Mengapa Berharap kepada Manusia


“Aku sudah pernah merasakan semua kepahitan dalam hidup dan yang paling pahit ialah berharap pada manusia.“ (Ali bin Abi Thalib).

Benarlah adanya bahwa bila kita berharap pada manusia akan berujung pada kekecewaan. Sebaik apapun manusia tak akan mampu memenuhi semuanya. Sepintar apapun manusia, banyak hal yang ia tak bisa menjangkaunya dengan akal yang dimiliki. Sekuat dan sekaya apapun seseorang, ada yang jauh lebih segalanya dari dia. Pantaskah kita berharap pada sesama manusia?

"Ketika hatimu terlalu berharap pada seseorang, maka Allah timpakan ke atas kamu pedihnya pengharapan supaya mengetahui bahwa Allah sangat mencemburui orang yang berharap pada selain-Nya, Allah menghalangi dari perkara tersebut semata agar ia kembali berharap kepada Allah SWT." (Imam Syafi'i).

Mengapa kita berharap pada manusia, padahal manusia itu bisa berubah kapan saja? Seseorang yang mencintai kita hari ini, belum tentu akan seterusnya mencintai kita. Mereka yang baik pada kita hari ini, bisa bertindak sebaliknya. Perasaan dan pemikiran manusia dapat terus berubah sewaktu-waktu tergantung situasi dan kondisi.

Hal ini mengingatkan kita kepada kisah seorang sahabat Rasul yaitu Abdullah bin Salaam. Sebelum masuk Islam, beliau dicintai dan ditokohkan oleh orang Yahudi. Namun ketika beliau masuk Islam, maka orang-orang Yahudi langsung membenci dan mencaci makinya. 

Begitu pula yang terjadi di masa kini. Ketika ada seseorang yang hijrah dari masa lalunya untuk menjalani kehidupan sesuai perintah Allah dan RasulNya, akan ada mereka yang semula di sisinya berubah membencinya. Pujian bisa menjadi cacian, cinta menjadi benci.

Banyak pula di antara teman-teman sendiri yang justru pergi tatkala kita dalam kesusahan dan permasalahan karena takut terkena imbasnya. Mereka hanya hadir di kala senang dan punya banyak harta. Sebagian orang bersahabat ketika seseorang itu memiliki kepopuleran, kekayaan dan kedudukan. Mereka menjauh di kala semua yang dimiliki menghilang. Atau hanya mendekat di kala merasa butuh, tapi setelah selesai urusannya, ia pergi begitu saja. 

Terlebih lagi di masa sekarang dimana kehidupan lebih dipandang dari sisi materi. Segala hal diukur menurut pertimbangan untung ruginya. Ini menjadikan manusia, mau tidak mau, untuk berbuat sesuatu yang menguntungkan dirinya sendiri. Bila mendatangkan pundi-pundi materi akan dilakukan, meski itu harus mengorbankan teman dan melanggar aturan.

Tolok ukur perbuatan manusia dalam sistem yang berlangsung saat ini adalah manfaat. Dalam sistem yang berasas manfaat, manusia bertindak menurut seberapa besar keuntungan yang didapat. 

Maka, tak heran bila perbuatan manusia bisa berubah kapan saja tergantung kepentingannya, bahkan berbanding terbalik dari yang sebelumnya. Termasuk membolehkan sesuatu yang haram menurut Allah, akan dilakukan bila ada keuntungan yang diraih. Miras haram menurut agama, namun karena bisa mendatangkan pendapatan, dilegalkan-lah ia di tengah masyarakat.

Dengan sistem seperti ini, maka tak heran banyak muncul manusia-manusia yang munafik. Berjanji dengan mudahnya, mengingkarinya pun begitu ringan. Mengatakan sesuatu yang sangat berkebalikan dengan yang dilakukan di kenyataan. Kepercayaan yang diberikan amat mudah dikhianati, demi mendahulukan kepentingan diri dan golongannya. 

Banyak kita jumpai manusia yang seolah di depan terllihat baik, namun ternyata tega menikam dari belakang. Di hadapan kita, ia berkata indah dan manis, namun ketika di belakang, ia menggunjing dan memfitnah. Ada yang seolah membantu, namun ternyata ia justru memanfaatkan kelemahan orang lain dan menjerumuskannya lebih dalam. 

Mengapa kita berharap pada manusia yang fana? “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati dan sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.” (QS. Ali Imran: 185)

Manusia adalah makhluk Allah yang tidak abadi. Sebagaimana makhlukNya yang lain, manusia akan mengalami kepunahan dan mati. Seperti halnya kehidupan di dunia yang fana, manusia yang berada di dalamnya hanya hidup sementara. Dari tidak ada akan kembali tiada.

Ajal adalah rahasia Allah yang tak seorang pun manusia mengetahuinya. Kematian bisa mendatangi manusia sewaktu-waktu, tanpa kita tahu. Tanpa diduga, ia datang seolah tiba-tiba hingga berubahlah semua rencana manusia. Banyak yang hendak dilakukan dan sudah ditata dari jauh-jauh hari, namun semua batal tersebab diri tak lagi bernyawa.

Sungguh tak layak manusia mengharap pada makhluk yang fana. Tak bisa kita meminta perlindungan dan pertolongan pada zat yang akhirnya juga binasa. Tak bisa manusia menyandarkan hidupnya pada sesuatu yang ia sendiri tak memiliki kuasa atasnya.

Mengapa berharap pada manusia yang penuh kelemahan dan keterbatasan?
Sekuat dan sebagus apapun fisik manusia, akan melemah dan memudar seiring usia. Setinggi apapun jabatannya, manusia tak akan mampu mengatur alam sekehendak hatinya. Sebanyak apapun harta yang dimiliki, tak bisa manusia membeli nyawa kembali. Secerdas apapun akalnya, manusia tak bisa memikirkan hal-hal ghaib yang berada di luar jangkauannya. Fisik manusia ada batasnya dan akan melemah seiring waktu sebelum akhirnya benar-benar musnah. 

Berbangga dengan keadaan saat ini adalah kebodohan. Harta, tahta, keluarga, fisik yang bagus bukanlah kepunyaan manusia. Semua yang dimiliki hingga detik ini belum tentu ada di genggaman untuk selamanya. Karena sejatinya itu semua titipan semata. 

Ada yang berkuasa atas segalanya. Bila dicabut apa yang ada pada diri manusia, maka ia hanyalah makhluk yang tak berdaya.
“Dan manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa’: 28)

Sebaik-baiknya berharap hanyalah kepada Allah. Allah berfirman dalam surat Al-Insyirah ayat 8: “Dan hanya kepada Rabb-mu hendaknya kamu berharap”.

Jadikanlah ini sebagai pengingat bahwa hanya kepada Allah semata kita bisa berharap atas segalanya. Karena hanya Dia-lah yang tak pernah mengecewakan hamba-hambaNya yang beriman dan bertakwa. Di hadapanNya, setiap doa dan amal manusia, tidak ada yang sia-sia. Allah tidak akan pernah menyia-nyiakan kebaikan seorang mukmin. 

Allah berfirman dalam Q.S Hud ayat 115: “Dan bersabarlah, karena sesungguhnya Allah tiada menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat kebaikan.” 

Bila hidup terasa berat karena ujian dan cobaan, maka kembalikan pada Allah semata. Karena Allah yang berkehendak mengangkat dan menimpakan setiap kesusahan maupun kesenangan. Setiap kebaikan dan keburukan berasal dariNya. Allah berikan permasalahan sekaligus dengan solusinya. Tidak ada kesulitan melainkan selalu bersama dengan kemudahan. 

Ujian dan cobaan adalah tanda bahwa Allah sayang pada kita. Dengannya, Allah berikan kesempatan untuk kita terus belajar dan mendekat padaNya. Allah SWT berfirman dalam Al-Quran Surat Al-Anbiya ayat 35, "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan yang sebenar- benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah kamu dikembalikan”.

Boleh saja kita berharap pada manusia, namun jangan berlebihan hingga melupakan bahwa Allah yang memiliki kuasa atas semuanya. Karena sungguh hanya Allah yang bisa menggerakkan setiap makhluk menurut ketentuanNya. Orang lain bisa membantu kita, namun Allah yang memampukannya sehingga itu terjadi.

Dalam setiap upaya kita, tanamkanlah tawakal kepada Allah semata. Allah Maha Tahu yang terbaik bagi setiap hamba. Selama kita telah berupaya maksimal dengan tanpa menyelisihi syariatNya, pastilah itu yang terbaik bagi kita. Sehingga apapun yang terjadi di depan, kita tak akan merasa kecewa. 

Cukuplah kita berharap hanya kepada Dzat Yang Maha Hidup yang tidak akan pernah mati. Allah berfirman: “Dan bertawakkallah kepada Allah yang hidup (kekal) yang tidak mati.” (QS. Al-Furqon: 58)

حسبن الله ونعم الوكيل نعم المولى ونعم النصير

Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung.

لاحول ولا قوة الا بالله العلي العظيم

Tidak ada daya upaya dan kekuatan kecualli atas pertolongan Allah Yang Maha Luhur dan Maha Agung.
Wallahu a'lam bish-shawwab.[]

Oleh: Dina Wachid

Posting Komentar

0 Komentar