Gerakan Nasional Wakaf Uang: Inikah Cara Penguasa 'Mengambil' Dana Umat?


Presiden Joko Widodo pada Senin (25/1/2021) meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU) di Istana Negara. Kala itu, Jokowi mengungkapkan pemanfaatan wakaf uang tak hanya terbatas untuk tujuan ibadah, tetapi juga sosial dan ekonomi. Dengan demikian, harapannya bisa memberikan dampak pada pengurangan angka kemiskinan dan ketimpangan sosial di masyarakat.

Dilansir dari Republika.co.id, pemerintah menilai potensi wakaf di Indonesia masih cukup besar. Tercatat potensi wakaf secara nasional senilai Rp 217 triliun atau setara 3,4 persen dari produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan potensi tersebut berasal dari 74 juta penduduk kelas menengah saja. 

“Potensi yang besar ini, saya mengajak seluruh masyarakat untuk memulai melakukan gerakan wakaf, salah satunya melalui instrumen surat berharga negara syariah (SBSN) atau sukuk,” ujarnya saat konferensi pers virtual ‘Indonesia Menuju Pusat Produsen Halal Dunia’ Sabtu (24/10). (Republika.co.id, 24 Oktober 2020)

Kendati demikian, GNWU ini menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Penolakan terjadi karena untrust masyarakat pada rezim berada pada titik nazir. Masih ramainya kasus korupsi Bansos, Jiwasraya hingga Asabri, membuat masyarakat enggan mendukung program ini.

Di saat umat didorong untuk mengeluarkan dananya dalam menutup borok kelemahan sistem kapitalisme, rezim justru bersikap zalim terhadap umat Islam. Rekam jejak rezim yang sering memojokkan ajaran Islam, membubarkan ormas Islam, mengkriminalisasi ulama dan aktivis Islam yang tidak sepaham dengan rezim juga masing sering terjadi. Selain itu aspirasi umat untuk melaksanakan ajaran Islam secara kaffah justru dicampakkan dan dikriminalisasi. 

Bahkan mereka yang berkomitmen dalam dakwah Islam dan menyerukan syariah secara kaffah dianggap intoleran dan radikal. Padahal Islam adalah din yang sempurna. Menerapkan syariah Islam secara menyeluruh akan membawa kebaikan, karena Islam adalah solusi atas setiap persoalan yang ada.


Peluncuran GNWU Untuk Menambal Jebolnya Kas Negara

Pemerintah Indonesia baru-baru ini meluncurkan Gerakan Nasional Wakaf Uang (GNWU). Gerakan ini diklaim merupakan salah satu program pengembangan ekonomi syariah untuk mendukung percepatan pembangunan nasional. Presiden Jokowi menyebut potensi wakaf uang bisa mencapai Rp 188 triliun (Kumparan.com, 28/1/2021). 

Seperti dikutip dari laman Badan Wakaf Indonesia (BWI) pada Kamis (28/1), BWI telah menunjuk sejumlah lembaga keuangan syariah untuk memudahkan masyarakat menyetorkan dana wakaf uang. Menurut BWI, wakaf uang juga bisa diinvestasikan melalui Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk, yang imbalannya disalurkan oleh nazhir (pengelola dana dan kegiatan wakaf) untuk membiayai program sosial dan pemberdayaan ekonomi umat. Program ini disebut juga _Cash Waqf Linked Sukuk_ (CWLS). Dengan demikian wakaf uang ini tidak akan masuk kas negara.

Alasan dibalik diluncurkannya GNWU ini tidak lain adalah untuk menambal kas negara yang semakin jebol karena pandemi yang tidak juga berakhir. Disamping juga sebagiannya dikorupsi oleh manusia yang tidak punya hati. 

Kondisi ekonomi negara saat ini memang sedang kolaps. Utang sudah membumbung tinggi lebih dari Rp 6000 trilyun. Sayangnya, uang di kantong yang kabarnya lebih dari 11000 trilyun hanyalah fatamorgana. Seandainya uang itu ada, tentu sudah mencukupi untuk melunasi utang yang semakin menjadi.

Setiap negara yang bisa memberi pinjaman dihubungi demi menutupi keadaan yang kian terpuruk. Bulan Oktober 2020, Indonesia dapat utangan dari Jepang sebesar 6,9 trilyun. Bulan berikutnya dapat utangan dari Australia sebesar 15 trilyun. Tentu jumlah ini hanya uang receh jika dibandingkan dengan jumlah utang yang ribuan trilyun. Minimnya pasokan dari utang ini bisa dimaklumi karena pandemi juga menjalar ke semua negara termasuk negara pengutang. Seluruh negara mengalami masalah yang sama yakni krisis ekonomi.

Oleh sebab itulah, rezim memutar otak untuk mencari berbagai cara agar dana mengalir ke kas negara. Semua aspek yang kira-kira bisa mendatangkan uang diutak-atik sehingga hampir semua sektor kini terkena pajak. Bahkan yang lebih tragis, dana umat pun mulai dilirik. Mulai dana zakat, haji hingga wakaf. 

Terkait dana wakaf, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati membidik partisipasi pengumpulan dana wakaf yang lebih besar dari masyarakat kelas menengah Indonesia, khususnya generasi muda alias milenial. Ia menyebut kesadaran kalangan ini terhadap instrumen wakaf tengah meningkat sehingga bisa dijadikan sumber keuangan baru untuk memenuhi pembiayaan dari dalam negeri.
Sri Mulyani mendasarkan hal ini dari realisasi pengumpulan dana instrumen wakaf kalangan menengah Indonesia tahun ini senilai Rp 217 triliun.

Senada dengan pernyataan Menteri Keuangan, Wakil Presiden Ma’ruf Amin juga ingin partisipasi masyarakat yang mewakafkan dana meningkat. Apalagi, Indonesia memiliki potensi tersebut karena memiliki penduduk muslim mencapai 87 persen dari total populasi 267 juta orang. 

Hal ini pun diamini oleh Sekretaris Ditjen Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag Muhammad Fuad Nasar. Ia mengatakan pengembangan tata kelola wakaf memerlukan ekosistem yang memperkuat hubungan timbal balik para pembuat kebijakan dan praktisi di lapangan. Ia berharap dan berkeyakinan, bahwa penguatan perwakafan di Indonesia ke depannya akan semakin berdaya guna dan berhasil guna. Itu bisa tercapai dengan adanya kolaborasi antarelemen masyarakat, pemerintahan, dan segenap otoritas yang mengurusi ekonomi, kebijakan moneter, serta aspek-aspek teknis yang berkaitan dengan pengelolaan wakaf. Oleh karenanya, ia menilai pengelolaan ekosistem wakaf yang kini giat dicanangkan bakal berimbas positif terhadap sistem keuangan nasional. Termasuk potensi adanya partisipasi investor asing di dalamnya.

Selain itu, pemerintah juga membidik ekonomi syariah untuk menanggulangi kondisi ekonomi negara yang carut-marut akibat dari ketidaktepatan pengelolaan keuangan/dana. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, ekonomi syariah berpeluang besar menjadi sumber baru bagi perekonomian nasional. Sekaligus dinilai mampu menjawab berbagai tantangan dinamika perekonomian nasional di masa kedaruratan kesehatan ini.

“Hal ini karena dalam perekonomian syariah yang sejalan dengan kearifan lokal Indonesia, seperti nilai kejujuran, keadilan, dan tolong-menolong. Serta adanya keberpihakan pada kelompok lemah, dan itu semua dapat membantu pemulihan ekonomi nasional,” terangnya.
( Liputan 6, 24 /10/ 2020)

Dana wakaf dan ekonomi syariah adalah jelas keuangan milik umat muslim yang dijadikan oleh pemerintah sebagai upaya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang makin mengkhawatirkan.


GNWU Bukan Indikasi Rezim Dukung Syariat Islam

Ternyata jauh panggang dari api jika dikatakan dengan GNWU ini, rezim akan menerapkan syariat Islam. Hingga saat ini, kesan bahwa rezim ramah terhadap sebagian hukum Islam dan mewaspadai hukum Islam yang lain makin terasa kuat. Rezim cenderung menerima syariah Islam yang bersifat pribadi dan keluarga, juga yang memiliki nilai finansial tertentu (semisal zakat, haji dan wakaf). 

Sebaliknya, rezim tidak mau menerima dan cenderung memusuhi syariah Islam lainnya, seperti penerapan syariah Islam dalam bidang sosial, politik, hukum dan pemerintahan. Bahkan mereka yang berkomitmen dalam dakwah Islam dan menyerukan syariah secara kaffah dianggap intoleran dan radikal. 

Pemerintah memang hanya butuh dana umat muslim, tetapi aspirasi umat untuk menerapkan syariat dikriminalisasi.
Tidak sedikit para ulama dan pengemban dakwah yang dikriminalisasi karena menyerukan kebenaran sesuai syariat. 

Jika suatu kesalahan dilakukan oleh kelompok selain Islam, menjadi hal yang biasa saja. Namun hal itu menjadi sangat sensitif jika Islam dan ulama yang melakukannya. Bahkan, mereka akan merealisasikan sejumlah ide agar dakwah Islam dapat dibungkam, yang secara otomatis akan menyasar ulama sebagai pengemban dakwah.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kasus yang dialami para pengemban dakwah, seperti Despianoor, Ali Baharsyah, Ustdzah Kinkin Anida, dan masih banyak yang lainnya. Mereka dikriminalisasi hanya karena menyeru untuk kembali pada syariat. Demikian juga kasus yang menimpa Gus Nur dan Habib Rizieq Shihab. 

Kebencian rezim terhadap Islam pun semakin nyata dengan dibubarkannya FPI yang sebelumnya juga menimpa HTI. Hanya karena ormas Islam tersebut ingin menerapkan syariah Islam secara kaffah. Demikian juga dugaan extra judicial killing yang menewaskan enam laskar FPI semakin mengokohkan posisi bahwa rezim anti Islam. Semakin jelas juga rezim hanya butuh dana umat Muslim, tetapi tidak butuh Islam dan syariatnya.

Menurut Prof. Suteki, jika mau dananya, semestinya rezim harus melindungi umatnya dan para alim ulamanya. Bukan persekusi, intimidasi, kriminalisasi, represi, extrajudicial killing atas dasar stempel radikalisme, ekstremisme yang belum jelas jenis kelaminnya sebagai delik hukum baru. 

Lebih lanjut, ia mengungkapkan, jika yang dikembangkan di negeri ini adalah Islamopobhia, lalu siapakah umat Islam yang tergiur untuk mewakafkan hartanya? Lalu siapa yang tergiur hingga lidah menjulur penuh liur atas potensi harta dan dana wakaf? Jika tergiur, dengan sarana apa bisa memaksa umat untuk wakaf, sedang zakat pun bukan kewajiban di negeri ini karena memang tidak dikelola dengan hukum Islam. 

Padahal Islam adalah din yang sempurna. Menerapkan syariah Islam secara menyeluruh akan membawa kebaikan, karena Islam adalah solusi atas setiap persoalan yang ada. 

Allah SWT berfirman:

وَنَزَّلْنَا عَلَيْكَ الْكِتَابَ تِبْيَانًا لِكُلِّ شَيْءٍ وَهُدًى وَرَحْمَةً وَبُشْرَى لِلْمُسْلِمِينَ 

Kami telah menurunkan Kitab (al-Quran) kepada kamu sebagai penjelasan atas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi kaum Muslim (TQS an-Nahl [16]: 89).

Abdullah Ibn Mas'ud ra. menjelaskan, sebagaimana dikutip oleh Al-Hafizh Ibn Katsir dalam tafsirnya,  "Sungguh Dia (Allah) telah menjelaskan untuk kita semua ilmu dan semua hal." (Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, IV/ 594). 

Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT melalui al-Quran telah menjelaskan semua hal. Tentu termasuk hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 

Meninggalkan syariah, meski hanya sebagian, tentu akan mengakibatkan kesempitan hidup. Buktinya adalah defisit anggaran negara, utang negara mencapai lebih dari Rp 6000 triliun, kekayaan milik publik dikuasai oleh korporasi, korupsi menjamur di setiap lini, dll. Itu semua bagian kecil dari merebaknya kesempitan dan sirnanya keberkahan hidup akibat negara tidak dikelola berdasarkan syariah Islam. 

Allah SWT tegas berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى 

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, bagi dia penghidupan yang sempit dan Kami akan mengumpulkan dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).

Para ulama menafsirkan adz-dzikr dalam ayat di atas bermakna al-Quran dan as-Sunnah. Ibn ’Abbas r.a., menjelaskan makna “wa man a’radha ‘an dzikri” yakni berpaling dari mentauhidkan-Ku; dikatakan pula yakni mengingkari Kitab Suci-Ku dan (Sunnah) Rasul-Ku (Al-Fayruz Abadi, Tanwir al-Miqbas Min Tafsir Ibn ‘Abbas, hlm. 267). 

Kita semua tentu tidak boleh meniru kemunafikan Bani Israil. Mereka biasa memilih-milih mana hukum yang akan diambil sesuai dengan seleranya. Pola “prasmanan” dalam beragama seperti ini tidak bisa diterima dalam Islam. 

Allah SWT berfirman:

أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab (Taurat) dan mengingkari sebagian yang lain? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat (TQS al-Baqarah [2]: 85).

Di antara ciri orang munafik adalah menempuh berbagai upaya untuk menghancurkan narasi penegakan syariah dan hukum Allah ‘Azza wa Jalla demi menjaga eksistensi hukum buatan manusia. Demikian sebagaimana dinyatakan al-Quran (QS an-Nisa’ [4]: 61).

Agar kita tidak tergolong ke dalam barisan kaum munafik, mau tidak mau, kita wajib mengamalkan seluruh syariah Islam (QS al-Baqarah [2]: 208).


Solusi Islam Mengelola Wakaf Uang

Wakaf tunai (waqf al nuqud, cash waqf) adalah wakaf dalam bentuk uang. Caranya dengan menjadikan uang wakaf sebagai modal dalam akad mudharabah yang keuntungannya disalurkan sebagai wakaf, atau dengan meminjamkan uang dalam akad pinjaman (qardh). (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 20-21; Fiqh Al Waqf fi Al Syari’ah Al Islamiyyah, 2/239).

Di Indonesia wakaf tunai telah difatwakan kebolehannya oleh Komisi Fatwa MUI Pusat tanggal 11 Mei 2002 dan telah mendapat legalitas berdasar UU No 41/2004 tentang Wakaf. (Agustianto, Wakaf Tunai dalam Hukum Positif, hlm. 5-6).

Sebenarnya ada khilafiyah di kalangan fuqaha mengenai hukum wakaf tunai.

Pertama, tak membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat mayoritas fuqaha Hanafiyah, pendapat mazhab Syafi’i, dan pendapat yang sahih di kalangan fuqaha Hanabilah dan Zaidiyyah.

Kedua, membolehkan wakaf tunai. Ini pendapat ulama Malikiyyah, juga satu riwayat Imam Ahmad yang dipilih Ibnu Taimiyyah (Majmu’ul Fatawa, 31/234) dan juga satu pendapat (qaul) di kalangan fuqaha Hanafiyah dan Hanabilah. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyyah, 44/167; Wahbah Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, 10/298; Al ‘Ayyasyi Faddad, Masa`il fi Fiqh Al Waqf, hlm. 8-9).

Sumber perbedaan pendapat di atas sebenarnya terkait dengan uang sebagai barang wakaf, apakah bendanya tetap ada atau akan lenyap. Pendapat yang tak membolehkan beralasan, sebagaimana kata Imam Ibnu Qudamah,”Karena wakaf itu adalah menahan harta pokok (al ashl) dan memanfaatkan buahnya, dan sesuatu yang tak dapat dimanfaatkan kecuali dengan lenyapnya sesuatu itu, tak sah wakafnya.” (Ibnu Qudamah, Al Mughni, 8/229).

Sedang pendapat yang membolehkan, mengatakan uang yang diwakafkan sebenarnya tak lenyap, karena disediakan gantinya (badal), yaitu uang yang senilai. (Abu Su’ud Muhammad, Risalah bi Waqf al Nuqud, hlm. 31; Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 11-12; Ali Muhammadi, Waqf Al Nuqud Fiqhuhu wa Anwa’uhu, hlm. 159-163; Ahmad Al Haddad, Waqf Al Nuqud wa Istitsmaruha, hlm. 30-40).

Yang lebih kuat (rajih) menurut kami pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai, dengan 3 (tiga) alasan sbb;

Pertama, pendapat yang tak membolehkan lebih sesuai dan lebih dekat kepada definisi syar’i (ta’rif syar’i) bagi wakaf, yang mensyaratkan tetapnya zat harta wakaf (ma’a baqaa`i ‘ainihi). Sebab definisi wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan mempertahankan benda/zat harta itu (ma’a baqaa`i ‘ainihi), dengan tidak melakukan tindakan hukum (tasharruf) terhadap benda itu (menjual, menghibahkan, dst), untuk disalurkan kepada sesuatu yang mubah. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 3/87; Imam Ibnu Qudamah, Al Mughni, 4/231; Imam Syairazi, Al Muhadzdzab, 1/575).

Wakaf uang tak memenuhi syarat ini, karena zat uang akan segera lenyap ketika digunakan. Berhujjah dengan definisi syar’i ini sesungguhnya adalah berhujjah dengan nash syar’i, karena definisi syar’i hakikatnya adalah hukum syar’i yang diistinbath dari nash-nash syar’i. (Taqiyuddin Nabhani, Izalatul Atribah ‘Anil Judzur, hlm. 1-2; Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/443).

Kedua, pendapat yang tak membolehkan wakaf tunai berarti berpegang dengan hukum asal (al ashl), yaitu benda wakaf harus dipertahankan zatnya. Sedang pendapat yang membolehkan berarti menyalahi hukum asal (khilaful ashl), yaitu benda wakaf boleh lenyap zatnya asalkan diganti yang senilai. Berpegang dengan hukum asal adalah sesuatu yang yakin, sedang menyalahi hukum asal masih diragukan, kecuali ada dalilnya. Kaidah fiqih menyebutkan : al yaqiin laa yuzaalu bi al syakk (sesuatu yang yakin tak dapat dihilangkan dengan keraguan). (Jalaluddin Suyuthi, Al Asybah wa An Nazha`ir, hlm. 50).

Ketiga, pendapat yang membolehkan wakaf tunai sesungguhnya lebih bersandar kepada dalil kemaslahatan (Mashalih Mursalah). (Abdullah Tsamali, Waqf Al Nuqud, hlm. 13-14). Padahal Mashalih Mursalah bukan dalil syar’i yang mu’tabar (kuat). (Taqiyuddin Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah; 3/441)

Wakaf, sebagaimana zakat, adalah ibadah. Bukan semata-mata instrumen ekonomi dan pembangunan. Namun demikian, kebaikannya telah turut andil dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi dalam sistem yang baik seperti  di era Kekhilafahan dulu dan dikelola oleh orang-orang yang amanah, wakaf telah memberikan sumbangan luar biasa pada pembangunan peradaban umat manusia. 

Tercatat dalam sejarah, bagaimana sumber air (sumur), pasar, rumah sakit, hingga sekolah-universitas dibangun dengan skema wakaf oleh umat Islam. Kebaikannya lestari hingga kini. Para Sahabat Nabi saw. dulu adalah generasi yang sangat banyak berwakaf.  Menurut Imam Syafii, wakaf dari para Sahabat Nabi saw. itu tak terhitung jumlahnya.  Wakaf Nabi saw., keluarga beliau (Ahlul Bait) dan kaum Muhajirin terkenal luas di Madinah dan Makkah.  Lebih dari delapan puluh Sahabat dari kalangan Anshar juga mewakafkan sebagian besar hartanya. Harta wakaf mereka masih ada hingga sekarang (Al-Baihaqi, Ma’rifah as-Sunan wa al-Atsar, 10/233).

Tradisi berwakaf ini terus dipelihara oleh setiap generasi Muslim pasca Sahabat (Tabi’in), pasca Tabi’in (Tabi’ at-Tabi’in) dan era setelah mereka sepanjang sejarah Kekhilafahan Islam. 

Salah satu wakaf terbesar dan terkenal, khususnya di bidang pendidikan, adalah pusat pendidikan Islam sekaligus Universitas Al-Azhar di Mesir. Lembaga yang didirikan pada tahun 970 M itu telah memberikan pendidikan gratis kepada pelajar dan mahasiswa dari seluruh penjuru dunia. Mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi. Universitas ini eksis hingga sekarang dan telah melahirkan ribuan bahkan ratusan ribu ulama terkemuka di seluruh dunia hingga saat ini.

Pada akhirnya, kita harus meyakini bahwa bukan hanya zakat dan wakaf, syariah Islam seluruhnya akan menjadi solusi. Bukan hanya atas masalah ekonomi, tetapi juga atas seluruh problem kehidupan. 

Dari kasus wakaf ini kita seharusnya belajar tentang ketaatan total kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan mengamalkan semua syariah-Nya. Hal ini juga seharusnya menyadarkan kita akan urgensi adanya sistem yang bisa menerapkan syariah secara kaffah. Itulah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah sebagaimana yang diisyaratkan oleh Baginda Rasulullah saw.


Penutup

Peluncuran GNWU tidak lain adalah untuk menambal kas negara yang semakin jebol karena pandemi yang tidak juga berakhir. Kondisi ekonomi negara saat ini yang kritis, memaksa rezim memutar otak untuk mencari berbagai cara agar dana mengalir ke kas negara. 

Pada akhirnya, dana wakaf dan ekonomi syariah yang merupakan keuangan milik umat muslim dijadikan oleh rezim sebagai upaya untuk mengatasi kondisi ekonomi yang makin mengkhawatirkan.

GNWU tidak berarti rezim mendukung syariat Islam. Justru kesan bahwa rezim ramah terhadap sebagian hukum Islam dan mewaspadai hukum Islam yang lain makin terasa kuat.

Rezim hanya butuh dana umat Islam, tetapi tidak butuh Islam dan syariatnya. Jika mau dananya, semestinya rezim harus melindungi umatnya dan para alim ulamanya. Bukan malah melakukan persekusi, intimidasi, kriminalisasi, represi, extrajudicial killing atas dasar stempel radikalisme dan ekstremisme.

Wakaf tunai adalah wakaf dalam bentuk uang. Meskipun ada khilafiyah di kalangan fuqaha mengenai hukum wakaf tunai, namun Namun kebaikannya telah turut andil dalam membangun ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Apalagi dalam sistem Kekhilafahan dulu dan dikelola oleh orang-orang yang amanah, wakaf telah memberikan sumbangan luar biasa pada pembangunan peradaban umat manusia. 

Kita harus meyakini bahwa bukan hanya zakat dan wakaf, namun syariah Islam seluruhnya yang akan menjadi solusi. Bukan hanya atas masalah ekonomi, tetapi juga atas seluruh problem kehidupan. Dari kasus wakaf ini, kita seharusnya belajar tentang ketaatan total kepada Allah SWT dan Rasul-Nya dengan mengamalkan semua syariah-Nya. Hal ini juga seharusnya menyadarkan kita akan urgensi adanya sistem yang bisa menerapkan syariah secara kaffah.[]

Oleh: Achmad Mu'it, Analis Politik Islam dan Dosol Uniol 4.0 Diponorogo

Referensi:

1. Unie Khansa,"Dana Umat Diembat, Nasib Umat kian Sekarat", 2020.
2. Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum, "Potensi Wakaf: Siapa yang Tergiur Hingga Lidah Menjulur Penuh Liur?" 2021
3. Buletin Kaffah No. 179, "Jangan Hanya Wakaf, Ambil Semua Hukum Syariah", (22 Jumada al-Akhirah 1442 H - 5 Februari 2021 M)

#LamRad
#LiveOpressedOrRiseUpAgainst

Posting Komentar

0 Komentar