaranya:

Pertama. Perampokan uang rakyat triliunan rupiah.

Anggaran gaji dan pensiun bagi pegawai ASN fiktif, bila dikalkulasi dapat mencapai angka triliunan dalam setahun. Tentu dana ini sangat fantastis dan juga miris, ketika ini terjadi di masa pandemi, di tengah krisis APBN. Ini senada dengan pendapat Anggota DPR RI Dapil Kalsel I Rifqinizamy Karsayuda.

“Negara telah dirampok triliunan rupiah akibat hal ini. Dengan asumsi satu orang PNS berpangkat III/A menerima gaji (pokok) Rp2 juta per bulan. Maka potensi kerugian negara hampir Rp2,5 triliun per tahun,” terangnya.

Jika belum juga dirampungkan persoalan pemutakhiran data, dapat dipastikan keadaan ini terus akan berlanjut. Dan pastinya akan merugikan APBN, karena negara harus terus mengeluarkan gaji bagi data PNS fiktif. Sebagaimana anggaran gaji yang keluar terus menerus untuk data PNS fiktif, begitu pula beban anggaran dana pensiun juga akan mengalir untuk data PNS fiktif yang telah pensiun.

Kedua. Rawan penyalahgunaan data PNS fiktif.

Kerawanan penyalahgunaan data PNS fiktif bukan hanya terjadi pada data yang disinyalir aspal (asli tapi paslu). Ada nama, padahal orangnya fiktif. Ada nama orangnya, padahal statusnya bukan PNS. Yang juga rawan adalah data para pensiunan dan ahli warisnya. Ini terjadi karena datanya tak kunjung di update. Misalkan, ada pensiunan yang telah meninggal puluhan tahun, tetapi tetap ada nama ahli warisnya, misalnya janda istrinya. Dan ketika si janda pun telah meninggal, datanya tak kunjung di update. Sementara dana pensiunnya terus mengalir.

Ketiga. Negara harus membayar SDM tanpa memberi kontribusi kerja.

Maka sudah semestinya, pemerintah pusat harus mengusut tuntas kasus ini dan bila terbukti ada penyalahgunaan data, harus menjerat pejabat yang memanfaatkan anggaran kesejahteraan PNS untuk kepentingan pribadi maupun instansi. Bagaimana bisa pemerintah mengeluarkan dana untuk membayar gaji atas nama PNS yang tidak ada. Lebih dari itu, Guspardi Gaus mengungkap bahwa Komisi II DPR tidak pernah mendengar laporan dari Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemen PAN RB) maupun BKN terkait 97.000 PNS fiktif tersebut.

Beginilah, ketika negara yang memiliki regulasi yang lemah dan hukum sanksi yang tidak tegas. Akan semakin mendorong terjadinya berbagai penyimpangan-penyimpangan. Seperti perampokan harta negara, dalam bentuk gaji dan pensiun bagi PNS fiktif. Karena itu, sistem ini telah berhasil melahirkan pemimpin-pemimpin yang tidak amanah bahkan berhianat kepada rakyatnya.


Strategi Islam dalam Mekanisme Perekrutan Menihilkan Kemunculan Data Pegawai Fiktif

Dalam Islam, kepemimpinan dalam konteks bernegara adalah amanah untuk mengurus rakyat. Rasulullah SAW bersabda, "Imam atau pemimpin itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang dia urus." (HR. al-bukhari dan Ahmad).

Sesungguhnya seluruh perintah syariat merupakan amanah terlebih lagi memimpin suatu negara untuk mengurusi kemaslahatan rakyat. Sampai-sampai Rasulullah SAW mengingatkan salah satu sahabat tentang mengemban amanah kekuasaan. 

Dari Abu Dhar ra, aku berkata, "Wahai Rasulullah, kenapa kau tidak mengangkatku menjadi wakilmu?" Kemudian beliau menepuk-nepuk pundakku dengan kedua tangannya, seraya berkata, "Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, padahal kekuasaan itu adalah amanah. Kelak di hari kiamat kekuasaan itu akan menjadi kehinaan dan kesedihan, kecuali orang yang mengambilnya dengan kebenaran dan menunaikan segala kewajibannya." (HR. Muslim).

Demikian pula dalam mengurusi urusan rakyat, pemimpin harus melandaskannya kepada aturan Allah SWT. "Dan hendaklah engkau memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memerdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu..." (QS. Al-Ma'idah: 49).

Dengan demikian, amanah untuk mengurus semua kemaslahatan rakyat tidak boleh didasarkan pada aturan-aturan demokrasi kapitalisme sekuler. Sebagaimana yang terjadi saat ini yang dasarnya adalah hawa nafsu dan kepentingan sesaat.

Pada masa Rasulullah SAW dan para khalifah setelah Beliau justru para pemimpin/khalifah/kepala negara, Wali, Amil, panglima tentara yang setiap Jumat berkhotbah menyampaikan nasihat takwa kepada kaum Muslim. Para pemimpin bertugas menjaga agar rakyat yang mereka pimpin tetap dalam jalur takwa, yakni tetap berjalan sesuai dengan syariat Allah SWT agar Dia meridhai mereka.

Begitu juga dalam hal kepengurusan pegawai, syariat Islam juga telah mengaturnya. Seluruh pegawai yang berkerja pada negara Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijârah (kontrak kerja). Mereka mendapatkan perlakuan adil sejalan dengan hukum syariah. Hak-hak mereka sebagai pegawai, baik pegawai biasa maupun direktur, dilindungi oleh Khilafah. Para pegawai bekerja sesuai dengan bidang masing-masing dengan selalu memperhatikan hak dan kewajiban mereka sebagai pegawai negara maupun sebagai rakyat.

Dalam konteks sebagai pegawai, mereka bertugas melayani urusan-urusan rakyat, sesuai dengan tugas dan fungsi mereka di masing-masing departemen, jawatan, dan unit. Mereka tidak dibebani dan dituntut melakukan tugas-tugas di luar tugas yang telah diakadkan dalam aqad ijarah.

Adapun dalam konteks mereka sebagai rakyat, negara Khilafah akan melayani dan memperlakukan mereka hingga apa yang menjadi hak mereka terpenuhi secara sempurna.

Dengan aturan-aturan di atas, pegawai di dalam Jihaz Idari bekerja dengan amanah dan maksimal.  Sebab, mulai dari rekrutmen kepegawaian, diskripsi dan pembagian tugas, paparan hak dan kewajiban tergambar dengan jelas. Hak-hak mereka sebagai pekerja dipenuhi dan dilindungi sepenuhnya oleh Khilafah.  Akibatnya, seluruh pelayanan urusan dan kepentingan rakyat berjalan dengan mudah, cepat, dan dengan hasil yang sempurna. Kelangsungan roda pemerintahan Khilafah benar-benar terjaga. Kesejahteraan dirasakan oleh warga negara Khilafah yang akan merembet hingga seluruh umat manusia. Semua itu disebabkan karena seluruh pegawai Muslim Khilafah bekerja  tidak sekadar karena ingin mendapatkan upah. Lebih dari itu mereka memahami bekerja melayani urusan rakyat merupakan ibadah yang memiliki banyak keutamaan.

Rasulullah saw. bersabda: "Siapa saja yang berusaha memenuhi kebutuhan saudaranya maka Allah akan memenuhi kebutuhannya. Siapa saja yang menghilangkan kesusahan dari seorang Muslim maka Allah akan menghilangkan salah satu kesusahannya dari kesusahan-kesusahan di Hari Kiamat ." (HR al-Bukhari dan Muslim).

Selain itu, seluruh pegawai Jihaz Idari yang Muslim memahami bahwa nafkah yang diperoleh dari hasil usaha sendiri merupakan nafkah yang terbaik. Rasulullah SAW pernah bersabda:

"Sungguh sekiranya salah seorang di antara kalian mengambil seutas tali kemudian pergi ke gunung dan kembali dengan memikul seikat kayu bakar dan menjualnya, yang dengan hasil itu Allah mencukupkan kebutuhan hidupnya, itu lebih baik bagi dirinya daripada dia meminta-minta kepada sesama manusia baik mereka memberi ataupun tidak memberi." (HR al-Bukhari).

Imam as-Sanadi, dalam Syarh Sunan Ibnu Mâjah, mengatakan bahwa apa yang diperoleh manusia dengan cara yang terhormat, yakni bekerja keras di kehidupan dunia, lebih baik dibandingkan dengan apa yang dia peroleh dengan cara meminta-minta meskipun ia bekerja keras untuk kehidupan akhiratnya.

Rasulullah SAW juga bersabda: "Tidaklah seseorang makan makanan yang lebih baik daripada makan hasil usahanya sendiri. Sungguh Nabi Allah Dawud as. makan dari hasil usahanya sendiri ." (HR al-Bukhari).

Hadis ini juga menerangkan, sebaik-baik makanan adalah apa yang diusahakan dari jerih payahnya sendiri, tanpa harus bergantung kepada orang lain.

Inilah di antara faktor-faktor non materi yang mendorong pegawai dalam Jihaz Idari bekerja semaksimal mungkin demi mendapat keutamaan yang sangat besar di sisi Allah SWT.

Strategi Islam dalam mekanisme perekrutan menihilkan kemunculan data pegawai fiktif, karena Islam menetapkan mekanisme rekrutmen dan pembinaan pegawai negara sesuai profesionalitas dan mereka digaji karena kinerjanya, bukan hanya karena ada datanya.


Penutup

Berdasarkan fakta yang ada dan lambatnya penyelesaian pembaharuan data kepegawaian, hingga penyelesaian data 97.000 PNS fiktif tak kunjung selesai padahal data telah mencuat sejak 2014 telah mengkonfirmasi buruknya kinerja birokrasi.

Penyebab buruknya kinerja birokrasi pemerintahan demokrasi hingga memunculkan data PNS fiktif, diantaranya karena lemahnya sistem pemutakhiran data kepegawaian dan patut diduga adanya kolusi dengan birokrasi.

Dampak yang ditimbulkan atas kemunculan data PNS fiktif, di antaranya: Perampokan uang rakyat triliunan rupiah; Rawan penyalahgunaan data PNS fiktif; dan Negara harus membayar SDM tanpa memberi kontribusi kerja.

Seluruh pegawai yang berkerja pada negara Khilafah diatur sepenuhnya di bawah hukum-hukum ijârah (kontrak kerja). Mulai dari rekrutmen kepegawaian, diskripsi dan pembagian tugas, paparan hak dan kewajiban tergambar dengan jelas. Hak-hak mereka sebagai pekerja dipenuhi dan dilindungi sepenuhnya oleh Khilafah.

Strategi Islam dalam mekanisme perekrutan menihilkan kemunculan data pegawai fiktif, karena Islam menetapkan mekanisme rekrutmen dan pembinaan pegawai negara sesuai profesionalitas dan mereka digaji karena kinerjanya, bukan hanya karena ada datanya.[]

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst


Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar