Menggugat International Women Day (IWD): Beranikah Perempuan Memilih Tantangan Hidup Menuju Perubahan Hakiki?


Euforia perayaan Hari Perempuan Internasional atau International Womens Day 2021 telah nampak di berbagai belahan negara di dunia. Tanggal 8 Maret selalu dianggap sebagai hari spesial oleh banyak perempuan di seluruh dunia, tak terkecuali di negeri-negeri Muslim.

Kali ini, sebagaimana yang diwartakan kompas.com, Senin (8/3/2021), perayaan pada tahun ini mengambil tema kampanye "Choose to challenge". Komunitas International Womens Day (IWD) mengambil tema itu, menurutnya sebagai bentuk bahwa kaum perempuan berani mengambil pilihan dan tantangan. Sedangkan, pesan yang dibawa dalam kampanye ini adalah melawan ketidaksetaraan, bias dan stereotip terhadap kaum perempuan, juga siap membantu terwujudnya dunia yang inklusif.

'Choose to challenge' seperti apa yang layak perempuan ambil, ketika masih berkubang hidup dalam sistem sekuler kapitalistik? Di Indonesia sendiri, angka kriminalitas terhadap perempuan terus meningkat. Berdasarkan data komnasperempuan.go.id (18/2/2020), dari tahun 2015 sejumlah 293.220 kasus, tahun 2016 sejumlah 321.752 kasus, tahun 2017 sejumlah 259.150 kasus, tahun 2018 sejumlah 348.446 kasus dan di tahun 2019 sejumlah 406.178 kasus.

Sedangkan, dilansir dari Kompas.com, Selasa (9/3/2021), Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengungkapkan, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan Komnas Perempuan pada 2020 meningkat 6 persen dibandingkan 2019, tercatat 58 persen kasus kekerasan seksual dari total 3.602 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di ranah publik atau komunitas.Tercatat setidaknya dalam sehari ada 35 perempuan mengalami kekerasan seksual. Bahkan, himpitan hidup yang semakin liberal sekuler saat ini, fitrah perempuan tergerus, banyak ditemui kasus ibu yang tega membunuh anak kandung sendiri, mulai dari beban ekonomi hingga beban mengajari anak secara daring.

Sampai kapan berbagai keterpurukan akan terus menimpa nasib perempuan di Indonesia dan di seluruh dunia? Kini, beranikah kaum perempuan mengambil pilihan dan tantangan yang akan membawa mereka pada perubahan yang hakiki?


Pengaruh IWD kepada Perempuan di Seluruh Dunia

Sudah memasuki satu abad, IWD selalu diperingati oleh kaum perempuan di seluruh dunia, tepatnya sejak awal tahun 1900-an. Pada tahun 1908, terjadi kerusuhan besar, penindasan, dan ketimpangan yang dialami perempuan sehingga memacu mereka lebih vokal dan aktif dalam mengkampanyekan adanya perubahan. Belasan ribu perempuan turun aksi di New York, AS menuntut jam kerja yang lebih pendek, gaji yang lebih baik, dan diberikan hak suara. Aksi tuntutan kaum perempuan terus berlanjut dari tahun ke tahun, yang dilakukan oleh berbagai negara Barat dan Eropa.

Pada akhirnya, tanggal 8 Maret diakui keberadaannya oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai Hari Perempuan atau International Womens Day. Perempuan di dunia dengan dukungan PBB secara terus menerus melakukan kampanyenya dalam setiap perayaan IWD. Demi memperjuangkan hak-hak yang mereka harapkan.

Mereka merasa perlu terus merayakan dan memperjuangkan hak perempuan karena menganggap aksi tersebut merupakan representasi protes kesetaraan gender yang sampai saat ini masih timpang. Kenyataannya secara global, taraf pendidikan, kesehatan, posisi perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Sementara, angka kekerasan seksual terhadap perempuan semakin bertambah dari waktu ke waktu.

Kampanye ini dipaksakan masuk ke negeri-negeri kaum Muslim, yang pada kenyataannya akibat penerapan sistem sekuler kapitalistik, kaum perempuan di negeri-negeri Muslim pun merasakan penderitaan hidup karena tak terpenuhinya hak-hak mereka. Alhasil, ide-ide yang dipaksakan itu menemukan momennya, dan diterima sebagian perempuan-perempuan Muslim yang merasakan nasib yang sama dalam keterpurukan. Tanpa mengetahui akar permasalahan mereka.

Solusi kesetaraan gender yang diusung IWD dalam setiap kampanyenya meskipun dalam tema yang berbeda, ini dianggap sebagai sebuah solusi global untuk permasalahan perempuan yang harus diemban oleh semua orang tanpa memandang keyakinan budaya atau keyakinan agama mereka. Yang mana dewasa ini, ide ini dipandang oleh banyak pihak, termasuk perempuan muslim sebagai cara yang dianggap mumpuni untuk mewujudkan harapan perempuan agar terpenuhi.

Meskipun telah satu abad berlalu, nasib perempuan semakin jatuh dalam keterpurukan. Ironinya mereka masih setia dengan perjuangan kesetaraan gendernya. Mereka menganggap perlu lebih nyaring menyuarakan tuntutannya. Tokoh dan figur perempuan yang terlihat berdaya dalam memenuhi taraf hidup yang diukur dengan materi dijadikan simbol-simbol kampanye mereka. Menganggap keberhasilan materi adalah pencapaian yang menjadi ukuran keberhasilan.

Kaum perempuan yang merasa bangga dengan pencapaian kesuksesan materi, menganggap ini wujud dari pengaruh digaungkannya IWD berikut kampaye-kampanyenya. Sehingga mereka merasa perlu untuk terus menggaungkannya dan membantu perempuan lain untuk dapat memperoleh pencapaian yang sama dengan mereka. Perempuan-perempuan yang terhimpit dalam sistem sekuler kapitalistik, meniscayakan mereka mengukur setiap kebahagiaan hanya sekedar tercukup materi, dan menuntut kebebasan dalam pencapaiannya.

Kampanye IWD mampu terus memberi pengaruh kepada perempuan di seluruh dunia karena seakan memberikan angin segar atas berbagai keterpurukan dan penderitaan yang dialami perempuan di berbagai belahan dunia. Mereka menganggap itulah solusi problematika yang dialaminya, tanpa memandang lagi akar permasalahan mereka yang terletak pada sistem sekuler kapitalistik.


Membongkar Harapan Semu Kampanye IWD

Satu abad telah berlalu semenjak gaung kampanye IWD disuarakan perempuan di berbagai negara. Alih-alih perempuan memperoleh hak-haknya dan semakin berdaya dengan peran pentingnya sebagai perempuan, namun persoalan yang dihadapi tetap sama bahkan lebih mengerikan dan memburuk.

Sekiranya salah besar pernyataan Forum Ekonomi Dunia, yang menganggap dibutuhkan 100 tahun lagi untuk membuat kesenjangan antara perempuan dan laki-laki sirna. Nyatanya 100 tahun telah berlalu, perempuan masih terus menuntut hak-haknya, namun yang didapati keterpurukan yang semakin jatuh lebih dalam.

Saatnya untuk membongkar harapan semu yang ditebarkan dalam kampanye IWD. Perempuan di seluruh dunia, terutama perempuan Muslim harus mampu melihat racun yang terbungkus madu dalam ide-ide sesat yang terus disuntikkan pada kampanye IWD. Diantaranya:

Pertama. Akar permasalahan sistem sekuler kapitalistik.

Berdasarkan historis, awal mula munculnya IWD adalah akibat penderitaan kaum perempuan yang mengalami ketidakadilan dan perampasan hak-haknya di negara-negara Barat dan Eropa di bawah buruknya sistem sekuler kapitalistik. Kemudian kampanye ide-idenya dipaksakan untuk dianut bagi seluruh perempuan-perempuan di dunia termasuk juga seluruh perempuan di negeri-negeri muslim dengan tujuan untuk menciptakan kesetaraan peran antara kehidupan laki-laki dan perempuan, baik di ranah publik maupun pribadi.

Meskipun slogan kesetaraan gender telah menjadi kampanye global yang diusung oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Berbagai macam program dalam bentuk kebijakan-kebijakan, gerakan-gerakan dan konferensi-konferensi tingkat internasional terus digencarkan. Segala macam kebijakan dan gerakan yang mengangkat kesetaraan gender pada kenyataannya tidak mampu mengurangi persoalan yang dihadapi perempuan. Mulai dari eksploitasi ekonomi, komersialisasi media, kekerasan seksual, kemiskinan, pendidikan, tiadanya jaminan kesehatan, dan lain-lain.

Nasib perempuan di berbagai belahan dunia masih tetap sama dengan berbagai macam permasalahan yang semakin memburuk dan mengerikan. Ini karena solusi yang ditawarkan tidak menyentuh akar permasalahan. Perempuan terpuruk akibat kerusakan sistem sekuler kapitalistik yang salah dalam memandang dan menempatkan perempuan, yang mana sistem ini menjadikan perempuan sebagai objek sensualitas dan pemuas kebutuhan-kebutuhan industri kapitalistik.

Kedua. Ide sesat kesetaraan gender mengaburkan peran fitrah perempuan.

Cara pandang liberal dalam sistem sekuler yang mengedepankan kebebasan berperilaku, dan memisahkan agama dari kehidupan, terus memaksakan kesetaraan gender bagi peran laki-laki dan perempuan. Padahal jelas cara pandang liberal ini menggerogoti peran penting penciptaan seorang perempuan secara fitrahnya.

Keberanian meminta hak sama rata laki-laki dan perempuan telah mengaburkan peran fitrah penciptaan. Peran yang berbeda diciptakan Sang Khaliq bukan untuk dibanding-bandingkan timbangannya, namun keberadaannya untuk saling melengkapi tanggungjawab masing-masing. Karenanya tuntutan pengusung kesetaraan gender ini menyalahi fitrah penciptaannya sehingga hanya memberi harapan semu semata.

Ketiga. Menjauhkan perempuan Muslim mencetak generasi penakhluk.

Klaim kesetaraan gender dalam setiap kampanye yang digaungkan IWD dianggap mampu memenuhi hak-hak kaum perempuan, namun itu semakin jauh dari genggaman. Bahkan menjadi racun bagi perempuan-perempuan Muslim khususnya dalam menunaikan peran perempuan sesungguhnya secara fitrah. Yaitu sebagai pencetak generasi peradaban untuk mewujudkan generasi penakhluk.

Penerapan sistem sekuler kapitalistik menggoyahkan ketahanan keluarga Muslim. Program kesetaraan gender gagal untuk menghargai pentingnya peran seorang ibu, gagal mengakomodasi tanggung jawab keluarga mereka. Menghancurkan peran perempuan sebagai ummun wa rabbatu bait, menjadi seorang ibu bagi anak-anaknya dan pengurus rumah tangga bagi suaminya. Dengan lemahnya peran perempuan sebagai ibu, mengantarkan pada kehancuran generasi, sehingga tidak mampu lagi berdaya untuk mencetak generasi Islam yang mampu menakhlukkan kezaliman umtuk tunduk di bawah cahaya Islam.

Keempat. Propaganda Barat terhadap perempuan-perempuan di negeri Muslim.

Kenyataannya konsep yang selalu dikampanyekan IWD adalah ide yang dilahirkan oleh Barat yang berlandaskan atas doktrin sekuler Barat. Mereka tidak menyadari penderitaan yang saat ini dialami oleh keluarga muslim adalah produk invasi peradaban Barat dengan konsep-konsep liberalnya yang jelas-jelas merusak dan telah menunjukkan kerusakannya karena bertumpu pada cara pandang liberal sekuler.
Konsep Barat tentang kesetaraan gender di berbagai negara-negara mayoritas Muslim dan komunitas Muslim di seluruh dunia hanyalah cara lain yang digunakan oleh negara-negara kapitalis kolonial di dalam perjuangan ideologis mereka melawan Islam. Mereka mengendalikan negeri-negeri Muslim, menciptakan penguasa-penguasa boneka, menggerogoti kekayaan alamnya.

Alhasil, sering terjadi benturan antara perempuan muslim yang memegang teguh ajaran agamanya dengan kaum feminis dalam mengkampanyekan slogan-slogannya. Dikarenakan setiap bentuk kepercayaan, budaya, atau ideologi apapun yang berseberangan dengan ide mereka, akan dikecam dan dilabeli sebagai sesuatu yang anti perempuan, terbelakang dan menindas.

Syariat Islam yang mengatur sistem pergaulan Islam dan peran laki-laki perempuan di dalam keluarga Islam telah menjadi target utama mereka. Bahkan mereka berani masuk dalam ranah merubah pemahaman umat terhadap hukum-hukum Islam. Inilah bentuk rongrongan Barat yang menyasar Islam, apalagi tidak sedikit umat Muslim yang mengadopsi kesetaraan gender dan ide-ide feminis lainnya. Mereka masih menaruh kepercayaan bahwa konsep-konsep kesetaraan gender dan ide-ide feminis yang diusung dalam setiap kampanye IWD tersebut akan mengarahkan mereka pada terpenuhinya hak-hak perempuan dan membawa kemajuan bagi mereka dan lebih berdaya.

Inilah upaya mereka secara masif demi mencegah kebangkitan Islam di dunia Muslim sebagai sebuah sistem politik: yakni Khilafah yang berdasarkan metode kenabian, yang akan menantang hegemoni mereka dan mengancam kepentingan mereka di dunia.


Strategi Islam Penuhi Harapan Kaum Perempuan Wujudkan Perubahan Hakiki

Kini dalam kampanye terbarunya IWD mengusung tema 'Choose to challenge' sebagai bentuk bahwa kaum perempuan berani mengambil pilihan dan tantangan. Sedangkan, pesan yang dibawa dalam kampanye ini tak jauh berbeda masih memperjuangkan kesetaraan gendernya, yaitu melawan ketidaksetaraan, bias dan stereotip terhadap kaum perempuan, juga siap membantu terwujudnya dunia yang inklusif.

'Choose to challenge' seperti apapun yang akan diambil perempuan ketika masih berkubang hidup dalam sistem sekuler kapitalistik tidak akan pernah mampu mewujudkan harapan mereka. Saatnya kaum perempuan berani mengambil pilihan dan tantangan yang akan membawa mereka pada perubahan yang hakiki. Perubahan yang mampu mewujudkan harapan mereka, bukan harapan semu.

Perlu menoleh ke belakang, secara historis ide kesetaraan gender lahir dari sistem sekuler liberal yang memandang perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Lahir dari pengalaman historis akan ketidakadilan, penindasan dan ketiadaan hak-hak politik, ekonomi, pendidikan, pelayanan kesehatan yang dihadapi oleh kaum perempuan di negara-negara Barat. Sedangkan di dalam sistem Islam selama 14 abad memimpin dunia, tidak ada sejarah ini.

Islam membedakan antara pria dan wanita dalam sebagian hukum. Islam memerintahkan agar keduanya, kaum pria dan kaum wanita, ridha terhadap hukum-hukum yang khusus tersebut. Sebaliknya, Islam melarang masing-masing pihak untuk saling iri dan dengki serta untuk mengangankan apa yang telah Allah lebihkan kepada sebagian atas sebagian yang lain.

Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bahagian daripada apa yang mereka usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka usahakan” (QS an-Nisâ’ [4]: 32).

Dalam sejarah panjang masa Kekhilafahan Islam juga mencatat torekan tinta emas kegemilangan peran perempuan. Perempuan mulia di bawah naungan daulah khilafah, dilindungi dan dipenuhi hak-haknya. Tanpa kesetaraan gender, Islam mampu memuliakan dan memberdayakan perempuan secara maksimal terhadap perannya baik dalam wilayah publik maupun privat. Para intelektual muslimah di masa kekhilafahan menjalani kehidupan Islam secara kaffah, menunaikan kewajiban dalam rumah tangga mereka, mengasuh anak-anak mereka, berpartisipasi dalam urusan masyarakat, dakwah amar ma’ruf nahi mungkar, dan melakukan muhasabah terhadap penguasa.

Karenanya, inilah 'Choose to challenge' sesungguhnya bagi perempuan untuk berani mengambil pilihan dan tantangan untuk memperjuangkan kembali institusi yang mampu mengembalikan peran dan hak nyata mereka, institusi yang mampu memberikan harapan tanpa semu, institusi yang akan menempatkan kaum perempuan mulia dan sebuah kehormatan yang wajib dijaga. Yaitu memperjuangkan tegaknya kembali khilafah di tengah-tengah kaum Muslim yang telah hilang selama satu abad lamanya.

Tegaknya khilafah menuntut peran serta semua potensi umat dengan beragam latar belakang, termasuk peran perempuan yang sangat penting sebagai pencetak generasi peradaban. Peran ini akan mengantarkan pada penyelesaian persoalan bangsa dan selanjutnya akan membuat kehidupan setiap individu umat teriayah dan mendapat kemuliaan. Sudah seharusnya, kaum perempuan mengarahkan potensinya untuk penegakan khilafah, dan mewaspadai jebakan kampanye kesetaraan gender.[]

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst

Oleh: Dewi Srimurtiningsih
(Analis Mutiara Umat & Dosol Uniol 4.0 Diponorogo)

Posting Komentar

0 Komentar