Perpres RAN PE: Inikah Verifikasi Hipokrisi Demokrasi dan Kamuflase Tangan Besi?


Tintasiyasi.com - Bukan pucuk dicinta ulam pun tiba, lebih tepatnya pucuk dicinta ular pun tiba. Ya, ditekennya Peraturan Presiden (Perpres) nomor 7 tahun 2021 mengatur sejumlah program pelaksanaan Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme (RAN PE) oleh Presiden Jokowi, bagaikan pucuk dicinta ular yang tiba. Bukan ulam yang datang tetapi ular liar yang siap memangsa siapa-siapa yang tak sehaluan dengan tujuan perpres tersebut.

Luka umat Islam masih menganga atas banyaknya kasus persekusi, kriminalisasi, hingga diskriminasi yang menimpa umat Islam. Beberapa waktu terakhir ini umat Islam mendapat kejutan ditekennya Perpres RAN PE. Wajar jika banyak tokoh, ulama, dan aktivis turun gunung kritisi dan menolak perpres tersebut. Jika mendedah lebih dalam di balik perpres ini, akan ditemui beberapa hal sebagai berikut. Pertama, Perpres RAN PE memverifikasi hipokrisi demokrasi. Kedua, Perpres Ekstremisme berpotensi dijadikan kamuflase tangan besi rezim.

 

Perpres RAN PE Memverifikasi Hipokrisi Demokrasi

Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011, Peraturan Presiden (Perpres) adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan perintah Peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Perpres delegasi) atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan (Perpres Mandiri).

Menurut Aktivis 98 Agung Wisnuwardana, Perpres No 7 Tahun 2021 dapat memunculkan problematika hukum karena sebenarnya tidak ada konteks pendelegasian perintah langsung dengan peraturan di atasnya dan hal ini membuka peluang bagi Presiden untuk menyalahgunakan kekuasaan.

Peraturan yang sifatnya delegasi seharusnya dibicarakan antara pemerintah dan DPR saat pembahasan RUU.  Ada dugaan presiden berusaha potong kompas dengan mengeluarkan Perpres yang lebih dan hal ini semkin memperkuat peluang penyalahgunaan kekuasaan,” tuturnya kepada TintaSiyasi.com (1/2/2021).

Ia melihat, muatan materi dalam Perpres No 7 Tahun 2021 cenderung berupa renstra dan renja berjangka yang berpengaruh luas dan tak benar-benar hanya berkaitan dengan soal-soal teknis administratif, dan tak dapat dikatakan sebagai kewenangan atributif dari ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar”

Pasal 1 ayat 2

Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme adalah keyakinan danlatau tindakan yang menggunakan cara-cara kekerasan atau ancaman kekerasan ekstrem dengan tujuan mendukung atau melakukan aksi terorisme

Lampiran Perpres (Latar Belakang)

Rencana aksi ini bertujuan untuk menangani pemacu (drivers) terjadinya Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme, yaitu (1) kondisi kondusif dan konteks struktural; dan (2) proses radikalisasi. Kondisi kondusif dan konteks struktural sebagai faktor pendorong, antara lain kesenjangan ekonomi, marginalisasi dan diskriminasi, tata kelola pemerintahan yang buruk, pelanggaran HAM dan lemahnya penegakan hukum, konflik berkepanjangan, serta radikalisasi di dalam lembaga pemasyarakatan. Sedangkan, proses radikalisasi dijabarkan menjadi beberapa faktor, antara lain latar belakang dan motivasi individu, memposisikan diri sebagai korban (victimization), dan kekecewaan kolektif, serta distorsi terhadap pemahaman tertentu (yang berakar dari kepercayaan, ideologi politik, etnis dan perbedaan budaya, jejaring sosial, serta kepemimpinan)

Apabila menilik kata “keyakinan” yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2 RAN PE. Kata tersebut berbahaya dan berpotensi diarahkan kepada Islam, apalagi dakwah Islam kafah kerap mendapat tudingan radikal atau ekstrem. Patut diduga perpres ini digunakan untuk menghambat dakwah Islam kafah dan dakwah khilafah yang kian hari kian masif.

Selanjutnya, pada lampiran (bagian latar belakang) memberikan kejelasan bahwa tujuan RAN PE ini adalah untuk menangani pemicu (drivers) terjadinya ekstrimisme, salah satunya adalah proses radikalisasi. Dapat disimpulkan bahwa RAN PE ini digunakan sebagai alat gebuk pihak-pihak yang mendapat stempel radikal. Padahal, definisi radikal itu obscure (lentur). Terlebih sering menyasar kepada pihak-pihak yang getol menyuarakan Islam kaffah hingga khilafah sebagai solusi atas karut marutnya masalah negeri ini.

Selain itu, RAN PE ini adalah bagian dari  war on radicalism (perang melawan radikalisme) yang sesuai dengan kepentingan dannarahan Barat. Apalagi, melalui RAND Corporatian lemabaga timteng Amreika telah mengklasifikasikan umat Islam menjadi tiga bagian, yaitu tradisionalis, moderat, dan fundamentalis. Perpres ini berpotensi dijadikan adu domba antara tradisionalis dan moderat untuk melaporkan Muslim fundamentalis. Hal ini, jelas berbahaya sekali. Karena akan memecah belah umat dan memicu kegaduhan.

Bagaimana bisa atas nama perpres tersebut, sesama warga negara bisa saling lapor terkait tindakan ekstremisme? Padahl, definisi ekstremisme dalam perpres ini kental sekali menyerang Islam. Lumrah, jika Romo Syafi'i DPR RI dalam bincang Media Umat mengatakan, perpres ini menyerang Islam.

Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Jargon yang tak henti-hentinya dielukan oleh pengasong demokrasi. Tapi sayang, itu tidak sesuai kenyataan. Seperti yang bisa diamati, sebagai negeri mayoritas Muslim seharusnya banyak kebijakan ramah dan mendukung umat Islam. Tetapi, faktanya tidak demikian. Perpres RAN PE, dapat dijadikan legitimasi untuk menghakimi umat Islam yang ‘keukeuh’ atas akidahnya. Seharusnya, atas nama demokrasi umat Islam dilindungi dalam ibadah maupun dakwah. Tetapi anehnya, umat Islam tidak bisa bebas dengan keyakinannya.

Jika dikaitkan dengan demokrasi yang mengakomodasi suara terbanyak dan akan memenangkan suara terbanyak. Seharusnya, jika sesuai dengan demokrasi, negara mendengar jeritan umat yang menginginkan kembali kepada penerapan sistem Islam. Bukan malah sebaliknya, menuduh yang berdakwah Islam kaffah dengan tudingan intoleran, radikal, ekstrem, hingga teroris.

Hal itu seolah menegaskan bahwa demokrasi hipokrit, hanya pepesan kosong dan bohong besar. Demokrasi hanya mengakomodasi suara nyinyir dan sumbing yang bertentangan dengan Islam, bahkan menganggap penghinaan kepada Islam adalah wujud kebebasan berekspresi. Ini semakin nampak bahwa demokrasi bukanlah habitat umat Islam. Seharusnya, umat Islam sudah tidak berharap lagi kepada demokrasi. Sudah saatnya umat Islam bersatu memperjuangkan penerapan syariat Islam secara kafah dalam naungan khilafah.

 

Perpres RAN PE Kamuflase Tangan Besi

Tak disangka dan tak dinyana, Perpres RAN PE telah diteken. Belum diteken saja umat Islam sudah banyak yang berurusan dengan hukum akibat mendakwahkan Islam. Lantas, jika perpres ini berjalan, apa yang akan menimpa umat Islam ke depan?

Jika ditelisik lebih dalam perpres tersebut memang bertujuan untuk menghadang dakwah Islam kaffah dan khilafah. Tanpa pemerintah terjun ke lapangan, dengan adanya Perpres RAN PE, berpotensi adanya oknum pembenci Islam  bisa dengan bebas lapor atas dugaan ekstremisme atau pun radikalisme. Bukankah ini berpotensi jadi tangan besi pihak-pihak yang sedang berkuasa untuk memukul pihak yang berseberangan dengan kepentingannya?

Tak hanya itu, diduga kuat perpres ini juga pesanan asing, khususnya Amerika Serikat (AS). Masih hangat di ingatan beberapa waktu lalu, AS melancarkan program war on terorism dan atau war on radicalism. Perpres ini seoalh menjadi karpet merah untuk memuluskan niat jahat AS negara imperialis untuk memerangi umat Islam dan menghambat kebangkitan Islam. Hal ini telah memverifikasi, bahwa kebijakan negeri ini berada dalam cengkraman Barat. Apapun titah Barat, sekalipun harus menjadikan rakyatnya sendiri tumbal, akan dituruti karena memang Barat telah menancapkan hagemoninya melalui sistem kapitalisme sekuler.

 Walhasil, jika kritik kritis dituding radikal, dakwah Islam kafah dicap ekstrem, apakah ini yang dinamakan demokrasi? Jika kritik kritis dikriminalisasi, dakwah Islam didiskriminasi, apakah ini adalah bentuk tangan besi? Demokrasi telah mengkhianati dirinya sendiri. Tak hanya mati, demokrasi hanyalah kamuflase tutupi otoritarianisme yang semakin kentara dalam sistem kapitalisme sekuler.


Kobaran Dakwah Islam Kaffah Tak Boleh Padam

Jika banyak upaya yang dilakukan oleh Barat penjajah untuk menghambat dakwah Islam, itu tandanya dakwah Islam telah berhasil memberikan pengaruh besar bagi peradaban kufur yang mereka pertahankan, sehingga membuat musuh-musuh Islam putar otak gunakan tangan besinya untuk membendung kebangkitan Islam.

Oleh karena itu, yakinlah bahwa tiada daya kekuatan yang besar melainkan kekuatan-Nya. Sekalipun mereka memiliki teknologi dan senjata yang canggih, sungguh mereka tidak berada di pihak yang akan dibela oleh Allah SWT. Tetap sampaikan kebenaran, tetap berdakwah dengan cantik tanpa keluar konteks fikrah dan thariqah dakwah. Allahuakbar!

“Mereka ingin hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan) mereka, dan Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, meskipun orang-orang kafir benci,” terjemah Qur’an Surat Ash Shaff ayat 8.[]

 

Oleh: Ika Mawarningtyas, S.Pd.

Analis Muslimah Voice

Posting Komentar

0 Komentar