Wacana PPN Naik dan Tax Amnesty Jilid II: Inikah Repetisi Kebijakan Usang yang Mampu Meningkatkan Pemasukan Negara?


TintaSiyasi.com-- Bagai makan buah simalakama, dimakan ibu mati, tidak dimakan bapak yang mati. Begitulah gambaran wacana pemerintah yang akan menaikkan Pajak Perambahan Nilai (PPN). Pasalnya, hari ini ramai perbincangan di media sosial mengenai rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 15 persen dari sebelumnya sebesar 10 persen. Tidak sedikit pro kontra muncul atas hal tersebut. Di kala ekonomi rakyat sudah ngos-ngosan karena dampak pandemi. Maka, kenaikan PPN ini jelas dapat menambah beban rakyat. Tetapi, di pihak pemerintah sendiri, memang sedang membutuhkan pemasukan kas negara.

Selain akan menaikkan PPN, mengubah Pajak Penghasilan (PPh) pemerintah berencana memberikan tax amnesty jilid dua. Lagi-lagi rencana ini digulirkan demi mencari pemasukan dana segar dari para pengusaha besar. Harapannya, dengan memberi tax amnesty mereka akan segera membayar tagihan pajak yang seharusnya dibayar kepada pemerintah. Sedihnya, rakyat kecil ditodong dengan rencana naiknya PPN, tetapi para kapitalis malah mendapatkan diskon pajak dari pemerintah. Hal tersebut, seolah telah memverifikasi, pemerintah adalah pengasong para kapitalis. 

Lantas, apakah dengan kenaikan PPN dan pemberian tax amnesty jilid dua mampu menjawab kebutuhan pemasukan yang diinginkan pemerintah? Apakah ini adalah kebijakan yang memihak rakyat atau justru memihak para kapitalis? Tentunya ini menjadi pertanyaan besar dan inilah yang menjadi polemik rencana kebijakan tersebut. 


Mengulik Motif di Balik Rencana Kenaikan PPN dan Amnesti Pajak Jilid II

Dikonfirmasi dari CNBCIndonesia (24/5/2021), Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengirim surat kepada DPR untuk bisa membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) perubahan kelima atas UU Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP). Substansi yang dibahas dalam amandemen UU KUP itu akan menyesuaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tarif pajak penghasilan (PPh), hingga pengampunan pajak (tax amnesty) jilid II.

Hal tersebut disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto saat berbincang dengan awak media pada pekan lalu. Kendati demikian, Ketua Partai Politik Golkar ini enggan menjelaskan lebih detail, apakah penyesuaian tarif PPN dan PPh yang dimaksud akan dinaikkan atau diturunkan. Dalam revisi UU KUP ini, Airlangga juga menyebutkan rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga dimasukkan oleh Pemerintah. Nanti kelanjutannya akan menunggu hasil pembahasan dengan DPR.

Kebijakan penyesuaian tarif pajak diklaim pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Karena pemerintah tidak bisa lagi mengandalkan utang untuk membiayai belanja negara. "Di saat belanja semakin naik, kita tak bisa hanya andalkan utang dan kembali lagi andalkan penerimaan terutama pajak. Jadi reformasi perpajakan kita lakukan," ujar Staf Menteri Keuangan Yustinus Prastowo dalam program CNBC Indonesia, Jumat (21/5/2021). Ia menjelaskan, reformasi perpajakan telah disusun oleh Direktorat Jenderal Pajak, mulai dari mendorong kepatuhan para wajib pajak hingga meningkatkan objek pajak baru di sektor digital. Kemudian juga penegakan hukum yang selektif dan terukur bagi wajib pajak yang tidak patuh.

Meski pemerintah tidak lagi mengandalkan utang, Yustinus menegaskan bahwa posisi utang Indonesia saat ini masih aman. Porsi utang terbesar masih dipegang oleh investor domestik melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sekitar 86% dan pinjaman sekitar 14%.

Selain itu, melalui Anggota DPR RI Komisi XI Misbakhun mengungkap, tax amnesty jilid II ini adalah upaya pemerintah dalam meningkatkan tax ratio atau perbandingan penerimaan pajak terhadap produk bruto.

Jika meneliti lebih jauh dan mengungkap motif di balik rencana kebijakan tersebut, dapat ditarik dua benang merah. Pertama, pemerintah sedang membutuhkan dana segar, sehingga mereka tak segan-segan menaikkan pajak. Hal itu dikhawatirkan, akan muncul anggapan, kebijakan pemalak atau penodong. Kedua, sudah diakui di atas, pemerintah belum mau menambah utang, walau katanya, posisi utang Indonesia masih aman. Sedihnya, pemerintah terkesan mengorbankan rakyat dengan rencana kenaikan PPN dan ubah PPh, bahkan menjadikan rakyat tumbal atas kebutuhan dana yang ingin diperoleh. 

Ketiga, pemerintah seolah memihak kepada para kapitalis daripada rakyatnya. Karena, pemerintah justru memberikan diskon pajak atau amnesti pajak kepada para kapitalis besar. Pemberian diskon pajak atau amnesti pajak jilid II ini telah mengkonfirmasi, banyak para kapitalis bermasalah atau menunggak bayar pajaknya. Sehingga, supaya mereka membayar pajak sesuai yang pemerintah harapkan, para kapitalis besar ini diberi amnesti pajak.

Hal itu membuktikan betapa lemahnya pemerintah di hadapan para kapitalis. Hingga mereka harus diberi amnesti pajak. Padahal, pajak tersebut adalah tanggungan mereka. Secara fitrah memang pajak ini beban. Jika yang besar saja merasa terbebani, bagaimana dengan rakyat kecil yang terkadang masih banyak yang kesulitan makan. 

Apabila melihat paparan di atas, akan ditemui beberapa hal. Pertama, inilah bukti kegagalan kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan. Karena, tidak dipungkiri, kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Kedua, ini bentuk ketidakadilan nyata yang dilakukan pemerintah kepada rakyatnya. Rakyatnya dicekik dengan rencana kenaikan pajak PPN, tetapi di sisi lain, para kapitalis diberi diskon pajak yang seharusnya mereka bayar.

Ketiga, ini bentuk kepandiran pemerintah. Padahal, Indonesia negeri yang kaya akan sumber daya alam (SDA). Anehnya, mengapa rentetan pajak senantiasa dibebankan kepada rakyat. Seharusnya, dengan potensi SDA yang melimpah, negeri ini mampu mengelolanya untuk kesejahteraan rakyat. Sehingga, tidak perlu utang kepada asing atau pun menarik pajak aneka rupa kepada rakyatnya. 

Keempat, inilah kebijakan yang lahir dari mulkan jabariyan yaitu penguasa sombong yang diktator. Selama ini, umat Islam, ulama, para aktivis, tidak henti-hentinya menyeru penguasa untuk kembali kepada syariat Islam. Tetapi, karena kesombongannya, tawaran solusi yang diberikan para aktivis dakwah Islam tidak didengarkan. Terlebih, para aktivis dakwah Islam, banyak mendapatkan perlakuan tidak adil. Dari persekusi dakwah, hingga kriminalisasi. 

Andai saja, pemerintah dan pemangku kebijakan mau mendengarkan nasihat dan tawaran solusi Islam. Niscaya, negeri ini memiliki pengaturan ekonomi yang kuat. Sehingga, tidak perlu utang kepada asing yang berbunga tinggi dan tidak perlu menarik pajak ini dan itu. Karena sistem Islam, memiliki sumber pemasukan negara yang kuat dan tidak menzalimi rakyatnya.


Dampak Kenaikan Pajak PPN dan Amnesti Pajak Jilid II

Di kala pemerintah berencana menaikkan PPN, di lain sisi pemerintah akan mengeluarkan tax amnesty jilid II kepada para kapitalis besar. Hal itu saja, dua kebijakan yang menyesakkan dada dan menyengsarakan rakyat. Lantas, apabila kita telisik akibat dari dua kebijakan tersebut adalah sebagai berikut.

Menaksir dampak kenaikan PPN yang akan dialami rakyat, yaitu, pertama, kebijakan tersebut jelas akan menambah beban rakyat. Apalagi pandemi Covid-19 belum selesai. Tidak dipungkiri, akibat pandemi, kondisi ekonomi rakyat juga lesu. Seharusnya, pemerintah memberikan perlindungan ekonomi, dengan membantu kondisi ekonomi rakyat yang kekurangan, bukan malah mengeluarkan kebijakan yang membebani rakyat lagi.

Kedua, kenaikan PPN akan berimbas kepada inflasi dan ini membuat rakyat semakin tertekan. Dikutip dari Merdeka.com (11/5/2021), Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional Republik Indonesia (BPKN RI), Rizal Edy Halim mengatakan, jika pemerintah menaikan tarif PPN maka dampaknya besar kepada masyarakat. Sebab, kenaikan tersebut secara otomatis akan berimbas kepada naiknya harga barang dan jasa di seluruh Indonesia, meningkatkan resiko turunnya daya beli masyarakat.

Ketiga, soal kenaikan PPN adalah masalah serius yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Pemerintah tidak boleh serta merta menaikkan begitu saja, tanpa memikirkan bagaimana nasib rakyat ke depan setelah kenaikan ini. Oleh karena itu, seharusnya pemerintah tidak gegabah soal kenaikan PPN atau pajak-pajak lainnya.

Memang benar, Menteri Keuangan Sri Mulyani melalui CNNIndonesia (25/5/2021) menjelaskan, wacana kenaikan berbagai jenis pajak itu tidak akan dilakukan pada tahun ini karena pemerintah tentu tidak akan ujug-ujug mengambil kebijakan yang tidak tepat diterapkan di tengah kondisi ekonomi yang masih tertekan dampak pandemi Covid-19. Tetapi, tetap saja pemerintah akan menggodok soal kenaikan pajak itu bersama DPR. Sekalipun, pemerintah bisa saja mengeluarkan peraturan presiden (Perpres) soal kenaikan pajak ini. 

Karena, sebelumnya, wacana kenaikan tarif PPN hingga PPh muncul karena pemerintah ingin mengubah aturan tersebut dan menuangkannya di RUU tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Selanjutnya, dampak dari tax amnesty jilid II yang masuk dalam RUU KUP dan menjadi prokontra adalah sebagai berikut. Pertama, membuat para kapitalis besar yang mendapat ampunan pajak tidak percaya pajak. Dikhawatirkan, mereka akan menyepelekan pajak tanggungan mereka. Karena, menunggu-nunggu kapan kebijakan ampunan pajak digulirkan kembali. 

Kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II mendapatkan banyak penolakan meskipun masih sebatas rencana. Kebijakan tersebut dianggap memberi rasa ketidakadilan kepada wajib pajak yang patuh. Demikianlah diungkapkan Andreas Eddy Susetyo kepada CNBCIndonesia, Anggota Komisi XI DPR dalam keterangan tertulisnya, Senin (24/5/2021)

Kedua, ini adalah kebijakan blunder. Karena ini menunjukkan betapa lemahnya pemerintah di hadapan para kapitalis. Pemerintah seolah tidak sanggup menarik pajak yang menjadi tanggung jawab para kapitalis. Jika kepada rakyat kecil bisa arogan dan menarik pajak, mengapa kepada para kapitalis, pemerintah mlempem?

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara via Kompas.com (23/5/2021) menilai, munculnya wacana tax amnesty jilid ke II dinilai akan menggangu psikologi pembayar pajak yang malah bakal pilih untuk menunggu tax amnesty jilid berikutnya.

Di sisi lain, tax amnesty pun tidak terbukti meningkatkan nilai penerimaan pajak jangka panjang. Bhima bilang, itu tercermin dari rasio pajak yang terus menurun sepanjang periode 2018-2020 hingga mencapai 8,3 persen.

Jika pemerintah konsekuen, seharusnya, pemerintah menggalakan wajib pajak. Karena, kepada rakyat kecil saja bisa, kenapa kepada para kapitalis tidak bisa?

Ketiga, berpotensi menciptakan moral hazard (bahaya). Karena, para kapitalis berpotensi tak patuh bayar pajak dan meminta keringanan terus menerus. Ekonom Senior Faisal Basri menolak program pengampunan pajak alias tax amnesty jilid II. Menurutnya, kebijakan tersebut hanya menciptakan moral hazard. "Saya setuju tax amnesty ini menciptakan moral hazard. Artinya, ya sudahlah saya nyolong pajak terus, nanti 5 tahun lagi ada tax amnesty lagi. Jadi menurut saya sangat buruk," ungkapnya dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV, Senin (24/5/2021).

Begitulah dampak yang berpotensi muncul jika wacana kenaikan PPN dan amnesti pajak jilid II. Semuanya hanya semakin merugikan khalayak banyak, terutama rakyat kecil, dan menguntungkan para kapitalis. Ya, inilah dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Hanya memikirkan keuntungan yang didapat sebagian golongan oligarki kapitalis. Rakyat kecil tetaplah menjadi tumbal atas keserakahan para kapitalis. Sedihnya lagi, pemangku kebijakan banyak yang berasal dari para kapitalis tersebut.


Strategi Islam dalam Mengatur Pemasukan Negara

Konsep yang berbeda yang dimiliki oleh sistem pemerintahan Islam yaitu khilafah dengan sistem demokrasi kapitalisme sangatlah mencolok. Dalam Islam, negara beserta perangkatnya adalah sebagai pelayan umat. Adanya penguasa adalah untuk menerapkan keadilan Isam, sehingga rahmat turun dari langit dan keluar dari bumi. 

Hal itu berbeda dengan sistem demokrasi kapitalisme sekuler, yang hanya sebagai legislator atas titah dan mandat para kapitalis. Wajar saja, jika banyak kebijakan yang lebih menguntungkan para kapitalis daripada untuk kesejahteraan khalayak. Apalagi sumber pemasukan negara kapitalisme yang utama bukan dari SDA, melainkan dari pajak atau utang luar negeri. Karena SDA yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat, dikapitalisasi kepada para kapitalis. Inilah yang menyebabkan sistem kapitalisme rapuh dan mudah sekali dikendalikan. 

Dalam pandangan sistem pemerintahan Islam, semua harta negara akan dikelola oleh baitul mal. Diiklasifikasi sumber harta-harta negara dalam Islam meliputi: (1) Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus; (2) Al-Kharaj; (3) Al-Jizyah; (4) Macam-macam harta milik umum; (5) Pemilikan Negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemasukannya; (6) Al-Usyur; (7) Harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta denda; (8) Khumus rikaz (barang temuan) dan tambang; (9) Harta yang tidak ada pewarisnya; (10) Harta orang yang murtad; (11) Zakat; (12) Pajak.

Berikut penjelasan sumber harta yang ada dalam sistem pemerintahan Islam.

1. Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus

Yang dimaksud dengan anfal tiada lain adalah ghanimah (QS Al Anfal: 1). Ibnu Abbas dan Mujahid berpendapat bahwa anfal adalah ghanimah, yakni segala harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin melalui perang penaklukan. Pihak yang berwenang mendistribusikan ghanimah adalah Rasulullah saw dan para khalifah setelah beliau. Rasulullah saw telah membagikan ghanimah Bani Nadhir kepada kaum Muhajirin dan tidak kepada Anshar, kecuali Sahal bin Hanif dan Abu Dujanah, karena keduanya fakir. 

Rasulullah saw juga memberikan ghanimah kepada muallaf pada perang Hunain dalam jumlah yang besar. Hal tersebut juga terjadi pada kurun Khulafaur Rasyidin. Khalifah berhak membagikan ghanimah kepada pasukan perang, ia juga dapat mengumpulkannya bersama fa’i, jizyah dan kharaj untuk dibelanjakan demi terwujudnya kemaslahatan kaum muslimin.

Yang dimaksud dengan fa’i adalah segala harta kekayaan orang-orang kafir yang dikuasai oleh kaum muslimin tanpa peperangan. Seperti yang pernah terjadi pada Bani Nadhir, atau orang-orang kafir melarikan diri karena takut terhadap kaum muslimin, dengan meninggalkan rumah dan harta mereka, sehingga harta tersebut dikuasai oleh kaum muslimin, atau orang-orang kafir takut dan melakukan perdamaian dengan kaum muslimin serta menyerahkan sebagian dari harta dan tanah mereka, seperti terjadi pada penduduk Fidak. Harta fa’i ini menjadi milik Rasulullah saw; sebagian dibelanjakan beliau untuk keperluan keluarganya selama setahun; sisanya dijadikan oleh beliau untuk keperluan amunisi dan penyediaan senjata perang. Setelah beliau wafat, Abu Bakar dan Umar melakukan hal yang sama.

Sedangkan yang dimaksud dengan khumus adalah seperlima bagian yang diambil dari ghanimah dengan dalil firman Allah SWT:

“Ketahuilah sesungguhnya ghanimah yang kalian peroleh dari sesuatu, maka seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul (Bani Hasyim dan Bani Muthallib), anak-anak yatim, dan orang miskin..” (QS Al Anfal: 41)

Setelah wafatnya Rasulullah saw, maka bagian Rasulullah dan kerabat beliau dimasukkan ke dalam Baitul Mal, untuk digunakan bagi kemaslahatan kaum muslimin dan jihad fi sabilillah.

2. Kharaj

Kharaj adalah hak kaum muslimin atas tanah yang ditaklukkan dari orang kafir, baik melalui peperangan maupun melalui jalan damai. Oleh karena itu kharaj ada dua macam: kharaj ‘unwah dan kharaj shulhi.

Kharaj ’unwah adalah kharaj yang diambil dari semua tanah yang dikuasai oleh kaum muslimin dari orang-orang kafir secara paksa melalui perang, misalnya tanah Irak, Syam dan Mesir. Dasarnya adalah QS Al Hasyr ayat 7-10.

Sedangkan kharaj shulhi adalah kharaj yang diambil dari setiap tanah yang penduduknya telah menyerahkan diri kepada kaum muslimin secara damai. Kharaj ini ada seiring dengan terjadinya perdamaian yang disepakati di antara kaum muslimin dan pemilik tanah tersebut. Apabila disepakati bahwa tanah tersebut menjadi hak kaum muslimin dan penduduknya tetap tinggal di atasnya dengan kesediaan membayar kharaj, maka kharaj berlaku secara permanen atas tanah tersebut. Artinya, ia tetap sebagai tanah kharajiyah sampai hari kiamat, walaupun penduduknya berubah menjadi kaum muslimin atau dijual kepada orang Islam, atau sebab lainnya.

Apabila disepakati bahwa tanah tersebut tetap menjadi hak milik mereka, dan dikuasai mereka, dengan membayar sejumlah kharaj yang ditetapkan. Maka kharaj tersebut menempati posisi jizyah, yang akan gugur dengan keislaman mereka atau tanah tersebut dijual kepada seorang muslim.

Sedangkan untuk menetapkan besarnya kharaj, khalifah dapat bermusyawarah dengan para ahli yang dapat memperhitungkan luas tanah, atau tanamannya, atau diukur berdasarkan kadar hasil panennya. Sebagaimana yang dilakukan khalifah Umar ketika akan menetapkan kharaj atas tanah Sawad. Maka ketika akan menetapkan kharaj, haruslah diperhatikan kondisi tanah tersebut, tingkat kesuburannya, tingkat produksinya, cara pengairannya. Karena semua hal tersebut beragam. Termasuk harga produk pertaniannya, letak geografisnya dari pasar, kota, transportasi dsb. Pada prinsipnya tidaklah ditetapkan kharaj atas pemilik di luar batas kemampuannya.

3. Jizyah

Jizyah adalah hak yang diberikan Allah SWT kepada kaum muslimin dari orang-orang kafir, karena adanya ketundukan mereka kepada pemerintahan Islam. Jizyah merupakan harta kaum muslimin yang dipergunakan untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan wajib diambil setelah melewati satu tahun (ditetapkan mulai Muharram sd. Dzulhijjah). Jizyah wajib berdasarkan QS At Taubah ayat 29.

Jizyah wajib diambil dari orang-orang kafir, selama mereka tetap kufur, namun apabila memeluk Islam, maka gugurlah jizyah dari mereka. Jizyah diambil dari orang-orang kafir laki-laki, berakal, baligh dan mampu membayarnya.

4. Harta Milik Umum

Harta milik umum adalah harta yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah SWT untuk seluruh kaum muslimin. Allah SWT membolehkan setiap individu untuk mengambil manfaatnya, tetapi tidak untuk memilikinya.

Harta milik umum dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh kaum muslimin dalam kehidupan sehari-hari; (2) Harta-harta yang keadaan asalnya terlarang bagi individu tertentu memilikinya; (3) Barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas. Harta ini merupakan salah satu sumber pendapatan Baitul Mal. Khalifahlah yang membagi-bagikan harta tersebut demi kemaslahatan Islam dan kaum muslimin.

Harta milik umum jenis pertama didasarkan pada sabda Rasulullah saw, sebagaimana dituturkan oleh Abu Khurasyi dari sebagian sahabat, “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal, yaitu: air, padang rumput, dan api.”

5. Harta milik negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pendapatannya

Setiap tanah, atau bangunan yang berkaitan dengan hak umum kaum muslimin, namun tidak termasuk dalam pemilikan umum, maka menjadi milik negara. Setiap bentuk pemilikan negara yang juga dapat dimiliki individu, seperti tanah, bangunan dan harta-harta bergerak, namun berkaitan dengan hak umum kaum muslimin. Maka pengaturan, pengelolaan, dan pembelanjaannya diwakilkan kepada khalifah, karena dialah memiliki wewenang terhadap apa yang berkaitan dengan hak umum kaum muslimin. Inilah pengertian pemilikan negara.

Berbeda dengan pemilikan umum yang tidak dibolehkan bagi khalifah menjadikan sebagai pemilikan individu, maka dalam pemilikan negara khalifah dapat menjadikan individu untuk memilikinya, mengambil manfaatnya, menghidupkan (tanah) dan memilikinya, sesuai dengan pandangannya demi kemaslahatan dan kebaikan kaum muslimin.

6. ‘Usyur

‘Usyur merupakan hak kaum muslimin yang diambil dari harta dan barang perdagangan ahlu dzimmah dan kafir harbi yang melewati perbatasan negara khilafah.

Ada beberapa hadits yang menjelaskan bahwa khalifah Umar dan khalifah sesudahnya memungut ‘usyur dari perdagangan yang melewati perbatasan negara. Ziyad bin Hudayr mengatakan, “Umar bin Khaththab pernah mempekerjakan saya untuk memungut ‘usyur (1/10) dan memerintahkan saya agar memungut ¼ usyur (zakat) dari perdagangan kaum muslimin.”

7. Harta ilegal penguasa, pegawai negara, harta hasil usaha yang tidak sah, dan harta denda

Harta ilegal (mal al-ghulul) ia semua harta yang diperoleh oleh para wali, amil, dan pegawai negara dengan cara yang tidak dibenarkah oleh syara’; baik yang diperoleh dari harta negara maupun harta masyarakat. Setiap harta selain gaji yang mereka peroleh dengan memanfaatkan kekuasaan dan jabatan dianggap sebagai harta ghulul. Mereka wajib mengembalikan harta itu kepada pemiliknya jika diketahui, dan jika tidak, maka harta itu diserahkan ke Baitul Mal kaum muslimin.

8. Khumus Rikaz (Barang Temuan) dan Barang Tambang (jumlahnya tidak banyak)

Rikaz adalah harta yang terpendam (harta karun) di dalam perut bumi, baik berupa emas, perak, permata, dll, ataupun yang tersimpan dalam guci-guci dan tempat-tempat lainnya dari zaman jahiliyah maupun zaman Islam di masa lalu. Barang tambang adalah segala sesuatu yang diciptakan Allah dalam perut bumi, baik berupa emas, perak, tembaga, timah, dsb. Rasulullah saw mewajibkan dikeluarkan khumus (1/5) dari harta tersebut untuk Baitul Mal.

9. Harta yang tidak ada pewarisnya

Setiap bentuk harta yang ditinggalkan seseorang karena kematian, dan tidak ada yang berhak atasnya baik karena waris maupun ‘ashabah, atau pun harta waris yang tidak habis dibagi, maka harta tersebut dimasukkan ke Baitul Mal. Termasuk dalam kategori ini adalah harta yang ditinggal wafat oleh kafir dzimmi dan tidak ada waritsnya, maka menjadi fa’i bagi kaum muslimin dan dimasukkan ke dalam Baitul Mal.

10. Harta orang murtad

Setiap muslim yang murtad, baik laki-laki maupun perempuan, maka darahnya tidak ma’shum (dilindungi), termasuk juga hartanya. Bagi orang murtad diberlakukan hukum murtad, dibunuh dan hartanya menjadi fa’i dan dimasukkan ke Baitul Mal. 

Namun ini tidak berlaku, jika ia bertaubat dalam tempo waktu 3 hari. Rasulullah bersabda:

مَنْ بَدَّلَ دِينَهُ فَاقْتُلُوهُ

Barang siapa mengganti agamanya (murtad dari Islam) maka bunuhlah (HR. Bukhory  (2/251), Abu Dawud (4351), an Nasa’i (2/170), at Tirmidzi (1/275-276), Ibnu Majah (2535), daruquthni (336), al Baihaqi (8/195), Ahmad (1/282)) dengan sanad shahih.

11. Zakat

Zakat adalah harta dalam jumlah tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu pula, yang wajib atas kaum muslimin sebagai suatu ibadah.

Harta zakat wajib dimasukkan ke Baitul Mal, namun bukan hak Baitul Mal, tetapi hak 8 ashnaf (QS At Taubah 60). Baitul Mal hanya tempat menampungnya saja. Apabila satu pun dari 8 ashnaf tersebut tidak ditemukan, zakat tidak boleh diberikan untuk yang lain, dan tetap disimpan di dalam Baitul Mal.

12. Pajak

Pajak (dharibah) adalah harta yang diwajibkan Allah atas kaum muslimin dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka (diwajibkan atas Baitul Mal) serta pihak-pihak yang diwajibkan atas mereka, namun Baitul Mal tidak dapat memenuhi hal tersebut.

Adapun kebutuhan-kebutuhan dan pihak-pihak yang wajib atas Baitul Mal untuk memenuhinya, baik ada atau tidak adanya harta Baitul Mal. Dimana kewajiban tersebut akan beralih dari Baitul Mal menjadi kewajiban kaum muslimin, yaitu pada saat tidak ada harta di Baitul Mal, sehingga diwajibkannya dharibah untuk memenuhinya, adalah sebagai berikut:

Pembiayaan jihad, baik aspek pembentukannya, pelatihannya, dan persenjataannya. Pada kondisi tidak ada harta di Baitul Mal, negara mendorong kaum muslimin untuk memberikan sumbangan sukarela, namun apabila tidak juga terpenuhi, maka negara dapat mewajibkan dharibah sesuai kebutuhan.

Pembiayaan industri senjata perang (jihad) dan sejenisnya. Ketiadaan industri ini menjadikan kaum muslimin tergantung kepada negara-negara kafir.

Ketergantungan ini merupakan suatu bahaya bagi negara dan kaum muslimin. Boleh bagi individu untuk membuat industri ini untuk memenuhi sebagian kebutuhan senjata. Namun apabila tidak mampu memenuhinya atau tidak ada industrinya, maka negara wajib untuk membangunnya, baik ada maupun tidak ada kas Baitul Mal. Maka pada saat tidak ada kas Baitul Mal, dharibah dapat ditarik.

Pembiayaan orang-orang fakir, miskin, dan ibnu sabil. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka kewajibannya beralih kepada kaum muslimin, dengan diwajibkannya dharibah.

Pembiayaan untuk gaji/upah para pasukan, pegawai negara, qadhi, pengajar, dan selain mereka yang memberikan pelayanan kemaslahatan kaum muslimin. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka kewajibannya beralih kepada kaum muslimin, dengan diwajibkannya dharibah.

Pembiayaan untuk kemaslahatan kaum muslimin, memberikan layanan umum, serta hal-hal yang sangat vital bagi kaum muslimin. Seperti jalan umum, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, masjid, pemenuhan air dsb. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka kewajibannya beralih kepada kaum muslimin, dengan diwajibkannya dharibah.

Pendanaan untuk keadaan darurat, seperti bencana alam, kelaparan, serangan musuh. Apabila dana Baitul Mal tidak mencukupi, maka kewajibannya beralih kepada kaum muslimin, dengan diwajibkannya dharibah.

Diwajibkan dharibah atas seorang muslimin yang telah mampu memenuhi kebutuhan pokok dan sekundernya, sesuai standar kebutuhan pada saat itu. Dharibah diwajibkan atas kelebihan harta tersebut, namun sebatas terpenuhinya kebutuhan Baitul Mal untuk mampu memenuhi kebutuhan seperti yang dijelaskan di atas.

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tidak langsung, pajak bumi dan bangunan, pajak jual beli (muamalat) dan sebagainya sebagaimana diterapkan dalam sistem kapitalis. [dari hayatulislam.net dengan sedikit tambahan]

Kesimpulan

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut.

Pertama. Di balik wacana kenaikan PPN dan amnesti pajak jilid II mengungkap, pemerintah butuh dana segar, tetapi kebijakan yang mereka gulirkan seolah hanya memihak para kapitalis. Dengan alasan takut menambah utang negara, tetapi pemerintah menjadikan rakyat tumbal atas kenaikan pajak yang sedang mereka rencanakan. Inilah bukti kegagalan kapitalisme, bentuk ketidakadilan, kepandiran pemerintah, dan kebijakan yang lahir dari penguasa zalim. Karena, penerapan kapitalisme, kekayaan negara yang seharusnya dikelola untuk kesejahteraan rakyat, malah dikapitalisasi ke kapitalis. Jika pemerintah sejak awal mau menerapkan sistem Islam, tentunya tidak akan begini.

Kedua. Dampak utama dari kenaikan PPN pasti menambah beban dan tekanan rakyat. Berbeda dengan amnesti pajak jilid II, kebijakan ini sangat menguntungkan para kapitalis. Begitulah dampak yang berpotensi muncul jika wacana kenaikan PPN dan amnesti pajak jilid II. Semuanya hanya semakin merugikan khalayak banyak, terutama rakyat kecil, dan menguntungkan para kapitalis. Ya, inilah dampak dari penerapan sistem sekuler kapitalisme. Hanya memikirkan keuntungan yang didapat sebagian golongan oligarki kapitalis. Rakyat kecil tetaplah menjadi tumbal atas keserakahan para kapitalis. Sedihnya lagi, pemangku kebijakan banyak yang berasal dari para kapitalis tersebut.

Ketiga. Berikut klasifikasi sumber pemasukan harta negara dalam sistem pemerintahan Islam, yaitu, khilafah, meliputi: (1) Anfal, Ghanimah, Fa’i, dan Khumus; (2) Al-Kharaj; (3) Al-Jizyah; (4) Macam-macam harta milik umum; (5) Pemilikan Negara berupa tanah, bangunan, sarana umum dan pemasukannya; (6) Al-Usyur; (7) Harta tidak sah para penguasa dan pegawai, harta yang didapat secara tidak sah dan harta denda; (8) Khumus rikaz (barang temuan) dan tambang; (9) Harta yang tidak ada pewarisnya; (10) Harta orang yang murtad; (11) Zakat; (12) Pajak.


Daftar Pustaka:

1. m.taufiknt.wordpress.com
2. An Nabhani,  An Nidzam al Iqthishadi fi al- Islam.
3. Zallum, A.Q. Al Amwal fi ad Daulah al Khilafah.
4. Al Wa’ie edisi 3, 11, 12 tahun 2000.

Nb: MATERI KULIAH ONLINE UNIOL 4.0 DIPONOROGO
Rabu, 26 Mei 2021
Di bawah asuhan Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum
#Lamrad
#LiveOpperresedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar