Diduga Melanggar Prokes Covid-19: Mungkinkah Di-Impeachment atau Mundur Sebagai Presiden?



TintaSiyasi.com-- Sebagaimana diberitakan oleh zonatimes.com tanggal 25 Februari 2021, kunjungan Presiden Jokowi ke Maumere, Kabupaten Sikka, NTT Selasa (23/2) menuai kritik publik. Pasalnya, kunjungan tersebut mengundang kerumuman warga. Dalam kunjungan tersebut, Jokowi dinilai melanggar protokol kesehatan. Maka, Kamis (25/2/), Koalisi Masyarakat Anti Ketidakadilan akan melaporkan Jokowi ke Bareskrim Polri. 

Tak urung peristiwa berkerumunnya warga Maumere NTT di tengah acara kunjungan Presiden Jokowi menuai pro kontra bahkan kegaduhan politik, hukum dan sosial. Jika dinalar secara hukum, peristiwa tersebut memang sangat mungkin memenuhi unsur-unsur pelanggaran hukum sebagai berikut: 

Pertama. Pelanggaran terhadap UU No. 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, khususnya Pasal 93 yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau denda paling banyak 100 juta rupiah. 

Kedua. Pelanggaran delik Penghasutan, yakni pemenuhan unsur-unsur Pasal 160 KUHP jika dimaknai bahwa tindakan juga termasuk di dalam pemahaman menghasut selain dengan tulisan dan lisan. Berdiri di mobil (sunroof), dan melambaikan tangan apalagi disertai dengan pemberian souvenir saya kira dapat dimaknai sebagai tindakan "menghasut" orang disekitarnya untuk berkerumun, melanggar ketentuan UU atau pun perintah jabatan misalnya dengan melanggar prokes. Hal ini dapat diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. 

Ketiga. Pelanggaran etika kehidupan berbangsa, yakni Presiden tidak memberikan contoh baik kepada rakyat dalam penegakan hukum di bidang kekarantinaan kesehatan khususnya prokes di masa pandemi covid 19, sementara Presiden dan Menkopolhukam telah menegaskan kepada semua kepala daerah, pejabat publik pusat dan daerah untuk bertindak tegas jika terjadi pelanggaran prokes. Ini adalah perbuatan tercela karena akan berdampak makin merosotnya tingkat kepercayaan rakyat kepada negara, c.q Pemerintah. 

Ketiga pelanggaran tersebut sebenarnya telah mencukupi sebagai alasan DPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dengan mengajukan hak bertanya atau meminta keterangan. Jika ternyata DPR menilai bahwa dugaan pelanggaran ini layak diteruskan prosesnya, maka DPR dapat meminta MK untuk menilai dan memutuskan dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dengan mekanisme pemakzulan atau impeachment. 

Dalam Hukum Tata Negara di Indonesia, impeachment terhadap seorang Presiden diatur di dalam konstitusi kita, UUD NRI 1945, yaitu pada Pasal 7A. Pasal 7A selengkapnya berbunyi: 

"Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden." 

Yang bisa dijadikan alasan impeachment itu apabila: 

1. Presiden dan atau wakilnya, melakukan tindak yaitu pengkhianatan terhadap negara, tindak pidana korupsi, dan penyuapan dan tindak pidana berat lainnya;

2. Presiden dan atau wakil presiden melakukan perbuatan tercela, dan

3. Presiden dan atau wakilnya terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. 

Proses pemakzulan itu melibatkan tiga lembaga. Yakni, DPR (proses politik), Mahkamah Konstitusi (MK) (proses hukum), dan MPR (proses politik). MK itu yang akan menilai apakah presiden memenuhi perbuatan hukum sesuai dengan ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945. Pertanyaan besarnya adalah, apakah LUNTUR-nya kepercayaan rakyat kepada Presiden itu dapat menjadi sebab terjadinya sebuah upaya pemakzulan atau impeachment ketika Presiden dan atau Wakil Presiden tidak melakukan perbuatan hukum yang memenuhi ketentuan Pasal 7A UUD NRI 1945? 

Selain pemakzulan Presiden yang secara legal dijamin oleh konstitusi, ada cara lain untuk mengakhiri kekuasaan rezim pemerintahan tertentu, yaitu dengan mekanisme pengunduran diri sebagai Presiden dan wakil Presiden. Mengundurkan diri dari jabatan dapat ditempuh oleh Presiden sebagai cara paling elegan untuk menunjukan sikap bertanggungjawab, namun sangat jarang ada yang mau melakukan. Ketika seorang Presiden atau Pejabat Politik lainnya merasakan bahwa bebannya terlalu berat dibanding kemampuannya memikul beban tanggungjawab itu maka ia dapat secara elegan menyatakan mundur. 

Proses pengunduran diri ini juga dilindungi secara konstitusional, berdasarkan Tap MPR RI No. VI/MPR-RI/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam Tap MPR ini, diatur pokok-pokok Etika Kehidupan Berbangsa. Dalam bagian etika politik dan pemerintahan, disebutkan bahwa: 

"Etika politik dan pemerintahan mengandung misi kepada setiap pejabat dan elit politik untuk bersikap jujur, amanah, sportif, siap melayani, berjiwa besar, memiliki keteladanan, rendah hati dan siap mundur dari jabatan politik apabila terbukti melakukan kesalahan dan secara moral kebijakannya bertentangan dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat." 

"Etika ini diwujudkan dalam sikap yang bertata krama dalam perilaku politik yang toleran, tidak berpura-pura, tidak arogan, jauh dari sikap munafik serta tidak melakukan kebohongan publik, tidak manipulatif, dan tindakan tidak terpuji lainnya." 

Pilih mana, pemakzulan ataukah pengunduran diri ketika Presiden atau Pejabat Politik lainnya merasa tidak mampu menjalankan tugasnya karena terbukti tidak amanah dan tidak lagi dipercaya (distrust) oleh rakyatnya atau dengan kata lain telah terjadi mosi tidak percaya? Keduanya sama-sama konstitusional, namun yang terpenting adalah terpenuhi syarat-syarat bukan hanya yang bersifat legal tetapi juga moral sehingga jauh dari kesan perbuatan makar terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau pejabat politik lainnya. 

Dengan penjelasan tersebut di atas, dapat diketahui bahwa Presiden dan juga Wakil Presiden memang memiliki prevelige tersendiri dibandingkan dengan warga negara lainnya. Jadi equality before the law tidak dapat diterapkan secara letterlijk, hitam putih. Presiden dan Wakil Presiden adalah warga negara kelas istimewa ketika berhadapan dengan hukum. Hukum selanjutnya akan berfungsi normal ketika Presiden dan Wakil Presiden diadili setelah keduanya diberhentikan dari jabatan politiknya tersebut melalui proses impeachment atau pengunduran diri. Jadi, meskipun Presiden dilaporkan 27 kali sehari ke Bareskrim Polri, tidak akan diproses dengan prosedur hukum biasa (ordinary due process of law), melainkan extra ordinary due process of law, yakni melalui (1) proses politik, (2) proses hukum (MK) lalu (3) politik (MPR) dan terakhir (4) proses hukum di peradilan umum (PN) dan seterusnya. Tabik!


Oleh: Prof. Dr. Suteki, S.H.,M.Hum
Pakar Hukum dan Masyarakat
Semarang, 25 Pebruari 2021.

Posting Komentar

0 Komentar