Bencana Kembali Terulang, Cukupkah Hanya dengan Tanggap Darurat?


Gempa bumi kembali terulang di belahan wilayah Indonesia bagian timur, tepatnya di selatan Malang pada 10 April lalu. Tidak sedikit warga yang terdampak akibat gempa tersebut. Mulai dari korban meninggal, ribuan bangunan rusak ringan hingga parah dan ratusan fasilitas umum ikut terkena dampaknya. Respon dari pemerintah atas kejadian ini yang diwakili oleh Presiden melalui pernyataan persnya (Minggu, 11/04/2021) lagi-lagi hanya sebatas himbauan untuk segera melakukan langkah tanggap darurat dan hanya sekedar mengingatkan bahwasanya Indonesia berada di wilayah ring of fire sehingga masyarakat harus meningkatkan kewaspadaan terhadap bencana alam yang akan terjadi.

Melihat dari pernyataan tersebut, keberadaan Negeri Khatulistiwa yang berada di ring of fire adalah Sunnatullah. Tidak layak jika hanya berdiam diri tanpa melakukan ikhtiar preventif dan hanya berputar pada ranah kuratif.  Mengingat bahwasanya rakyatlah yang paling menanggung dampak kerugian dan kerusakan karena akibat bencana yang terjadi. 

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Azis Syamsuddin menyatakan bahwasanya mitigasi bencana berbasis teknologi merupakan poin penting yang harus mulai diterapkan oleh pemerintah (Antara, 11/04/2021). Selain mitigasi bencana, sistem informasi peringatan dini bencana harus mudah diakses masyarakat. Khususnya di daerah pegunungan dan pesisir pantai.

Pemerintah yang hanya mengedepankan pemulihan pasca bencana melalui langkah tanggap darurat, menunjukkan miskinnya visi utama dalam mengurusi urusan rakyatnya. Akibatnya, rakyat harus kembali menjadi korban. Masih banyak dari rakyat yang tak paham mitigasi bencana, karena memang tak pernah memperoleh simulasi, alih-alih penyuluhan. Rentetan bencana yang sering kali menimpa harusnya membuat pemerintah berkaca diri untuk mengerahkan segala kemampuannya dalam melindungi rakyatnya dari dampak yang lebih besar akibat bencana yang terjadi.  

Indonesia yang sudah terbukti berada di wilayah tiga patahan lempeng bumi. Artinya, negeri kita jelas rawan bencana, harusnya mitigasi bencana berbasis teknologi tersistem dengan baik. Inilah yang belum dilakukan dan bukan menjadi fokus utama sistem sekuler saat ini yang sudah terbukti abai dengan urusan rakyatnya. Padahal, mengurusi urusan rakyat adalah kewajiban dari penguasa. Kelalaiannya jelas membawa kepada dosa. 

Rasulullah Saw. bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, yang bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya. Seorang penguasa yang memimpin manusia (rakyat) adalah pemimpin, dan dia bertanggung jawab terhadap mereka.” (HR al-Bukhari).

Sejatinya, sudah menjadi tugas seorang penguasa sebagai pelayan rakyat. Penguasa bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Apabila sampai rakyat menderita maka pertanggungjawabannya sangat besar di akhirat kelak. Oleh karena itu, menjadi pemimpin harus mengutamakan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadinya. Kriteria pemimpin seperti ini tidak akan kita temui kecuali pada diri khalifah yang memimpin dengan ketakwaan. 

Dalam konteks penanganan terhadap bencana, Khilafah Islamiyahlah yang hanya bisa merealisasikan semuanya dengan nyata melalui kebijakan-kebijakan komprehensif yang terhimpun dalam manajemen bencana model Khilafah Islamiyah. Manajemen bencana model Khilafah Islamiyah tegak di atas akidah Islamiyah. Prinsip-prinsip pengaturannya didasarkan pada syariat Islam, dan ditujukan untuk kemashlahatan rakyat. Managemen bencana Khilafah Islamiyah meliputi penanganan pra bencana atau mitigasi bencana, ketika dan sesudah bencana.

Terkait aspek mitigasi bencana berbasis teknologi akan diterapkan oleh Khilafah Islamiyah yang ditujukan untuk mencegah atau menghindarkan penduduk dari bencana. Mulai dari kegiatan pembangunan insfratruktur untuk mencegah bencana dan menganggarkan biaya untuk alat deteksi berteknologi. Seperti pengadaan alat deteksi gempa & buoy (pendeteksi gempa yang berdampak tsunami) yang dipasang di setiap wilayah rawan gempa/tsunami, pembangunan kanal, bendungan, pemecah ombak, tanggul, Reboisasi (penanaman kembali), pemeliharaan daerah aliran sungai dari pendangkalan, relokasi, tata kota yang berbasis pada amdal, memelihara kebersihan lingkungan dan lainnya. 

Kegiatan lain yang tidak kalah penting adalah membangun mindset dan kepedulian masyarakat, agar mereka memiliki persepsi yang benar terhadap bencana; dan agar mereka memiliki perhatian terhadap lingkungan hidup, peka terhadap bencana, dan mampu melakukan tindakan-tindakan yang benar ketika dan sesudah bencana. Untuk merealisasikan hal ini, khalifah akan melakukan edukasi terus-menerus, khususnya warga negara yang bertempat tinggal di daerah-daerah rawan bencana alam; seperti warga di lereng gunung berapi, pinggir sungai dan laut, dan daerah-daerah rawan lainnya.

Kegiatan lainnya membentuk tim-tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan non teknis dalam menangani bencana. Tim ini dibentuk secara khusus dan dibekali dengan kemampuan dan peralatan yang canggih seperti alat telekomunikasi, alat berat, serta alat-alat evakuasi korban bencana, dan lain-lain, sehingga mereka selalu siap sedia (ready for use) diterjunkan di daerah-daerah bencana. 

Inilah langkah-langkah yang akan ditempuh khalifah untuk menangani bencana yang melanda di wilayah Khilafah Islamiyah. Manajemen mitigasi bencana berbasis teknologi semacam ini disusun dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Karenanya khalifah tau betul ia kelak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah atas apa yang dipimpinnya. Tidak abai dan lalai seperti yang dilakukan sistem sekuler saat ini dalam menangani bencana. []


Oleh: Apt. Mita Ayu Ardita, S. Farm
(Aktivis Dakwah)

Posting Komentar

0 Komentar