75 Tahun Merdeka: Benarkah Tantangan yang Mengancam Kita adalah Radikalisme?


Persoalan radikalisme kembali diangkat dan dibiaskan menjadi persoalan dan ancaman terbesar bagi negeri ini. Hal tersebut tampak pada pernyataan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Republik Indonesia Tjahjo Kumolo, yang mengingatkan seluruh aparatur sipil negara (ASN) agar waspada terhadap ancaman paham radikalisme di lingkungan sekitar masing-masing.

Hal tersebut ia kemukakan saat memberi sambutan pada acara pelantikan dan pengambilan sumpah jabatan calon pegawai negeri sipil (CPNS) Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) Tahun Anggaran 2019 di Kantor Kementerian PAN RB, Jakarta, Kamis (1/4/2021).

“Saya mengingatkan, setelah 75 tahun kita merdeka, tantangan yang mengancam kita adalah masalah radikalisme terorisme,” ujar Tjahjo yang dikutip dari Antara.

Dalam kesempatan itu, ia juga menerangkan komitmen pemerintah dalam memberantas paham radikalisme terorisme telah tertuang dalam surat keputusan bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN oleh 11 kementerian dan lembaga. Tindak lanjut dari surat itu, salah satunya pembentukan portal aduan sebagai sistem pelaporan atas pelanggaran yang dilakukan oleh aparatur sipil negara.

Namun pertanyaannya, benarkah demikian bahwa radikalisme terorisme merupakan persoalan dan ancaman bagi negeri ini setelah tujuh puluh lima tahun kemerdekaannya? Lalu atas dasar dan alasan apa? Mengapa isu-isu radikalisme dan terorisme selalu saja digencarkan di tengah berbagai problematika bangsa dan kesenjangan yang membelit negeri ini?


Agenda di Balik Biasnya Isu-Isu Radikalisme Terorisme yang Dihembuskan di Depan ASN

Dalam kurun waktu beberapa tahun ini, yakni selama dalam kepemimpinan pemerintahan Presiden Jokowi, banyak kalangan khususnya Pemerintah, atau pun juga partai tertentu berperilaku hukum atas dasar mind set mereka sendiri, yang menyatakan bahwa masalah besar kita adalah radikalisme dengan embel-embel Agama, khususnya Agama Islam. Akhirnya perilaku yang mereka tampakkan adalah seringnya memberikan ancaman kepada warga negara, misalnya ancaman terhadap ASN yang terbukti menganut ideologi khilafah karena dianggap telah terpapar radikalisme. Padahal mereka sendiri hingga detik ini tidak mampu menunjukkan korelasi antara radikalisme dengan khilafah yang merupakan ajaran Islam, dan banyaknya permasalahan di segala bidang kehidupan di negeri ini. 

Yang ada justru, adanya hasil penelitian dari Siti Zuhro (LIPI) yang mengungkapkan bahwa sumber masalah utama negeri ini bukan radikalisme, tetapi ketimpangan sosial (kompas.com/29/12/ 2019). Selain itu, Peneliti Belanda bernama Beren Schot juga menyatakan hal senada, bahwa ia tidak setuju Pemerintah RI menggunakan narasi radikalisme untuk distempelkan kepada orang dan atau kelompok yang berseberangan dengan pemerintah (republika.co.id/22/12/2019). Kelompok tersebut juga cenderung diarahkan kepada kelompok-kelompok Islam, khususnya kelompok umat Islam yang berseberangan cara pandang politiknya dengan pemerintah.

Jika dicari akar masalahnya pun, ketimpangan sosial yang disebutkan  disebabkan oleh faktor utama adanya sistem kapitalisme, yang kita anut dalam penyelenggaraan negara ini. Demikian juga perilaku buruk para pejabat yang tampak saat ini, juga bersaranakan hukum yang diciptakan demi pemihakan kepada sistem kapitalisme tersebut. Lalu, pantaskah menuding-nuding kelompak Islam sebagai biang kerok kebobrokan berbagai bidang di negeri ini, sehingga ada upaya terus menerus menyasar umat Islam dengan dalih-dalih baru tentang khilafah yang dikaitkan dengan tindakan radikalisme terorisme, yang disejajarkan juga dengan larangan ideologi komunisme. Padahal menyejajarkan sistem pemerintahan Islam khilafah dengan ideologi komunisme adalah wujud kedunguan sejarah dan hukum. 

Fakta telah membuktikan bahwa, selama tujuh puluh lima tahun pasca kemerdekaan, ideologi kapitalisme bahkan komunisme telah gagal menuntun negeri ini menjadi negeri yang adil makmur, gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kertaraharja. Dalam artian, Gagal! Secara akal sehat, seharusnya kita berpaling kepada ideologi lain yang jelas dan tegas dibimbing oleh hukum-hukum dan aturan Allah, Sang Pencipta Jagad Raya yang mestinya tidak diragukan lagi kebenarannya. Negara bangsa ini seharusnya mulai mengarahkan kiblatnya dengan memberi kesempatan kepada ideologi Islam yang dikenal sebagai sistem yang bersifat  "rahmatan lil 'alamin"--- yang akan mendatangkan rahmat, keberkahan bagi seluruh alam-- Itulah watak progresif yang seharusnya diemban oleh negeri yang mengaku Berkutahanan yang Maha Esa yang tertuang dalam bunyi kesatu sila pancasilanya. Ideologi Islam yang  akan mampu menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang semakin parah. 

Di sisi lain, selain dari kesenjangan sosial yang ada, di negeri ini juga tampak berbagai kerusakan dan kekacauan akibat ulah para pejabat negara sendiri. Seperti: tindakan korupsi para pejabat dan anggota partai, pelanggaran hukum oleh para penegak hukum, kekerasan terhadap anak dan perempuan, kemiskinan dan pengangguran dan lainnya. Pemerintah yang diharapkan dapat melakukan kebijakan atau terobosan brilian sebagai solusi atas krisis multidimensi tersebut, justru malah sibuk mengembuskan isu radikalisme yang tidak ada kaitannya dengan berbagai persoalan tersebut.

Sungguh ironis, di saat jutaan rakyat menunggu solusi atas segala kemelut persoalan negeri, dari mulai masalah tatanan sosial, rendahnya akhlak para pejabat dan penegak hukum, sulitnya prekonomian, sistem pendidikan dan kesehatan dll yang kian amburadul dan menyengsarakan rakyat, Pemerintah justru lagi-lagi memberikan opini lain melalui isu radikalisme yang tidak jelas makna dan wujudnya. Namun biasnya isu radikalisme terorisme yang selalu diangkat di permukaan publik ini, malah terkesan ingin mengalihkan semua realitas kerusakan tersebut, dengan menggiring opini kepada masyarakat dan pegawai negeri bahwa negeri ini dalam keadaan darurat ektremisme yang berhubungan erat dengan radikalisme. Jadi dapat dipertanyakan, benarkah hal ini semata-mata hanya untuk menutupi segala macam ketimpangan yang ada tersebut?

Jika kita coba telisik lebih mendalam, adanya kembali program penanggulangan radikalisme melalui surat keputusan bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN oleh 11 kementerian dan lembaga tersebut , sejatinya hanyalah kelanjutan dari program deradikalisasi yang menjadi agenda utama kepemimpinan kabinet Presiden Jokowi di awal masa periode keduanya ini. Program deradikalisasi merupakan turunan dari agenda war on terorrism yang sarat dengan misi dunia global dalam agenda _War On Terorism_ yang dikendalikan oleh Barat (Amerika dan sekutunya), yang selama ini begitu tampak sedang terjangkit Islamophobia. 

Jadi bukanlah hal berlebihan jika isu-isu radikalisme terorisme yang berulang-ulang diangkat ke permukaan ini, dinilai sebagai sebuah proyek yang sangat beraroma kepentingan dan kemauan barat, yakni agenda untuk memerangi orang dan kelompok atau menekan ASN yang berpegang teguh pada ideologi Islam dan yang ikut terlibat dalam aktivitas mendakwahkan Islam. Termasuk juga upaya stigmatisasi simbol-simbol Islam yang distigma negatif sebagai simbol-simbol teroris, sehingga harus dimusuhi atau dijadikan common enemy di tengah kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.  

Di sisi lain, digencarkannya kembali isu radikalisme ke permukaan publik ini, juga diduga kuat sebagai bagian besar dari skenario untuk melanggengkan hegemoni kapitalisme liberal, yang kian merasa terancam oleh ideologi dan cara pandang politik Islam yang kian masif dan mendominasi pemikiran umat di negeri muslim, layaknya Indonesia. Sehingga stigma radikal ekstremisme adalah cara ampuh yang dipilih dalam membendung eksistensi ideologi Islam, dan serta merta ingin menjauhkan umat secara umum dan ASN secara khusus dari ajaran dan syariat Islam, dan semakin dirusak dengan ideologi sekularisme yang ditanamkan.

Dari situ tampak jelas bahwa, hadirnya kembali statement-statement bias terkait radikalisme dan terorisme ini, begitu kental arahnya untuk dialamatkan kepada umat Islam. Sebagai upaya propaganda atas perilaku Islamophobia yang ditampakkan. Itulah wujud dari strategi rezim sekuler dalam membendung sekaligus memonsterisasi ajaran Islam, khususnya khilafah yang kian akrab dan difahami oleh umat di dalam perjuangan untuk mengembalikan kembali kehidupan Islam.


Dampak Isu Radikalisme Terorisme bagi Kehidupan Masyarakat dan para ASN 

Sebagaimana yang kami terangkan di muka tadi, gencarnya pemerintah dalam mencuatkan isu peperangan terhadap  radikalisme terorisme ini cenderung tendensius, dan begitu kentara bidikannya kepada umat Islam, bukan yang lain. Karena jika pemerintah mampu objektif dalam melihat dan meletakkan permasalahan, keberadaan OPM (Organisasi Papua Merdeka) yang sudah jelas-jelas melakukan tindakan pembunuhan terhadap ribuan rakyat sipil dan anggota aparat kemanan, tidak pernah sekalipun dituduh radikal atupun telah melakukan tindakan terorisme. Atau setidaknya dijelaskan kepada publik ataupun di depan ASN atas kejahatan OPM. Namun itulah bukti dugaan idiom radikalisme begitu lekat sasarannya kepada Islam dan umatnya saja. 

Dengan itu, maka ini tentu patut disayangkan, karena sangat merugikan Islam dan ajaran yang dianut oleh umatnya. Istilah radikalisme cenderung digunakan sebagai alat penyesatan yang akan membentuk stigma negatif terhadap lawan politik rezim sekuler demokrasi. Khususnya terhadap golongan kelompok, dan ASN yang memiliki pandangan dan jalan politik Islam. Maka tentu saja, dibiaskannya kembali peperangan terhadap radikalisme ini, akan berpotensi mengusik dan mencinderai kebebasan ASN dan umat Islam secara umum, dalam menjalankan keyakinan beragama yang dilindungi oleh konstitusi, khususnya bagi umat Islam dan ASN muslim yang aktif dalam aktivitas dakwah dan memperjuangkan kembali tegaknya syariat Islam secara keseluruhan.

Alih-alih berdalih ingin menciptakan efektivitas keamanan di kalangan ASN, pernyataan dari Menpan RB tersebut justru berpotensi akan memunculkan rasa saling curiga di kalangan para ASN dan semua kalangan anak bangsa, serta akan memecah-belah ukhuwah antar pemeluk agama dan mencerai beraikan kerukunan yang ada. Dan yang lebih fatal adalah akan merusak jargon-jargon persatuan yang selama ini kerap didengung-dengungkan dalam sistem demokrasi. 

Selain itu juga, biasnya narasi ada ancaman radikalisme terorisme di tengah kehidupan masyarakat dan para ASN, akan menimbulkan juga penyakit islamofobia di lingkungan mereka. Umat Islam dan para ASN negeri ini akan dihinggapi rasa takut dan was-was terhadap ajaran dan syariat Islam, agamanya sendiri. Mereka akan semakin terpapar pola pikir sekularisme, dengan membatasi kehidupan mereka dengan ajaran agamanya. Sehingga mereka akan menjauhi aktivitas dakwah yang mendakwahkan Islam secara kaffah atau keseluruhan. Karena yang telah terpikir dalam benak mereka bahwa, mengamalkan syariat Islam secara keseluruhan merupakan tindakan ekstrim dan bentuk dari radikalisme.

Selanjutnya dalam ranah politik, narasi radikalisme yang mengarah kepada lawan politik rezim demokrasi ini, juga akan berdampak timbul keengganan masyarakat dan ASN untuk melek politik dan terlibat dalam aktivitas politik, bahkan mereka akan semakin menjauhi politik. Karena dari fakta yang mungkin mereka telah lihat adalah, lawan politik rezim ini adalah kelompok dakwah yang secara aktif terjun dalam politik Islam. Baik dalam bentuk berkontribusi dalam perjuangan Islam, maupun hanya sekadar menyampaikan kritik dan pendapatnya bagi rezim pemerintahan yang berkuasa. Mereka akan cenderung menjadi golongan yang berdiam diri, tidak perduli atas berbagai kedzaliman dan ketidakadilan penguasa yang merajalela.

Itulah sederet dampak buruk apabila isu-isu radikalisme ini dibiarkan terus berhembus, dalam mempengaruhi pola masyarakat dan ASN. Narasi yang tampak gegabah, yang seharusnya tidak dilakukan oleh para pemangku negara. Sebagai pejabat negara seharusnya lebih dapat memberikan pernyataan yang mendidik, objektif, dan solutif, dan mengedepankan prinsip praduga tak bersalah. Agar tidak semakin memperkeruh situasi dan kondisi kehidupan maupun perpolitikan di negeri ini. Karena sungguh banyak persoalan yang lebih penting yang mendesak untuk segera ditindaklanjuti dan diselesaikan oleh para pemegang kebijakan di negeri ini.


Langkah Umat Islam Khusunya ASN dalam Mengahadapi Isu Radikalisme dan Terorisme

Pada akhirnya kita semakin bisa memahami apa motif serta tujuan di balik gencarnya isu radikalisme terorisme, yang begitu masif dan dibiarkan berkembang ini. Maka tentu hal demikian membutuhkan counter yang konstruktif oleh masyarakat khususnya umat Islam dan ASN muslim. Dan semua itu membutuhkan langkah yang tepat dan terpadu, agar mampu mementahkan penyesatan opini terhadap Islam, dan umatnya yang selalu coba dikaitkan dengan isu-isu radikalisme.

Lalu apa yang seharusnya masyarakat dan umat Islam khususnya para ASN muslim dapat lakukan dalam mengahadapi biasnya isu-isu radikalisme ini? Sebagaimana dari ulasan di muka tadi, telah dijelaskan bahwa isu radikalisme terorisme ini mengarah kuat untuk menyasar ajaran dan aktivitas dakwah umat Islam. Jadi dapat disimpulkan, sejatinya narasi radikalisme ini punya kepentingan untuk memojokkan umat Islam, yang dianggap sebagai ancaman dengan dikaitkan-kaitkan dengan tindak kekerasan dan terorisme yang selama selalu diangkat di permukaan.

Dengan demikian sikap terbaik yang dapat dilakukan oleh umat dan individu ASN muslim ialah, harus menunjukkan sikap sebaliknya yaitu tetap tenang dan konsisten dalam memegang kebenaran, jangan gampang terpengaruh oleh narasi-narasi tendensius, yang cenderung ingin memojokkan Islam.

Para ASN secara individu maupun umat Islam secara umum hendaknya lebih giat dalam membina diri dengan pemahaman dan tsaqafah Islam, hingga tumbuhnya keteguhan secara akidah dan kesadaran politik dengan sudut pandang Islam. Agar tidak gampang terjebak dan terpengaruh oleh berbagai strategi, propaganda, dan narasi-narasi yang datang dari ide dan pemikiran barat, yang sejatinya ingin menjauhkan umat dari syariat dan pandangan politik Islamnya. Melalui kaki tangannya yakni lewat kebijakan-kebijakan para penguasa muslim, seperti yang tampak di hadapan umat melalui isu-isu radikalisme ini.

Tanpa adanya pemahaman Islam yang benar, dan kesadaran politik yang memadai, maka umat dan para ASN akan mudah terjebak  dalam strategi dan permainan musuh-musuh Islam, yang ingin menghancurkan kaum muslimin yang tercerai berai dalam perpecahan. Dan yang tidak kalah penting adalah, mereka harus tetap berusaha dan istiqamah dalam memegang kebenaran dan syariat Islam dalam dirinya, walau banyak penentangan oleh pemerintah sebagai pemegang kebijakan atas tugas-tugas mereka sebagai abdi negara.

Mereka harus dapat mengenali siapa yang menjadi ancaman negeri ini yang sesungguhnya, ancaman negeri ini bukanlah saudara mereka sendiri yang selama ini kerap difitnah dan dilabeli radikalis ekstremis hingga teroris karena memperjuangkan Islam, namun ancaman sesungguhnya bagi negeri ini dan harus dimusuhi bersama adalah sistem sekularisme, liberalisme dan kapitalisme yang saat ini tengah diemban oleh para penguasa dan menguasai negeri-negeri kaum muslimin lainnya. Perilaku otoriter para pemegang kekuasaan, perbuatan tindak pidana korupsi para pejabat negara, praktik pemerintahan oligarki dan dominasi kapitalis dalam setiap kebijakan, adalah deretan wujud dari ancaman nyata sistem kapitalisme yang diterapkan atas negeri ini.
.
Dengan kesadaran yang benar seperti itu, maka umat Islam wajib pula untuk melibatkan diri dalam jama'ah dakwah yang kokoh dan berpegang teguh pada metode yang dicontohkan Rasulullah Saw. Karena disadari ataukah tidak, gencarnya isu-isu radikalisme terorisme yang selalu canangkan penguasa saat ini, sejatinya adalah potret bagaimana pertarungan antara ideologi kufur dan ideologi shahih (Islam) tengah berlangsung, haq dan bathil semakin terpisah pada masing-masing posisinya. Maka sudah selayaknya juga umat Islam dan para ASN menentukan ada di pihak mana posisi mereka berada.

Umat wajib terus meningkatkan semangat persatuan dan semangat ukhuwah dan pemahaman keislamannya, agar tidak mudah terjebak dalam agenda yang sebetulnya ingin memprovokasi guna memecah-belah persatuannya, apalagi  terjebak pada sikap saling mencurigai yang berujung pada tindakan saling lapor-melaporkan hingga berakhir dengan perpecahan, antara ASN dan masyarakat umum. Karena itulah yang sesungguhnya tujuan di balik gencarnya isu-isu radikalisme tersebut.

Mari bersatu padu dan merapatkan barisan, serta menjaga ukhuwah Islamiyyah serta menolak tegas upaya pihak-pihak yang mencoba mendeskreditkan Islam, dan ingin memecah belah persatuan kaum Muslimin. Ke depan, umat Islam wajib terus berjuang mewujudkan kembali hadirnya penguasa Muslim yang baik, adil dan amanah dalam sistem terbaik yaitu sistem Islam, khilafah Islamiyah. Karena hanya dengan sistem Islam itulah, yang bisa mewujudkan para pemangku pemerintahan yang dapat mendidik dan menuntun rakyatnya kepada kebenaran. Karena mereka dicintai oleh umat dan rakyat yang dipimpinnya. 

Sebagaimana hadist Nabi SAW, “Sebaik-baik Imam (pemimpin) kalian adalah yang kalian cintai dan mereka mencintai kalian. Kalian do’akan mereka dan mereka pun mendo’akan kalian. Seburuk-buruk Imam (pemimpin) adalah yang kalian benci dan mereka membenci kalian. Kalian melaknat mereka dan mereka juga melaknat kalian”.


Kesimpulan

Dari uraian di atas, maka dapat kami tarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Jika kita coba telisik lebih mendalam, adanya kembali program penanggulangan radikalisme melalui surat keputusan bersama (SKB) Penanganan Radikalisme ASN oleh 11 kementerian dan lembaga tersebut, sejatinya hanyalah kelanjutan dari program deradikalisasi yang menjadi agenda utama kepemimpinan kabinet Presiden Jokowi di awal masa periode keduanya ini. Program deradikalisasi merupakan turunan dari agenda war on terorrism yang sarat dengan misi dunia global dalam agenda _War On Terorism_ yang dikendalikan oleh Barat (Amerika dan sekutunya), yang selama ini begitu tampak sedang terjangkit Islamophobia. 

Dampak buruk atas pernyataan dari Menpan RB melalui narasi ancaman radikalisme terorisme di hadapan para ASN tersebut, justru berpotensi akan memunculkan rasa saling curiga di kalangan para ASN dan semua kalangan anak bangsa, dan akan menimbulkan juga penyakit islamofobia di lingkungan mereka. Dalam ranah politik, narasi radikalisme yang mengarah kepada lawan politik rezim demokrasi ini, juga akan berdampak timbul keengganan masyarakat dan ASN untuk melek politik dan terlibat dalam aktivitas politik, bahkan mereka akan semakin menjauhi politik. Mereka akan cenderung menjadi golongan yang berdiam diri, tidak perduli atas berbagai kedzaliman dan ketidakadilan penguasa yang merajalela.

Langkah yang dapat dilakukan oleh Para ASN secara individu maupun umat Islam secara umum dalam mengahadapi narasi radikalisme terorisme ini, yakni dengan lebih giat dalam membina diri dengan pemahaman dan tsaqafah Islam, hingga tumbuhnya keteguhan secara akidah dan kesadaran politik dengan sudut pandang Islam. Agar tidak gampang terjebak dan terpengaruh oleh berbagai strategi, propaganda, dan narasi-narasi yang datang dari ide dan pemikiran barat, yang sejatinya ingin menjauhkan umat dari syariat dan pandangan politik Islamnya. Mereka harus dapat mengenali siapa yang menjadi ancaman negeri ini adalah sistem sekularisme, liberalisme dan kapitalisme yang saat ini tengah diemban oleh para penguasa dan menguasai negeri-negeri kaum muslimin lainnya. Perilaku otoriter para pemegang kekuasaan, perbuatan tindak pidana korupsi para pejabat negara, praktik pemerintahan oligarki dan dominasi kapitalis dalam setiap kebijakan, adalah deretan wujud dari ancaman nyata sistem kapitalisme yang diterapkan atas negeri ini.[]

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpgainst

Oleh: Prof. Dr. Suteki,S.H.,M.Hum (Pakar Hukum & Masyarakat, Rekol Uniol 4.0 Diponorogo) dan Liza Burhan (Analis Mutiara Umat, Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar