Isu Impor Beras Membawa Petaka

Isu impor beras yang ramai diperbincangkan pada musim panen memicu harga gabah di tingkat petani merosot. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, harga gabah kering di tingkat petani turun 7,85% sepanjang Maret 2021. Bukan hanya stok yang melimpah karena panen, turunnya harga gabah juga dipengaruhi oleh isu impor yang sempat berhembus. Sebab, dibandingkan Maret 2020, rata-rata harga gabah pada Maret 2021 di tingkat petani untuk kualitas gabah kering panen dan gabah kering siap giling masing-masing turun sebesar 11,17% dan 9,57%. Di tingkat penggilingan, rata-rata harga gabah pada Maret 2021 dibandingkan dengan Maret 2020 untuk kualitas gabah kering panen dan gabah kering siap giling masing-masing turun sebesar 10,92% dan 9,46% (katadata.co.id, 1/4/2021).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyebutkan bahwa Indonesia berencana mengimpor 1 juta ton beras untuk pasokan beras bansos selama masa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM). Selain itu, adanya banjir yang menerjang beberapa daerah mengancam ketersediaan pasokan beras (kompas.com, 6/3/2021).

Walaupun beberapa waktu kemudian Jokowi mengoreksi kebijakan tersebut dengan mengatakan bahwa sampai Juni 2021 mendatang tidak ada impor beras yang masuk ke Indonesia, namun harga gabah dan harga beras di masyarakat sudah terlanjur mengalami penurunan. Selama Maret 2021, rata-rata harga gabah kering panen di tingkat petani Rp 4.385 per kilogram atau turun 7,85 dibandingkan Februari 2021. Sedangkan harga gabah dengan kualitas sama di tingkat penggilingan Rp 4.481 per kilogram atau turun 7,86% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan, rata-rata harga gabah kering siap giling di tingkat petani Rp 5.214 per kilogram atau turun 1,99% dan di tingkat penggilingan Rp 5.331 per kilogram atau turun 1,85%. Rata-rata harga beras kualitas premium di penggilingan sebesar Rp 9.607 per kilogram, atau hanya turun 1,69% dibandingkan bulan sebelumnya. Sedangkan, harga beras kualitas medium di penggilingan sebesar Rp 9.154 per kilogram atau turun 2,48 (katadata.co.id, 1/4/2021).

Dalam negara kapitalis liberal, impor seringkali menjadi pilihan praktis untuk menjaga ketahanan pangan. Padahal seringkali kebijakan tersebut membawa kerugian bagi rakyat kecil. Bahkan pada tahun 2018 lalu Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) membuang stok beras yang mutunya berkurang sebanyak 20 ribu ton beras. Pembuangan beras tersebut mendapat sorotan karena membutuhkan dana yang tak sedikit yakni sekitar Rp160 miliar.

Beras yang dibuang merupakan 1 persen dari cadangan beras pemerintah (CBP) yang menumpuk di gudang Bulog sekitar 2,3 juta ton. Cadangan beras tersebut berasal dari impor 2018 sekitar 900 ribu ton dan sisanya dari stok dalam negeri. 

Hal tersebut berbeda jauh dengan sistem Islam. Dalam negara yang menerapkan sistem Islam, yaitu khilafah, negara menjaga kemandiriannya dengan melakukan upaya-upaya untuk menjaga ketahanan pangan. Upaya-upaya tersebut yaitu: Pertama, mengoptimalkan kualitas produksi pangan. Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian. Ekstensifikasi bisa dilakukan dengan menghidupkan tanah mati. Intensifikasi dilakukan dengan peningkatan kualitas bibit, pupuk, dan alat-alat produksi dengan teknologi terkini.

Kedua, mekanisme pasar yang sehat. Negara melarang penimbunan, penipuan, praktik riba dan monopoli. Kebijakan pengendalian harga dilakukan melalui mekanisme pasar dengan mengendalikan supply and demand bukan dengan kebijakan pematokan harga.

Ketiga, manajemen logistik. Negara akan memasok cadangan lebih saat panen raya. Negara akan mendistribusikan secara selektif bila ketersediaan pangan berkurang.

Keempat, mengatur kebijakan ekspor impor antar negara. Kegiatan ekspor impor merupakan bentuk perdagangan luar negeri. Ekspor boleh dilakukan jika seluruh rakyat terpenuhi kebutuhan pokoknya.

Kelima, prediksi cuaca. Yaitu, kajian mendalam tentang terjadinya perubahan cuaca. Hal ini didukung fasilitas dan teknologi mutakhir. Sebagai bentuk antisipasi perubahan cuaca ekstrem dalam mempengaruhi produksi pangan negeri.

Keenam, mitigasi kerawanan pangan. Negara menetapkan kebijakan antisipasi jika bencana kekeringan atau bencana alam lainnya.

Adapun impor, hal ini berkaitan dengan kegiatan perdagangan luar negeri. Impor dilakukan dalam kondisi yang sangat mendesak bila negara tidak dapat memenuhi kebutuhannya sendiri. Aspek yang dilihat dalam perdagangan luar negeri adalah pelaku perdagangan, bukan barang yang diperdagangkan. 

Pelaku perdagangan ini bisa diklasifikasikan menurut negara asalnya, menjadi tiga: Kafir Harbi, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang bermusuhan dengan negara Islam dan kaum Muslim; Kafir Muâhad, yaitu mereka yang menjadi warga negara kafir yang mempunyai perjanjian dengan negara Islam; dan warga negara Islam.

Terkait dengan warga negara kafir harbi, mereka diperbolehkan melakukan perdagangan di negara Islam, dengan visa khusus, baik yang terkait dengan diri maupun harta mereka. Kecuali warga negara “Israel”, Amerika, Inggris, Prancis, Rusia dan negara-negara kafir harbi fi’lan lainnya, sama sekali tidak diperbolehkan melakukan perdagangan apa pun di wilayah negara Islam.

Adapun warga negara kafir muâhad, maka boleh dan tidaknya mereka melakukan perdagangan di wilayah negara Islam dikembalikan pada isi perjanjian yang berlaku antara khilafah dengan negara mereka.

Sementara warga negara khilafah, baik Muslim maupun non Muslim (ahli dzimmah), mereka bebas melakukan perdagangan, baik domestik maupun luar negeri. Hanya saja, mereka tidak boleh mengekspor komoditas strategis yang dibutuhkan di dalam negeri sehingga bisa melemahkan kekuatan Negara Khilafah dan menguatkan musuh.

Demikianlah Islam mengatur kehidupan dengan aturan-aturan yang komprehensif dan tentu saja akan mendatangkan kesejahteraan untuk seluruh rakyat dan menjaga kemandirian bangsa. Wallahu a'lam bishshawab.[]

Oleh: Kamilah Azizah

Posting Komentar

0 Komentar