Perpres RAN PE: Dikhawatirkan akan Terjadi Curiga dan Tajassus yang dapat Memecah Belah Persatuan Bangsa



TintaSiyasi.com-- Hangat menjadi perbincangan publik terkait polemik Perpres RAN PE yang baru saja diteken oleh Presiden Joko Widodo Januari 2021 lalu. Berbagai penolakan datang baik dari ulama, tokoh, maupun pejabat publik. Banyak dugaan dari tokoh, ulama, ataupun aktivis, Perpres RAN PE berpotensi terjadi diskriminasi, persekusi, dan kriminalisasi kepada mereka yang dituding radikal atau ekstrem. Padahal sebelum perpres ini ada, hal itu sudah terjadi.


Dugaan di Balik Perpres RAN PE Diteken

Jika ditelisik, ditekennya Perpres RAN PE sejalan dengan agenda Barat yang melancarkan war on radicalism. Karena empat tahun yang lalu di Riyadh, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump pernah mengajak negara-negara Muslim membenci bahkan mengusir kelompok Islam ekstrimis. 

Hal ini menunjukkan, Amerika memimpin kebencian dan perlawanan terhadap kelompok radikalisme, dan stigma radikal ini selalu diarahkan ke umat Islam. Sudah menjadi rahasia umum, pelaku diskriminasi dan teror di Timur Tengah, Khasmir, Rohingya, dan Uighur terhadap umat Islam tidak pernah dituding radikal.

"Masa depan lebih baik hanya bisa dicapai jika kalian bisa menyingkirikan terorisme dan mengusir kelompok esktrimis. Usir mereka keluar! Usir dari komunitas, tempat-tempat suci, dan bumi ini," kata Trump dalam pertemuan 50 kepala negara, mayoritas dihadiri pimpinan negara muslim, di Riyadh, Arab Saudi, Ahad (21/5/2017).

Selain itu, jika dikaji lebih dalam, permusuhan kepada kelompok radikal yang dikomando AS tidak bisa dilepaskan dari apa yang disebut oleh Daniel Pipes. Daniel Pipes adalah pendiri Middle East Forum yang juga dikenal sebagai dalang gerakan Islamophobia dalam artikel berjudul “Rand Corporation and Fixing Islam” dengan istilah religious building

Terendus upaya yang mereka lakukan untuk membangun presepsi Islam alternatif dengan menyingkirkan Islam militan atau Islam kafah. Yaitu dengan modernisasi Islam yang artinya, umat Islam yang menerima nilai-nilai sekuler yang dibawa oleh Barat. Dengan memojokkan Islam militan, Barat berusaha menyingkirkan Islam militan. Dan inilah yang sering disebut sebagai perang melawan radikalisme atau war on radicalism. Sejatinya, adalah perang melawan umat Islam.

Jika AS dan sekutunya memusuhi umat Islam dengan stigma radikalisme, karena tidak mau menerima nilai-nilai Barat. Maka, patut diduga segala bentuk kebijakan yang dikeluarkan berkaitan dengan radikalisme, sejatinya hal itu tidak terlepas dari hagemoni AS dan sekutunya. 

Dampak Ditekennya Perpres RAN PE

Sebelumnya memang sudah banyak sekali diskusi terkait hal ini. Perpres RAN PE selain berpotensi akan banyak tindak persekusi, perpres tersebut juga memungkinkan terjadi aksi saling lapor. Sebelum terjadi saling lapor ini, nuansa yang terjadi bisa saling curiga antaranak bangsa. Sebelum ada curiga dan dugaan, terjadilah tajassus (memata-matai).

Khawatirnya lagi, jika perpres ini digunakan untuk memata-matai dan menjatuhkan lawan politik dengan tuduhan radikalisme. Karena, curiga dan tajassus digunakan untuk mencari pembenaran tuduhan radikalisme kepada lawan politiknya. Jika yang terjadi demikian, akankah tercipta ketentraman? Justru bisa memicu kegaduhan.

Baru-baru ini saja Din Syamsuddin baru saja dilaporkan atas dugaan radikalisme oleh GAR ITB. Tuduhan kepada Din tidak berdasar dan salah alamat, apalagi definisi radikalisme cenderung lentur dan kental dengan nuansa politik. Oleh karena itu, perpres ini baiknya dicabut. Lantas, kegaduhan apalagi yang sedang disulam oleh negeri ini akibat perpres tersebut? Apalagi gambaran hukum tajam kepada Islam dan oposisi, tetapi tumpul kepada koalisi.

Pandangan Islam tentang Perpres RAN PE atas Dugaan terjadi Saling Curiga dan Tajassus

Di dalam Islam tidak boleh menuduh sesama Muslim dengan tuduhan tak berdasar. Apalagi menuduh pejuang Islam kafah dengan tuduhan radikal, ekstrem, atau teror. Jika memang ada kelakuan umat Islam yang keliru, yang perlu dipersalahkan adalah perbuatannya, tidak digebyah uyah hingga ajaran Islam dicap radikal ekstrem. Melihat pandangan dalam Islam dilarang memata-matai saudaranya sendiri. Tetapi ini bisa terjadi hanya karena ingin menjatuhkan lawan politik. Padahal mereka sama-sama Muslim.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا

“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara.” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari hadis no. 6064 dan Muslim hadis no. 2563]

Sungguh aneh, negeri yang menjunjung demokrasi tapi melahirkan prematur perpres ekstremisme ini. Seharusnya ini membuat umat Islam sadar, bahwa demokrasi bukan habitat untuk untuk umat Islam. Saatnya kembali ke jalan benar, yaitu umat Islam perjuangkan penerapan syariat Islam hingga kehidupan Islam terwujud. Insyaallah, amin.

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Perpres RAN PE berpotensi membuat kegaduhan baru, karena akan memicu tindakan saling lapor yang sebelumnya terjadi tajassus dan curiga. Hal ini juga tidak dibenarkan di dalam Islam. Seharusnya jika negara berkomitmen menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, Perpres RAN PE harus dicabut dan dibatalkan.[]

Oleh: Ika Mawarningtyas
Analis Muslimah Voice
Dosen Online UNIOL 4.0 Diponorogo

Posting Komentar

0 Komentar