Perlukah Pembatasan Pendakwah Selama Bulan Ramadhan?


Dikutip dari Pikiran Rakyat Tasikmalaya.com, 28 Maret 2021 bahwa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) diketahui menerbitkan Surat Edaran (SE) No. 2 Tahun 2021 mengenai Siaran di Bulan Suci Ramadhan. Dalam SE tersebut KPI melarang TV dan Radio, memberikan tempat bagi pendakwah dari Organisasi Islam terlarang, seperti yang tertuang dalam Pasal 6 poin d yang bunyinya, "Mengutamakan penggunaan dai/pendakwah kompeten, kredibel, tidak terkait organisasi terlarang sebagaimana telah dinyatakan hukum di Indonesia, dan sesuai dengan standar MUI, serta dalam penyampaian materinya senantiasa menjunjung nilai-nilai Pancasila dan ke-Indonesiaan".

Menyikapi hal tersebut, KPID Jawa Barat akan berkonsultasi dengan MUI Jawa Barat. Ketua  KPID Jawa Barat Adiyana Slamet menyebutkan pihaknya akan berkoordinasi dengan  MUI dalam waktu dekat untuk membahas SE tersebut. 

Menanggapi  pada poin 6 Ketentuan Pelaksanaan huruf (d) yang menekankan pendakwah harus sesuai standar Majelis Ulama Indonesia (MUI),  seharusnya dasar penilaian yang objektif menekankan pada gagasan spiritual dan rasionalitas yang dibawa oleh pendakwah/dai, bukan pada latar belakang dari kelompok/organisasi. 

Seharusnya bulan Ramadhan menjadi momentum syiar Islam  supaya umat lebih memahami Islam secara kaffah. Bukan hanya mengurusi pembatasan  pendakwah.  Semestinya bisa lebih cermat dalam melihat fakta sosiologis masyarakat di Indonesia yang tidak hanya terdiri dari satu organisasi/mazhab semata. Hal ini  bisa melanggar hak bicara dan mengeluarkan pendapat para pendakwah sebagai warga negara Indonesia. 

Semestinya jika konten ceramah tidak bertentangan dengan aturan yang ada maka tidak perlu dilarang. Karena sebagai warga yang mempunyai hak berbicara, mengeluarkan pendapat apalagi sepanjang konten atau isi pembicaraannya tidak bertentangan dengan nilai-nilai keagamaan serta tidak mengandung unsur adu domba maupun fitnah, jika sesuai syariat Islam atau yang bersumber dari Al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma para sahabat, maka ilmu tersebut harus disiarkan.

Seharusnya KPI lebih fokus kepada pelarangan berbagai  tayangan berbau pornografi dan pornoaksi yang jelas-jelas merusak  masa depan generasi bangsa dan bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Akan tetapi dilakukan sepanjang waktu  seperti tayangan dalam film, sinetron dan iklan yang mengandung konten negatif. Parahnya, konten-konten ini justru dianggap membawa keuntungan bagi para pengusaha. 

Bagi mereka penganut kapitalisme apapun akan dilakukan selama ada peluang yang menghasilkan uang. Hal ini membuktikan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) sedang berjalan di negeri. Tayangan yang mengumbar aurat dan gerakan-gerakan erotis keberadaannya tidak dipermasalahkan dengan dalih seni dan atas nama tuntutan pasar.

Semua ini merupakan bentuk ketakutan penguasa akan maraknya konten dakwah ideologis yang begitu gencar dalam media sosial saat  ini. Sampai-sampai momentum yang baik untuk syiar Islam selama bulan Ramadhan malah membatasi pendakwah yang mengisi ceramah. 

Sangat berbeda dalam Islam, media didaulat sebagai sarana penebar kebaikan, alat kontrol dan sarana syiar dakwah Islam baik di dalam maupun ke luar negeri. Media memiliki peran politis dan strategis sebagai benteng penjaga umat dan negara, sehingga suasana taat terus tercipta dan wibawa negara terus terjaga. Dalam pandangan Islam media massa merupakan media komunikasi massal. Terbukti bahwa hanya media dalam Islam yang akan menyelamatkan umat. Alhasil, tak hanya di bulan Ramadhan, setiap saat umat akan dikondisikan dalam suasana keimanan dan ketakwaan. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Oleh: Eros Rosnani 
(Ibu Rumah Tangga & Aktivis Muslimah)

Posting Komentar

0 Komentar