Korupsi Meroket, Perguruan Tinggi Jadi Terdakwa?


Sebagaimana diwartakan dalam gelora.co, 26 Mei 2021 - Menteri Koordinator Politik Hukam dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md menyebut korupsi di Indonesia semakin parah. Karena itu, perguruan tinggi harus ikut bertanggung jawab.

Lha kok ngimut! Tanggung jawab piye? Kita ngajari mahasiswa baik-baik sampe ndower lambene kok. Hukum progresif diajarkan, moral, agama diberikan. Tapi, dirusak oleh oligarki kekuasaan. 

Aku suruh tanggung jawab? Ya emohlah! Ngomong kebenaran dan keadilan malah dianggep radikal, intoleran, tidak setia pada Pemerintah. Gitu suruh lulusan perguruan tinggi baik, berkualitas, menegakkan kebenaran dan keadilan. Mana mungkin? Perguruan tinggi sudah jadi "tangan panjang" rezim kekuasaan. Penghuninya akan lebih memilih pada zona nyaman (comfort zone). Betul begitu kan?

Contoh artikel berikut ini menggambarkan bahwa insan kampus pun sudah terpapar Islamofobia dan seolah mengesankan mereka ingin berada di zona nyaman saja. Mau nyimak?


Protokol Kampus Antikhilafah; For What?

Sebagaimana diberitakan oleh Mew Malang Pos  tanggal 3 Desember 2020, salah satu staf pengajar Fakultas Hukum dan Pascasarjana Universitas Islam Malang bernama Abdul Wahid hendak memperkenalkan sebuah protokol kampus di tengah ketatnya protokol kesehatan di masa pandemi covid-19 ini. Saya tidak tahu apakah secara institusional protokol ini telah disahkan menjadi protokol resmi kampusa atau masih sekedar wacana. Protokol itu dinamai Protokol Kampus Anti Khilafah. Protokol kampus anti sistem khilafah, barangkali dewasa ini sudah terbilang mendesak untuk disusun oleh Perguruan Tinggi (PT), baik oleh PT yang tidak semata-mata kurikulum atau proses pembelajarannya dominan mengajarkan materi keislaman, namun juga PT yang dalam kurikulumnya hanya sedikit mengajarkan  tentang  keagamaan secara umum. 

Selain itu, yang utama adalah mempertimbangkan kecenderungan menguatnya dan masifnya sejumlah orang atau “organisasi tertentu” yang gencar menawarkan dan mengajak masyarakat Indonesia, khususnya yang beragama Islam untuk menerima, mengakui, dan memilih paham atau sistem khilafah.
Musuh Islam itu ternyata juga berasal dari dalam Islam sendiri. Sudah jelas kampus itu kawah candradimuka yang bertujuan meruhanikan ilmu pengetahuan mengapa malah bersikap resisten terhadap ilmu pengetahuan termasuk tentang sistem pemerintahan. 

Open mind, Boss! Tidak saatnya lagi membungkam kebenaran apalagi era Revolusi Industri 4.0 yang menuntut adanya perubahan yg bersifat disruptif, mendasar dan mengakar (radikal).

Sebagai dosen di bidang hukum tata negara, mestinya paham bagaimana sejarah sistem tata pemerintahan dunia, termasuk khilafah. Bukannya dibuka wacana untuk meneliti, mereview, mengoreksi jika perlu perihal khilafah, malah sebaliknya antipati terhadap sistem pemerintahan yang sempat berjaya selama ribuan tahun lamanya. 

Seorang pakar HTN seharusnya mau membuka diri untuk belajar berubah dan berkembang ketika melihat suatu sistem pemerintahan gaya tertentu tidak mampu bringing justice dan social welafare to the people. Seorang ilmuan yang bervisi ke depan seharusnya tidak suka berkubang dalam comfort zone sehingga mereka terjerembab pula dalam fear zone. Seorang ilmuwan seharusnye berani untuk menjadi sosok pembelajar sehingga mau beringsut dari kubangan comfort zone lantaran terjerembab dalam fear zone. Mereka harus beringsut dalam kawah candradimuka yakni learning zone agar secara pelan tapi pasti menapaki road map menuju growth zone.

Jangan berharap negeri ini akan tumbuh dan berkembang menjadi negeri yang di dalamnya hadir kebenaran, keadian dan social welfare kalau para pejabat apalagi ilmuwannya hanya berkubang di comfort zone dan memandang seluruh perlawanan, perbedaan, sanggahan serta kritikan sebagai ancaman terhadap kemapanan dan kenyamaman yang statis. Mari kita lihat muara kejumudan rezim dan ilmuwan yang antiperubahan, antiketerbukaan, antikritik, antiIslam bahkan memiliki proyek peradaban kampus dengan protokol anti khilafah. 

Saya orang yang pernah juga belajar HTN bahkan hingga sekarang pun terus mau menjadi pembelajar terhadap berbagai sistem pemerintahan dunia termasuk kekhalifahan. Khilafah bukan ilusi, bukan fiktif juga bukan sekedar fiksi melainkan realitas yang pernah kokoh di panggung sejarah peradaban umat manusia. Sistem pemerintahan ini tercatat dengan tinta emas bahkan oleh para ulama di 4 madzab pun menorehkannya sebagai materi dalam kitab-kitab fikih siyasahnya. Apakah fakta semacam hendak kita kaburkan dan dikuburkan? Ilmuwan macam apa jika argumen bukan dijawab dengan argumen namun justru dilawan dengan sentimen? Ilmuwan macam apa kita jika cipta dan rasa serta karsa kita tertutup dari diskursus keilmuawan ketatanegaraan termasuk tentang kekhalifahan? 

Baiklah, seandainya pun kita tidak setuju dengan penerapan sistem kekhalifahan, namun apakah pantas lalu kita membuat garis demarkasi seolah-olah khilafah itu barang najis dan haram yang mesti dijauhi oleh umat Islam sendiri? Apakah kita yakin bahwa khilafah itu berkarakter demikian? Apakah kita sudah betul-betul memperlajarinya? Apakah khilafah itu bukan warisan Rasululloh kepada para sahabatnya? Apa mungkin para sahabat penggantinya bekerja, mengatur pemerintahan saat itu lepas dan tidak berdasar tuntunan Rasulllah ketika memimpin Madinah? Khilafah itu termasuk bagian dari ajaran Islam Tuan, dan Puan! Untuk apa kita antipati terhadapnya dan memalingkan muka ke ajaran demokrasi Barat yang dulu pun ditentang habis oleh Ir. Soekarno? Kita bukan negara demokrasi namun negara berketuhanan yang Maha Esa dan mendasarkan sistem kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. 

Terkait Relasi antara Pancasila dengan khilafah, tidak perlu diperdebatkan dan dihadapkan karena tidak apple to apple. Pancasila itu berada di wilayah ideologis, sedang khilafah itu di tataran teknis sistem pemerintahan. Jika khilafah di Indonesia belum bisa diterapkan, tidak perlu dipaksakan. Tidak boleh ada pemaksaan apalagi kekerasan. Namun, sebagai kalangan terpelajar, hendaknya semuanya open mind. Kampus sebagai bagian dari the open society juga harus open mind. Kritik tidak boleh ditempatkan sebagai enemy melainkan sebagai cara mitra yang turut membangun negari. Lalu, logiskan kita mempropagandakan kampus dengan protokol sekalian protokol antikhilafah? Tabik! []


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar