Habis Bom Bunuh Diri, Terbitlah Narasi Moderasi


Aksi bom bunuh diri kembali terjadi. Kali ini pelakunya pasangan muda yang dilakukan di depan Gereja Katedral, Makasar. Tentu kejadian ini kembali membuka luka lama, khususnya bagi umat Islam. Meski berulang kali telah ditegaskan bahwa Islam bukan agama teroris atau Islam bukan ajaran radikal, faktanya tak membuat publik memahami hakikat Islam. 

Sejak diluncurkannya agenda WoT (War on Terrorism) yang diinisiasi oleh Amerika Serikat setelah peristiwa 9/11 telah berhasil menggiring opini publik bahwa Islam lekat dengan tindakan terorisme.

Adanya opini tersebut berefek pada Islamofobia akut di tengah umat. Dan pihak yang paling dirugikan dari agenda WoT itu adalah umat Islam. Hal ini juga diungkapkan oleh jurnalis Australia, John Pilger, "Korban terbesar terorisme adalah umat Islam. Hakikatnya tak ada perang melawan terorisme, yang ada adalah perang dengan menggunakan alasan terorisme."

Hal yang sama diungkapkan oleh Ketum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, yang menegaskan agar tidak mengaitkan tindakan bom bunuh diri di Makasar dengan agama dan golongan umat beragama tertentu. Karena hal tersebut bisa memicu adudomba rakyat Indonesia (liputan6.com, 29/3/2021).

Lebih lanjut, Haedar menyatakan, "Boleh jadi tindakan bom tersebut merupakan bentuk adu domba, memancing di air keruh, dan wujud dari perbuatan teror yang tidak bertemali dengan aspek keagamaan."

Perang melawan terorisme dan radikalisme seolah menjadi bahan yang tak pernah ada habisnya. Dunia pada umumnya, negeri ini dan umat Islam khususnya terus dicekoki dengan narasi tersebut seolah-olah masalah ini adalah masalah yang lebih besar daripada masalah pandemi Covid-19.

Padahal, Islam dengan tegas dan keras melarang tindakan teror dan bom bunuh diri yang berakibat mencelakai diri sendiri dan orang lain. Allah Swt berfirman, "Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian." (TQS an-Nisa': 29).

Juga sabda baginda Nabi Saw, "Siapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahanam dia kekal di dalamnya." (HR Bukhari-Muslim).

Publik juga perlu mendetaili ada apa di balik bom Makassar, di saat banyak sekali masalah yang sedang dihadapi negeri ini. Karena seringkali jika ada aksi teror yang identik dengan bom bunuh diri selalu digambarkan bahwa pelakunya Muslim dan diberitakan di media sepanjang waktu hingga berhari-hari. Sehingga membuat isu-isu nasional lainnya tenggelam karena isu terorisme.

Maka, jika mau bijak melihat terkait terorisme akan didapati bahwa ada KKB Papua yang juga terkategori tindak teror. Lantas, apakah perangkat negara bertindak cepat dan tegas pada mereka?

Adanya kejadian di Makassar ini tentulah semakin menyuburkan penyakit Islamofobia di negeri dengan mayoritas Muslim ini. Bagaimana tidak, framing jahat dan narasi negatif yang selalu dialamatkan pada umat Islam berimbas menimbulkan ketakutan. Umat Islam yang harusnya mengenal Islam-nya, bersemangat untuk belajar Islam lebih dalam menjadi khawatir akan terpapar paham teroris ataupun radikal. Di sisi lain, ada anggapan bahwa belajar Islam, aktif beramar makruf nahi mungkar, cinta pada kitabullah (Al-Qur'an) dilabeli sebagai bibit teroris. Inilah yang semakin membuat citra Islam buruk serta menjauhkan umat Islam dari ajaran agamanya.

Peristiwa bom Makassar ini menjadi momentum tepat bagi pengusung moderasi agama untuk semakin lantang menyuarakan idenya. Proyek deradikalisasi yang dirancang oleh para pembenci Islam layaknya menjadi obat mujarab dalam mencegah terorisme agar tidak berkembang pesat.

Moderasi beragama menyerukan pada kaum Muslim agar merasa cukup dengan melaksanakan ibadah ritual semata dan mengamalkan Islam hanya pada ranah individu, mereduksi ajaran jihad dan khilafah sebatas sejarah bukan sebagai bagian dari syariat Islam yang wajib diketahui, dan membuka lebar untuk menerima ajaran-ajaran dari luar Islam (nilai dan pemikiran Barat) seperti demokrasi, liberal, sekuler dan lainnya.

Narasi moderasi beragama sejatinya hanya akan mengaburkan ajaran Islam bagi umat Muslim. Lantas mengapa ada oknum yang terjebak melakukan aksi terorisme? Maka terlepas, apakah aksi tersebut murni teror, konspirasi, atau operasi intelijen, adanya terorisme diawali dengan kesalahan umat memahami Islam dan ajarannya. 

Salah memahami makna jihad sehingga melakukan tindakan ngawur mengatasnamakan jihad dengan meledakkan bom di tempat umum maupun tempat ibadah. Salah memahami khilafah, muncul anggapan bahwa khilafah boleh ditegakkan dengan kekerasan. Padahal telah diteladankan oleh Rasulullah ketika menegakkan Islam kaffah dalam kehidupan tidak melalui kekerasan, apalagi dengan tindak teror dan menyakiti non Muslim.

Apabila ada sebagian dari umat Islam salah memahami ajarannya maka solusinya adalah membina mereka dengan ajaran yang benar yang telah termaktub dalam kitabullah dan sunnah Rasulullah. Bukan justru dengan deradikalisasi ataupun moderasi. Deradikalisasi hanya akan membuat umat menjadi pribadi sekuler yang memilih-milih syariat sesuai kehendak hatinya saja. Sedangkan dengan moderasi hanya akan membuat umat menganggap bahwa Islam bisa ditafsiri sesuai kepentingan belaka. 

Oleh karena itu, penting diketahui oleh umat Islam untuk memahami Islam dari akar hingga daun. Mengkaji Al-Qur'an dan sunnah sesuai dengan porsinya tanpa ada penambahan atau pengurangan.[]

Oleh: Nila Indarwati
(Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban)

Posting Komentar

0 Komentar