Pasal Karet Pencemaran Nama Baik UU ITE: Delik Aduan ataukah Delik Biasa?



TintaSiyasi.com-- Heboh, rencana Presiden Jokowi meminta DPR untuk bersama dengan pihak Pemerintah merevisi UU ITE serta meminta Kapolri agar selektif plus hati-hati menerapkan pasal multitafsir alias pasal karet UU ITE. Hal itu disampaikan oleh Presiden saat memberikan arahan dalam Rapat Pimpinan TNI dan Polri Tahun 2021 di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/02/2021). Presiden mengatakan: 

“Kalau Undang-Undang ITE tidak bisa memberikan rasa keadilan, ya saya akan minta kepada DPR untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang ITE ini karena di sinilah hulunya. Terutama menghapus pasal-pasal karet yang penafsirannya bisa berbeda-beda yang mudah diinterpretasikan secara sepihak." 

Langkah Presiden ini patut kita apresiasi. Namun demikian, langkah ini menurut saya sudah begitu terlambat karena korban "jedetan karet" itu sudah banyak sebagai akibat penerapan UU ITE yang patut diduga secara SSK (Suka Suka Kami) oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Pasal karet atau dikaretkan itu diterapkan sesuai dengan kemauan pihak tertentu yang seringkali pula sebenarnya menabrak aturan hukum tertentu yang lainnya, misalnya Putusan MK. Misalnya kasus berikut ini patut diduga APH menerapkan pasal UU ITE secara "ngaret", ambigu, SSK sedangkan peraturan atau putusan hukum lain sebenarnya telah membatasinya. Putusan MK menyatakan bahwa delik Pasal Pencemaran Nama Baik dalam UU ITE sebagai delik aduan bukan delik biasa namun patut diduga APH tidak mematuhi Putusan MK tersebut dengan bukti menjadikan seseorang sebagai tersangka tanpa adanya pengaduan langsung dari pihak yang dicemarkan nama baiknya. 

Peristiwa hukum dugaan penerapan pasal karet dari UU ITE ini terjadi di akhir tahun 2020. Tribunmedan.id, 26 Nopember 2020 mewartakan adanya pengkapan atas WP seseorang yang mengaku Ketua FPI Kecamatan Galang Deliserdang Medan karena di akun facebook ada foto Presiden Jokowi digendong Megawati Soekarnoputri yang dijadikan foto profil. Terhadap tersangka dikenakan Pasal 45 ayat (3) jo Pasal 27 ayat (3) UU RI Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No 11 tahun 2008 tentang ITE atau Pasal 310 KUHP jo Pasal 316 KUHP atau Pasal 207 KUHP. 

Saya turut prihatin atas kejadian ini penangkapan Ketua FPI Kec. Galang Deliserdang tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa soal pencemaran nama baik di UU ITE itu tetap menginduk pada Pasal 310 KUHP yang merupakan delik aduan. Jadi, mesti yang merasa dirugikan atau dicemarkan nama baiknya itu harus membuat pengaduan datang langsung kepada Polri, bukan orang lain apa lagi aparat hukum sendiri. 

Untuk memahami status delik pada kasus ini, kita pakai pendekatan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”). 

Penghinaan, pencemaran nama baik dan ujaran kebencian berdasarkan SARA diatur dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE dan Pasal 28 ayat (2) UU ITE. Bunyi Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah sebagai berikut: 

"Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik." 

Ancaman pidana bagi orang yang melanggar Pasal 27 ayat (3) UU ITE ini diatur dalam Pasal 45 ayat (3) UU 19/2016, yang berbunyi: 

"Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah)." 

Kita perlu mencermati lebih jauh tentang kasus ini, karena banyak pihak menganggap Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik delik biasa. Pemahaman ini keliru dari dua hal, yaitu dari (1) dari segi esensi delik penghinaan dan (2) dari sisi historis. Berdasar kedua pertimbangan tersebut dapat ditegaskan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE itu delik aduan. Kita coba cermati kedua pertimbangan tersebut (referensi berdasar analisis hukumonline.com). 

(1) Dari segi esensi delik penghinaan. 

Secara esensi penghinaan, pencemaran nama baik merupakan perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, sehingga nama baik orang tersebut tercemar atau rusak. Dalam menentukan adanya penghinaan atau pencemaran nama baik, konten dan konteks menjadi bagian yang sangat penting untuk dipahami. Tercemarnya atau rusaknya nama baik seseorang secara hakiki hanya dapat dinilai oleh orang yang bersangkutan. Dengan kata lain, korbanlah yang dapat menilai secara subyektif tentang konten atau bagian mana dari Informasi atau Dokumen Elektronik yang ia rasa telah menyerang kehormatan atau nama baiknya. 

Konstitusi memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat seseorang sebagai salah satu hak asasi manusia. Oleh karena itu, perlindungan hukum diberikan kepada korban, dan bukan kepada orang lain. Orang lain tidak dapat menilai sama seperti penilaian korban. Namun, sekaligus juga melindungi pelaku dalam arti tidak semua orang bisa mengadukan atau melaporkan dugaan pelanggaran tersebut, termasuk aparat penegak hukum. Polisi tidak dapat bertindak sendiri tanpa ada aduan atau laporan dari pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya. 

(2) Dari segi historis delik penghinaan 

Secara historis ketentuan Pasal 27 ayat (3) UU ITE mengacu pada ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), khususnya Pasal 310 KUHP dan Pasal 311 KUHP. Dalam KUHP diatur dengan tegas bahwa penghinaan merupakan delik aduan. 

Sebelum adanya perubahan UU ITE, memang tidak adanya ketentuan yang tegas bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Tetapi setelah adanya perubahan, ketentuan penghinaan atau pencemaran nama baik dalam UU 19/2016 merupakan delik aduan.

Selain itu sebelum adanya perubahan UU ITE perlu diketahui bahwa mengenai penghinaan atau pencemaran nama baik ini sudah dinyatakan sebagai delik aduan juga oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008. Putusan tersebut mengenai penegasan bahwa Pasal 27 ayat (3) UU ITE merupakan delik aduan. Dalam pertimbangan Mahkamah Konstitusi Butir [3.17.1] dijelaskan: 

"Bahwa terlepas dari pertimbangan Mahkamah yang telah diuraikan dalam paragraf terdahulu, keberlakuan dan tafsir atas Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict yang mensyaratkan adanya pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut, harus juga diperlakukan terhadap perbuatan yang dilarang dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, sehingga Pasal a quo juga harus ditafsirkan sebagai delik yang mensyaratkan pengaduan (klacht) untuk dapat dituntut di depan Pengadilan." 

Jadi, kita berhukum itu memang harus jeli, paham hukum formil (hukum acaranya) dan juga hukum materiilnya. Jika suatu perbuatan pidana itu termasuk delik aduan, polisi jangan main tangkap. Polisi harus menunggu laporan atau pengaduan langsung dari pihak yang dirugikan atau dicemarkan nama baiknya. Dalam kasus ini, jika yang merasa dicemarkan adalah Pak Jokowi, maka secara individu Pak Jokowi harus melaporkan atau mengadukan pencemaran nama baiknya langsung kepada polri. Tanpa laporan atau aduan dari Pak Jokowi, Polisi tidak dapat menangkap Ketua FPI Kec. Galang Deliserdang tersebut. 

Pertanyaan saya adalah: Apakah Pak Jokowi sudah mengadukan secara langsung atas dugaan pencemaran nama baiknya? Jika sudah, maka tindakan polisi menangkap pelaku dapat dibenarkan, meskipun juga perlu dipertanyakan soal penangkapan yang tidak didahului pemanggilan para pihak untuk penyelidikan tahap awal. Jika tanpa pengaduan dari korban namun penangkapan telah dilakukan berarti telah terjadi pelanggaran Hukum Acara Pidana oleh Polri. Apalagi Polri sudah menetapkan sebagai tersangka tanpa adanya pemanggilan terhadap para pihak terkait terlebih dahulu, baik sebagai korban maupun pelaku untuk dimintai keterangan terlebih dahulu. Hal ini pun juga tidak mematuhi Putusan MK tentang alat bukti permulaan dan pemeriksaan awal seseorang sebelum ditetapkan sebagai tersangka. 

Kita sering meneriakkan bahwa kita mesti patuh pada hukum, tetapi ketika kita, apalagi aparat penegak hukum menerapkan hukum formil dan materiil atas dasar SSK, Suka-Suka Kami plus "ngaret". Apakah hal itu dapat kita katakan kita patuh pada hukum tersebut? Baiklah, kini tampaknya kesadaran atas krisis penerapan UU ITE telah dimiliki oleh semua pihak (rakyat dan penguasa), maka tidak ada alasan menunda revisi UU ITE. Bukan hanya UU yang direvisi tetapi juga mengubah kultur hukum APH untuk lebih "memanusiakan" warga masyarakat dalam penegakan hukum. Restorative justice mesti diutamakan dengan prinsip pidana hanya sebagai ultimum remedium. Tabik!

Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H., M. Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, Rabu: 17 Pebruari 2021

Posting Komentar

0 Komentar