Selain Tuntutan Revisi Buku PAI, PGI Minta Menag Revisi PBM Rumah Ibadah: Adakah Hidden Agenda?


Belum juga "kelar" polemik tuntutan revisi buku PAI Kelas 11 dan 8 terbitan Kemendikbud 2014, umat Islam dihebohkan dengan tuntutan PGI revisi Peraturan Bersama Menteri (PBM) Kemenag dan Kemendagri Nomor 9/8 Tahun 2006. Tuntutan PGI agar PBM Rumah Ibadah 2006 direvisi sebenarnya sudah diajukan sejak tahun 2020. Namun, pada hari Senin, 25 Jan 2021 detikNews mewartakan kembali soal tuntutan PGI (13/2/2020) agar PBM yang juga disebut Surat Keputusan Bersama (SKB) dua menteri mengenai pendirian tempat ibadah direvisi. Ketua PGI Gomar Gultom menyatakan bahwa PBM untuk memfasilitasi memudahkan umat beragama, bukan untuk membatasi. Yang terjadi sekarang, masyarakat menafsirkannya dan menggunakannya untuk membatasi. Dalam kerangka inilah PGI meminta revisi atas PMB tersebut. 

Gomar menekankan SKB dua menteri yang harus direvisi mengenai peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Gomar menyinggung adanya sistem proporsional dalam pendirian tempat ibadah. Lebih lanjut dinyatakan Gomar bahwa revisi terhadap posisi FKUB, FKUB itu sangat proporsional dalam peraturan lama. Kita menuntut itu supaya tidak dipakai kata proporsional karena dengan proporsional itu yang terjadi voting bukan musyawarah, itu yang menghilangkan spirit bangsa kita untuk musyawarah, oleh karenanya setiap FKUB itu jumlahnya harus terdapat cerminan dari seluruh komponen masyarakat. Menurutnya, pendirian tempat ibadah tidak berpatokan pada rekomendasi FKUB. Gomar menyebut izin pendirian tempat ibadah adalah otoritas negara, bukan otoritas FKUB. 

Tekait dengan isu ini, ada beberapa hal yang perlu saya sampaikan, yaitu: 

Pertama, langkah yang diambil oleh Menteri Agama untuk mengkaji isi dari SKB dua Menteri mengenai pendirian rumah ibadah menurut saya tidak urgen, tidak penting dan redundant, buang-buang waktu meskipun kita sadar betul bahwa mereview peraturan hukum itu hal biasa karena alasan jika memang didasarkan atas: 

Pertama. Urgensi
(1) penyesuaian perkembangan zaman (nasional, internasional), (2) tuntutan rakyat, (3) kebijakan baru negara. 

Kedua. Subtansi
Memenuhi kaidah HUKUM, DEMOKRASI DAN HAM (hubungan piramidal). 

Ketiga. Destinasi
Tujuannya harus jelas, disesuiakan dengan landasan (1) filosofis; (2) yuridis, dan (3) sosiologis. 

Ketiga hal tersebut harus diperhatikan. Revisi SKB harus didasarkan pada ketiga aspek tersebut. Oleh karena keinginan revisi atas PBM itu tidak memenuhi aspek urgensi, substansi maupun destinasi perubahan suatu peraturan hukum, maka dapat disimpulkan bahwa revisi tidak diperlukan. 

Kedua, menurut ketua PGI, ijin pendirian tempat ibadah tidak berpatok pada rekomendasi FKUB, tetapi otoritas negara, yaitu Kemenag. Terkait dengan persoalan ini, saya berpandangan bahwa
pendirian sebuah bangunan apa pun jenisnya, memang secara ideal harus memerhatikan "lingkungan sekitar" dengan tujuan agar tidak menimbulkan "keributan" di kemudian hari karena munculnya dampak lingkungan. Oleh karena itu izin warga setempat bahwa mereka tidak berkeberatan atas pendirian dan penggunaan suatu bangunan menjadi sangat penting. Negara dengan otoritasnya menjadi pintu terakhir untuk memberikan izin resmi pendirian suatu bangunan, apalagi bangunan tempat ibadah. Jadi, peran FKUB masih sangat relevan untuk dilibatkan dalam pendirian tempat ibadah. FKUB sebagai filter negara (pemerintah) utk menerbitkan kebijakannya. 

Jika tidak maka kekhawatiran terjadinya benturan dan konflik sosial dan umat beragama akan terbuka luas, baik dalam bentuk vandaliame, intoleransi maupun sikap dan tindakan segregasi lainnya. 

Ketiga, Menko Polhukam Mahfud MD tidak perlu mengabulkan permintaan PGI agar SKB dua Menteri mengenai pendirian rumah ibadah direvisi substansi, khususnya Pasal 14 PBM. Saya kira yang perlu direvisi bukan substansinya namun yang perlu direvisi adalah level peraturan hukumnya agar dinaikkan levelnya dari SKB menjadi UU pendirian rumah ibadah agar kekuatan hukumnya lebih terjamin dan daya ikatnya lebih luas karena dibicarakan oleh para wakil rakyat kita baik di DPR maupun di Pemerintahan. 

Kebijakan di level kementerian akan mudah untuk disalahgunakan sesuai dengan kepentingan pejabat terkait (hidden agenda) dan memiliki daya ikat yang seringkali lebih kuat dibandingkan UU. Oleh karena substansi pengaturan pendirian rumah ibadah ini menyangkut kebutuhan rakyat secara luas tanpa kecuali, maka lebih tepat dibuat dalam bentuk UU. 

Atas ketiga pandangan tersebut dapat dinyatakan bahwa keinginan PGI mengajukan usul revisi atas PBM 2006 khususnya terkait dengan syarat pendirian rumah ibadah (Pasal 14) tidak perlu ditindaklanjuti dan apalagi dikabulkan oleh Kemenag dan Menkopolhukam. PBM ini tidak diskriminatif karena berlaku untuk siapa pun, golongan agama apa pun diperlakukan sama. Persoalan voting dalam FKUB ketika memutuskan untuk memberikan rekomendasi pendirian rumah ibadah juga bukan sesuatu yang baru dalam menentukan kebijakan atau mengambil keputusan penting di  level kenegaraan. MPR, DPR, Majelis Hakim, MUI dan lain-lain sudah lazim mengambil keputusan berdasar voting ketika jalan musyawarah gagal dilakukan. Yang penting rekomendasi FKUB itu bukan satu-satunya syarat pendirian rumah ibadah. 

Rekomendasi Kepala Kantor Kemenag setempat juga dibutuhkan selain persetujuan minimal 60 tokoh/masyarakat setempat dan peserta rumah ibadah minimal 90 orang warga setempat. Semua syarat ini fair dan tidak dikriminatif serta tidak dimaksudkan untuk mempersulit semua golongan agama dalam pendirian rumah ibadah. Kita berharap, usulan revisi PGI atas PBM 2006 tidak dikabulkan oleh Pemerintah jika Pemerintah memang menghargai golongan mayoritas dan melindungi golongan minoritas. 

Agenda kerukunan umat bergama harus diutamakan dengan terus menjaga semangat toleransi tanpa harus mendeskreditkan golongan agama manapun, sehingga kita dijauhkan dari segala "hidden agenda" yang justru bertendensi menciptakan segregasi sosial-agama. Tabik...!! []

Semarang, Jumat: 26 Maret 2021

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
(Pakar Hukum dan Masyarakat)

Posting Komentar

0 Komentar