Takwa Hakiki Tak Sebatas Episode Acara Religi


Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengeluarkan Surat Edaran yang menegaskan bahwa, selama bulan Ramadan 2021 siaran televisi diperketat. Ada 14 poin aturan yang diminta KPI ke Lembaga penyiaran, seperti tidak menampilkan muatan yang mengandung lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT), hedonistik, mistik/horor/supranatural, praktik hipnotis atau sejenisnya. KPI juga mengimbau untuk tidak menampilkan muatan yang mengeksploitasi konflik dan/atau privasi seseorang, bincang-bincang seks, serta muatan yang bertentangan dengan norma kesopanan dan kesusilaan. "Tidak menampilkan pengisi acara yang berpotensi menimbulkan mudarat atau keburukan bagi khalayak kecuali ditampilkan sebagai orang yang menemukan kebaikan hidup, insaf atau tobat." (DeskJabar, 24/3/2021).

Saat datangnya Ramadhan, pastinya semua berharap bisa menjalankan ibadah puasa yang khusyuk tanpa gangguan agar bisa mewujudkan ketakwaan kepada Allah secara hakiki. Dalam rangka menyambut datangnya bulan mulia terdapat usaha untuk mencegah kemaksiatan dan kemungkaran di tengah masyarakat selama Ramadhan serta memberi suasana khusyuk beribadah, tentu saja upaya yang dilakukan KPI tersebut diapresiasi dengan sangat baik oleh umat Islam.

Namun sayangnya, pelarangan terhadap konten dan muatan negatif yang tentu saja bertentangan dengan nilai agama tersebut hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja. Jelas, hal tersebut menunjukkan bahwa negeri kita berpegang kepada akidah sekuler.

Bahwa betul, pelaksanaan takwa adalah buah dari puasa Ramadhan yang dilakukan oleh setiap Mukmin, namun paham sekularisme yang mengusung demokrasi yang dianut negeri ini memaksakan kaidah memisahkan agama dari kehidupan, mempersempit makna agama, takwa hanya sebatas ibadah ritual, aturan Allah di berlakukan pada saat momen tertentu saja, misalnya saat bulan Ramadhan.

Ramadhan sebagai wujud takwa, dengan senantiasa mengingat Allah, selalu menaati-Nya. Sebagaimana Firman Allah: "Hai manusia, beribadahlah kalian kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa." (QS al-Baqarah:21).

Sejatinya perwujudan takwa tak hanya harus diraih saat Ramadhan saja tetapi di setiap waktu. Saat bulan Ramadhan dijadikan sebagai proses melatih ketakwaan kepada Allah selama satu bulan, yang dibuktikan dengan istiqamah menjalankan perintah dan menjauhi larangan Allah. 

Pelaksanaan takwa tak akan terwujud hanya dengan menjauhkan perilaku dan konten maksiat selama sebulan saja, yang artinya selepas Ramadhan kemaksiatan bebas dipertontonkan. Kaum Muslim tidak hanya membutuhkan tayangan yang mendukung tercapainya tujuan puasa, tapi juga sistem yang benar-benar mewujudkan tujuan takwa. Maka untuk membangun totalitas takwa yang hakiki butuh sebuah sistem yang benar-benar menjaga keberlangsungan suasana keimanan.

Sebagaimana periayahan Islam dalam bingkai khilafah, ketakwaan akan dijaga sepanjang hayat, negara yang dalam hal ini dipimpin seorang khalifah akan mencegah dan menjaga umatnya dari perilaku maksiat, sepanjang waktu, bukan hanya momen puasa.

Khalifah akan menerapkan hukum Islam secara kaffah dengan melakukan upaya pembinaan akidah Islam terhadap individu dengan berbasis ideologi Islam. Membangun kesadaran beriman dan taat sepenuhnya kepada Allah Subhanahu waTa'ala.

Kontrol dan pengawasan terhadap media selalu dilakukan, sebab media memiliki peran politis dan strategis yang bisa memberi pengaruh sekaligus menjaga umat dari segala muatan yang merusak iman. Yang dalam sistem Islam berfungsi sebagai sarana syiar dakwah Islam.

Khalifah juga akan memberlakukan sistem sanksi yang tegas bagi masyarakat yang masih melakukan maksiat dan pelanggaran syariat. Selain sebagai penggugur dosa, hal itu dimaksudkan untuk memberi efek jera bagi pelakunya.

Maka usai Ramadhan diharapkan, setiap mukmin senantiasa berupaya menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Tentu dengan mengamalkan seluruh syariat-Nya tanpa terkecuali, baik terkait perkara akidah, perkara ubudiah seperti makanan, minuman, pakaian dan akhlak, perkara muamalah yakni ekonomi, politik, pendidikan, pemerintahan, sosial, budaya, maupun perkara uqubat atau sanksi hukum.

Tidak disebut bertakwa jika seseorang yang biasa melakukan shalat, melaksanakan puasa Ramadhan atau menunaikan ibadah lainnya sementara masih melakukan perkara tercela seperti riba, melakukan suap, abai terhadap urusan masyarakat, menzalimi rakyat dan bahkan menolak penerapan syariat secara kâffah.

Bahwa kini saatnya kita menengok tata kehidupan yang telah diamalkan oleh suri teladan kita hingga akhir zaman, Rasulullah ï·º. Beliau ï·º menjalankan peraturan hidup yang direkomendasikan oleh Allah SWT, tidak dengan yang lain. Wallahu a'lam.[]

Oleh: Sri Suarni

Posting Komentar

0 Komentar